Friday, 7 October 2016

Perinrahkan Anakmu untuk Shalat

Perintahkanlah Anakmu Shalat

Shalat adalah pilar kedua dari lima pilar Islam. Shalat merupakan tiang agama, sehingga agama tidak akan pernah bisa dibangun dan tegak berdiri tanpa pilar shalat.

Sahabat Umar pernah berkata kepada salah seorang pegawainya," Menurutku, urusan terpenting kalian adalah shalat. Siapa yang mengabaikan shalat berarti terhadap hal-hal selain shalat dia akan lebih mengabaikan."  Dari perkataan Umar ini dapat kita simpulkan bahwa sumber segala kebaikan adalah shalat. Termasuk sumber kebaikan- kebaikan anak-anak kita di awali dari shalat.

Rasulullah shallallahu ‘a laihi wa sallam bersabda

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun dan pukulah mereka jika tidak shalat saat berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidur.” (HR : Abu Dawud )

Anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada orang tua. Maka, mendidik anak merupakan kewajiban orang tua karena termasuk pelaksanaan amanah. Terlebih khusus mendidik anak untuk shalat, karena ada perintah langsung dari Rasulullah untuk memerintahkan anak shalat. Dalam hadits di atas disebutkan “perintahkanlah”, kalimat ini disebutkan dengan kalimat perintah, dan kalimat perintah menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan.

Imam asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar tentang hadits itu “Hadits di atas menunjukkan wajibnya orang tua memerintahkan anaknya untuk shalat …”

Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam dalam Aunul Ma'bud berkata, “Hadits ini adalah perintah untuk para wali bukan perintah untuk anak kecil, karena anak kecil bukan sasaran hadits ini”

Sebagai orang tua kita berkewajiban mendidik anak untuk shalat, maka jika ia melalaikan kewajibannya maka ia akan diminta pertanggungjawabannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas yang ia pimpin, seorang amir adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, maka ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.” (HR: Bukhari- Muslim)

Disebutkan dalam hadits ini “seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas keluarganya”, termasuk di dalamnya adalah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya terlebih khusus pendidikan agama.

Setelah Rasulullah memerintahkan orangtua untuk memerintahkan shalat, dari hadits ini kita juga bisa mengambil cara bagaimana mendidik anak untuk shalat. Pendidikan shalat melalui beberapa tahap, yaitu : mengajarkan dan membiasakan anak shalat, memerintahkan anak untuk shalat, dan yang ketiga adalah memukul anak jika enggan atau membangkang saat diperintah untuk shalat.

Tahap pertama, yaitu tahapan mengajarkan dan membiasakan anak shalat harus dilakukan sebelum anak mencapai umur tujuh tahun. Karena saat anak berumur tujuh tahun, ia sudah diperintahkan untuk shalat. Agat efektif, dalam mengajarkan dan membiasakan shalat maka kita harus menyesuaikan dengan perkembangan psikologis. Di usia ini kita sebagai orang tua harus menjadi teladan dalam shalat, memberikan hadiah jika diperlukan dan mendo'akan dengan intens. Usahakan untuk tidak memaksa dan memberi beban yang lebih dari kemampuan anak agar anak tidak kehilangan kecintaan akan shalat. Tumbuh kembangkan rasa kecintaan kepada shalat yang merupakan fitrah anak.

Di antara perkataan salaf yang mendukung bahwa anak sudah mulai diajari shalat sebelum berumur tujuh tahun adalah perkataan Ibnu Umar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengajari anak-anak shalat saat mereka bisa membedakan mana kanan mana kiri.”

Jundub bin Tsabit berkata, “Mereka mengajari anak-anak untuk shalat saat mereka bisa berhitung sampai angka dua puluh.”

Kedua atsar ini menjelaskan bahwa mengajari anak shalat dilakukan sebelum anak berusia tujuh tahun, karena usia-usia tersebut anak sudah mampu membedakan mana kanan dan mana kiri dan sudah mampu berhitung sampai angka dua puluh. Anak yang sudah bisa membedakan kanan kiri atau menghitung hingga angka dua puluh tidak harus berusia tujuh tahun.

Selain itu, makna sabda Nabi “perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat” secara implisit merupakan perintah kepada orang tua untuk mengajari anak-anak shalat, termasuk rukun-rukun shalat, syarat-syarat sah shalat, dan lain sebagainya.

Adapun waktu untuk memerintahkan anak shalat adalah saat anak berusia tujuh tahun. Karenanya, Imam Abu Dawud membuat bab khusus dalam kitabnya “Bab kapan anak diperintahkan untuk shalat” lalu menyebutkan hadits di atas. Perlu dipahami, bahwa memerintahkan anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun bukanlah perintah bersifat wajib, namun perintah untuk membiasakan anak shalat.

Imam asy-Syaukani menyebutkan dalam Nailul Authar, “Bab diperintahkannya anak kecil untuk shalat sebagai pembiasaan bukan pengharusan”.

Mengapa harus usia tujuh tahun, di antara hikmahnya adalah Anak usia tujuh tahun sudah mulai meluas lingkungan bermainnya dan pengetahuannya, maka harus diimbangi dengan lingkungan agamis dan pengetahuan islami. Umur tujuh tahun juga masa-masa paling bagus bagi anak belajar segala macam ketrampilan, maka jika ia telah terampil menjalankan shalat, niscaya ia akan menjaga shalatnya saat telah tumbuh dewasa.

Anak usia tujuh tahun telah bisa membedakan, dan ia selalu melakukan perbuatan yang diperintahkan orang tuanya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang tuanya, sehingga jika diperintahkan untuk shalat niscaya ia segera memenuhinya.

Berbeda saat anak telah berusia sebelas tahun, maka memenuhi perintah orang tua tanpa ada perdebatan dulu merupakan sifat kekanak-kanakan menurut mereka. Dan jika anak telah tumbuh dewasa, maka jika ia bisa membantah perintah kedua orang tua biasanya ia akan merasa bahwa dirinya telah dewasa.

Oang tua juga harus memerintahkan anaknya saat usia tujuh tahun dengan memberi motivasi dan ajakan yang baik agar anak terbiasa shalat dengan cara terbaik yang bisa dilakukan. Kemudian saat anak usia sepuluh tahun, maka ia diperintahkan dengan perintah yang bersifat wajib, agar anak mau mengerjakan shalat. Jika anak enggan atau tidak memenuhi seruan orang tua, maka orang tua boleh memberikan pukulan mendidik yang bisa membuat mereka jera dan tidak menyakiti.

Perlu diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk mendidik anak. Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara lainnya terlebih dahulu, seperti menasihati, kemudian memperingatkan dengan keras, memberi ancaman hukuman jika memang anak termasuk orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan, barulah ia memukul anaknya.

Tentunya, saat memukul harus memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tidak lebih dari sepuluh kali, karena tujuan memukul adalah mendidik bukan menyakiti. Hal ini sesuai sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّه

“Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam hukuman pasti dari hukuman-hukuman yang Allah tentukan.” (HR: Bukhari)

2. Tidak memukul wajah, karena di wajah terdapat mata, hidung, mulut, lisan, dan bagian-bagian vital lainnya. Sehingga jika salah satu dari bagian ini cidera atau terganggu maka akan hilang fungsi vital dari organ tersebut. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ

“Apabila salah seorang di antara kalian hendak memukul, hendaklah ia menjauhi wajah.” (HR Ahmad)

3. Tidak memukul pada anggota tubuh yang vital dan membahayakan, seperti kemaluan, perut dan yang semisalnya.

4. Tidak memukul saat emosi dan marah. Karena marah hanya akan menyeret pelakunya kepada kebrutalan. Sehingga ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Memukulnya harus ikhlas karena Allah.

Jika orang tua memukul anaknya sesuai ketentuan-ketentuan di atas, maka hal ini diperbolehkan dan ia tidak berdosa. Adapun memukul anak dengan pukulan yang kelewat batas, maka ia berdosa. Hendaklah ia selalu ingat sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاه

“Sesungguhnya Allah lembut dan menyukai kelembutan, Allah memberikan manfaat atas kelembutan dengan manfaat yang tidak diberikan atas kekerasan dan tidak diberikan kepada yang lainnya pula.” (HR: Muslim)

Maka jika hadits Nabi ini kita amalkan dengan sepenuh hati, maka anak-anak yang mencintai shalat in sya Allah akan terwujud. Kebaikan shalat anak ini juga akan mengundang kebaikan-kebaikan agama yang lain.

Wallahu a'lam
Temanggung, 5 Muharram 1438.
Ta' Rouf Yusuf


Arti Tauhid dan cara menjaganya

Pertanyaan :
Assalamualaikum, pak ustadz.
Boleh tolong jelaskan tentang tauhid dan cra menjaganya?
Linda

Jawab:
Tauhid sesungguhnya merupakan fitrah dari manusia sejak Adam alaihissalam pertama kali diciptakan (QS. 7:172, 30:30). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Kata “Tauhid” dalam bahasa Arab merupakan masdar (kata dasar) dari kata: wahhada- yuwahhada-tauhid yang berarti mengesakan/mengakui keesaan.   

Tauhid sesungguhnya merupakan fitrah dari manusia sejak Adam alaihissalam pertama kali diciptakan (QS. 7:172, 30:30). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Dalam jami'ul bayan fi ta'wilil quran Imam  Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah  berkata,

نخلص له العبادة، ونوحد له الربوبية، فلا نشرك به شيئا، ولا نتخذ دونه ربا

“Kami memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, dan kami mengesakan bagi-Nya rububiyyah, maka kami tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga (dalam ibadah), dan kami tidak menjadikan selain-Nya sebagai Rabb.”

Kemudian untuk menjelaskan Tauhid para ulama beijtihad membagi tauhid menjadi beberapa macam. Ada yang membagi menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma wa shifat hal ini berdasarkan kajian terhadap pendapat-pendapat ulama salaf. Ada juga yang membagi menjadi empat macam tauhid sebagaimana dalam surat An Nas. Dan masih ada pendapat lain.

Dalam kitab Ats-Tsawabit wal Mutaghayyiraat fi Masiiroh Al-‘Amal Al-Islami Al-Mu’ashir, DR. Sholah Ash-Showi, mengatakan “Sesungguhnya pembagian tauhid hanyalah pembagian menurut istilah, tujuannya adalah mendekatkan permasalahan dan membuat sistematika pembelajarannya, sebagaimana para ulama telah membuat istilah-istilah untuk ilmu-ilmu lainnya. Berdasarkan hal ini maka tidak perlu ada perdebatan dalam istilah.

Dan dalam masalah ini tidaklah ada batas-batas yang memisahkan antara bagian tauhid yang masuk dalam kategori tauhid rububiyah, uluhiyah maupun asma’ was shifat, bahkan pembagian seperti ini sepanjang yang kami ketahui memang tidak berdasar pada suatu ayat yang muhkam ataupun sunnah yang diikuti, maka yang menjadi patokan sebagaimana yang mereka katakan adalah, sebuah istilah dipahami sesuai dengan maksud-maksudnya dan makna-maknanya, dan bukan lafaz-lafaz maupun cara-cara pengungkapannya.

Demikianlah, meskipun para ulama senantiasa menggunakan dan menetapkan pembagian ini sejak kurun waktu yang panjang sehingga menjadikan pembagian ini sebagai warisan salaf, maka sepatutnya diterima namun tanpa menjadikannya pijakan dalam wala’ dan bara’.”

Lalu bagaimana upaya kita dalam menjaga tauhid. Kalau ttauhid sudah merupakan fitrah adalah merawat dan menjaganya sebagaimana tanaman yang memerlukan pupuk. Cara menjaganya adalah dengan mengilmuinya dengan benar dan merawatnya dengan mengikut apa-apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.

Wallahu a'lam


Arti wala' dan baro'

Pertanyaan :
Apa arti wala' dan baro'?
Rajawali

Jawaban :

Al-Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain; mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah (الْمُوَالاَةُ) adalah lawan kata dari al-mu’aadaah(الْمُعَادَاةُ) atau al-‘adawaah(الْعَدَوَاةُ) yang berarti permusuhan. Dan kata al-wali (الْوَلِى) adalah lawan kata dari al-‘aduww (الْعَدُوُّ) yang berarti musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia merupakan kata yang mengandung dua arti yang saling berlawanan.

Dalam terminologi syari’at Islam, al-Wala’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang kafir.

Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِيءَ) berarti membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 1]

Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.

Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang di-benci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.

Maka, cakupan makna al-wala’ adalah apa yang dicintai Allah, sedangkan cakupan makna al-bara’ adalah apa yang di benci Allah.



Posted via Blogaway


Hukum menuntut ilmu dan taqlid

Pertanyaan :
Assalamu'allaikum ustad mohon pencerahanya tentang hukumnya menuntut ilmu ??
Dan tentang Taklit ??       
Nooristigfari
                                                                                                                                                                          Jawaban :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.

Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)

dalm Fathul Barri Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض
“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”.                                                                                                            

Sedangkan secara bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan sesuatu dileher seseorang. Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid.

1. Pengertian Pertama

Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:

قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”

Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.( Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450)

2. Pengertian Kedua

الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
“Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.”

Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.

Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini ( I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236)                                                                                                                                                                          

Ada 2 hukum taqlid.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       1. Taqlid yang haram

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :

a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.

b. Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.

c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

2. Taqlid yang dibolehkan

Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.

Ulama muta akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:

a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.

Wallahu a'lam





Muqodimah Al Fatihah

*KAJIAN TALQWAP*


سورة الفاتحة

(Pembukaan) Makkiyyah, 7 ayat.

Surat ini dinamakan Al-Fatihah —yakni Fatihatul Kitab— hanya secara tulisan; dengan surat ini bacaan dalam salat dimulai. Surat ini disebut pula Ummul Kitab menurut jumhur ulama —seperti yang dituturkan oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibnu Sirin— karena mereka tidak suka menyebutnya dengan istilah Fatihatul Kitab.

Al-Hasan dan Ibnu Sirin mengatakan.”Sesungguhnya Ummul Kitab itu adalah Lauh Mahfuz." Al-Hasan mengatakan bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah Ummul Kitab. Karena itu, keduanya pun tidak suka menyebut surat Al-Fatihah dengan istilah Ummul Qur'an.

Di dalam sebuah hadis sahih pada Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya, disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

" الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ "

Alhamdu lillahi rabbil 'alamina adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab. Sab'ul masani. dan Al-Qur'anul 'azim.

Surat Al-Fatihah  dinamakan pula Alhamdu (الْحَمْدُ) ,  juga disebut Ash-shalat (الصَّلَاةُ) karena berdasarkan sabda Nabi Saw. dari Tuhannya yang mengatakan:

" قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي "

Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua ba-gian. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Alhamdu lilldhi rabbil 'dlamlna" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." (Hadis)

Surat Al-Fatihah disebut pula Salat, karena ia merupakan syarat di dalam salat.

Surat Al-Fatihah dinamakan pula Syifa (الشِّفَاءُ) , seperti yang disebutkan di dalam riwayat Ad-Darimi melalui Abu Sa'id secara marfu, yaitu:

" فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سُمٍّ"

Fatihatul kitab (surat Al-Fatihah) merupakan obat penawar bagi segala jenis racun.

Surat Al-Fatihah dikenal pula dengan nama Ruqyah (الرُّقْيَةُ), seperti yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id yang sahih. yaitu di saat dia membacakannya untuk mengobati seorang lelaki sehat (yang tersengat kalajengking). Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Sa'id (Al-Khudri):

" وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ "

Siapakah yang memberi tahu kamu bahwa surat Al-Fatihah itu adalah ruqyah?

Asy-Sya-bi meriwayatkan sebuah asar melalui Ibnu Abbas, bahwa dia menamakannya (Al-Fatihah) Asasul Qur'an (fondasi Al-Qur'an). Ibnu Abbas mengatakan bahwa fondasi surat ini terletak pada bismillahir rahmanir rahim.

Sufyan ibnu Uyaynah menamakannya Al-Waqiyah, sedangkan Yahya ibnu Kasir menamakannya Al-Kafiyah, karena surat Al-Fatihah sudah mencukupi tanpa selainnya, tetapi surat selainnya tidak dapat mencukupi bila tanpa surat Al-Fatihah, seperti yang disebutkan di dalam salah satu hadis berpredikat mursal di bawah ini:

" أُمُّ الْقُرْآنِ عِوَضٌ مِنْ غَيْرِهَا، وَلَيْسَ غَيْرُهَا عِوَضًا عَنْهَا "

Ummul Qur'an merupakan pengganti dari yang lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai penggantinya.

Surat ini dinamakan pula surat As-Salah dan Al-Kanz. Kedua nama ini disebutkan oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab Kasysyaf.

Menurut Ibnu Abbas, Qatadah. dan Abul Aliyah, surat Al-Fatihah adalah Makkiyyah. Menurut pendapat lain Madaniyyah, seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid, Ata ibnu Yasar, dan Az-Zuhri. Pendapat lainnya lagi mengatakan, surat Al-Fatihah diturunkan sebanyak dua kali, pertama di Mekah, dan kedua di Madinah. Tetapi pendapat pertama lebih dekat kepada kebenaran, karena firman-Nya menyebutkan:

وَلَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثانِي

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca bendang-ulang. (Al-Hijr: 87)

Abu Lais As-Samarqandi meriwayatkan bahwa separo dari surat Al-Fatihah diturunkan di Mekah, sedangkan separo yang lain diturunkan di Madinah. Akan tetapi, pendapat ini sangat aneh, dinukil oleh Al-Qurtubi darinya.

Surat Al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat tanpa ada perselisihan, tetapi Amr ibnu Ubaid mengatakannya delapan ayat, dan Husain Al-Jufi mengatakannya enam ayat; kedua pendapat ini syaz (menyendiri).

Mereka berselisih pendapat mengenai basmalah-nya, apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan Al-Fatihah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama qurra Kufah dan segolongan orang dari kalangan para sahabat dan para tabi'in serta ulama Khalaf, ataukah merupakan sebagian dari ayat atau tidak terhitung sama sekali sebagai permulaan Al-Fatihah, seperti yang dikatakan oleh ulama penduduk Madinah dari kalangan ahli qurra dan ahli fiqihnya. Kesimpulan pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat, seperti yang akan disebutkan nanti pada tempatnya insya Allah, dan hanya kepada-Nya kita percayakan.

Para ulama mengatakan bahwa jumlah kalimat dalam surat Al-Fatihah semuanya ada 25 kalimat, sedangkan hurufnya sebanyak 113.

Imam Bukhari dalam permulaan kitab Tafsir mengatakan bahwa surat ini dinamakan Ummul Kitab karena penulisan dalam mushaf dimulai dengannya dan permulaan bacaan dalam salat dimulai pula dengannya. Menurut pendapat lain, sesungguhnya surat ini dinamakan Ummul Kitab karena semua makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an merujuk kepada apa yang terkandung di dalamnya. Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menamakan setiap himpunan suatu perkara atau bagian terdepan dari suatu perkara jika mempunyai kelanjutan yang mengikutinya —sebagaimana imam dalam suatu masjid besar— dengan istilah "umm". Untuk itu. Mereka menyebut kulit yang melapisi otak dengan istilah "ummur rasi" (أُمُّ الرَّأْسِ). Mereka menamakan panji atau bendera suatu pasukan yang terhirnpun di bawahnya dengan sebutan "umm" pula. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan seorang penyair bernama Zur Rummah, yaitu:

عَلَى رَأْسِهِ أُمٌّ لَنَا نَقْتَدِي بِهَا ... جِمَاعُ أمور لا نعاصي لَهَا أَمْرَا

Pada ujung tombak itu terdapat panji kami yang merupakan lambang bagi kami dalam mengerjakan segala urusan, kami tidak akan mengkhianatinya sama sekali.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena ia merupakan kota paling depan. mendahului semua kota lainnya. dan menghimpun kesemuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena bumi ini dibulatkan mulai darinya. Adapun surat ini, dinamakan "Al-Fatihah" karena bacaan Al-Qur'an dimulai dengannya, dan para sahabat memulai penulisan mushaf imam dengan surat ini.

Penamaan surat Al-Fatihah dengan sebutan "As-Sab'ul masani" dinilai sah. Mereka mengatakan, dinamakan demikian karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam salat, pada tiap-tiap rakaat, sekalipun masani ini mempunyai makna yang lain, seperti yang akan diterangkan nanti pada tempatnya insya Allah.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَهَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِأُمِّ الْقُرْآنِ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ"

Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada mereka Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada mereka Ibnu Abu Zi'b dan Hasyim ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Zi'b, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda tentang Ummul Qur'an: Surat Al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, As-Sab'ul Masani, dan Al-Qur'anul Azim.

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ismail ibnu Umar, dari Ibnu Abu Zi'b dengan lafaz yang sama.

وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي "

Abu Ja'far Muhammad ibnu Jarir At-Tabari mengatakan telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Zi'b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Surat Fatihah ini adalah Ummul Qur'an, Fatihatul Kitab, dan As-Sab'ul masani.

وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى بْنِ مَرْدَوَيْهِ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبِ بْنِ حَارِثٍ، ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَوْصِلِيُّ، ثَنَا الْمُعَافَى بْنُ عِمْرَانَ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ نُوحِ بْنِ أَبِي بِلَالٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ سَبْعُ آيَاتٍ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِحْدَاهُنَّ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ، وهي أم الكتاب"

Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Musa ibnu Murdawaih mengatakan di dalam tafsirnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ib-nu Muhammad ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Muham-mad ibnu Galib ibnu Haris', telah menceritakan kepada kami Ishaq ib-nu Abdul Wahid Al-Mausuli. telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa ibnu Imran, dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Nuh ibnu Abu Bilal, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Alhamdu lillahi rabbil 'alamin (surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat, sedangkan bismillahir rahmanir rahim adalah salah satu-nya. Surat Al-Fatihah adalah As-sab'ul mas'ani, Al-Qur'anul 'azim, Ummul Kitab, dan Fatihatul Kitab.

Ad-Daruqutni meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz yang sama atau semisal dengannya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa semua rawinya siqah (dipercaya). Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah asar dari Ali, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwa mereka menafsirkan firman Allah Swt, "sab'an minal masani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)," dengan makna surat Al-Fatihah. dan basmalah termasuk salah satu ayatnya yang tujuh. Hal ini akan dibahas lebih lanjut lagi dalam pembahasan basmalah.

Al-A'masy meriwayatkan dari Ibrahim yang pernah menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud, "Mengapa engkau tidak menulis Al-Fatihah dalam mus-haf-mu? Ibnu Mas'ud menjawab, "Seandainya aku menulisnya, niscaya aku akan menulisnya pada permulaan setiap surat." Abu Bakar ibnu Abu Dawud mengatakan, yang dimaksud ialah mengingat surat Al-Fatihah dibaca dalam salat, hingga cukup tidak diperlukan lagi penulisannya, sebab semua kaum muslim telah menghafalnya.

Suatu pendapat mengatakan bahwa surat Al-Fatihah merupakan bagian dari Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan, seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah, dinukil oleh Al-Baqilani sebagai salah satu dari tiga pendapat. Menurut pendapat lain, yang mula-mula diturunkan adalah firman Allah Swt. berikut ini:

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Hai orang yang berselimut. (Al-Muddatstsir: 1)

Seperti yang disebutkan di dalam hadis Jabir yang sahih. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah firman-Nya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (Al-Alaq: 1)

Pendapat  terakhir  inilah  yang   paling   sahih.

Wallahu a'lam

*TALQWAP JPRMI Kab Temanggung*
5 Muharram 1438 H


Wednesday, 5 October 2016

Hukum Rajah

Pertanyaan:
Pak ustadz. Mau tanya.. jika seseorang pergi ke orang pinter..dan tanganya di kasih tulisan ayat alquran..itu bagaimana?? Dan menghapusnya bagaimana?? Apakah itu boleh ?? Dan kasiat tulian alquran itu apa??.
Dwiki

Jawab :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Dari Abdulloh Ibn Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya mantera, jimat dan tiwalah adalah syirik”. (HR. Abu Dawud, Al Hakim, Ahmad, Ibn Majah)

a. Ruqyah : Mantera, Jampi-jampi, atau Jimat.
b. Tamimah : Manik-manik yang dikalungkan di leher anak kecil guna menolak penyakit. Selanjutnya para Ulama menggunakan kosa kata “Tamimah” tersebut untuk menyebut kertas yang didalamnya dituliskan Al Qur’an atau Asma Alloh.
c. Tiwalah : Jimat pengasihan yang biasa digunakan untuk menarik simpatik lawan jenis.
d. Nusyroh : Jimat untuk mengobati seseorang yang terkena gangguan Jin.
e. Wifiq (Awfaq) : Rajah yang tersusun dari rumusan angka-angka

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي بِهَا مِنْ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنْ الرُّقَى قَالَ فَعَرَضُوهَا عَلَيْهِ فَقَالَ مَا أَرَى بَأْسًا مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

Dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu ia berkata : Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam melarang Ruqyah/mantera/jampi-jampi, kemudian datang keluarga Amr Ibn Hazm kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam-, mereka berkata : “Kami memiliki Ruqyah/Jampi-jampi untuk mengobati sengatan kalajengking, sedangkan engkau telah melarang Ruqyah/jampi-jampi tersebut”. Selanjutnya mereka (keluarga Amr) memperlihatkan jampi-jampi tersebut kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam Maka beliau bersabda : “Menurutku tidak apa-apa, barang siapa mampu memberi manfaat untuk saudaranya maka hendaklah ia memberi manfaat pada saudaranya.” (HR. Muslim)

Juga hadits lain dalam Shahih Muslim :

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

Dari Auf Ibn Malik Al Asyja’iy, ia berkata : Kami melakukan Ruqyah pada masa Jahiliyah, lalu kami berkata : Yaa Rosulalloh, bagaimana menurutmu ? maka Beliau bersabda : “Perlihatkan Ruqyahmu padaku. Ruqyah tidak apa-apa selama tidak mengandung syirik.”(HR. Muslim)

Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab

Setelah menyampaikan hadits dari Abdullah Ibn Mas’ud yang berbunyi : Aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah dan Tiwalah adalah Syirik… dst (HR. Abi Dawud, Ibn Majah) Imam An Nawawi mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, ia berkata :

التولة – بكسر التاء – هو الذى يحبب المرأة إلى زوجها وهو من السحر قال وذلك لا يجوز

At Tiwalah dengan dibaca kasroh pada huruf Ta’ adalah jimat yang dipergunakan untuk menjadikan perempuan mencintai suaminya, dan hal ini adalah termasuk bagian dari sihir. Abu Ubaid berkata : “Yang demikian itu tidak boleh.”

Selanjutnya Imam An Nawawi berkata :

(وأما) الرقاء والتمائم قال فالمراد بالنهي ما كان بغير لسان العربية بما لا يدرى ما هو

Adapun Ruqyah dan Tamimah, maka yang dimaksud dengan larangan dalam hal tsb adalah yang tidak menggunakan bahasa arab/bahasa yang tidak dapat dimengerti maksudnya. Berikutnya Imam An Nawawi berkata :

* قال البيهقى ويقال ان التميمة خرزة كانوا يعلقونها يرون أنها تدفع عنهم الآفات ويقال قلادة يعلق فيها العود وعن عتبة بن عامر قال (سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من علق تميمة فلا اتم الله له ومن علق ودعة فلا ودع الله له) رواه البيهقى

وقال هو ايضا راجع إلى معنى ما قال ابو عبيدة قال ويحتمل أن يكون ذلك وما اشبه من النهى والكراهة فيمن يعلقها وهو يرى تمام العافية وزوال العلة بها على ما كانت عليه الجاهلية وأما من يعلقها متبركا بذكر الله تعالى فيها وهو يعلم ان لا كاشف له الا الله ولا دافع عنه سواه فلا بأس بها ان شاء الله تعالى

Al Baihaqi berkata : Dan dikatakan bahwa “Tamimah” adalah manik-manik yang dikalungkan, dan mereka beranggapan bahwa kalung tersebut dapat menolak bahaya. (Sedang dlm pendapat lain) dikatakan bahwa : Tamimah adalah kalung yang padanya diikatkan kayu. Dari ‘Utbah Ibn Amir, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa mengalungkan Tamimah maka Allah tidak menyempurnakan baginya, dan barangsiapa mengalungkan “Wad’ah” (manik-manik) maka Allah tiadak menitipkan titipan padanya .” (HR. Al Bayhaqi).

Al Baihaqi berkata : “Pengertian hadits tersebut juga dikembalikan pada pernyataan Abu ‘Ubaidah, ia berkata : “ Hadits tersebut dan hadits-hadits senada yang bermuatan larangan atau kemakruhan diperuntukkan bagi orang yang mengalungkan “Tamimah” sedang ia menganggap bahwa keselamatan dan hilangnya penyakit disebabkan “Tamimah” tsb, sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah. Adapun seseorang yang mengalungkan “Tamimah” dengan maksud Tabarruk dengan penyebutan Asma Allah Ta’aala yang ada didalamnya, dan ia meyakini bahwa tiada yang dapat membuka jalan baginya juga tiada yang menolak keburukan darinya kecuali Allah, maka hal tersebut tidak mengapa Insya Allah". (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, vol. 9, hlm. 66)

Imam Ahmad bin Hambal juga mengalungkan tamimah pada leher anaknya.

رأيت على ابن أحمد وهو صغير تميمة في رقبته في أديم. وفعله الإمام أحمد بنفسه كما في مسائل عبد الله: 3/1345، ومناقب الإمام أحمد: 242 لابن الجوزي، وبدائع الفوائد: 165.

Aku melihat putra Imam Ahmad sewaktu masih kecil dilehernya dikalungkan Tamimah dari kulit. Dan Imam Ahmad melakukannya sendiri, sebagaimana dalam Masail Abdullah Ibn Ahmad, 3/1354, Manaqib Imam Ahmad, 242. Badai’ul Fawaaid, 165. (Ta’liq Masailul Imam Ahmad Wa Ishaq Ibn Rohuyah, 9/4712)

Maka terkait jimat dapat kita simpulkan bahwa selain “Tiwalah” (Pengasihan) hukumnya boleh dengan catatan :

a. Berisi ayat-ayat Allah atau Asma Allah, dan atau tidak berisi perkara yang tidak dapat dimengerti maksudnya.
b.  Tetap meyakini bahwa jimat-jimat/Ruqyah/Tamimah/Nusyroh tersebut hanyalah media Tabarruk dengan ayat-ayat Allah atau Asma Allah, sedang pemberi kesembuhan dan atau penolak bahaya hanyalah Allah tiada sekutu bagiNya.

Namun menghafalkan Al Quran dalam hati dan mengamalkanya sehingga menjadikan manusia bertawakal dengan tawakal yang sempurna kepada Allah jelas ini lebih sempurna.

Terkait pertanyaan di atas, menuliskan ayat Al Quran pada tubuh bukanlah kebiasaan salafusshalih. Di samping penulisan pada tubuh akan mempersulit ketika seseorang harus memasuki tempat-tempat yang menuntut kita tidak boleh membawa ayat-ayat al quran (misalkan ke WC). Jadi segera hapus saja ayat-ayat Al Quran tadi dan bertaubat jika ada dosa yang disebabkan darinya. Dan cara yang terbaik dalam berinteraksi dengan Al Quran adalah cara nabi Muhammad sholallahualaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Wallahu a'lam


Apa arti hukum Ta'zir

Pertanyaan :
Hukum Ta'zir itu apa?
Zerlinda

Jawaban :

Secara bahasa, kata ta’zir (تعزير) berasal dari kata az-zara (عزَّر) yang bermakna ar-raddu (الرَّد) yang bermakna menolak, dan juga al-man’u (المنع) yang bermakna mencegah.

Dan disebut hukuman ta’zir, karena intinya adalah menolak pelaku dan mencegahnya dari mengerjakan jarimah ( perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta’zir)

Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqih, kata ta’zir itu bermakna :

عُقُوبَةٌ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ شَرْعًا تَجِبُ حَقًّا لِلَّهِ أَوْ لآِدَمِيٍّ فِي كُل مَعْصِيَةٍ لَيْسَ فِيهَا حَدٌّ وَلاَ كَفَّارَةَ غَالِبًا

Hukuman yang tidak ditetapkan ketentuannya secara syar’i, baik terkait hak Allah atau hak adami, umumnya berlaku pada setiap maksiat yang tidak ada hukum hudud atau kaffarah.

Dari definisi ini ada beberapa hal yang perlu diberi catatan, antara lain :
a. Hukuman

Ta’zir adalah salah satu bentuk hukuman atas suatu kemaksiatan yang terkait dengan dosa besar, dengan jenis, kadar dan aturan yang tertentu.

b. Tidak Ditetapkan Secara Syar’i

Dalam hal ini tidak ada ketentuan dari Allah subhanahuwata'alla tentang bentuk dan jenis hukuman, sehingga semua diserahkan kepada hakim yang menangani masalah tersebut.

Dalam hal ini, hakim memang diberi wewenang khusus untuk menentukan jenis hukuman dan kadarnya, bahkan termasuk untuk membatalkan hukuman itu.

c. Hak Allah dan Hak Manusia

Di antara pelanggaran dan maksiat yang terkait dengan hak Allah misalnya zina yang dilakukan oleh mereka yang berstatus muhshan. Hukumannya adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun.

Sedangkan pelanggaran dan maksiat yang terkait dengan hak adami misalnya masalah tanggungan hutang yang belum dibayar. Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan hukuman kepada pengemplang hutang.

d. Tidak Ada Hudud atau Kaffarah

Ta’zir hanya berlaku pada jenis pelanggaran yang memang Allah subhanahuwa ta'alla tidak memberlakukan hukum hudud. Bila sudah ada hukum hudud yang ditetapkan, maka hukum ta’zir tidak bisa diterapkan.

wallahu a'lam


Hukum Puasa wanita yang melebihi masa Haid

Assalamualaikum, berapa batas maksimal haid wanita dan bagaimana hukum puasa wanita yang keluar darah melebihi waktu haid? Jawab : Waalaikum...