Apa hukum bermakmum kepada orang yang suka berjudi?
Jawab :
Fasiq berasal dari kata fasaqa yafsiqu/ yafsuqu fisqan yang berarti keluar dari ketaatan, kebenaran, agama dan dari keistiqamahan. Fasik pada asalnya diartikan sebagai keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lainnya dan hal itu akan mengakibatkan kerusakan.
Dalam kitab Raddul Muhtar A’la Durril Mukhtar disebutkan bahwa fasik dalam istilah definisikan sebagai seorang yang melakukan dosa besar ataupun seringkali melakukan dosa-dosa kecil.
Dalam fathulbari Imam Ibnu Hajar al-A’sqolani menyatakan bahwa ,"sebagian dari para Imam berkata : dosa besar yang disebabkan oleh hati lebih besar dibandingkan dosa besar yang dilakukan oleh anggota badan dikarenakan dosa tersebutlah penyebab kefasikan itu menjadi nyata dan nampak (dalam diri manusia).' Imam asy-Syaukani menukil perkataan Imam al-Qurthubi," adapun kefasikan yang umumnya digunakan dalam syariat yaitu : (perbuatan yang telah menyebabkan seseorang) keluar dari zona ketaatan kepada Allah Ta’ala. Terkadang perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran dan bisa juga dianggap sebagai kemaksiatan. Sebagaimana hadits berikut ini :
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
mencela seorang muslim adalah kefasikan sedangkan membunuhnya adalah kekafiran."
Begitupula dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala juga dinyatakan sebagai orang fasik, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Ada juga kefasikan didapati dari penakwilan misalkan seorang meminum nabidz dari madu atau gandum, jika ditakwilkan kepada mazhab selain mazhab hanafiyah maka hal tersebut termasuk perbuatan yang diharamkan dikarenakan mereka menganggap nabidz madu dan gandum sebagai khamr Dan orang yang meminumnya dianggap sebagai seorang fasik. Namun jika ditakwilkan kepada mazhab Hanafiyah maka hal tersebut bukanlah perbuatan yang menjadikan pelaku sebagai seorang fasik, dikarenakan mazhab hanafiyah tidak beranggapan bahwa nabidz madu dan gandum termasuk jenis khamr.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa bahwa orang yang melakukan dosa besar seperti berjudi (sebagaimana di tulis imam adzahabi dalam kitab Kabair) atau orang yang masih rutin melakukan dosa kecil dinamakan orang fasik.
Lalu bagaimana hukum makmum di belakang imam yang fasik?
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Imam Ibnu Rusyd di tulis terdapat perbedaan ulama terkait dengan hal ini. Masalah ini adalah masalah ijtihadi dimana syariat tidak menjelaskannya secara gamblang dan pasti sehingga akhirnya para ulama berijtihad dengan menggunakan qiyas (analogi). Pengqiyasan yang mereka gunakan pun juga sangat kontradiktif (saling bertentangan antara satu dengan lainnya) dimana kelompok ulama yang menyatakan sahnya shalat dibelakang seorang yang yang fasik berhujjah bahwa yang dibutuhkan seorang makmum dari seorang imam hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan sahnya shalat. Sedangkan kelompok ulama yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik berargumen dengan menggunakan qiyas. Mereka mengqiyaskan imamah dalam shalat dengan persaksian di depan hakim. Mereka mennyatakan bahwa seorang yang fasik sangat memungkinkan untuk merusak shalatnya sebagaimana mereka berbohong ketika bersaksi di pengadilan.
Diantara perbedaan ulama :
A. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
1. Mazhab Maliki
Dalam mazhab maliki ada pendapat yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang mu’tamad dalam mazhab maliki.
2. Mazhab Hambali
Mazhab hambali berpendapat bahwa tidak sah bermakmum kepada imam yang fasik secara mutlak. Baik itu kefasikannya berkaitan dengan i’tiqod (keyakinan) ataupun berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Begitu pula jika kefasikannya dia tampakkan ataupun disembunyikannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik ? mereka tidaklah sama.
Dan juga Sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :
لا تؤمن امرأة رجلا، ولا يؤم أعرابي مهاجرا، ولا فاجر مؤمنا إلا أن يقهره بسلطان يخاف سيفه وسوطه
Seorang perempuan tidak boleh mengimami seorang lelaki, begitu pula seorang a’rabi (badui) mengimami seorang muhajir dan seorang yang fajir (fasik) mengimami seorang mukmin. Kecuali (seorang mukmin) dipaksa dengan kekuasaan (yang dimiliki oleh si fasik), dimana seorang mukmin tersebut takut akan ditebas oleh pedangnya dan dicambuk.
Namun jika seorang mukmin bermakmum kepada imam yang fasik maka di haruskan untuk mengulang shalatnya Kecuali shalat jumat dikarenakan darurat ataupun udzur, dalam artian tidak ada lagi kesempatan untuk mencari imam selain si fasik tersebut.
B. Pendapat Yang Membolehkan
1. Mazhab Hanafi
Dalam mazhab hanafi bermakmum kepada seorang yang fasik dibolehkan jika dilihat kepada keumuman dalam pengertian setiap orang yang berakal, bahkan dibolehkan juga seorang budak, orang a’rabi (badui), orang buta dan anak hasil perzinahan menjadi imam sholat walaupun disertai dengan kemakruhan. Mereka mengatakan bahwa tidak seyogyanya bermakmum kepada seorang yang fasik kecuali pada sholat jumat, dikarenakan selain sholat jumat ada kesempatan untuk memilih bermakmun dengan selainnya. Namun makruh jika di dalam satu kota ada banyak masjid yang melangsungkan sholat jumat karena dia punya kesempatan untuk memilih bermakmum dengan yang lainnya. Dalam pandangan hanafiyah sholat dibelakang orang fasik lebih utama daripada sholat sendirian serta bermakmum kepadanya akan mendapatkan keutamaan sholat berjamaah walaupun menurut mereka lebih utama sholat dibelakang orang yang bertakwa, sebagaimana hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :
من صلى خلف عالم تقي ، فكأنما صلى خلف نبي
barangsiapa yang sholat dibelakang orang alim yang bertakwa maka seolah-olah dia sedang bermakmum kepada Nabi.
2. Mazhab Maliki
Dalam mazhab maliki dibolehkan dan sah jika bermakmum kepada seorang yang fasik dimana kefasikannya berkaitan dengan kemaksiatan anggota tubuh (seperti berzina, minum khamr) walaupun pembolehannya tersebut disertai dengan kemakruhan sebagaimana sahnya bermakmun kepada pelaku bid’ah yang pengkafiran terhadapnya terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, seperti kelompok qadariyah. Adapun jika kefasikannya berkaitan erat dengan rusaknya shalat, seperti niat dan tujuannnya yang ingin menyombongkan diri dengan menjadi imam sholat ataupun sengaja membaca al-Quran dengan memakai qira'ah (bacaan) yang syadz, yang bacaan tersebut bertentangan dengan al quran versi mushaf utsmani serta merusak shalat dengan tidak melaksanakan syarat ataupun rukun-rukunnya secara sengaja. Maka bermakmun kepadanya menjadi tidak sah.
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab syafi’i membolehkan seorang untuk shalat di belakang imam yang fasik namun disertai kemakruhan. Kemakruhannya tersebut hanya berlaku jika makmumnya bukanlah seorang yang fasik adapun jika kefasikannya sama antara imam dan makmum maka tidak dimakruhkan selama kefasikan imam tersebut tidak lebih parah dibandingkan makmumnya.
Wallahua'lam bi shawab
No comments:
Post a Comment