Pengertian Pembelajaran Model Deep Learning
Thursday, 25 November 2021
Strategi Belajar Mengajar Deep Learning
Tuesday, 26 January 2021
Perintahkanlah Anakmu Shalat
Shalat adalah pilar kedua dari lima pilar Islam. Shalat merupakan tiang agama, sehingga agama tidak akan pernah bisa dibangun dan tegak berdiri tanpa pilar shalat.
Sahabat
Umar pernah berkata kepada salah seorang pegawainya," Menurutku, urusan
terpenting kalian adalah shalat. Siapa yang mengabaikan shalat berarti terhadap
hal-hal selain shalat dia akan lebih mengabaikan." Dari perkataan Umar ini dapat kita simpulkan
bahwa sumber segala kebaikan adalah shalat. Termasuk sumber kebaikan- kebaikan
anak-anak kita di awali dari shalat.
Rasulullah
shallallahu ‘a laihi wa sallam bersabda
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah
anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun dan pukulah mereka jika
tidak shalat saat berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat
tidur.” (HR : Abu Dawud )
Anak
adalah amanah yang dititipkan Allah kepada orang tua. Maka, mendidik anak
merupakan kewajiban orang tua karena termasuk pelaksanaan amanah. Terlebih
khusus mendidik anak untuk shalat, karena ada perintah langsung dari Rasulullah
untuk memerintahkan anak shalat. Dalam hadits di atas disebutkan “perintahkanlah”,
kalimat ini disebutkan dengan kalimat perintah, dan kalimat perintah
menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan.
Imam
asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar tentang hadits itu “Hadits di atas
menunjukkan wajibnya orang tua memerintahkan anaknya untuk shalat.”
Syeikh
Izzuddin bin Abdus Salam dalam Aunul Ma'bud berkata, “Hadits ini adalah
perintah untuk para wali bukan perintah untuk anak kecil, karena anak kecil
bukan sasaran hadits ini”
Sebagai
orang tua kita berkewajiban mendidik anak untuk shalat, maka jika ia melalaikan
kewajibannya maka ia akan diminta pertanggungjawabannya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah,
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas
yang ia pimpin, seorang amir adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas
rakyatnya, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung
jawab atas keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan
anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba adalah pemimpin
atas harta tuannya, maka ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah setiap dari
kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.” (HR:
Bukhari- Muslim)
Disebutkan
dalam hadits ini “seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia
bertanggung jawab atas keluarganya”, termasuk di dalamnya adalah bertanggung
jawab atas pendidikan anak-anaknya terlebih khusus pendidikan agama.
Setelah
Rasulullah memerintahkan orangtua untuk memerintahkan shalat, dari hadits ini
kita juga bisa mengambil cara bagaimana mendidik anak untuk shalat. Pendidikan
shalat melalui beberapa tahap, yaitu : mengajarkan dan membiasakan anak shalat,
memerintahkan anak untuk shalat, dan yang ketiga adalah memukul anak jika
enggan atau membangkang saat diperintah untuk shalat.
Tahap
pertama, yaitu tahapan mengajarkan dan membiasakan anak shalat harus dilakukan
sebelum anak mencapai umur tujuh tahun. Karena saat anak berumur tujuh tahun,
ia sudah diperintahkan untuk shalat. Agat efektif, dalam mengajarkan dan
membiasakan shalat maka kita harus menyesuaikan dengan perkembangan psikologis.
Di usia ini kita sebagai orang tua harus menjadi teladan dalam shalat,
memberikan hadiah jika diperlukan dan mendo'akan dengan intens. Usahakan untuk
tidak memaksa dan memberi beban yang lebih dari kemampuan anak agar anak tidak
kehilangan kecintaan akan shalat. Tumbuh kembangkan rasa kecintaan kepada
shalat yang merupakan fitrah anak.
Di antara
perkataan salaf yang mendukung bahwa anak sudah mulai diajari shalat sebelum
berumur tujuh tahun adalah perkataan Ibnu Umar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mulai mengajari anak-anak shalat saat mereka bisa membedakan mana kanan
mana kiri.”
Jundub bin
Tsabit berkata, “Mereka mengajari anak-anak untuk shalat saat mereka bisa
berhitung sampai angka dua puluh.”
Kedua
atsar ini menjelaskan bahwa mengajari anak shalat dilakukan sebelum anak
berusia tujuh tahun, karena usia-usia tersebut anak sudah mampu membedakan mana
kanan dan mana kiri dan sudah mampu berhitung sampai angka dua puluh. Anak yang
sudah bisa membedakan kanan kiri atau menghitung hingga angka dua puluh tidak
harus berusia tujuh tahun.
Selain
itu, makna sabda Nabi “perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat” secara implisit
merupakan perintah kepada orang tua untuk mengajari anak-anak shalat, termasuk
rukun-rukun shalat, syarat-syarat sah shalat, dan lain sebagainya.
Adapun
waktu untuk memerintahkan anak shalat adalah saat anak berusia tujuh tahun.
Karenanya, Imam Abu Dawud membuat bab khusus dalam kitabnya “Bab kapan anak
diperintahkan untuk shalat” lalu menyebutkan hadits di atas. Perlu dipahami,
bahwa memerintahkan anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun bukanlah
perintah bersifat wajib, namun perintah untuk membiasakan anak shalat.
Imam
asy-Syaukani menyebutkan dalam Nailul Authar, “Bab diperintahkannya anak kecil
untuk shalat sebagai pembiasaan bukan pengharusan”.
Mengapa
harus usia tujuh tahun, di antara hikmahnya adalah Anak usia tujuh tahun sudah
mulai meluas lingkungan bermainnya dan pengetahuannya, maka harus diimbangi
dengan lingkungan agamis dan pengetahuan islami. Umur tujuh tahun juga
masa-masa paling bagus bagi anak belajar segala macam ketrampilan, maka jika ia
telah terampil menjalankan shalat, niscaya ia akan menjaga shalatnya saat telah
tumbuh dewasa.
Anak usia
tujuh tahun telah bisa membedakan, dan ia selalu melakukan perbuatan yang
diperintahkan orang tuanya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang
tuanya, sehingga jika diperintahkan untuk shalat niscaya ia segera memenuhinya.
Berbeda
saat anak telah berusia sebelas tahun, maka memenuhi perintah orang tua tanpa
ada perdebatan dulu merupakan sifat kekanak-kanakan menurut mereka. Dan jika
anak telah tumbuh dewasa, maka jika ia bisa membantah perintah kedua orang tua
biasanya ia akan merasa bahwa dirinya telah dewasa.
Oang tua
juga harus memerintahkan anaknya saat usia tujuh tahun dengan memberi motivasi
dan ajakan yang baik agar anak terbiasa shalat dengan cara terbaik yang bisa
dilakukan. Kemudian saat anak usia sepuluh tahun, maka ia diperintahkan dengan
perintah yang bersifat wajib, agar anak mau mengerjakan shalat. Jika anak
enggan atau tidak memenuhi seruan orang tua, maka orang tua boleh memberikan
pukulan mendidik yang bisa membuat mereka jera dan tidak menyakiti.
Perlu
diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk mendidik anak.
Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara lainnya terlebih dahulu,
seperti menasihati, kemudian memperingatkan dengan keras, memberi ancaman
hukuman jika memang anak termasuk orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika
ketiga cara ini tidak mempan, barulah ia memukul anaknya.
Tentunya,
saat memukul harus memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tidak
lebih dari sepuluh kali, karena tujuan memukul adalah mendidik bukan menyakiti.
Hal ini sesuai sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّه
“Tidak
boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam hukuman pasti dari
hukuman-hukuman yang Allah tentukan.” (HR: Bukhari)
2. Tidak
memukul wajah, karena di wajah terdapat mata, hidung, mulut, lisan, dan
bagian-bagian vital lainnya. Sehingga jika salah satu dari bagian ini cidera
atau terganggu maka akan hilang fungsi vital dari organ tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ
“Apabila
salah seorang di antara kalian hendak memukul, hendaklah ia menjauhi wajah.”
(HR Ahmad)
3. Tidak
memukul pada anggota tubuh yang vital dan membahayakan, seperti kemaluan, perut
dan yang semisalnya.
4. Tidak
memukul saat emosi dan marah. Karena marah hanya akan menyeret pelakunya kepada
kebrutalan. Sehingga ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Memukulnya harus
ikhlas karena Allah.
Jika orang
tua memukul anaknya sesuai ketentuan-ketentuan di atas, maka hal ini
diperbolehkan dan ia tidak berdosa. Adapun memukul anak dengan pukulan yang
kelewat batas, maka ia berdosa. Hendaklah ia selalu ingat sabda rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاه
“Sesungguhnya
Allah lembut dan menyukai kelembutan, Allah memberikan manfaat atas kelembutan
dengan manfaat yang tidak diberikan atas kekerasan dan tidak diberikan kepada
yang lainnya pula.” (HR: Muslim)
Maka jika
hadits Nabi ini kita amalkan dengan sepenuh hati, maka anak-anak yang mencintai
shalat in sya Allah akan terwujud. Kebaikan shalat anak ini juga akan
mengundang kebaikan-kebaikan agama yang lain.
Wallahu
a'lam
Temanggung,
5 Muharram 1438.
Ta' Rouf
Yusuf
Sunday, 26 January 2020
Jangan Jauhkan Masjidmu dari Anak-Anak
Kemarin sempat ada obrolan rame terkait hadits ini selepas kajian sore. Sebenarnya sudah agak lama dengar hadits ini di sebuah khutbah tapi belum nggeh. Baru kemarin setelah dengar lagi di pengajian sore jadi pengen tahu. Lalu penasaran nyari hadits ini ada di mana. haditsnya berbunyi
جنبوا مساجدكم صبيانكم ومجانينكم
“Jauhkan masjid mu dari anak-anak dan orang gila.”
«جنبوا مساجدكم صبيانكم، ومجانينكم، وسل سيوفكم، وإقامة حدودكم».
روي هذا اللفظ من حديث مكحول الشامي، واختلف فيه على مكحول اختلافا كثيرا، وأسانيده كلها ضعيفة؛ كما سيأتي.
أخرجه عبد الرزاق في "المصنف" (1726) عن محمد بن مسلم، عن عبد ربه بن عبد الله، عن مكحول، عن معاذ بن جبل قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «جنبوا مساجدكم مجانينكم، وصبيانكم، ورفع أصواتكم، وسل سيوفكم، وبيعكم، وشراءكم، وإقامة حدودكم، وخصومتكم، وجمروها يوم جمعكم، واجعلوا مطاهركم على أبوابها».
وعن عبد الرزاق، أخرجه إسحاق بن راهويه في "مسنده" – كما في "إتحاف الخيرة" (2/41)، و"المطالب العالية" (3/504)-.
قال البوصيري: «وكذا رواه الطبراني في "الكبير" من رواية مكحول، عن معاذ، ولم يسمع منه».
وقال الحافظ ابن حجر: «هذا منقطع».
وأخرجه الطبراني في "الكبير" (20/173رقم 369) من طريق سعيد بن أبي مريم، عن محمد بن مسلم الطائفي، عن عبد ربه بن عبد الله الشامي، عن يحيى بن العلاء، عن مكحول، عن معاذ بن جبل، به. فزاد في الإسناد: «يحيى بن العلاء» بين عبد ربه ومكحول.
وأخرجه الطبراني في "مسند الشاميين" (3591) من طريق أحمد بن عبد الرحمن، عن محمد بن مسلم الطائفي، عن عبد ربه بن عبد الله الشامي، عن مكحول، عن يحيى بن العلاء، عن معاذ بن جبل، به. هكذا بجعل يحيى بن العلاء بين مكحول ومعاذ.
قال البيهقي في "السنن الكبرى" (10/103): «وقيل: عن مكحول، عن يحيى بن العلاء، عن معاذ؛ مرفوعا، وليس بصحيح».
وسنده ضعيف جدا لانقطاعه بين مكحول وبين معاذ بن جبل، ولتفرد محمد بن مسلم الطائفي به، وهو صدوق يخطئ من حفظه كما في "التقريب".
وأما عبد ربه بن عبد الله، فهو: عبد الله بن عبد ربه الثقفي وقد قلب اسمه وهو مجهول، ذكره البخاري وابن أبي حاتم ولم يذكرا فيه جرحا ولا تعديلا وذكره ابن حبان على عادته في "الثقات"، انظر: "التاريخ الكبير" (5/141)، و"الجرح والتعديل" (5/105)، و"الثقات" (7/48).
ويحيى بن العلاء إن كان هو الرازي فإنه رمي بالوضع كما في "التقريب" وإلا فهو مجهول.
وأخرجه ابن شبة في "تاريخ المدينة" (1/35)، و ابن ماجه (750)، والطبراني في "المعجم الكبير" (22/57 رقم 136)، وفي "مسند الشاميين" (3385) من طريق الحارث بن نبهان، عن عتبة بن يقظان عن أبي سعيد الشامي، عن مكحول، عن واثلة بن الأسقع، به. هكذا عن واثلة بدلا من معاذ.
ووقع عند ابن شبة: «عتبة بن يقظان أبي سعد»، وهو خطأ، وصوابه: «عتبة بن يقظان عن أبي سعد». ووقع في مسند الشاميين: «عقبة بن يقظان عن أبي سعد الشامي- هو عبد القدوس بن حبيب-». ووقع عند ابن ماجه: «أبي سعيد» دون نسبة.
سنده ضعيف جدا؛ لانقطاعه بين مكحول وواثلة. انظر المراسيل لابن أبي حاتم (ص 213).
وأبو سعيد الشامي، مجهول كما في "التقريب".
قال مغلطاي في "شرح ابن ماجه" (4/1245-1246): «هذا الحديث معلل بأمور منها: الحارث بن نبهان الجرمي القائل فيه أحمد: هو رجل صالح، لم يكن يعرف الحديث ولا يحفظه، وهو منكر الحديث، وقال ابن معين: لا يكتب حديثه ليس بشيء، وفي رواية: كثير الغلط، وقال أبو حاتم: متروك الحديث ضعيف الحديث منكره، ......، الثّاني: عتبة بن يقظان وإن ذكره ابن حبان في كتاب الثقات، فقد قال النسائي: كان غير ثقة، وقال علي بن الحسن بن الجنيد: لا يساوي شيئا فيما ذكره ابن أبي حاتم».
وأخرجه عبد الرزاق في "المصنف" (1727) عن عبد القدوس بن حبيب، عن مكحول، مرسلا.
وسند ضعيف جدا؛ لإرساله، وعبد القدوس بن حبيب متروك الحديث، انظر: "التاريخ الكبير" (6/119-120)، و"الضعفاء" للعقيلي (3/96)، و"الجرح والتعديل" (6/55)، و"المجروحين" (2/131)، و"الكامل" لابن عدي (5/343)، و"ميزان الاعتدال" (2/643).
وأخرجه العقيلي في "الضعفاء"(3/347-348)، والطبراني في "مسند الشاميين" (3436)، وفي "المعجم الكبير" (8/156 رقم 7601)، وابن عدي في "الكامل" (5/219)، والبيهقي في "الكبرى" (10/103) من طريق أبي نعيم هانئ بن عبد الرحمن النخعي عن العلاء بن كثير، عن مكحول، عن أبي الدرداء، وأبي أمامة، وواثلة، به.
ومن طريق العقيلي أخرجه ابن الجوزي في "العلل المتناهية" (1/402-403).
قال العقيلي في الموضع السابق: «الرواية فيها لين».
وقال ابن عدي: «وللعلاء بن كثير عن مكحول، عن الصحابة، عن النبي صلى الله عليه وسلم، نسخ كلها غير محفوظة، وهو منكر الحديث».
وقال البيهقي: «العلاء بن كثير هذا شامى منكر الحديث».
وقال في "الصغرى" (9/19): «ورُوِي عن العلاء بن كثير - وهو ضعيف- عن مكحول، عن أبي الدرداء، وواثلة، وأبي أمامة، ومكحول لم يثبت سماعه منهم».
وقال عبد الحق في "الأحكام الوسطى" (1/297): «العلاء بن كثير...ضعيف عندهم».وانظر: "بيان الوهم والإيهام" (3/189-190)؛ فإنه مهم.
وقال ابن الجوزي: «هذا حديث لا يصح عن رسول الله صلى الله عليه و سلم، قال أحمد بن حنبل: العلاء ليس بشيء، وقال البخاري: منكر الحديث، وقال ابن حبان: يروي الموضوعات عن الأثبات».
وقال الحافظ ابن حجر في "الفتح" (13/157): «والمشهور فيه حديث مكحول عن أبي الدرداء وواثلة وأبي أمامة مرفوعا: «جنبوا مساجدكم صبيانكم» الحديث، وفيه: «وإقامة حدودكم»؛ أخرجه البيهقي في الخلافيات، وأصله في ابن ماجه من حديث واثلة فقط، وليس فيه ذكر الحدود، وسنده ضعيف».
وأخرجه ابن أبي شيبة في "المصنف" (29247)، وإسحاق بن راهويه- كما في "فتاوى السبكي" (2/338)- عن محمد بن فضيل ، عن محمد بن خالد الضبي ، عن مكحول ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «جنبوا مساجدكم إقامة حدودكم". ولفظ إسحاق أتم من هذا، وقد وقع في المطبوع من الفتاوى: «أبي فضيل»، وصوابه: "ابن فضيل".
وسنده ضعيف لإرساله وهو صحيح إلى مرسله.
وأخرجه ابن المرجى المقدسي في "فضائل بيت المقدس" (ص: 417-418) من طريق خالد بن معدان، عن معاذ بن جبل، به.
وسنده ضعيف؛ لانقطاعه بين خالد بن معدان ومعاذ. انظر: "المراسيل" لابن أبي حاتم (ص 52).
وللحديث شواهد ببعض لفظه لا يخلو أحدها من نكارة أو شدة ضعف. انظر: "البدر المنير" (9/565-567)
عن أبي قتادة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن الربيع فإذا قام حملها وإذا سجد وضعها
Rasulullah pernah shalat membawa Umamah putrinya Zainab binti Rasulullah dari suaminya Abul Ash bin Rabi'. Apabila Nabi berdiri beliau menggendongnya, apabila Nabi sujud beliau meletakkannya.
Dari hadits ini Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 5/31-32, menjelaskan unsur hukumnya:
فيه حديث حمل أمامة رضي الله عنها ، ففيه دليل لصحة صلاة من حمل آدميا أو حيوانا طاهرا من طير وشاة وغيرهما ، وأن ثياب الصبيان وأجسادهم طاهرة حتى تتحقق نجاستها ، وأن الفعل القليل لا [ ص: 199 ] يبطل الصلاة ، وأن الأفعال إذا تعددت ولم تتوال ، بل تفرقت لا تبطل الصلاة .
وقوله : ( رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم - يؤم الناس وأمامة على عاتقه ) هذا يدل لمذهب الشافعي - رحمه الله تعالى - ومن وافقه أنه يجوز حمل الصبي والصبية وغيرهما من الحيوان الطاهر في صلاة الفرض وصلاة النفل ، ويجوز ذلك للإمام والمأموم ، والمنفرد
Dalam hadits menggendong Umamamah radhiyallaanha di dalam hadits ini menjadi dalil atas sahnya shalatnya orang yang membawa manusia atau hewan yang suci seperti burung, kambing dan lainnya. Adapun baju anak kecil dan tubuhnya itu suci kecuali kalau jelas najisnya. Dan bahwa gerakan kecil tidak membatalkan shalat. Dan bahwa gerakan-gerakan yang banyak yang tidak berturut-turut tapi terpisah tidak membatalkan shalat.
Adapun hadis "Aku melihat Nabi menjadi imam shalat sedang Umamah berada di bahunya" ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi'i dan yang setuju dengannya bahwa boleh membawa (menggendong) anak kecil laki-laki atau perempuan dan lainnya seperti hewan yang suci pada saat shalat fardhu dan shalat sunnah. Dan hal itu boleh dilakukan oleh imam dan makmum atau shalat sendirian.
Pengantar Pendidikan Akhlak Mulia
Pengantar Tujuan utama di utusnya Nabi Muhammad shallahu alaihi wa salla adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Proses tersebut dilakukan...
-
A. Tadabbur Menurut Bahasa Tadabbur berasal dari kata: تَدَبَّرَ اْلأَمْرَ و َ فِيْهِ : دَبَّرَهُ . Artinya: Tadabbaral Amra wa Fihi : ...
-
Pertanyaan : Ustadz mau tanya hukum lomba burung merpati? Bolehkah? Sapta H Jawab : Di sekitar kita marak sekali lapak balap merpati dan...
-
إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (1) قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَ...