Saturday, 23 April 2016

Maqashid Syariah

Maqashid berasal dari fiil tsulatsi qashada yaqshudu qashdan. Kata tersebut dalam bahasa Arab mempunyai banyak makna, di antaranya adalah:
Qashada, al-qashdu: mendatangkan sesuatu.
Qashadahu, qashada lahu, qashada ilaihi: menuju kepada sesuatu
Qashada qashdahu; berjalan menuju arah tertentu
Al-qaashid: dekat. Contoh: bainana wa bainal ma’i lailah qaashidah (jarak antara aku dengan air sudah dekat)
Lantas apa yang dimaksud dengan ilmu maqashid sebagaimana sering dikaji oleh para ulama ushul? Mmenurut Imam Ghazali, maqashid prinsipnya adalah maslahat. Jika suatu perbuatan hamba mengandung maslahat baik untuk urusan dunia maupun akhirant, maka ia adalah bagian dari maqashid syariah. Namun sebaliknya jika ia mengandung mudarat bagi hamba baik di dunia maupun akhirat, maka ia bertentangan dengan maqashid syariah. Terkait hal ini, Imam Ghazali mengatakan, “Suatu persoalan harus dilihat dari sisi maslahat. Inti dari maslahat adalah mendapatkan manfaat dan mencegah mudarat. Tujuan dari suatu perbuatan sangat menentukan kepastian hukum”. Beliau juga mengatakan, “Jika diperhatikan bahwa point utama dari bahasan maqashid syariah adalah perhatian terhadap urusan agama dan dunia”. Beliau juga menuliskan, “Secara pasti bahwa menjaga jiwa, akal, keturunan, dan harta merupakan tujuan dari hukum syariat. (Imam GhaZali: Syifaul Ghalil)
Dalam kitab al-Mustashfa, Imam Ghazali menjelaskan mengenai jumlah dan urutan dari kuliyatul khamsah, atau daruriyat khamsah. Kuliyatul khamsa atau dharuriyatul khamsah adalah lima pokok dasar dalam kaian ilmu maqashid. Ia harus dilindungi dan dijaga. Ia juga harus dikembangkan. Menurut beliau, kuliyatul khamsah ada lima yang bermula dari agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Beliau berkata, “ “Maqashid syariah ada lima, yaitu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.”
Hanya saja, terkait dengan urutan kuliyatul khamsah ini belum menjadi kesepakatan di kalangan para ulama. Imam Fakhruddin ar-Razi (W. 606 H) misalnya, tidak mempunyai urutan yang pasti. Dalam kitab mahsulnya tidak pernah mempunyai urutan pasti, kadang agama, jiwa atau yang lainnya. Ini artinya bahwa prinsip utamanya adalah perlindungan terhadap lima poin pokok tadi, tanpa perlu memandang mana yang harus didahulkukan. Kebutuhan tiap individu atau masyarakat dalam konteks sosial tertentu mempunyai peran penting untuk menjadi patokan dan timbangan mengenai prioritas atas lima pokok dimaksud.
Selain daruriyat yang terdiri dari lima pokok bahasan, ada juga hajiat dan tahsiniyat. Hajiyat sifatnya raf’ul haraj atau meringankan kondisi hamba ketika mengadapi suatu persoalan tertentu. Seperti halnya seorang musafir yang prinsip utamanya shalat empat rekaat kemudian karena ada unsur safar boleh dijamak dan qashar menjadi dua rekaat. Atau dibolehkan bagi orang sakit untuk menangguhkan puasanya. Di sini, maka daruriyat didahulukan, baru kemudian hajiyat.
Setelah hajiyat masih ada tahsiniyat, yaitu terkait dengan kesempurnaan suatu perbuatan. Yang terkait dengan perkara dharuriyat untuk melindungi agama adalah shalat lima waktu. Jika shalat wajib saja yang kita lakukan sudah benar. Namun jika ingin mendapatkan kesempurnaan dan tambahan, maka kita dianjurkan untuk melaksanakan shalat-shalat sunnah.
Menurut Saifuddin al-Amidi bahwa maqashid daruriyat lebih didahulukan dibandingkan dengan maqashid hajiyat, dan maqashid hajiyat didahulukan dari maqashid tahsiniyat. Beliau juga menambahkan bahwa maslahat pokok didahulukan dibandingkan dengan maslahat penyempurna. Maslahat penyempurna untuk daruriyat, didahulukan dibandingkan dengan maslahat penyempurna untuk hajiyat.
Maqashid Syariah ini banyak dibahas oleh Izuddin Ibn Abdussalam (W. 660 H) dalam kitabnya, “Qawaaidul Ahkam”. Buku ini lebih spesifik mengkaji masalah ilmu maqashid terutama terkait dengan maslahat. Menurut beliau bahwa tujuan diturunkannya hukum syariat adalah untuk memperoleh maslahat bagi hamba dan menghindari mafsadah. Menurut beliau, al-Quran diturunkan untuk memberikan panduan kepada manusia agar mencari maslahat dan sarana menuju maslahat. Al-Quran juga meminta manusia untuk menghindari mafsadat dan semua sarana yang kiranya dapat menimbulkan mafsadat.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa hukum syariah diturunkan demi kemaslahatan umat manusia dan menghindari serta meminimalisir mafsadah yang dapat menimpa mereka. Beliau menambahkan bahwa jika ada dua kebaikan, maka hukum syariat memerintahkan manusia untuk memilih kebaikan yang terbaik. Sebaliknya jika ada keburukan, hukum syariah memerintahkan agar kita memilih perkara yang paling kecil mudaratnya.
kajian ilmu maqashid ini umum dibahas oleh para ulama ushul di semua madzhab. Teori istihsan dari madzhab Maliki, sesungguhnya adalah maslahat ini. Artinya, istihsan di madzhab Maliki terkait erat dengan maqashid syariah.
Secara singkat, hukum syariat diturunkan bagi umat manusia untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka. Hukum syariat tidak menginginkan adanya mudarat bagi umat manusia. Tentu saja manfaat dan mudarat ini terkait dengan urusan dunia dan akhirat. Hal ini karena kebahagiaan yang sesungguhnya menurut hukum syariat adalah kebahagiaan dunia dan akhirat dan bukan dunia saja. Keduanya merupakan satu kesatuan dan saling terkait bagi kehidupan insan muslim. Wallahu a’lam.

Ust. Wahyudi Abdurrahim
www.almuflihun.com


No comments:

Post a Comment

Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...