Thursday, 26 December 2024

Pengantar Pendidikan Akhlak Mulia

Pengantar

Tujuan utama di utusnya Nabi Muhammad shallahu alaihi wa salla adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Proses tersebut dilakukan Rasulullah dengan mendidik generasi terbaik umat ini. Islam hadir sebagai solusi permasalahan kehidupan. Permasalahan kehidupan di dunia dimulai dari kerusakan akhlak manusia. Oleh karena itu perbaikan kerusakan-kerusakan di muka bumi ini dimulai dengan pembenahan akhlak Mulia. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

 إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku (Rasulullah shalallhu alaihi wa sallam) diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad  2/381)

Tujuan Pendidikan menurut Syed M. Naquib Al Attas adalah membentuk individu yang baik. Orang yang baik menurut beliau adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq, yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya, yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab. 

Dari paparan beliau tentang orang baik maka dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya pendiidkan adalah proses membentuk manusia yang baik atau dapat kita sebut manusia yang memiliki akhlak mulia. Dalam proses tersebut beliau menawarkan konsep Ta’dib atau meberikan adab. Menurut beliau Ta’dib ini adalah satu “cara Allah mendidik Nabi Nya”. Sebagaimana yang sebutkan dalam hadits

 أدبنى ربى فأحسن تأديبى 

“Tuhanku telah mendidikku, maka Ia menjadikan pendidikanku menjadi baik”.

Hadits ini dilihat dari segi tashihnya adalah hadits dhaif,  sedangkan  sanadnya  ada  yang  bersambung,  periwayatnya  adil, ada  perawi  yang majhul dan maknanya shahih. Namun meski demikian hadits ini dapat dijadikan hujjah secara tathbiqi, dan hadits ini dapat diimplementasikan sebagai sandaran sebuah hukum, dan dapat diamalkan jika ada penguat hadits lain.

Di   dalam   hadis   ini   secara   eksplisit   digunakan   istilah ta'dib (yang   diartikan pendidikan)   dari   kata addaba yang   berarti   mendidik.   Kata   ini,menurut   al-Zajjaj, dikatakan  sebagai  cara  Tuhan  mendidik  Nabi-Nya,  tentu  saja  mengandung  konsep pendidikan yang sempurna. Dengan penjelasan di atas al-Attas selanjutnya menguraikan pengertian   hadis   ini   sebagai   berikut:   "Tuhanku   telah   membuatku   mengenali   dan mengakui, dengan apa (yaitu adab) yang secara berangsur-angsur telah ditanamkan ke dalam  diriku,  tempat-tempat  yang  tepat  dari  segala  sesuatu  di  dalam  penciptaan, sehingga  hal  itu  membmbingku  ke  arah  pengenalan  dan  pengakuan  tempat  Nya  yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian dan sebagai akibatnya, Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik" (Alatas, 1996).

Makna Adab

Dalam bahasa Arab, kata adab merupakan bentuk kata benda dari kata kerja أدب  berarti kesopanan, sopan santun, tata krama, moral, nilai-nilai, yang dianggap baik oleh masyarakat. Mengutip pernyataan Abu Isma’il al-Harawi, pengarang kitab Manazil as-Sa’irin, yang dimaksud dengan adab adalah menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan serta mengetahui bahaya pelanggaran. 

Sedangkan menurut AbdulAziz bin Fathi As Syayid Nada mengatakan bahwa adab adalah seluruh hukum-hukum syar’I yang lima,yakni wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Sehingga yang dimaksud beradab adalah melaksanakan seluruh perintah Allah, baik yang hukumnya wajib maupun yang sunah dan meninggalkan seluruh larangan Nya baik yang haram maupun makruh. Adapun dalam perkara-perkara yang mubah, yang paling sempurna adalah yang dipilih Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa Adab Islam adalah kesopanan, tata krama, moral Islam dimana hal tersebut adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan apa yang dilarang oleh Nya. Sebagaimana firman Allah :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ 

Padahal mereka hanya diperintah untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam beragama secara lurus, dan juga agar mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S Al-Bayyinah: 5)

Makna Akhlak

Di dalam bahasa Arab kata “akhlak” ( أخلاق ) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, kelakuan perangai, tabiat, adat, dan sebagainya. Kata akhlak ini mempunyai akar kata yang sama dengan kata khaliq yang bermakna pencipta dan kata makhluq yang artinya ciptaan, yang diciptakan, dari kata khalaqa, menciptakan. Dengan demikian, kata khulq dan akhlak yang mengacu pada makna “penciptaan” segala yang ada selain Tuhan yang termasuk di dalamnya kejadian manusia.

Sedangkan pengertian akhlak menurut istilah adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan suatu perbuatan dengan mudah karena kebiasaan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Akhlak juga merupakan sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan dengan sadar dan disengaja. Oleh karena itu, sifat yang lahir dalam perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan disengaja jika itu baik disebut akhlak terpuji/mulia (akhlak mahmudah atau akhlak al-karim), sedangkan perbuatan yang buruk disebut akhlak yang tercela/jelek (akhlak madzmumah atau akhlak asayi’ah)

Imam Ghazali mendefinisikan akhlak dengan  suatu sifat yang tertanam dengan kokoh di dalam jiwa manusia, yang menjadi sumber kahirnya perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan gampang dan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan yang terpuji dan indah, baik menurut akal maupun hukum, disebut akhlak yang baik (khuluq hasan). Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan jelek dan kotor, maka ia disebut akhlak kotor (khuluq sayyi’).

Lalu bagaimana akhlak dapat didapatkan oleh seorang Manusia?

Dalil-dalil di dalam Al-Quran dan Sunnah menunjukkan bahwa ibadah yang benar sesuai dengan adab-adabnya haruslah memiliki pengaruh kepada jiwa, akhlak, dan perilaku orang yang melaksanakannya. Shalat yang merupakan rukun Islam yang paling utama setelah Tauhid, sekaligus ibadah yang memiliki kedudukan khusus di dalam Islam, satu di antara hikmah disyariatkannya disebutkan oleh Allah  Subhânahu wata`âlâ  di dalam Al-Quran, yaitu untuk mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Allah  Subhânahu wata`âlâ  berfirman (yang artinya): "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran), dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui segala yang kalian kerjakan." [QS. Al-`Ankabût: 45]

Ketika Nabi  Shallallâhu `alaihi wasallam  dikabarkan tentang seorang wanita yang rajin melakukan shalat malam, tapi di pagi hari sering menyakiti tetangganya, beliau bersabda, "Perempuan itu di Neraka." Itu seakan menunjukkan bahwa hakikat shalat adalah pembersihan dan penyucian diri dari akhlak-akhlak tercela dan sifat-sifat buruk, sehingga barang siapa yang tidak mendapatkan manfaat dengan shalatnya pada sisi ini maka seolah-olah ia belum memetik buah terpenting dari shalatnya.

Puasa pun demikian halnya. Ia merupakan sarana pendidikan diri, sekaligus penghalang dari syahwat-syahwat terlarang, sebelum menjadi penghalang dari Makan dan minuman, minuman, dan keinginan-keinginan yang dibolehkan. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits, Rasulullah  Shallallâhu `alaihi wasallam  bersabda, "Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak memerlukan (puasanya) saat ia meninggalkan Makan dan minuman dan minumannya."

Al-Quran juga menyebutkan buah yang paling agung dari puasa, yaitu dalam firman Allah  Subhânahu wata`âlâ (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 183]

Dalam konteks yang sama, Nabi Shallallâhu `alaihi wasallam  menjelaskan bahwa barang siapa yang berpuasa karena menjalankan perintah Allah, maka ia harus istimewa dalam akhlak dan kesabarannya. Beliau bersabda, "Maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa pada suatu hari, janganlah ia berkata-kata kotor dan janganlah ia berteriak-teriak. Jika seseorang mencelanya atau memeranginya hendaklah ia berkata: 'Aku sedang berpuasa'."

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat sebagian orang melakukan hal yang sama sekali bertentangan dengan ajaran hadits ini. Ketika berpuasa, dada mereka menjadi sempit dan akhlak mereka menjadi buruk. Baru saja ada sedikit perselisihan paham, mereka langsung marah, mengangkat suara, dan menyakiti orang lain. Tapi jika dicela, mereka mengatakan bahwa mereka sedang berpuasa!! Apakah orang-orang seperti ini benar-benar telah mendapatkan buah dari puasa? Apakah mereka telah melaksanakan arahan Nabi  Shallallâhu `alaihi wasallam?

Jika Anda melihat ibadah zakat, Anda juga mendapatkan bahwa zakat pada dasarnya disyariatkan untuk membersihkan jiwa manusia dari kotoran-kotoran kebakhilan dan kerakusan, sekaligus membiasakan diri menjadi dermawan, suka memberi, gemar membantu, dan ikut merasakan penderitaan orang lain. Itulah sebabnya, Allah Subhânahu wata`âlâ  berfirman (yang artinya): "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan diri mereka." [QS. At-Taubah: 103]. Dengan demikian, zakat bukanlah pajak yang diambil paksa dari manusia, melainkan penanaman rasa belas-kasih dan kasih sayang terhadap sesama, sekaligus penguatan hubungan kenal-mengenal dan kecintaan antar anggota masyarakat.

Adapun ibadah haji yang dibebankan kepada kaum muslimin yang mampu, sesungguhnya bukanlah sekedar sebuah perjalanan menuju tempat suci yang dicintai oleh hati kaum muslimin. Bukan itu semata! Ia pada dasarnya merupakan perjalanan spiritual yang penuh dengan makna-makna mulia tentang keimanan, peningkatan kualitas ruhiyah, dan ketinggian akhlak. Oleh karena itu, tentang ibadah yang satu ini, Allah  Subhânahu wata`âlâ  berfirman (yang artinya): "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata atau berbuat kotor (rafats), berbuat fasik (dosa), dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal." [QS. Al-Baqarah: 197]

Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam pun selalu mengingatkan para shahabat beliau dalam melaksanakan haji, "Berlaku tenanglah, berlaku tenanglah."

Beliau juga menyampaikan pentingnya menghias diri dengan akhlak mulia dalam menunaikan haji, sekaligus memberikan kabar gembira berupa pahala yang besar untuk orang yang memenuhinya. Beliau bersabda, "Barang siapa yang menunaikan haji dengan tidak berkata atau berbuat kotor dan tidak pula berbuat fasik (dosa) niscaya akan keluar dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya."

Itulah ibadah-ibadah utama di dalam Islam. Dalil-dalil yang telah kita sebutkan tentang keutamaan dan anjuran melaksanakannya dengan jelas menunjukkan betapa lekat dan kuatnya hubungan antara agama dan akhlak, antara ibadah dan perilaku. Sesungguhnya ibadah-ibadah tersebut, walaupun berbeda-beda dari segi bentuk dan penampilannya, tetapi semuanya bermuara pada tujuan utama yang telah digambarkan oleh Rasulullah  Shallallâhu `alaihi wasallam  dalam sabda beliau: "Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak."

Imam Al-Ghazâli berkata, "Maka shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah-ibadah lainnya adalah tangga-tangga menuju kesempurnaan yang dicita-citakan. Semuanya laksana sungai-sungai untuk bersuci yang akan melindungi kehidupan dan meninggikan derajat hidup manusia. Oleh karena itu, sifat-sifat mulia yang berhubungan atau tumbuh dari ibadah-ibadah tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama Allah. Jika seseorang tidak mengambil manfaat dari ibadah-ibadah itu untuk menyucikan hatinya, serta mengasah hubungannya dengan Allah dan manusia, berarti ia telah gagal."

Jadi dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan syariat seluruhnya atau Adab yang benar akan menghasilkan akhlak yang kuat tertanam di dalam jiwa manusia. Sehingga Akhlakul karimah adalah merupakan hasil dari proses riyadhoh berupa pengamalan Adab-adab Islam.

Misalkan di dalam Adab masuk ke kamar mandi di ajarkan doa 

اللّٰهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك من الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ 

 “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan setan perempuan.”

Doa ini dibaca oleh Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam  ketika ia hendak masuk ke kamar kecil/wc/toilet. Redaksi doa ini dapat dirujuk dalam Kitab Jami Shahih Bukhari dan Jami Shahih Muslim melalui riwayat sahabat Anas bin Malik ra. Ada baiknya doa masuk kamar kecil/wc/toilet ini diawali dengan pembacaan basmalah. Pembacaan basmalah dapat menutup aurat manusia dari pandangan jin dan makhluk halus lainnya. Rasulullah bersabda sebagai berikut: 

وروينا عن علي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ستر ما بين أعين الجن وعورات بني آدم إذا دخل الكنيف أن يقول بسم الله رواه الترمذي 

“Diriwayatkan dari Sayyidina Ali radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam  bersabda, ‘Penghalang pandangan jin dan aurat manusia apabila ia memasuki kamar kecil/wc/toilet adalah bacaan ‘bismillāh,’” (HR At-Tirmiżi).

Disamping itu dalam hati manusia di ajarkan akhlak muroqobatullah ( merasa di awasi Allah ) walaupun sedang berada di tempat yang sangat privat. Maka jika adab ini dilakukan oleh seorang muslim, maka perasaan merasa selalu di awasi oleh Allah ini akan tertanam kuat sehingga akan menimbulkan rasa khauf jika berbuat maksiat kepada Allah.

Maka dari paparan di atas dapat kita simpulkan bahwan Ibadah dan Adab-adab Islami yang dilakukan dengan ikhlas dan benar secara istiqomah akan menghasilkan akhlakul karimah. Maka jika kita merujuk kepada ulama salaf, mereka sangat serius dalam menanamkan adab-adab Islami kepada anaknya secara khusus atau anak-anak kaum muslimin secara umum.

Al Imam Abu Abdillah Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta’ala, seorang tabi’ tabi’in, beliau berkata: “Mereka-mereka dulu (para salaf) tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk pergi menuntut ilmu hingga anak-anaknya telah diajar adab terlebih dahulu dan memperbanyak ibadah 20 tahun”

Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullahu ta’ala (seorang tabi’ tabi’in)., salah seorang ulama yang mengumpulkan seluruh cabang ilmu, dari ilmu hadits, qur’an, fiqh dan lain-lain. Beliau adalah sumber rujukan di samping keutamaan yang lain dari sisi ibadah, infak, jihad, dll), beliau mengatakan: “Saya menuntut adab selama 30 tahun dan saya menuntut ilmu cuma 20 tahun dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu”.

Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Sebagaimana Yusuf bin Al Husain juga berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata

تعلم من أدبه قبل علمه

“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Sangat besar perhatian mereka akan penanaman adab-adab Islami tentunya disebabkan karena mereka memahami betapa pentingnya penanaman adab ini dalam proses Pendidikan akhlak mulia.

Ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang sebagai prinsip-prinsip dalam Pendidikan Adab:

  1. Menanamkan Aqidah

Aqidah adalah pondasi penting di dalam membangun kekokohan pribadi anak. Akidah yang ditanamkan secara benar akan tertanam dalam kepribadian anak. Akidah ini juga yang akan menjadi dasar bagi sang anak dalam menjalani kehidupannya. Akidah ini ibarat sebuah akar dalam sebatang pohon. Jika akarnya kuat, maka pohon pun akan tumbuh dengan kokoh, batangnya sehat, rantingnya kuat daunnya rimbun, buahnya pun manis.

Aqidah juga menjadi sumber kebaikan seseorang. Begitu manusia yang memiliki akidah yang kokoh, maka dia akan menjadi pribadi yang kuat dalam pelaksanaan hukum Islam dan adab-adab islami. Menjadikan setiap gerak dalam hidupnya sebagai usaha untuk meraih ridho Allah subhanahu wa ta’alla sehingga dia akan konsisten memegang dan melaksanakan syariat dengan totalitas.

Diantara cara menanamkan aqidah juga dengan membiasakan anak mengucapkan dan menghayati kalimat thoyibah. Seperti membiasakan membaca basmalah sebelum memulai sesuatu, hamdalah setelah menyelesaikan sesuatu dan sebagainya. Dengan mengucapkan kalimat Thoyibah maka akan menjadi pengendali tersendiri bagi anak sehingga sang anak senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada Allah.

  1. Mengenalkan kepribadian dan sosok Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam

Mengajarkan dan mengenalkan kepribadian diri dan keteladanan keseharian Rasulullah shalallhu alaihi wa sallam. Hal ini dilakukan agar anak mengenal bagaimana sikap yang harus diteladani. Anak pun akan memiliki standar yang jelas terkait adab yang harus diikuti, yaitu Rasulullah. Lebih dari itu akan lahir kecintaan anak kepada keagungan sosok Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Maka dengan begitu anak akan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladannya dalam kehidupan.

  1. Teladan Orang Tua dan Pendidik

Untuk merekatkan nasehat supaya terwujud dalam kepribadian anak maka teladan adalah salah satu unsur terpenting. Bagaimana mungkin anak akan memiliki adab yang baik jika orangtua tidak mencontohkannya, atau mungkin apa yang disampaikan orangtua berbeda dengan apa yang dilakukan. Maka jika hal ini terjadi justru akan menimbulkan kebingungan tersendiri bagi anaknya. 

  1. Lingkungan yang Baik

Lingkungan yang baik disekitar anak sangat berdampak dalam pembiasaan perilaku baik anak. Jika di rumah kebiasaan baik sudah ditanamkan, tetapi di lingkungan masyarakat justru mengajarkan sebaliknya, maka anak akan cenderung mengikuti yang biasa dilakukan teman-temannya. Apalagi jika kebiasaan buruk itu termasuk yang menyenangkan dan melenakan, maka bukan tidak mungkin anak akan sangat mudah mengikutinya. Termasuk di sini adalah orangtua juga harus memilihkan teman bagi anak, dengan siapa dia bergaul dan bersahabat maka itu akan menentukan kebiasaanya. Rasulullah shalallhu alaihi wa sallam mengingatkan terkait hal ini dalam sabdanya ;

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari)

Diantara lingkungan yang mempengaruhi adalah media social. Menjadi keharusan bagi kita untuk mengontrol penggunaan media elektronik maupun media sosial. Kontrol dan pendampingan harus senantiasa dilakukan oleh orangtua. Jangan pernah membiarkan anak main gadget ataupun nonton TV sendiri tanpa dikontrol dan tanpa pendampingan.


Dalam Prakteknya orang tua dan pendidik dapat melaksanakan beberapa hal untuk menanamkan adab-adab Islami ini, diantaranya :

  1. Menanamkan Pendidikan dengan nasehat dan teladan

Sahabat Jabir radhiyallah’anhu berkata, “ Aku berbaiat kepada Rasuuah saw untuk meaksanakan sholat, membayar zakat dan menasehati setiap Muslim ( HR Bukhari Muslim )

Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah suri teadan yang baik ( Al Ahzab : 21 )

  1. Pembiasaan, perhatian dan pemantauan

Diceritakan pula oleh Abu Hurairah: “(Ketika) Hasan (cucu Nabi saw.) (masih kecil), ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah (zakat), lalu menjadikannya (masuk) ke dalam mulutnya, maka Nabi saw.  memerintahkan: Kikh kikh. “muntahkan, muntahkan.” agar membuangnya kemudian beliau bersabda: “Apakah kau tidak merasa bahwa kami tidak Makan dan minum sedekah.” (HR. Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

  1. Memberikan Hadiah dan hukuman yang layak

Kadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan memberikan hukuman jika diperlukan. Beliau bersabda :

 عَلِّقُوا السَوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ البَيْتِ، فَإِنَّهُ أدَبٌ لَهُمْ “

Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” ( Sahihul Jami’ )

  1. Mensholehkan diri dan senantiasa mendoakan anak

Allah Ta’ala berfirman dalam surat al kahfi bahwa Beliau menjaga keturunan orang sholeh.

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al Kahfi : 82)

Disamping itu wajib bagi pendidik untuk mendoakan anak-anak yang dididik. 

Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berkata,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِي

“Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.  (QS. Ash Shaffaat: 100)

Oleh karena itu dalam buku ini akan penulis sampaikan adab-adab Islami berdasarkan dalilnya. Disamping itu akan kami berikan table muntabaah sebagai pembiasaan bagi anak dan orangtua. Disamping hal tersebut Muntabaah juga dapat dijadikan sebagai acuan dan komitmen bersama untuk mensholehkan orangtua dan anak.

Al Quran dan Sunah Sebagai Pedoman Akhlak Mulia

Sayyidah Aisyah radhiyallahu`anhā ketika ditanya mengenai akhlak Rasulullah shallallāhu `alaihi wa sallam, beliau menjawab: “Akhlak rasulullah adalah Al Quran” (HR Ahmad).

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ 

Hadits ini menunjukkan bahwa kehidupan Rasulullah merupakan manifestasi riil Al Quran dalam kehidupan nyata. Maka sebagai seorang muslim maka wajib bagi kita untuk menjadikan Alquran ini sebagai pedoman  hidup dan pendidikan akhlak. 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat al-isra ayat ke 9 ;

إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا


"Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, "( Al Isra :9 ) 

Alquran membimbing dan memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan yang lebih lurus lebih selamat yang membuat manusia mendapat keberuntungan hakiki di dunia dan akhirat. Jalan yang lebih lurus dalam ayat tersebut adalah jalan yang datang dari Allah subhanahu wa ta'ala dan jalan tersebut merupakan pilihan dari Allah subhanahu wa ta'ala. 

Alquran adalah kitab Allah yang didalamnya tidak ada kesalahan sama sekali dan dia dapat menunjukkan kepada jalan yang lurus, maka keberuntungan Hakiki seorang manusia di dunia dan akhirat adalah ketika dia mengikuti petunjuk Alquran. Seorang manusia dapat membuahkan hasil mendapatkan petunjuk Jika dia menjadikan Alquran ini sebagai ajaran yang dipegang teguh dalam kehidupannya. Di dalam Alquran dijelaskan tentang nilai akhlak-akhlak mulia yang harus dimiliki seorang manusia dan perilaku perilaku tercela yang harus dijauhi oleh seorang manusia. Sehingga seorang yang mengaplikasikan akhlak-akhlak mulia dalam Al Quran akan mendapat derajat yang tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi) 

Ada berapa kaidah yang bisa dipegang dalam kita menjadikan Alquran ini sebagai pedoman kita dalam pendidikan akhlak mulia:

1. Setiap perintah Allah dalam Alquran, untuk beriman kepada Allah dan rasulnya, mengikuti ajarannya  berbuat adil, melakukan kebaikan hingga perintah-perintah yang berkaitan dengan makan dan minum semua mengandung nilai-nilai akhlak mulia yang manfaatnya kembali kepada manusia, baik sebagai individu keluarga masyarakat maupun negara untuk saat ini maupun di masa yang akan di yang akan datang . 

2. Setiap larangan dalam Alquran, mulai dari larangan untuk tidak menyekutukan Allah, larangan membangkang kepada RasulNya, berbuat dzolim, melakukan perbuatan keji hingga larangan-larangan yang berkaitan dengan kehidupan seperti larangan memakan riba, makan harta dengan cara yang batil, memakan daging yang disembelih dengan tanpa menyebut nama Allah dan larangan memakan barang haram, mengandung nilai Akhlak Yang Mulia. Tujuan larangan ini adalah untuk kemaslahatan umat manusia baik kapasitasnya sebagai individu, keluarga, masyarakat maupun negara. 

3. Setiap hukum yang terkandung dalam Alquran yang disyariatkan kepada umat manusia semuanya mengandung nilai-nilai akhlak yang luhur. Jika hukum-hukum tersebut diaplikasikan dalam kehidupan maka manfaatnya akan kembali kepada manusia yaitu terciptanya rasa aman dan tentram pada diri dan seluruh lapisan masyarakat 

4.Setiap berita dan kisah yang disampaikan Alquran bertujuan agar mendidik manusia memiliki akhlak mulia dan menjauhi perilaku tercela sebagaimana terdapat dalam Ibrah yang dapat dipetik dari setiap cerita atau kisah yang terdapat dalam Alquran. 

5. Setiap pembicaraan tentang surga dan semua nikmat yang dijanjikan oleh Allah kepada hambanya yang beriman juga pembicaraan tentang neraka yang siksanya bagi setiap orang yang kafir, pada dasarnya bertujuan untuk mengajak manusia untuk berakhlak mulia karena dengan berakhlak mulia lah seseorang dapat memperoleh surga dan terhindar dari siksa neraka.

6. Setiap ajakan untuk berjihad fisabilillah, rela berkorban dengan harta dan jiwa pada hakekatnya adalah ajakan untuk berakhlak mulia karena jihad bertujuan agar agama Allah tetap tinggi dan manusia tidak menyembah selain Allah dan tetap mengikuti ajaran Nabi. 

7. Setiap pembicaraan tentang setan dan bujukannya rayuannya, godaannya serta permusuhan nya dengan umat manusia juga ancaman siksa yang pedih bagi mereka yang mengikuti setan, pada dasarnya adalah ajakan untuk berakhlak mulia yaitu dengan menempatkan setan sebagai musuh yang harus diperangi dan segala tipu dayanya harus dihancurkan. Sungguh beruntung lah masyarakat yang selalu memerangi setan dan golongannya. 

Semua petunjuk yang terkandung dalam Al Quran menuntun manusia untuk berakhlak mulia. Seluruh kandungan tersebut adalah petunjuk dari Allah, baik yang lahir maupun batin. Seseorang yang mengikuti petunjuk Al Quran dengan konsisten akan melatih manusia memiliki akhlak terpuji dan memiliki sikap selalu menjauhi menjauhi semua perilaku tercela. Maka Ibadah dengan adab-adabnya sesuai dengan arahan Al Quran akan mampu menanamkan akhlak mulia yang akan tertanam dalam diri seorang mukmin.

Ta'Rouf Yusuf, S.Pd

Pengantar Pendidikan Akhlak Mulia

Pengantar Tujuan utama di utusnya Nabi Muhammad shallahu alaihi wa salla adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Proses tersebut dilakukan...