Pertanyaan
Ustad tanya,
1. apa setan , iblis dan jin itu sama?
2. Kalau orang kesurupan itu yang mengganggu setan iblis atau jin?
3. Bagaimana Cara menyembuhkan kan orang yang kesurupan?
Sapta H
Jawaban:
إبليس
adalah nama nenek moyang dari bangsa jin. Sebagaimana Adam adalah seorang nenek moyang dari manusia. Allah menciptakan Iblis dari nyala api.
Iblis (dari bahasa Arab yang artinya "dia yang dipukul memar"). Alkitab tak punya literatur tentang Setan, selain dari perjanjian lama: ha-Satana, yang berarti musuh. Definisi setan ini lalu diadopsi oleh bahasa Yunani: diabolos yang dalam bahasa Inggris disebut devil.
Dalam bahasa Arab nama Iblis berasal dari kata balasa بَلَسَ, meaning yang artinya menyesal. Maka nama Iblis diartikan "Yang akan terus menyesal di dunia dan di akhirat"
Kata Syaithon atau (شيطان) setan adalah kata sifat yang dibendakan. makna syaitan adalah yang jahat atau tipu daya, bisikan kejahatan. Kita dianjurkan untuk berlindung dari syaitan dari jenis Jin dan manusia sebagaimana yang ada dalam surat An Nas.
Jin memiliki dunia yang berbeda dengan manusia. Jin mampu melihat manusia sedangkan manusia tidak mampu melihat jin. Mereka juga punya kemampuan untuk bergerak dengan kecepatan tinggi dan juga mampu memasuki dunia manusia dalam wujud yang mereka kehendaki. Jin dapat menyerupai hewan ataupun manusia. Jin juga dapat masuk dalam aliran darah manusia sehingga mampu juga mengganggu manusia secara fisik dan psikis. Maka fenomena kesurupan adalah satu hal yang bisa terjadi pada seseorang karena gangguan jin
Cara mengatasinya adalah dengan meminta perlindungan kepada Allah dengan membaca Al Quran dan doa doa tetrtentu yang bisa dibaca sendiri atau dibacakan orang lain
Ustad Hasimi Al Baturi
Saturday, 1 October 2016
Iblis, setan, jin, kesurupan dan terapinya
Friday, 30 September 2016
Tata Cara Ruqyah
Tata cara meruqyah :
1. Menanamkan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.
2. Ruqyah dengan menggunakan bacaan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa lain yang jelas , dapat dipahami dan tidak menyimpang dari aqidah yang benar.
3. Mengikhlaskan niat dan khusyu ' menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan berdoa.
4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun.
Pada dasarnya seluruh bagian Al Quran dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang disebutkan dalam dalil-dalil dari hadits akan lebih berpengaruh.
5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.
6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan fasih dan jelas agar penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.
7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah dengan cara meniup dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang tiupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani, 17/184].
8. Diperbolehkan jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun. Disebutkan dalam hadits Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُوْا الزَيْتَ وَ ادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة
“Makanlah minyak zaitun , dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah”.
9. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah, tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. [HR Muslim, Syarah An Nawawi (14/180].
Imam An Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat yang shahih tentang itu yang telah aku himpun dalam kitab Al Adzkar”.
10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillah, 3 kali).
أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti”.
Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi sampai tujuh kali.
Atau membaca :
بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَِّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا
“Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini”.
Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.
11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki atau tangan misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebutkan dalam hadits Muhammad bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al Jalal, ia berkata: Aku datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan Nabi. Aku berkata: “Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih meludahi kedua tanganmu seraya membaca doa:
أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
“Hilangkan penyakit ini wahai Penguasa manusia. Sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali penyembuhanMu, obat yang tidak meninggalkan penyakit”
Dia (Ummu Jamil) berkata: “Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali tanganmu telah sembuh”.
12. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ubay bin K’ab , ia berkata: “Dia bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka aku mendengar Beliau membentenginya (ta’widz) dengan surat Al Fatihah”.
Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah, penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata yang jahat (‘ain), penyebaran bisa racun (humah) dan penyakit namlah (humah). Berkaitan dengan masalah ini, Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Maksudnya, ruqyah bukan berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa Beliau ditanya tentang tiga hal itu, dan Beliau membolehkannya. Andai ditanya tentang yang lain, maka akan mengizinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi isyarat buat selain mereka, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga keluhan tadi”. (Shahih Muslim, 14/185, kitab As Salam, bab Istihbab Ar Ruqyah Minal ‘Ain Wan Namlah).
13. Dalam prosesi ruqyah tidak boleh melanggar apa-apa yang di larang oleh Allah.
Wallahu a'lam
Monday, 5 September 2016
Fiqih Idhul Adha
- Mandi. Dalilnya:
أن رجلا سأل عليا ، رضي الله عنه ، عن الغسل ، فقال : غتسل كل يوم إن شئت ، قال : لا بل الغسل, قال اغتسل كل يوم جمعة ، ويوم الفطر ، ويوم النحر ، ويوم عرفة“Seorang lelaki bertanya kepada Ali radhiallahu’anhu tentang mandi, ia menjawab: ‘Mandilah setiap hari jika engkau mau’. Lelaki tadi berkata: ‘bukan itu, tapi mandi yang benar-benar mandi’. Ali menjawab: ‘Mandi di hari Jum’at, Idul Fitri, Idul Adha dan hari Arafah’” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1/177)
- Memakai pakaian yang terbaik. Sebagaimana diriwayatkan dari Nafi’:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَلْبَسُ فِي الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ“Ibnu Umar biasa mengenakan bajunya yang terbaik pada Idul Fitri dan Idul Adha” (HR. Al Baihaqi 6143, dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/510)
- Tidak makan hingga kembali dari shalat Id. Dalilnya hadits Buraidah:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلم لا يخرجُ يومَ الفطرِ حتَّى يَطعَم ، ويومَ النحرِ لا يأكل حتَّى يرجعَ فيأكلَ من نَسِيكتِهِ“Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasanya tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga makan terlebih dahulu, dan tidak makan pada hari Idul Adha hingga beliau kembali dari shalat, lalu makan dengan daging sembelihannya” (HR. Muslim 1308)
- Mengambil jalan yang berbeda ketika pergi shalat Id. Dalilnya hadits Jabir:
كان النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا كان يوم عيدٍ خالَفَ الطريقَ“Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasanya ketika hari Id mengambil jalan yang berbeda antara pulang dan pergi” (HR. Bukhari 986)
- Sebagian ulama menganjurkan untuk menyegerakan pelaksanaan shalat
Idul Adha, dengan kata lain jika dimulai lebih pagi itu lebih baik.
Diriwayatkan secara mursal bahwa:
كتَب إلى عمرِو بنِ حزْمٍ وهو بنَجْرانَ عجِّلِ الأضحى وأخِّرِ الفطرَ وذكِّرِ الناسَ“Nabi Shallallahu’alahi Wasallam mengirim surat kepada Amr bin Hazm ketika ia di Najran agar ia menyegerakan shalat Idul Adha dan mengakhirkan shalat Idul Fitri dan mengingatkan manusia”(HR. Al Baihaqi 3/282). Pada Idul Fitri tujuannya untuk melonggarkan waktu pembayaran zakat fitri, sedangkan pada Idul Adha untuk menyegerakan penyembelihan sehingga waktunya lebih luas (Mulakhash Fiqhi, 1/270)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Id, sebagian mengatakan wajib, sebagian ulama mengatakan hukumnya sunnah. Oleh karena itu, setiap muslim yang tidak memiliki uzur dan halangan hendaknya bersemangat untuk menjalankan ibadah ini. Terlebih lagi, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan para wanita yang sedang haid dan wanita yang dipingit untuk hadir di lapangan walau mereka tidak ikut shalat Id. Sebagaimana hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhiallahu’anha :
Tata Cara Shalat Id
- Tidak ada adzan dan iqamah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir Radhiallahu’anhuma :
لم يكن يُؤذَّن يوم الفطر ولا يوم الأضحى“Tidak pernah ada adzan pada shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha” (HR. Bukhari 960, Muslim 886)
- Tata cara shalat Id umumnya sama seperti shalat biasa. Hanya saja ia
dikerjakan sebanyak dua rakaat. Dan bertakbir sebanyak 7 kali pada
rakaat pertama, atau 5 kali pada rakaat kedua, sebelum membaca yang
lain, tidak termasuk takbiratul ihram, takbir intiqal dan takbir untuk
rukuk. Dalilnya hadits ‘Aisyah:
أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – كان يكبر في الفطر والأضحى: في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمساً، سوى تكبيرتي الركوع“Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam biasanya bertakbir pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat kedua, tidak termasuk takbir untuk rukuk” (HR. Abu Daud 1150, Ibnu Majah 1280, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 639)
- Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam biasanya membaca surat Al A’laa dan Al Ghasiyah terutama jika hari Id jatuh pada hari Jum’at, atau terkadang juga surat Qaf dan Al Qamar (lihat hadits Muslim 878, 891).
- Diikuti dengan khutbah setelah selesai shalat. Dalilnya hadits Ibnu Abbas:
شهدتُ العيد مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم، فكلهم كانوا يُصَلُّون قبل الخُطبة“Aku ikut shalat Id bersama Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum. Mereka semua shalat sebelum khutbah” (HR. Bukhari 962, Muslim 884).
Mendengarkan khutbah hukumnya sunnah dan tidak berpengaruh pada keabsahan shalat Id. Beradasarkan hadits:
إنَا نخطب، فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب“Aku (Rasulullah) akan berkhutbah. Siapa yang ingin duduk mendengarkan, silakan. Siapa yang ingin pergi, juga silakan” (HR. Abu Daud 1155, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami 2289) - Tidak ada shalat khusus sebelum (qabliyah) atau setelah (ba’diyah) shalat Id. Dalilnya hadits Ibnu ‘Abbas :
أن النبي – صلى الله عليه وسلم – صلى يوم الفطر ركعتين، لم يُصَلِّ قبلَها ولا بعدها“Nabi Shallallahu’alahi Wasallam shalat di hari Idul Fitri dua rakaat tanpa menyambung dengan shalat sebelum atau sesudahnya” (HR. Bukhari 989)
- Jika Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, boleh meninggalkan shalat
Jum’at pada siang harinya, dengan kata lain cukup shalat Zhuhur saja.
Namun jika tetap melaksanakan shalat Jum’at juga diperbolehkan. Dalilnya
hadits Zaid bin Arqam:
أنه صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى العيدَ ، ثم رخَّص في الجمعةِ ، فقال : من شاء أن يُصلِّيَ فلْيُصلِّ“Nabi Shallallahu’alahi Wasallam shalat Id, lalu beliau memberi keringanan untuk tidak melakukan shalat Jum’at, tapi beliau bersabda: ‘siapa yang ingin shalat, silakan’” (HR. Abu Daud 1070, An Nasa’1 3/194, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Allah Ta’ala berfirman:
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsiran ayat ‘hari-hari yang ditentukan‘. Yang shahih, sesuai dengan riwayat shahih yang keluarkan Ibnu Abi Syaibah (2/165) dari Ali radhiallahu’anhu bahwasanya takbiran Idul Adha dilakukan sejak subuh tanggal 9 Dzulhijjah hingga setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah (Al Wajiz, 1/160).
Fiqih Qurban
Amalan Awal Bulan Dhulhijhah
1. Memperbanyak puasa di sembilan hari pertama.
Dianjurkan memperbanyak puasa di sembilan hari bulan Dzulhijjah. Dan ditekankan puasa hari arafah, tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qatadah radliallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Dari Ummul Mukminin, Hafshah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa asyura, sembilan hari pertama Dzulhijjah, dan tiga hari tiap bulan. (HR. An Nasa’i, Abu Daud dan Ahmad).
2. Memperbanyak takbiran.
Lafadz takbiran, sama seperti umumnya takbiran yang kita kenal.Takbiran pada bulan Dzulhijjah ada dua macam:
A. Takbiran yang bersifat mutlak (tidak terikat waktu)
Takbiran mutlak adalah takbiran yang dilakukan kapan saja dan dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.
Takbir mutlak menjelang Idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah dan berakhir hingga waktu asar tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah ini, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst.
Anjuran takbiran selama tanggal 1 sampai 13 Zulhijah ini berdasarkan beberapa dalil berikut,
A. Firman Allah,
Kemudian di ayat lain, Allah juga berfirman,
Keterangan:
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
B. Hadis dari Abdullah bin Umar , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
C. Praktek beberapa sahabat,
B. Takbiran yang terikat waktu (Takbir Muqayyad)
Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan salat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut beberapa dalil yang menunjukkan anjuran takbiran ini,
A. Riwayat dari Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu,
B. Riwayat dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu,
C. Keterangan dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhu,
D. Riwayat dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu,
3. Memperbanyak amal salih
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Hadis ini menunjukkan kita dianjurkan memperbanyak amal soleh selama 10 hari pertama dzulhijjah. Apapun bentuk amalnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan amal ibadah khusus selain takbiran dan puasa arafah.
4. Shalat Idul Adha
Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,5. Menyembelih Hewan Qurban
Allah berfirman:Ibadah qurban memiliki nilai sangat penting, sehingga bagi yang mampu, agar jangan sampai meninggalkannya. Anda bisa perhatikan hadis ini,
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bagi orang yang hendak berkurban, dilarang memotong kuku dan juga rambutnya (bukan kuku dan bulu hewannya) ketika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah sampai dia memotong hewan kurbannya.
Dari Umu salamah radliallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
Monday, 20 June 2016
KENIKMATAN PENDUDUK SURGA PALING BAWAH
Penghuni Surga yang Paling Rendah Tingkatannya adalah Yang Memiliki Kekuasaan Seluruh Dunia Sejak Allah Ciptakan hingga Allah Hancurkan (Saat Kiamat) Ditambah 10 Kali Lipat.
Sebagaimana disebutkan dalam Hadits tentang Seseorang yang Paling Akhir Dikeluarkan dari Neraka menuju Surga:
فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا
Sesungguhnya Bagimu Kekuasaan seperti di Dunia dan Sepuluh Kali Lipatnya. (H.R Al-Bukhari no 6086 dan Muslim no 272).
أَلَنْ تَرْضَى إِنْ أَعْطَيْتُكَ مِثْلَ الدُّنْيَا مُذْ يَوْمِ خَلَقْتُهَا إِلَى يَوْمِ أَفْنَيْتُهَا وَعَشَرَةَ أَضْعَافِهَا
(Allah menyatakan) : Tidakkah Engkau Ridha jika Aku Berikan Kepadamu Semisal Dunia sejak Aku Ciptakan hingga Hari Aku Hancurkan dan (Ditambah) 10 Kali Lipatnya. (H.R Ibnu Abid Dunya, AtThobarony, Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Al-Albany dalam Shahih atTarghib no 3591).
Sebagian Riwayat Menyatakan bahwa Penghuni Surga Paling Bawah tersebut Disuruh oleh Allah untuk Berharap dan Berangan-angan Apa Saja yang ia inginkan, hingga Saat Telah Habis Apa yang Dia Angankan, kemudian Allah Menyatakan Kepadanya : Untukmu 10 Kali Lipat dari itu.
Kemudian Dia Mengatakan : Tidak Ada Seorangpun yang Mendapatkan Kenikmatan seperti Aku. Padahal ia adalah Orang yang Terakhir Masuk Surga dan Berada di Level Paling Bawah.
Penduduk Surga Tingkatan Paling Bawah adalah Seseorang yang Memiliki 1000 Pelayan.
Tiap Pelayan Memiliki Tugas yang Berbeda-beda dalam Melayaninya. Sahabat Nabi Abdullah bin Amr Radhyiallahu Anhu Menyatakan :
إِنَّ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً مَنْ يَسْعَى عَلَيْهِ أَلْفُ خَادِمٍ كُلُّ خَادِمٍ عَلَى عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
Sesungguhnya Penduduk Surga yang Paling Bawah adalah Seseorang yang 1000 Pelayan Bergegas (Melayaninya). Setiap Pelayan Memiliki Tugas yang Berbeda dengan yang Lain. (H.R Al-Baihaqy dan Dishahihkan Syaikh Al-Albany dalam Shahih AtTarghib).
Dalam sebagian Riwayat dijelaskan Bahwa Ketika Penghuni Surga Paling Bawah itu akan Masuk ke istananya, ia Melihat Sosok yang Sangat indah dan Mengira itu adalah Malaikat, Padahal itu adalah Salah satu dari 1000 Pelayannya. Kemudian dia Masuk ke Dalam istananya yang Berupa Permata Hijau Kemerah-merahan Setinggi 70 Hasta (Sekitar 32 Meter) dan Memiliki 60 Pintu, yang Setiap Pintu Menghantarkan pada Ruangan berupa Permata yang lain, yang Bentuknya Berbeda Satu Sama Lain. Tiap Ruangan Permata itu Memiliki Ranjang dan Bidadari. (Shahih atTarghib no 3591).
Akan Ada 2 Bidadari yang Menyambutnya dan Berkata :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَاكَ لَنَا، وَأَحْيَانَا لَكَ
Segala Puji Bagi Allah yang Telah Menghidupkanmu Untuk Kami dan Menghidupkan Kami Untukmu (H.R Muslim no 311).
Orang itu Bisa Melihat Area Kekuasaannya Sejauh Perjalanan 100 Tahun (Hadits Ibnu Mas’ud Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Disepakati oleh Adz-Dzahaby).
Itu adalah Kenikmatan yang Dirasakan oleh Penghuni Surga Terbawah yang Masuk Surga Paling Akhir dan Dia Sempat Merasakan AnNaar (Neraka). Bagaimana dengan Penduduk Surga yang di Atasnya? ️ Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Memasukkan Kita ke Dalam SurgaNya yang Penuh dengan Kenikmatan.
"Akidah Imam Al-Muzani (Murid Imam Asy-Syafii)"
Posted via Blogaway
Monday, 6 June 2016
Fikih Sholat Isyraq
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ ».
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian duduk berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala haji dan umrah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan: “Sempurna..sempurna..sempurna…” (HR. At Turmudzi no.589 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Syaikh Mukhtar As Sinqithi memberikan penjelasan hadis ini, bahwa keutamaan ini hanya dapat diraih jika terpenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
Pertama, Shalat subuh secara berjamaah. Sehingga tidak tercakup di dalamnya orang yang shalat sendirian. Zhahir kalimat jamaah di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di perjalanan, atau di rumah bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena udzur.
Kedua, duduk berdzikir. Jika duduk tertidur, atau ngantuk maka tidak mendapatkan fadlilah ini. Termasuk berdzikir adalah membaca Alquran, beristighfar, membaca buku-buku agama, memebrikan nasihat, diskusi masalah agama, atau amar ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga, duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari. Tidak boleh pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk mengambil mushaf Alquran atau untuk kepentingan lainnya maka tidak mendapatkan keutamaan ini. Karena keutamaan (untuk amalan ini) sangat besar, pahala haji dan umrah “sempurna..sempurna..sempurna” sedangkan maksud (duduk di tempat shalatnya di sini) adalah dalam rangka Ar Ribath (menjaga ikatan satu amal dengan amal yang lain), dan dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian duduk di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa dia tidak boleh meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk mendapatkan fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak perhatian dan usaha yang keras, sehingga seorang hamba harus memaksakan dirinya untuk sebisa mungkin menyesuaikan amal ini sebagaimana teks hadis.
Keempat, shalat dua rakaat. Shalat ini dikenal dengan shalat isyraq. Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari setinggi tombak. (Syarh Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68).
Apakah harus duduk ditempat shalatnya?
Penjelasan Syaikh As Sinqithi di atas menunjukkan dengan tegas bahwa beliau mempersyaratkan harus duduk di tempat shalatnya dan tidak boleh geser atau berdiri sedikit pun. Beliau berdalil dengan tambahan riwayat: “…duduk di tempat shalatnya..” Namun sebenarnya ulama berselisih pendapat dalam memahami lafadz: “…duduk di tempat shalatnya…”
Al Hafidz Ibn Rajab Al Hambali mengatakan, “Ada perbedaan dalam memahami lafadz ‘..tempat shalatnya..’. Apakah maksudnya itu tempat yang digunakan untuk shalat ataukah masjid yang digunakan untuk shalat?” kemudian Ibn Rajab membawakan hadis riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bangkit dari tempat shalat subuh sampai terbit matahari.
Setelah membawakan dalil ini, Ibn Rajab berkomentar, “…dan diketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah duduk di tempat yang beliau gunakan untuk shalat. Karena setelah shalat (wajib), beliau berpaling dan menghadapkan wajahnya kepada para sahabat radhiallahu’anhum. (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Rajab 5:28).
Mula Ali Al Qori mengatakan, “…kemudian duduk berdzikir… maksudnya adalah terus-menerus di tempatnya dan masjid (yang dia gunakan untuk shalat jamaah subuh). Hal ini tidaklah (menunjukkan) terlarangnya berdiri untuk melakukan thawaf, belajar, atau mengikuti majlis pengajian, selama masih di dalam masjid. Bahkan andaikan orang itu pulang ke rumahnya sambil terus berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, dia masih (mendapatkan fadhilah sebagaimana) dalam hadis ini.” (Mirqatul Mafatih, 4:57).
Keterangan Mula Ali Al Qori yang memasukkan orang yang pulang ke rumah selama berdzikir ke dalam hadis ini, bisa dianggap kurang tepat. Karena zhahir hadis secara tegas menunjukkan harus duduk berdzikir di dalam masjid. Sedangkan keterangan Ibn Rajab bolehnya berpindah tempat ketika berdzikir selama masih di dalam masjid lebih mendekati kebenaran. Mengingat tidak adanya persyaratan dalam hadis di atas yang menunjukkan tidak bolehnya bergeser dari tempat yang digunakan untuk shalat.
Akan tetapi, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga amal maka ada baiknya jika mengikuti pendapatnya Syaikh As Sinqithy dengan tidak bergeser dari tempat shalatnya. Wallahu a’lam.
Bagaimana jika jamaah shalat subuhnya di rumah atau di selain masjid?
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa hukum shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki dewasa adalah wajib, kecuali jika ada udzur (berhalangan). Terlalu banyak dalil untuk menunjukkan wajibnya shalat jamaah di masjid bagi laki-laki. Sementara dalam hadis fadlilah shalat isyraq di atas mempersyaratkan harus berjamaah. Maka khusus untuk laki-laki dewasa, yang tidak memiliki udzur untuk meninggalkan jamaah, diharuskan melaksanakan shalat subuh di masjid.
Syaikh Abdul Aziz Ibn Bazz ditanya tentang hadis fadlilah shalat isyraq, apakah tinggal di rumah setelah shalat subuh untuk membaca Alquran sampai terbit matahari kemudian shalat dua rakaat, dia mendapat pahala sebagaimana yang berdzikir di masjid?
Syaikh Ibn Bazz menjawab:
“Amal ini memiliki banyak keutamaan dan pahala yang besar. Namun teks hadis yang ada, menunjukkan orang yang tinggal di rumah tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang duduk di tempat shalatnya di masjid. Tetapi jika orang itu shalat subuh di rumah karena sakit atau karena takut, kemudian duduk di tempat shalatnya sambil berdzikir dan membaca Alquran sampai matahari meninggi kemudian shalat dua rakaat, maka orang ini mendapatkan pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadis. Karena orang ini memiliki udzur untuk shalat di rumahnya. Demikian pula wanita. Jika seorang wanita shalat subuh (di rumahnya) kemudian duduk berdzikir di tempat shalat di dalam rumahnya sampai terbit matahari maka dia juga mendapat pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadis…”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibn Bazz, 11:218)
oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Konsultasisyariah.com
Al Fatihah Bagian 4
Tadabur Al Fatihah bagian ke 4 ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus, Permintaan yang diajarkan Allah yang per...
-
A. Tadabbur Menurut Bahasa Tadabbur berasal dari kata: تَدَبَّرَ اْلأَمْرَ و َ فِيْهِ : دَبَّرَهُ . Artinya: Tadabbaral Amra wa Fihi : ...
-
Pertanyaan : Ustadz mau tanya hukum lomba burung merpati? Bolehkah? Sapta H Jawab : Di sekitar kita marak sekali lapak balap merpati dan...
-
إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (1) قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَ...