Dalam kitab Kanzul ‘Ulum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, pada tahun 1404 M (808 H) kakek sultan Muhammad Al Fatih ini mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa
Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara ini sering di kenal dengan Walisonggo . Dan
jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang
masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh
angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada
tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar
pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten.
Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin.
Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis
dengan Palestina.
Lalu ada
Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari
Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang
kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem), masjid yang beliau dirikanpun bernama Al Aqsha yang
sekarang menjadi masjid agung kudus.
Dari
para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita
lihat sekarang. Wali songgo periode
pertama adalah seperti kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah
Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq
dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad
Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana
Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin
dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya
mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa
Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan
Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Pada
periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan
da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari
Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja
Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus),
dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan
Gunung Jati).
Mulai
tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang
wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana
Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden
Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel
dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.
Banyaknya
gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan
para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di
kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit.
Sebelumnya sudah juga terjadi kontak dari Raja Sriwijaya
Jambi pada tahun 100 H (718 M) yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah. Sang
Raja meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun
kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk
Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.
Prof . Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam “
mengungkapkan pada tahun 674-675 M, duta dari orang-orang Tha shih (arab) untuk
China yang tak lain adalah sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Maka
bisa dikatakan bahwa Islam telah merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan
Hijriah.
Jika
demikikan , tidak heran apabila tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup
besar pada masa-masa berikutnya, dengan Kesultanan Giri, Demak, pajang,
Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Peranan Wali Songo dalam perjalanan
Kesultanan Islam di Jawa tidak bisa dipisahkan, jika boleh disebut, merekalah
yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat, dimana akan dibangun pemerintahan
Islam yang berbentuk Kesultanan. Kesultanan Islam di tanah Jawa yang paling
terkenal adalah Kesultanan Demak. Namun keberadaan Kesultanan Giri juga tidak
bisa dilepaskan dari sejarah Kekuasaan Islam di tanah Jawa.
Sebelum
Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau nama aslinya Maulana
Ainul Yaqin, membangun wilayah tersenddri di daerah Giri, Gresik jawa Timur.
Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kekuasaan agama dan juga pusat pengkaderan
dakwah. Dari wilayah Giri ini dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelak dikirim
ke kawasan Nusa Tenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.
Giri
berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Buya Hamka
menyebutkan , sedemikian besar pengaruh kekuatan agama dihasilkan Giri, membuat
Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tidak punya kuasa untuk menghapus
kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah
Kesultanan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram. Dukungan daerah-daerah yang juga merupakan jalur
perdagangan yang kuat ini sangat berpengaruh bagi pendirian Demak sebagai
kerajaan Islam yang merdeka dari Majapahit. Demak sebelumnya merupakan daerah
yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah
kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit.Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh
Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) raja
Majapahit. Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak
dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa.
Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan
penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah
Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau
Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan
Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di
daerah Bintoro di muara sungai, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di
perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran
rendah yang dialiri sungai Lusi). Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak
antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada
masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara
akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.
Kesultanan
Demak atau Kesultanan Demak Bintara adalah kesultananIslam pertama di Jawa yang
didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan
keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi
pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena
terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan.Pada tahun 1568,
kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh
Jaka Tingkir.Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid
Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota
Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan
dinamakan Bintara, saat ini telah menjadi kota Demak di
Jawa Tengah. Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca
“Prawoto”).
Slamet
Muljana menjelaskan bahwa
“Bintara” berasal dari kata “abhyantara” dalam bahasa Jawa Kuno sebagai
terdapat dalam Kakawin Ramayana atau pun Kakawin Negarakertagama. Ia
mengartikan abhyantara dengan interior (dalam) atau halaman dalam istana atau
istana itu sendiri. Perubahan arti dari istana menjadi negara kiranya mudah
pula dipahami, karena istana raja biasanya ada di atau menjadi ibu kota suatu
negara. Jadi pembukaan Hutan Glagah Wangi yang dalam kisah Babad Tanah Jawi
diubah menjadi Bintara seharusnya diartikan sebagai pembukaan Hutan Glagah
Wangi untuk kemudian diubah menjadi kota atau negara. Namun rupanya penulis
Babad Tanah Jawi kuarang memahami bahasa Jawa Kuno, sehingga kata abhyantara
yang kemudian berubah menjadi bintara dianggap sebagai perubahan nama dari
Glagah Wangi menjadi bintara. Setelah Glagah Wangi menjadi kota atau negara
kemudian kedudukannya diakui dan dianugerahkan oleh Prabu Brawijaya kepada
Raden Patah dengan kedudukan sebagai adipati. Peristiwa historis dan yuridis
ini dapat ditelusuri dari etimologi toponim Demak dalam kaitannya dengan kata
bintara. Kata Demak berasal dari kata Jawa Kuno asli Demak yang berarti
anugerah atau pemberian. Kata
Demak yang artinya anugerah atau pemberian ini dapat diketemukan dalam Kakawin
Ramayana VI/8 dan Bhomakawya XI/5. Kakawin Ramayana misalnya, mencatat
peristiwa pemberian anugerah oleh Rama kepada prajurit kera masing-masing
sesuai dengan jasanya dengan kata-kata: “Wineh demak kapwa yatha kramanya”.
Dalam hubungan ini maka pemberian nama Demak kepada kota atau negara baru di
Glagah Wangi itu mengandung arti sebagai penganugerahan dan sekaligus
pengukuhan Glagah Wangi sebagai kadipaten Majapahit. Demak berarti tanah yang
dianugerahkan.
Dalam
sejarah Jawa dari zaman Mataram Kuno sampai zaman Majapahit biasanya
penganugerahan tanah semacam Demak itu disertai dengan suatu prasasti. Sebagian besar prasasti yang ditemukan di
Jawa adalah prasasti penganugerahan tanah.Maka jika benar Raden Patah pernah
menerima anugerah tanah Bintara dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya, mestinya
pemberian anugerah tanah itu disertai juga dengan prasasti sebagai
pikukuh.Namun sampai sekarang prasasti pemberian anugerah tanah oleh Prabu
Brawijaya kepada Raden Patah itu belum diketemukan. Boleh jadi prasasti itu
telah hilang dan belum diketemukan kembali.Demikianlah penelusuran etimologi
toponim kedua kata “Bintara” dan “Demak” telah memperkuat penjelasan Babad
Tanah Jawi mengenai sejarah dan perkembangan kedudukan yuridis Kerajaan Demak.
Legitimasi genealogis dengan jelas dinyatakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa
Raden Patah adalah putra sendiri Prabu Brawijaya dari selir putri Cina yang
dihadiahkannya (tetriman) kepada Arya Damar, Adipati Palembang.Sesuai dengan
pola umum historiografi dalam babad kontinuitas genealogis ini diperlukan agar
dengan demikian peralihan kekuasaan dapat disahkan. Legitimasi genealogis ini
bagi kerajaan Demak memiliki makna tersendiri, sebab peralihan kekuasaan
tersebut tidak saja dalam politik namun menyangkut pula masalah agama.Kerajaan
Demak yang telah menganut agama Baru Islam tetap dipandang sebagai pengganti
dan penerus yang sah Kerajaan Majapahit. Peristiwa penganugerahan tanah Bintara dan
pengangkatan Raden Patah sebagai Adipati Bintara serta penganugerahan nama baru
Demak bagi negara baru itu dipandang sebagai saat berdirinya Kerajaan Islam
Demak, Babad Demak memperingati berdirinya Kerajaan Demak itu dengan
candrasengkala: “Geni mati siniraming janmi” atau 1403 Saka (1481 M).
Sumber-sumber Portugis seperti Lopez de Castanheda, Joao de Barros dan Tome
Pires tidak pernah menyinggung-nyinggung tahun berdirinya kerajaan Demak.Ini
rupanya karena ketika Portugis datang ke Indonesia, Kerajaan Demak telah lama
berdiri. Pada waktu Tome Pires berkunjung ke Jawa pada 1513 Raden Patah telah
lama menjadi Raja Demak dan telah tampil sebagai tokoh yang cukup terkenal.
Tome Pires menyebut Raden Patah dengan nama Rodin Senior, karena pada waktu itu
Raden Patah telah mempunyai putra yang dicatatnya sebagai Rodin Junior. Boleh
jadi yang disebutnya Rodin
Junior itu adalah Raden Trenggana. Rupanya sebutan Rodin berasal dari Raden
singkatan dari Raden Patah, yang dikira oleh Tome Pires sebagai nama diri atau
nama pribadi. Demikianlah kiranya sumber-sumber Portugis tidak mengetahui bahwa
Raden Patah sebagai pendiri Kerajaan Demak yang sebelumnya berupa hutan yang
penuh rawa-rawa yang bernama Glagah Wangi. Dua puluh tahun kemudian, sekitar
1500-an, Raden Patah dengan terang-terangan memutuskan segala tali ikatannya
dengan Majapahit yang sudah semakin tidak berdaya.Dengan bantuan daerah-daerah
lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik.Raden
Patah berhasil merobohkan Majapahit dan kemudian memindahkan semua benda upacara
kerajaan dan pusaka-pusaka Majapahit ke Demak.Lagi-lagi hal ini dipergunakan
untuk memberikan legalisasi kepada kerajaan Demak sebagai kelanjutan Kerajaan
Majapahit tetapi dalam bentuk baru sebagai kerajaan Islam.Setelah Demak merdeka
dan sebagai Kerajaan Islam merupakan satu-satunya penguasa di Jawa, maka Sunan
Ampel menabalkan Raden Patah sebagai Sultan dengan gelar Sultan Alam Akbar
al-Fatah. Dari
gelar inilah kiranya maka raja pertama Demak ini dalam berbagai babad dikenal
sebagai Raden Patah. Babad Tanah
Jawi sendiri mencatat gelar Raden Patah sebagai Senapati Jimbun Ngabdurahman
Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.Sedang Serat Kandha mencatat gelar itu
dengan lebih singkat ialah Panembahan Jimbun.
Adapun para
sultan yang pernah meminpin kerajaan Demak adalah Raden Patah (1478-1518 M),
Adipati Unus (1518-1521 M), Sultan Trenggana (1521-1546 M) dan Sunan Prawoto
(1546). Meski demikian, dalam Babad Tanah Jawi yang dikutip Purwadi menyatakan
bahwa Sunan Prawoto tidak hanya berkuasa selama setahun akan tetapi tiga tahun
terhitung sejak Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546 sampai Sunan Prawoto
wafat pada tahun 1561 M. Berikut akan dijelaskan satu persatu:
- Raden Patah
Raden Patah
lahir di Palembang pada tahun 1455 M dan wafat di Demak pada tahun 1518 M.
Beliau adalah putra raja Majapahit, Brawijaya V (1468-1478 M) dan ibunya adalah
seorang putri cina yang bernama Dewi Ni Endang Sasmitapuri. Menurut Babad Tanah
Jawi, putri cina itu adalah putri dari Kiai Batong (Tan Go Hwat).
Ketika Raden
Patah dalam kandungan, Bapaknya menitipkannya kepada Gubernur Palembang, di
sanalah Raden Patah lahir. Proses penitipan itu terjadi karena Brawijaya ingin
menobatkan putri Cina itu sebagai permaisuri, akan tetapi permaisuri Brawijaya
yaitu ratu Dwarawati tidak menginginkan hal itu, sehingga Brawijaya meminta
anaknya yang berada di Palembang yaitu Raden Arya Damar untuk membawa putri
Cina tersebut. Dari putri Cina itulah Raden Patah lahir yang kelak menjadi
Sultan pertama kerajaan Demak dan beliau wafat pada tahun 1518 M. Setelah
kelahiran Raden Patah, Arya Damar menikahi putri cina itu dan dikarunia putra
yang bernama Raden Kusein.
Kedua anak itu
(Raden Patah dan Raden Kusein) kemudian disuru pergi ke pulau Jawa. Raden Patah
disuru belajar ilmu keagamaan kepada Sunan Ampel sedangkan Kusein disuru
mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Alhasil, setelah keduanya sampai di Ampel,
Kusein mengajak Patah untuk mengabdi kepada Majapahit, namun Patah tidak mau
karena Raja Majapahit masih beragama Hindu dan lebih memilih tinggal di Ampel
menjadi santri Sunan Ampel. Sebelum menjadi Sultan didaerah Glagahwangi yang
kelak menjadi Demak, Raden Patah ditugasi untuk membuka pesantren di sana.
Galgahwangi terletak di tepian sungai tuntang yang sangat luas sehinga bisa
dilayari oleh kapal yang biasa berlayar di lautan. Tak lama kemudian, daerah
itu berkembang dengan jumlah penduduk sekitar 10.000 jiwa.
Perkembangan
itu akhirnya diketahui oleh Prabu Brawijaya V, dan menanyakan kepada Adipati
Terung Pecattondho yang nama kecilnya adalah Kusein, kemudian Kusein mengatakan
bahwa yang berkuasa di daerah Glagahwangi itu adalah putra Prabu Brawijaya.
Akhirnya Raden Patah diangkat untuk menjadi Adipati di daerah Glagahwangi yang
akhirnya dikenal dengan Demak.
Selain nyantri
di Sunan Ampel, Raden patah juga adalah salah satu muridnya Sunan Kudus yang
ulung. Setelah memimpin kerajaan Demak, Raden Patah selalu didampingi Sunan
Kudus. Raden Patah memang sungguh-sungguh ingin mengembangkan Islam sesuai
dengan cita-cita guru-gurunya. Beliau sangat menginginkan agar agama Islam
menjadi agama yang unggul di antara agama-agama yang lain. Usaha untuk
mengembangkan Islam, bisa dibuktikan dengan pembangunan masjid Demak yang pada
akhirnya dijadikan pusat pendidikan kerajaan Demak. Selain dalam bidang
keagamaan, Raden Patah juga membangun sistem pemerintahan Demak yang bagus, hal
ini bisa dilihat dari kelengkapan alat negara terus disusun. Alat upacara
kenegaraan mengambil dari kerajaan Majapahit, sedangkan dalam bidang
pertahanan, beliau telah membentuk angkatan perang.
Pada
kepemimpinan Raden Patah, Demak sudah mencapai kesuksesan dan kejayaan. Dalam
masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di
antaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan
pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara.
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat
ketika ia menaklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahta Majapahit (1478),
hingga dapat menggambil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu, Raden Patah juga
mengadakan perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin
mengganggu Demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus
atau Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal.
Setelah Raden Patah wafat, kepemimpinan Demak dilanjutkan oleh putranya yang
bernama Pati Unus
- Adipati Unus
Setelah Raden
Patah wafat, tahta kerajaan Demak dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Pati
Unus dengan gelar Sultan Demak Syah Alam Akbar II. Pati Unus dikenal dengan
Pengeran Sabrang Lor, beliau seorang raja yang tegas dalam mengambil keputusan
dan seorang kesatria, bangsawan. Beliau memimpin kerajaan Demak selama 3 tahun
yaitu dari tahun 1518-1521 M.
Semangat perang
Pati Unus telah tampak sejak Demak dipimpin oleh bapaknya, sehingga ia pernah
ditugasi untuk memimpin tentara Demak untuk menyerang Portugis, meski akhirnya
mengalami kekalahan akibat ombak yang yang sangat besar dan kuatnya pasukan
Portugis.
Tak lama
setelah menjabat Sultan kerajaan Demak, ia merencanakan serangan terhadap
Malaka yang saat itu sudah dikuasi oleh Portugis. Pada tahun 1512 Demak
mengirimkan armada perangnya menuju Malaka. Namun setalah armada sampai
dipantai Malaka, armada pangeran sabrang lor dihujani meriam oleh pasukan
Portugis yang dibantu oleh menantu sultan Mahmud, yaitu Sultan Abdullah raja
dari Kampar. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran sabrang lor
atau Adipati Unus, tetapi kembali gagal.
Selain itu, dia
berhasil mengadakan perluasan wilayah kerajaan. Dia menghilangkan kerajaan
Majapahit yang beragama Hindu, yang pada saat itu sebagian wilayahnya menjalin
kerja sama dengan orang-orang Portugis. Adipati Unus wafat pada tahun 938
H/1521 M. Kemudian kepemimpinan Demak digantikan oleh Sultan Trenggana.
- Sultan Trenggana
Setelah Pati
Unus wafat pada tahun 1521 M, pemerintahan kerajaan Demak dilanjutkan oleh
saudaranya yang bernama Sultan Trenggana. Sulltan Trenggana memerintah Demak
dari tahun 1521-1546 M. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan.
Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah barat
yaitu sampai daerah Banten dan ke timur sampai ke kota Malang. Pada tahun 1522
M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah.
Daerah-daerah yang berhasil dikuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan
Cirebon. Penguasaan terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan
antara Portugis dan kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh
armada Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, Fatahillah mengganti
nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa yang
terjadi pada tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai hari jadi
kota Jakarta.
Dalam usaha
memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan Trenggana memimpin sendiri
pasukannya. Satu persatu daerah Jawa Timur berhasil di kuasai, seperti Maduin,
Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M
Sultan Trenggana gugur. Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu
ke wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan
Trenggana berkuasa selama 42 tahun.
Sepeninggalan
Sultan Trenggana, keluarganya mengalami perpecahan terkait dengan siapa yang
akan meneruskan kepemimpinan Demak. Kemudian, adik dari Sultan Trenggana
menaiki tahta kerajaan Demak pada tahun 1546 M. Karena banyak keluarganya tidak
setuju atas kepemimpnan Prawoto, maka Adipati Jipang (Bojonegoro), Arya
Penangsang, membunuh Prawoto pada tahun 1546 M. Dari perpecahan itulah timbul
pembunuhan yang pada akhirnya kerajaan Demak berakhir pada saat itu. Bahkan
dikabarkan, kerajaan hancur karena pertempuran keluarga tersebut.
- Sunan Prawoto
Setelah Sultan
Trenggana meninggal, maka timbullah perpecahan di antara keluarga keratin.
Mereka berselisih dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin penerus
Trenggana. Adiknya Trenggana (Pangeran Seda ing Lepen) merasa paling pantas
untuk meneruskan pemerintahan Demak. Di sisi lain, banyak orang yang menganggap
bahwa anaknya Sultan Trenggana (Pangeran Prawoto) yang berhak meneruskan. Dari
perselisihan tersebut, adiknya Trenggana melawan Prawoto yang mengakibatkan
Pangeran Seda ing Lepen terbunuh. Mulai saat itulah Pangeran Prawoto menaiki
tahta Kerajaan Demak. Akan tetapi tak lama kemudian, Sunan Prawoto juga dibunuh
oleh anaknya Pangeran Seda ing Lepen. Mulai saat itulah kerajaan Demak mulai
hancur yang pada akhirnya diambil alih oleh Jaka Tingkir sebagai Raja Kerajaan
Pajang. Kepemimpinan Pangeran Prawoto berakhir tidak sampi satu tahun. Prawoto
meninggal pada tahun 1546 M. Akan tetapi dalam bukunya Purwadi mengatakan bahwa
Prawoto berkuasa sejak tahun 1546-1561 M.
Demak berkuasa
kurang lebih setengan abad, keberhasilan yang telah dicapai bahkan keberhasilan
itu masih bisa dirasakan hingga sekarang antara lain sebagai berikut:
- Sultan Raden Patah pernah menyusun kitab undang-undang dan peraturan bidang hukum. Namanya adalah Salokantara. Di Dalamnya menerangkan tentang kepemimpinan keagamaan yang pernah menjadi hakim, mereka disebut dharmadhyaksa dan kertopatti.
- Gelar penghulu (kepala) juga sudah dipakai oleh imam masjid Demak.
- Bertambahnya bangunan militir di Demak dan ibu kota lainnya di pulau Jawa.
- Masjid Demak menjadi pusat peribadatan kerajaan Demak.
- Munculnya kesenian seperti wayang orang, topeng, gamelan, tembang macapat dan perkembangan sastra lainnya.
Kerajaan
Pajang
Kerajaan Pajang
merupakan kerajaan penerus Demak. Setelah kerajaan Demak mengalami kekacauan
akibat perebutan tahta kepemimpinan Demak. Sepeninggal Trenggana tahun 1546, Sunan
Prawoto naik tahta, namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya
Penangsang bupati Jipang (Bojonegoro). Setelah itu, Arya
Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya
namun gagal. Dengan dukungan Ratu
Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya
(Jaka Tingkir) dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Ia pun menjadi pewaris tahta Demak, yang ibu kotanya
dipindah ke Pajang. Jaka Tingkir adalah menantu dari Sultan Trenggana. Penyerangan
terhadap Arya Penangsang itu, Jaka Tingkir dibantu oleh Ki Ageng Pamanahan.
Atas jasa Ki Ageng tersebut, Jaka Tingkir memberikan hutan kepada Ki Ageng
Pemanahan tepatnya di hutan Mentoak yang kelak menjadi Mataram.
Pengesahan Jaka
Tingkir sebagai sultan Kerajaan Pajang (Boyolali) disahkan oleh Sunan Giri dan
segera mendapat pengakuan dari seluruh kadipaten di Jawa tengah dan Jawa Timur
Sementara Demak dijadikan Kadipaten dengan adipatinya Arya Pengiri putra Sunan
Prawoto. Kalau kerajaan Demak berada dipesisir akan tetapi kerajaan Pajang
diletakkan di pedalaman yaitu Pajang. Peletakan Kerajaan itu, menuai kritik
dari Sunan Kudus karena menurutnya di daerah pedalaman telah menganut
kepercayaan Islam yang berbeda dengan kepercayaan Islam pesisir. Sunan Kudus
menduga aliran kepercayaan Islam yang berbeda diprakarsai oleh Syekh Siti
Jenar. Namun harapan Sunan Kudus agar tidak memindahkan ibu kota kerajaan ke
pedalaman itu tidak dihiraukan, maka terjadilah pemindahan ibu kota kerajaan
Demak ke Pajang dan lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajang.
Adapun
raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Pajang adalah Jaka Tingkir, Arya
Pengiri, Pangeran Benawa. Lebih lanjut akan dijelaskan secara singkat sebagai
berikut:
- Jaka Tingkir
Jaka Tingkir
nama aslinya adalah Mas Karebet. Ia memimpin Pajang dari tahun 1568-1587 M. Ia
adalah menantu dari Sultan Trenggana yang pada awalnya diberi tugas sebagai
Adipati di Kadipaten Pajang. Sepeninggal Sultan Trenggana, kerajaan Demak
mengalami kekacauan karena perebutan pemimpin. Kekacauan itulah yang dimanfaat
oleh Jaka Tingkir untuk menggalang dukungan kepada seluruh kadipaten di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Dari usaha itulah, seluruh Kadipaten menyetujui agar
Jaka Tingkir menjadi Pemimpin penerus pemimpin Demak. Mulai saat itulah seluruh
kebesaran kerajaan Demak dipindah ke Pajang dan jadilah Kerajaan Pajang. Jaka
Tinggkir adalah pemimpin yang sangat berpengaruh di pulau Jawa, karena
kegigihannya dalam memimpin, kemudian ia mendapat gelar Sultan Hadiwijaya.
Selama Jaka
Tingkir memimpin Pajang, kesusastraan dan kesenian keraton sudah maju
diperadaban Demak mulai dikenal dipedalaman Jawa Tengah. Pada saat
kepemimpinannya pula, kesusastraan mengalami kemajuan, hal ini bisa dibuktikan
dengan sajak monolistik “Niti Sruti” yang dikarang oleh Pangeran Karang
Gayam.
Selain kemajuan
kesusastraan, pada masa pemerintahan Hadiwijaya juga berhasil mengepakkan sayap
kekuasaannya ke daerah timur tepatnya Madiun, Blora dan Kediri. Pada tahun 1581
M, ia mendapat pengakuan sebagai Sultan Islam bagi kerajaan-kerajaan penting di
Jawa Timur.
Jaka Tingkir
meninggal pada tahun 1587 M. dan dikuburkan di barat Taman Kerajaan Pajang.
Setelah itu, kepemimpinan Pajang digantikan oleh Arya Pengiri yang sebelumnya
menjabat Adipati di Kadipaten Demak.
- Arya Pangiri
Arya Pangiri
adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak,
yang tewas dibunuh Arya Penangsang. Ia kemudian diasuh
bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya
Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya
bupati Pajang.
Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak
sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan
Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Arya Pangiri
menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583-1586 M dan bergelar
Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram
daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Arya Pangiri melanggar wasiat
mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya.
Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali,
Bugis,
dan Makassar
untuk menyerbu Mataram. Arya Pangiri juga berlaku tidak
adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak
untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang.
Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan
penduduk Demak.
Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena
kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran
Benawa. Dari itulah banyak warga yang tidak suka terhadap Arya
Pangiri.
- Pangeran Benawa
Pangeran Benawa
adalah putra Hadiwijaya atau Jaka
Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan
dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang
mendirikan Kerajaan Mataram.
Sejak
kepemimpinan Arya Pangiri, masyarakat Pajang sudah mulai tidak suka, akhirnya
keadaan itu dimanfaat oleh Pangeran Benawa untuk merebut kembali kekuasaan
Pajang. Arya Pangiri kalah dan dikembalikan kepada kadipaten Demak pada tahun
1586 M. Sejak saat itulah Pangeran Benawa memimpin Kerajaan Pajang. Namun baru
satu tahun memimpin Pajang, Pangeran Benawa meninggal pada tahun 1587. Pada
saat itu kerajaan Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang Mataram, dan pada
akhirnya menjadi bagian dari kerjaan Mataram. Ada riwayat lain yang mengatakan
bahwa Pangeran Benawa tidak meninggal tetapi melarikan diri. Penyebab pelarian
itu tidak lain karena Kerajaan Mataram menyerang Pajang sehingga para pemimpin
Pajang melarikan diri ke Giri dan Surabaya. Mulai saat itulah pajang berada
dalam kekuasaan Mataram.
Kerajaan
Mataram
Kemenangan Jaka
Tingkir raja Pajang atas Arya Panangsang karena mendapat bantuan Ki Ageng
Pemanahan beserta adiknya yaitu Danang Sutawijaya. Karena jasanya tersebut
Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir memberikan hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan
berupa daerah yaitu alas Mentaok. Dalam Babad Tanah Jawidiceritakan bahwa Ki
Ageng Pemanahan menyulap alas (hutan) Mentaok menjadi sebuah kadipaten, yaitu
kadipaten Mataram pada tahun 1573 M.
Ki Ageng
Pemanahan itu sebagai perintis kerajaan Mataram. Dengan demikian ia lebih
dikenal dengan Ki Ageng Gede Mataram. Akan tetapi, tidak sampai menikmati
usahanya untuk menjadikan sebuah kerajaan yang lebih besar, ia wafat pada tahun
1575 M. Setelah itu, kepemimpinan Mataram dilanjutkan oleh putranya yaitu
Sultan Sutawijaya yang dikenal dengan sebutan senopati. Sutawijaya sosok yang
cerdas dan gigih dalam strategi perang. Atas kemampuan itulah ia dikenal dengan
sebutan Senopati ing Alaga (Panglima Perang) bahkan juga mendapat julukan
Sayidin Panata Agama (tuan penata agama).
Panembahan
Senopati wafat pada tahun 1601. Beliau diganti oleh putranya yaitu Mas Jolang.
Mas Jolang menerima kerajaan Mataram pada tahun 1613. Mataram terus melakukan
perluasan wilayah. Daerah yang berhasil ditaklukkan antara lain, Ponorogo, Kertosono,
Kediri, dan Wirosobo (Mojoagung). Sebelum perluasan wilayah berhasil, Mas
Jolang gugur. Beliau gugur di wilayah Krapyak. Ia dikenal dengan sebutan
Panembahan Seda ing Krapyak. Selanjutnya Mataram dipimpin oleh
Mas Rangsang sebagai raja Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Senopati ing
Alaga Ngabdurrahman Kalifullah. Dikenal dengan sebutan Sultan Agung Anyakra
Kusumo. Beliau memerintah pada tahun 1613 – 1645.
Pada Mas
Rangsang atau Sultan Agung adalah Raja Mataram (Islam) (kesultanan Mataram)
yang ketiga. Beliau memerintah dari dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Gelarnya
Sultan Agung Hanyokrokusumo tapi lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung.
Beliau merupakan cucu dari Panembahan Senopati yang merupakan pendiri kerajaan
Mataram Islam.
Menurut
Ricklefs Pada tahun 1630-an, saat yang menentukan dalam sejarah sosio-budaya
Jawa. Sebelum itu, Sultan Agung sudah berhasil menaklukan lawan- lawannya di
Jawa Tengah dan Timur, terutama di negara-negara pesisir utara. Yang paling
penting dan kuat adalah kota Surabaya, yang menyerah pada tahun 1625.
Peperangan yang berdarah itu mengakibatkan banyak sekali korban dan kerugian,
baik orang maupun harta benda. Tokoh yang berdiri di atas negara baru itu, sang
raja yang berjaya, ternyata harus diakui orang sebagai raja yang tak bisa
dikalahkan, yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan gaib, yang merupakan wawayanging
Allah, bayangan Tuhan di dunia ini.
Pada masa
kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di
antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang
mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan
masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa
beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender
Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah.
Sebelumnya
masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalanberdasarkan pergerakan matahari.
Penanggalan matahari ini dikenal sebagai SakaHindu Jawa, meski konsep tahun
Saka bermula dari India. Pergantian konsep dasar sistem
penanggalan matahari (syamsiyah) menjadi sistem bulan (komariyah) itu
berlaku untuk seluruh Pulau Madura, kecuali Banten, Batavia,dan Banyuwangi
(Blambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasukwilayah kekuasaan Sultan
Agung. Pulau Bali dan Palembang, yang mendapatkanpengaruh budaya Jawa, juga
tidak ikut mengambil alih kalender karangan SultanAgung ini.
Tumbuhnya
kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan
masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa
dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika
kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem
feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal
berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat
dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil
(Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok
keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Pada tahun
1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit
tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian
dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa
pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena adanya campur tangan VOC sejak zaman pemerintahan Sunan Amangkurat 1
(Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama) yang
meliputi hal politik untuk melawan Trunajaya.
Akibatnya muncul
pemberontakan Trunajaya (Madura) yang dibantu oleh Pangeran Kajoran dan para
pejabat dan masyarakat yang sudah sangat tertekan. Tanggal 28 Juni
1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat
melarikan diri ke barat. Istana Plered berhasil
direbut kembali oleh Pangeran Puger (Kanjeng Susuhunan ing Alaga Ngabdur Rahman
Sayidin Panata Gama) yang menyerang dari Jenar. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya
istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Sepeninggal Amangkurat I dia digantikan oleh Amangkurat II
(Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan
lagi ke Kartasura (1680)
Setelah
Amangkurat II meninggal diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan
Amangkurat III karena dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan
perpecahan Internal, Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah
dan ditangkap di Batavia lalu
diasingkan di Ceylon, Srilanka dan meninggal
tahun 1734.
Kekacauan politik dari
masa kemasa akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana III setelah
wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan
Kasunanan Suarakarta tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini
tertuang dalam Perjanjian Giyanti , perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang
dibuat oleh pihak VOC, pihak Mataram( diwakili oleh Pakubuwana III) dan
kelompok pangeran Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian
tersebut ( ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten , Desa
Jantiharjo) ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai
berakhirnya kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.
Berdasarkan
perjanjian ini wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur
kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan
tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan
kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan
Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta.
.
Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi
beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang
masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta,Kasunanan
Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran