Monday, 7 October 2024

Muqodimah Sulam Taufiq (Kajian Sulam Taufiq Bagian 1)

Muqodimah Sulam Taufiq
مُقَدِّمَةُ المُؤَلِّف
بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
الحَمْدُ للهِ رَبِّ العالَمِينَ، وأشْهَدُ أنْ لا إلٰهَ إلّا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهْ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ وعلى آلِهِ وصَحْبِهِ والتّابِعِين.
أمّا بَعْدُ، فَهٰذا جُزْءٌ لَطِيفٌ يَسَّرَهُ اللهُ تَعالَى، فِيما يَجِبُ تَعَلُّمُهُ، وتَعْلِيمُهُ، والعَمَلُ بِهِ لِلخاصِّ والعامِّ، والواجِبُ ما وَعَدَ اللهُ فاعِلَهُ بِالثَّوابِ، وتَوَعَّدَ تارِكَهُ بِالعِقابِ، وسَمَّيْتُهُ سُلَّمَ التّوْفِيق إلى مَحَبَّةِ اللهِ على التَّحْقِيق، أسأَلُ اللهَ الكَرِيمَ أنْ يَجْعَلَ ذٰلك مِنْهُولَهُ وفِيهِ وإلَيْه، ومُوجِبًا لِلقُرْبِ والزُّلْفَى لَدَيْه، وأنْ يُوَفِّقَ مَنْ وَقَفَ عليه لِلْعَمَلِ بِمُقْتَضاه، ثُمَّ التَّرَقِّي بِالتَّوَدُّدِ بِالنَّوافِلِ لِيَحُوزَ حُبَّهُ ووَلاه.

Pendahuluan Penulis
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.*
Segala puji hanyalah milik Allah yang menjadi tuhan semesta alam.** Dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah dengan sebenar-benarnya kecuali hanya Allah yang maha tunggal yang tiada sekutu baginya.
Dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. *** Semoga sholawat dan salam Allah senantiasa tercurahkan atas beliau, seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut mereka.**** Selanjutnya, ini adalah sebuah kitab kecil (semoga Allah menjadikannya mudah untuk difaham dan diamalkan) yang menjelaskan tentang hal-hal yang wajib untuk dipelajari dan diajarkan serta diamalkan oleh orang yang berilmu maupun orang awam.
Wajib adalah sesuatu yang telah dijanjikan oleh Allah bagi orang yang mengerjakannya dengan mendapatkan pahala dan telah diancam oleh Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan mendapatkan siksa. *****
Dan aku namai kitab ini dengan nama سُلَّمَ التّوْفِيق إلى مَحَبَّةِ اللهِ على التَّحْقِيق “Tangga pertolongan untuk menggapai cinta Allah dengan sebenar-benarnya, "Aku memohon kepada Allah yang maha dermawan agar menjadikan kitab ini semata-mata anugrah dariNya, murni karenaNya, cinta padaNya dan menyampaikan kepada Nua. Dan sebagai pendekat di sisiNya
Dan semoga Allah memberikan pertolongan pada orang yang mempelajari kitab ini untuk bisa mengamalkan isinya (mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram).
Kemudian terus meningkat dengan senang mengamalkan kesunahan-kesunahan supaya ia bisa mempeoleh cinta dan pertolongan Allah.******
-----
*Penulis memulai dengan menyebut nama Allah, mengikhlaskan mencari ridho Allah, meminta tolong dan meminta berkah dari Allah sebelum menulis , sambil memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala urusanya, sebab
 Dialah Allah yang disembah dengan benar
, Yang luas rahmat-Nya, Yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu; Dialah
yang memberi segala kenikmatan, baik
yang besar maupun yang kecil; Dialah yang senantiasa memberikan karunia, rahmat,
dan kemurahan.
**Al-hamdu ( الحَمْدُ للهِ) artinya ungkapan pujian
atas perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Ia lebih umum dari kata asy-syukr (syukur), sebab syukur dilakukan sebagai imbalan
atas karunia. Kata Allah ( الله ) adalah nama Dzat Yang
Mahatinggi lagi Mahasuci. Arti nama ini adalah
Dzat yang disembah dengan benar. Menurut
sebuah pendapat ia adalah nama Allah yang paling agung, selain Dia tak ada yang memakai nama ini. Rabb (رَبِّ) pemilik, majikan, yang disembah, yang memperbaiki, yang mengatur, yang menambal, yang mengurus. Dalam kata ini terkandung makna ketuhanan, pembinaan, dan kepedulian kepada para makhluk ( العالَمِينَ) adalah bentuk jamak dar عالم yang artinya: segala sesuatu yang ada selain Allah Ta ala. Ia bermacam-macam, seperti: alam manusia, hewan, tumbuhan, debu, Jin. Kata (العالم) adalah ism jins yang tidak punya bentuk tunggal dari kata ini sendiri
*** Syahadatain adalah dua kalimat yang merupakan rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Syahadatain berisi pengakuan tentang keesaan Allah dan keutusan Muhammad sebagai rasul-Nya. Syahadatain juga merupakan simbol keimanan dan kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Syahadatain terdiri dari dua bagian, yaitu:
Pertama, Laa ilaaha illallah, yang artinya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah. Kalimat ini menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan menerima ibadah dari manusia. Kalimat ini juga menolak segala bentuk syirik, yaitu menyembah selain Allah atau mengaku sebagai tuhan. Kedua, Anna Muhammadan Rasulullah, yang artinya aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini mengakui bahwa Muhammad adalah hamba Allah yang diutus kepada seluruh umat manusia untuk membawa risalah Islam. Kalimat ini juga mengajarkan untuk mentaati perintah, membenarkan ucapan, menjauhi larangan, dan tidak menyembah selain dengan apa yang disyariatkan.
Syahadatain harus dibaca dengan lisan dan hati dengan penuh khusyuk, ikhlas, dan tulus. Syahadatain harus dibaca dengan benar dan lengkap tanpa ada kesalahan atau kekurangan.
Makna syahadatain harus diamalkan setiap muslim. Tidak hanya diucapkan saja, namun juga diyakini. Syahadat merupakan salah satu rukun Islam yang perlu dipenuhi oleh setiap umat muslim. Bahkan syahadat adalah rukun Islam yang pertama sehingga memiliki hukum wajib untuk dilaksanakan.
**** Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Kasyifatu As-Saja' Syarh Safinah An-Najah berkata bahwa yang dimaksud “shalawat dari Allah” adalah semoga Allah menambahkan kemuliaan. Sedangkan “salam” yang dimaksud adalah semoga Allah memberikan penghormatan yang tinggi dan derajat yang mulia.
***** Hadratu Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim wal Muta’allim menjelaskan agar memulai belajar ilmu fardhu 'ain. Menurut beliau, ada empat pelajaran yang termasuk kategori Fardhu 'Ain. 
Pertama, ilmu tentang zat Allah. Dalam disiplin ilmu ini penuntut ilmu cukup meyakini bahwa Allah adalah zat yang wujud, dahulu, kekal, suci dari sifat-sifat kurang dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
Kedua, ilmu tentang sifat-sifat Allah. Materi yang wajib diketahui adalah tentang sifat-sifat Allah, bahwa Allah memiliki sifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat dan berbicara.
Ketiga, ilmu fiqih. Penuntut ilmu wajib mengetahui dasar-dasar fiqih yang berkaitan dengan keabsahan ibadah sehari-sehari, meliputi shalat, wudhu, mandi janabat, menghilangkan najis, puasa, dan lain sebagainya. Bila memiliki harta, maka ia wajib mengetahui ilmu tentang bagaimana membelanjakan harta dengan benar, bertransaksi yang sah secara syariat. Tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun sampai ia mengetahui hukum Allah di dalamnya.
Dan yang keempat, ilmu tasawuf. Yaitu ilmu yang berkaitan tentang bagaimana menata hati, bujuk rayu nafsu dan yang sejenis dengannya. Ilmu ini penting untuk diketahui sebagai bekal dasar pengetahuannya agar tidak menjadi pribadi yang sombong, angkuh, pendengki dan sifat-sifat tercela lainnya. 
Dalam mempelajari ilmu fardhu ain ini beliau merekomendasikan kitab ini dan Bidayatul Hidayah.
****** Jalan Untuk mencapai Cinta Allah
 «إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ. وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ. وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا. وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَّهُ» رَوَاهُ البُخَارِيُّ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘slaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti waliku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan baginya. Hamba-Ku senantiasa mendekat diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku, pasti aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku lindungi" (HR. Bukhari)
Al-wali secara bahasa berarti al-qarib, artinya dekat. Sebagaimana penyebutan dalam hadits berikut ini,
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan. Bila dalam bahasa Indonesia makna aulia itu sendiri adalah wali atau orang suci. Jika lafaznya dibaca walayah (dengan fathah) maka berarti memberikan dukungan dan pembelaan, dan kedua jika lafaznya dibaca wilayah (dengan kasrah) maka berarti menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan. Demikian menurut ar-Raghib al-Iṣfahani dalam kitab Mufradat Alfaẓ al-Qurʾan.
Jadi wali Allah adalah orang yang dekat dengan Allah. Maka jika merujuk hadits di atas maka langkah yang dilakukan adalah menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah, kemudian menjalankan ibadah sunah hingga Allah mencintainya. Maka jalan ini disebut oleh penulis sebagai سُلَّمَ التّوْفِيق إلى مَحَبَّةِ اللهِ على التَّحْقِيق ( Tangga pertolongan untuk menggapai cinta Allah dengan sebenar-benarnya )



Saturday, 5 October 2024

Al Fatihah ( Bagian 1)

Nama Nama Al Fatihah
Berdasarkan keterangan para Ulama
bahwa Al Fatihah memiliki banyak nama yang hal tersebut menunjukkan keagungan surat ini di dalam Islam. Namun para Ulama berbeda pendapat mengenai berapa sebenarnya jumlah nama dari surat Al Fatihah.
Al Imam As Suyuthidalam karyanya Al Itgon fi 'Ulumil Qur'anmenyebutkan bahwa jumlah nama dari Al Fatihah adalah berkisar pada dua puluhan nama. Sedangkan Al Fairuz Abadi dalam kitabnya Basoir Dzawit Tamyiz fi Latoifil Kitabil 'Aziz berpendapat bahwa al-Fatihah memiliki hampir tiga puluh nama. Di antara nama nama nya adalah :
1. Fatihatul-kitab (Pembuka Kitab)
‘Ubadah bin Shamit meriwayatkan hadis yang termaktub dalam kitab Shahain. Rasulullah shalallahualaihi wa sallam bersabda,
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surah Alfatihah). (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menjadi dasar kewajiban membaca surah Al-Fatihah ketika salat, sekaligus validasi atas penamaan surah ini dengan Fatihatul Kitab atau al-fatihah. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Rajab menyebutkan tiga motif di balik penyematan nama ini.
Pertama, karena surah ini sebagai pembuka bagi surah-surah Al-Quran. Hal itu ditinjau dari aspek urutan penyusunan surah dalam Al-Quran dan juga dari aspek urutan surah Al-Quran yang dibaca dalam salat.
Kedua, karena ungkapan tahmid (alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin) pada bagian awal surah ini, menjadi ungkapan pembuka setiap kalam atau perkataan.
Terakhir, karena surah Alfatihah merupakan surah yang pertama kali turun dari langit.
Lalu, Imam ats-Tsa’labi (w. 429 H) menambahkan, bahwa alasan dinamakan Faatihatul-kitab lantaran surah ini dimulai dengan ayat pertama berupa basmalah, yang merupakan pembuka segala perkara baik yang diharap-harap keberkahannya.
2. Ummul Kitab, Ummul Quran
Dari ibunda ‘Asiyah;
قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ
‘Aisyah berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Setiap salat yang di dalamnya tidak dibacakan Ummul-kitab (surah Alfatihah), maka salat tersebut kurang’.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي
Rasulullah saw. bersabda, “Al-Hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin (surah Alfatihah) adalah Ummul-qur’an, Ummul-kitab, dan as-Sab’ul-matsani.” (HR. Imam Abu Daud).
3. Sab'ul Matsani
Disamping hadits di atas dalam Al Quran Allah nerfirman:
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَٰكَ سَبْعًا مِّنَ ٱلْمَثَانِى وَٱلْقُرْءَانَ ٱلْعَظِيمَ
'Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung." ( Al Hijr 87)
4. Al Quranul Adzim
Rasulullah beraabda:
وَإِنَّهَا سَبْعٌ مِنْ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُعْطِيتُهُ
Sesungguhnya dia adalah tujuh (ayat) yang diulang-ulang dan Al-Quran nan agung, yang diberikan padaku. (HR. Tirmidzi).
5. As Sholat
Di dalam sebuah hadits disebutkan :
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:{ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ اللَّهُ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ:{ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang dia mohonkan. Maka ketika hambaku berkata:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(Segala Puji Hanya Bagi Allah, Tuhan semesta alam). Allah Subhanahu wa ta'alla berfirman:
حَمِدَنِي عَبْدِي
(Hambaku telah memuji-Ku)
dan ketika seorang hamba berkata:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
ِ(Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
Allah ‘Subhanahubwa ta'alla berfirman:
أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
(Hambaku telah memujiku)
dan ketika seorang berkata:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(Yang Menguasai di Hari Pembalasan),
Allah berfirman:
مَجَّدَنِي عَبْدِي
(Hambaku telah memuliakan Aku).
dan ketika seseorang berkata:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
ُ(Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan),
Allah Subhanahu wa ta'alla pun berfirman:
هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
(ini adalah bagian-Ku dan bagian hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya).
dan saat berkata:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين
(Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat ),
Allah pun berfirman:
هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
َ(Ini adalah bagi hambaku, dan bagi hambaku apa yang dia pinta). (HR Muslim).
6. Ar Ruqyah
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »
Bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berada dalam safar (perjalanan jauh), lalu melewati suatu perkampungan Arab. Saat itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu.
Penduduk kampung tersebut lantas berkata kepada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah (melakukan pengobatan dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, -pen) karena pemimpin kampung ini tersengat binatang atau terserang demam.”
Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya, ada"
Lalu, salah seorang sahabat pun mendatangi pemimpin kampung tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surah Al-Fatihah.
Akhirnya, pemimpin kampung tersebut sembuh. Lalu, yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor (dalam riwayat lain potongan daging) kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lalu, ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah, kecuali dengan membaca surah Al-Fatihah saja.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah?”
Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
7. As Syifa
Nama Asy Syifa bermakna penawar. Nama ini
diambil dari sebuah hadis yang diriwayatkan di
dalam sunan Ad Darimi dari sahabat Abu Sa'id Al Khudri secara marfu', dikatakan:
فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءً مِنْ كُلِّ سُمَّ
"Al Fatihah sebagai syifa (penawar) dari segala
racun" (HR. At Tirmidzi dan Al Hakim).
8. Suratul-hamdi (Surah al-Hamdu)
Nama ini merupakan penisbatan kepada penggalan awalnya, yaitu ayatnya yang berbunyi alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin. Sebagai contohnya hadis dari ‘Aisyah,
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَيَفْتَتِحُ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَيَخْتِمُهَا بِالتَّسْلِيمِ
‘Aisyah berkata, “Rasulullah sahalallahu alaihi wa sallam mengawali salat dengan takbir (takbiratul ihram), membuka bacaan dengan membaca alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin (surah Alfatihah), dan mengakhirinya dengan salam”. (HR. Imam ad-Darimi).
9. Al-Wafiyah (Penyempurna)
Penyematan nama ini salah satu dasarnya bersumber dari keterangan salah seorang ahli hadis bernama Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H). Sebagaimana keterangan Imam ats-Tsa’labi dalam kitabnya, al-Kasyaf wa al-Bayan (1/127).
10. Al-Asas (Asal/Dasar Segala Sesuatu)
Keterangan tentang nama ini juga disebutkan oleh Imam ats-Tsa’labi dalam al-Kasyaf wa al-Bayan (1/128), yang bersumber dari sahabat bernama Ibnu ‘Abbas.
11. Al Kafiyah
Al Kafiyah bermakna sesuatu yang mencukupi.
Nama ini disebutkan oleh sebagian ulama berasaldari sebuah hadis mursal:
القُرْآن عِوَضٌ مِن غَيْرِها وليسَ
غَيْرُها منها عِوضًا
"Ummul Quran lah yang menjadi pengganti dari yangselainnya, sedangkan yang lainnya tidak dapat menggantikannya" (HR. Ahmad dan Muslim).
Nama-nama lainnya
Selain itu terdapat beberapa nama lainnya yang
disebutkan oleh Fairuz Abadi dalam karyanya
Basha'ir Dzawit Tamyiz fi Lathaifil Kitabil 'Aziz tanpabeliau menyebutkan dalil yang melandasinya,diantaranya  Surotuts Tsana' (Surat Sanjungan).
Al Imam As Suyuthi dalam karyanya Al Itqon fi 'Ulumil Qur'an juga menyebutkan nama lainnya tanpa menyebutkan nash yang jelas, diantaranya:Al Kunz (Perbendaharaan), An Nur (Cahaya), Surotus Syukr (Surat Sukur).

Ibnu Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad jilid 4, [Beirut, Jamiul al Huquq Mahfuzohi Lin Nasir, 1998]  halaman 347  mengatakan bahwa Al-Fatihah adalah penyembuh sempurna, obat bagi orang yang sakit, dan juga kunci sukses bagi orang yang ingin berusaha. Seyogianya diamalkan dan dibaca seorang Muslim;

[فاتحة الكتاب، وأم القرآن، والسبع المثاني، والشفاء التام، والدواء النافع، والرقية التامة، ومفتاح الغِنَى والفلاح، وحافظة القوة، ودافعة الهم والغم والخوف والحزن؛ لمن عرف مقدارها وأعطاها حقها وأحسن تنـزيلها على دائه وعرف وجه الاستشفاء والتداوي بها والسر الذي لأجله كانت كذلك. ولما وقع بعضُ الصحابة على ذلك رَقى بها اللديغَ فبَرَأَ لوقته، فقال له النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ

"Al Fatihah itu pembuka Al-Qur'an, ibu dari Al-Qur'an, tujuh yang diulang-ulang, penyembuhan yang sempurna, obat yang bermanfaat, ruqyah yang sempurna, kunci kekayaan dan keberhasilan, penjaga kekuatan, pengusir kegelisahan, kecemasan, ketakutan, dan kesedihan; bagi mereka yang memahami nilainya, memberikan haknya, dan mengamalkan penggunaannya dengan baik dalam mengobati penyakitnya, serta mengenal rahasia di baliknya. Ketika salah seorang Sahabat Rasulullah mendapatkan gigitan, beliau memakai ruqyah ini dan sembuh dalam waktu singkat. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, 'Bagaimana engkau tahu bahwa ini adalah ruqyah?

Basmallah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Dalam kitab tafsir Mariful Qur’an, Mufti Shafi Usmani radhiallahu anhu memberikan analisa secara bahasa tentang makna kata bismillah. Menurut beliau kata bismillah terdiri dari 3 suku kata ب, اسم dan الله. Kata ب bi memiliki 3 konotasi dalam bahasa Arab :
1. Mengekspresikan kedekatan antara dua benda yang satu dengan lainnya hampir tidak memiliki jarak.
2. Mencari pertolongan dari seseorang atau sesuatu
3. Mencari berkah dari seseorang atau sesuatu
Kata ism secara sederhana diartikan sebagai nama. Kata (اسم) isim terambil dari kata ( المسو ) as-sumuw yang berarti tinggi, atau (المسة ) as-simah yang berarti tanda. Memang nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Kini timbul pertanyaan: “kalau memang kata isim demikian itu maknanya dan kata Bismi seperti yang diuraikan di atas maksudnya, maka apa gunanya kata isim disebut di sini. Tidak cukupkah bila langsung saja dikata Dengan Allah? Sementara ulama secara filosofis menjawab bahwa ism menggambarkan substansi sesuatu, sehingga kalau di sini dikatakan Dengan nama Allah maksudnya adalah Dengan Allah. Kata isim menurut para ulama digunakan di sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah dari kata tersebut tidak dimaksudkan di sini.
Penulisan kata (بسم) “bismi” dalam Basmalah tidak menggunakan huruf “alif” berbeda dengan kata yang sama pada awal surah Iqra’, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku yakni menggunakan huruf Alif (باسم). Hal ini menjadi pembahasan ulama. Ada yang mengatakan bahwa  basmallah adalah lafadz yang sering di sebut sehingga agar ringan. Ada yang mengatakan bahwa agar huru dalam basmallah agar menjadi 19, yang merupakan jumlah malaikat penjaga neraka, seperti yang disebutkan dalam surat Al Muddatsir ayat 30:
عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَۗ
“Di atasnya ada sembilan bela (malaikat penjaga).” sehingga orang yang membaca basmallah akan terhindar dari siksa 19 malaikat tersebut.
Dalam tafsir Al Misbah disebutkan Rasyad Khalifah berpendapat bahwa ditanggalkannya huruf "alif" pada Basmalah, adalah agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Ini, karena angka 19 mempunyai rahasia yang berkaitan dengan al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, kata “isim”, “Allâh”, “ar-Rahmân” dan “ar-Rahîm"mempunyai jumlah yang dapat dibagi habis oleh angka 19 itu. Kata “Isim” dalam al-Qur'an terulang sebanyak 19 kali, kata “Allah” sebanyak 2698 kalı (2698: 19 = 142), “ar-Rahmân” 57 kali (57 : 19 = 3) dan “ar-Rahîm” 114 kali (114 19 6). Seandainya "Bismi" ditulis dengan alif, maka perkalian-perkalian di atas tidak akan terjadi. Ini merupakan salah satu kunci yang menjamin keotentikan al-Qur'an hingga akhir zaman, karena bila terjadi perubahan kata, maka pastilah jumlah kata dan huruf-hurufnya
tidak akan seimbang.
Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allah tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada Dzat yang wajib wujud, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan memohon. Tetapi banyak ulama berpendapat bahwa kata Allah asalnya
adalah ( اله ) llah, yang dibubuhi huruf alif dan lam,dan dengan demikian, Allah merupakan nama khusus karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya sedang llah adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk
jama’ (plural) (الهةi ) Alihah. Dalam bahasa Inggris baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan god, demikian juga dalam bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan tuhan, tetapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil god/tuhan, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar God/Tuhan. Sedangkan kata Allah merupakan gabungan dari kata Al dan Ilah. Kata Al mempunya fungsi definitif dalam bahasa Arab yaitu untuk menunjukkan sesuatu yang khusus sedangkan kata Ilah mengandung arti sesuatu yang disembah. Kata Allah juga mengacu kepada suatu zat atau esensi yang tidak bisa dinisbahkan kepada yang lain melainkan hanya kepada Allah sendiri. Kata Allah juga merupakan bentuk tunggal yang tidak mempunyai bentuk dual atau jamak hal ini untuk menguatkan makna keesaan pada Allah.
Mufti Shafi Usmani radhiallahu anhu kemudian berpendapat 3 makna kata bismillah dalam kaitannya dengan konotasi kata ba :
1. Dengan nama Allah
2. Dengan pertolongan nama Allah
3. Dengan berkah nama Allah
Dari sini kita bisa mempunyai gambaran bagaimana kuatnya efek dan dampak pengucapan kata bismillah secara signifikan dalam segala pekerjaan yang akan kita lakukan. Dengan mengucapkan bismillah maka kita berharap bahwa Allah, akan bersama sama dengan kita. Selain itu Allah akan menolong dan memberikan berkah dalam proses pekerjaan yang kita lakukan. Seorang ulama besar Sayid Abu Ala Maududi dalam kitab tafsirnya Tafhim Al-Qur’an berpendapat jika seorang muslim melakukan segala sesuatu dengan nama Allah dengan sadar dan tulus maka sudah tentu akan menghasilkan 3 hal yang baik yaitu :
1. Ia akan terlindungi dari kejahatan atau pengaruh buruk, karena dengan melibatkan nama Allah si fulan akan berpikir apakah segala niat dan tindakannnya sudah sesuai dengan standar kebaikan Allah.
2. Dengan menyebut nama Allah akan menciptakan sikap yang benar dan mengarahkan si fulan menuju arah yang benar
3. Ia akan menerima pertolongan dan berkah dari Allah dan terlindungi dari godaan setan
Dengan melibatkan Allah dalam setiap tindakan kita maka segala tindakan kita akan selalu berorientasi kepada Allah dan hal tersebut ditransformasikan dari suatu pekerjaan biasa menjadi suatu aktivitas ibadah yang bernilai di mata Allah Subhanahu wata'alla.
Kata Ar Rahman dan Ar Rahim merupakan bentukan kata dari Ar Rahmah (kasih sayang). Dari kata Ar Rahmah inilah kata Ar Rahman dan Ar Rahim dibentuk untuk menunjukkan bentuk kasih sayang yang sangat besar. Walaupun kata Ar Rahman memiliki makna kasih sayang yang lebih tinggi daripada Ar Rahim. Secara tersirat Ibn Jarir Ath Thabary menyebutkan kesepakatan para ulama dalam masalah ini. Berikut ini beberapa nukilan perkataan para ulama yang menjelaskan perbedaan antara Ar Rahman dan Ar Rahim :
1. Ibn ‘Abbas mengatakan : “Kedua nama ini adalah nama (yang menunjukkan) kelembutan, namun salah satunya lebih lembut dari yang lainnya –artinya lebih menunjukkan kasih sayang yang lebih besar-.”
2. Abu ‘Ali Al Farisy mengatakan : “Ar Rahman adalah nama yang mencakup segala bentuk rahmat yang hanya khusus dimiliki Allah Ta’ala, sedangkan Ar Rahim adalah (untuk menunjukkan) rahmat dari sisi kaum mu’minin.”
3. Ibn Jarir Ath Thabary meriwayatkan perkataan Al ‘Azramy yang menyatakan : “Ar Rahman adalah (menunjukkan kasih) yang ditujukan untuk semua makhluq, sedangkan Ar Rahim adalah khusus untuk orang-orang beriman.”
Dengan melihat cakupan Ar Rahman yang lebih luas, maka tidak mengherankan bila nama dan sifat ini hanya untuk Allah Ta’ala berbeda dengan Ar Rahim yang terkadang diberikan kepada makhluq seperti ketika Allah menjelaskan bagaimana kasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum beriman, “ wa kaana bil mu’minina rahima.” Tidak dibenarkan siapapun menyebut dirinya sebagai Ar Rahman sebab ia adalah kekhususan Allah Ta’ala. Itulah sebabnya, Ar Rahman secara khusus disebut dalam perintah berdo’a kepada Allah ;
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu” (Al Isra’ :110)
Dengan mengucap Basmallah berarti kita telah melibatkan Allah Subhanallahu wa Ta’alla dalam setiap tindakan kita, maka segala tindakan kita akan selalu berorientasi kepada Allah Subhanallahu wa Ta’alla dan hal tersebut diejawantahkan dari suatu pekerjaan biasa menjadi suatu aktivitas ibadah yang bernilai di mata Allah Subhanallahu wa Ta’alla wa Ta’alla. Disamping itu juga kita mengharap keberkahan atau berlipatnya kebaikan dari setiap pekerjaan kita dikarenakan ucapan kita membaca basmallah.




Sunday, 29 September 2024

Isti'adzah

Isti'adzah adalah salah satu amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Isti’adzah juga biasa dikenal dengan istilah ta'awudz. Ta’awudz adalah permintaan perlindungan manusia kepada Allah subhanahu wa ta'alla.
Dalam Al Quran Allah memerintahkan membaca Ta'awudz dalam beberapa tempat, diantaranya :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (36) 
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”? Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak ‘dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.( Fushilat 33-36)
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) 
Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al A'raf: 199-200)
Allah juga memerintah membaca Ta'awudz sebelum membaca Al Quran
فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (An Nahl :98)
Tadabur
Makna ( اِسْتَعِذْ بِاللهِ ) yaitu berlindunglah dengan-Nya, berpegang teguhlah kepada-Nya, dan bersandarlah kepada-Nya. Sedangkan bentuk mashdarnya adalah اَلْعَـوْذُ (berlindung), اَلْعِيَاذُ (berlindung), dan اَلْمَـعَاذُ (tempat berlindung). Kebanyakan, pemakaiannya dalam المُسْتَعَاذُ بِـهِ (yang dimintai perlindungan)
أَعُوذُ
Berasal dari kata العوذ /  العياذة= berlindung dari kejahatan
Al-Fairuz Aabadi dalam Al-Qamus Al-Muhith, menyatakan Secara bahasa أَعُوْذُ (‘audzu) adalah pecahan (musytaq) dari kata العَوْذُ (al-‘audz) 
Kata (العَوْذُ) mempunyai beberapa makna.
1. Al-Iltija’ berarti kembali
2. al-istijarah yang bermakna berlindung
3. Al-Iltishaq yang bermakna menempel. 
Secara istilah makna أَعُوْذُ بِاللهِ (a’udzu billah) adalah saya meminta perlindungan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya, dari kejelekan dan kejahatan semua mahluk-Nya dari golongan setan yang membahayakan agamaku dan yang menghalangiku dari kebenaran.
Imam Al-Qurthubi berkata,”Makna al-isti’adzah dalam percakapan orang Arab adalah meminta perlindungan dan melingkar kepada sesuatu, dengan maksud agar terhindar dari sesuatu yang dibenci.” 
بِاللهِ
Kepada Allah
Lafadz jalalah berasal dari kata :
أله – إلاهة
 Maknanya: Beribadah, yakni Dia adalah Dzat yang berhak diibadahi, semua peribadatan ditujukan kepada Nya Dialah yang diibadahi bukan selain-Nya.
Atau:
الوله
Maknanya:Kecintaan yang teramat sangat. Yakni para hamba sangat mencintai Allah ,berlindung kepada-Nya,tunduk patuh ,bersandar kepada-Nya  di dalam  kesulitan – kesulitan.
مِنَ الشَّيْطَانِ

الشَّيْطَانِ
 dari kata:  شطن berarti jauh. Kata ini mengikuti wazan فيعال  = شيطان
Yakni yang jauh dari kebaikan atau terbenam jauh dalam kejelekan
Imam Ibnu Jarir ath Thabariy berkata:
والشيطان، في كلام العرب: كل متمرِّد من الجن والإنس والدوابِّ وكل شيء.
“ Syaithan dalam ucapan orang Arab adalah semua yang durhaka dari kalangan jin,manusia, binatang dan segala sesuatu “ [Tafsir ath Thabariy:1/111]
Beliau juga menuturkan:
وإنما سُمي المتمرِّد من كل شيء شيطانًا، لمفارقة أخلاقه وأفعاله أخلاقَ سائر جنسه وأفعاله، وبُعدِه من الخير. وقد قيل: إنه أخذ من قول القائل:
“ Hanya saja dinamai semua hal yang durhaka sebagai syaithan adalah karena ia meninggalkan akhlaq dan tindakan yang sejenis dengannya dan jauhnya dari kebaikan.
Al Hafidz  Ibnu Katsir berkata:
والشيطان فِي لُغَةِ الْعَرَبِ مُشْتَقٌّ مِنْ شَطَن إِذَا بَعُدَ، فَهُوَ بَعِيدٌ بِطَبْعِهِ عَنْ طِبَاعِ الْبَشَرِ، وَبَعِيدٌ بِفِسْقِهِ عَنْ كُلِّ خَيْرٍ، وَقِيلَ: مُشْتَقٌّ مِنْ شَاطَ لِأَنَّهُ مَخْلُوقٌ مِنْ نَارٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: كِلَاهُمَا صَحِيحٌ فِي الْمَعْنَى، وَلَكِنَّ الْأَوَّلَ أَصَحُّ

“ Syaithan dalam bahasa arab merupakan pecahan kata ‘’Syathana”= apabila jauh. Tabi'atnya  jauh dari tabi’at manusia , Jauh dari segala macam kebaikan dengan sebab kefasikanya. 
Dan dikatakan juga bahwa ia berasal dari kata ‘’syaatha’’ karena terciptakan dari api. 
Dari keterangan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa syaithan adalah sifat bagi makhluq Allah yang memiliki sifat pendurhaka dan jauh dari segala bentuk kebaikan.
الرَّجِيمِ
Adalah sifat hakiki dari syaithan yang mengikuti wazan fa’iil  bermakna maf’ul =  al Marjum 
Imam Ibnu Jarir mengatakan
وتأويل الرجيم: الملعون المشتوم. وكل مشتوم بقولٍ رديء أو سبٍّ فهو مَرْجُوم. وأصل الرجم الرَّميُ، بقول كان أو بفعل
“ Penafsiran ar rajim adalah yang terlaknat lagi tercela. Setiap yang tercela dengan ucapan yang jelek adalah al Marjum. Makna akar kata rajm adalah melempar” [Tafsir ath Thabariy:1/112]
Dalam menguasai manusia dan jin, setan menempuh berbagai langkah yang dilakukan diantaranya, yaitu:
1.  وسوسة
Waswasah. Yaitu menimbulkan was-was pada manusia dan jin sehingga mereka ragu-ragu untuk bersikap dan bertindak. Rasa was-was yang berlebihan lama kelamaan akan menyebabkan orang jenuh dan letih dalam melakukan kebaikan. Akhirnya daripada tersiksa dalam kejenuhan dan letih maka ia tinggalkan kebaikan itu.
2.انساء
Insaa. Yaitu melenakan atau membuat mereka lupa. Hal ini dilakukan dengan berbagai hal yang menyenangkan dan mengasyikkan hingga mereka terlena. Karena itu hal-hal yang menyesatkan dan menjerumuskan biasanya menyenangkan dan melenakan. Setan selalu berusaha memanfaatkan nafsu yang ada pada manusia dan jin dalam program-program penyesatan ini.
3. تمنية
Tamanni yaitu memberi angan-angan. Semakin panjang angan-angan orang, semakin besar kesengsaaran yang ia rasakan. Hal ini dilakukan agar manusia dan jin tidak sempat berfikir atau memberi perhatian untuk beribadah dan menyukuri nikmat Allah yang ada di hadapannya.
4. تزيين
Tazyiin. Yaitu menghiasi kemaksiatan, kebatilan, dosa, dan kejahatan hingga terkesan sebagai ketaatan, keindahan, kebenaran, dan menarik. Rasulullah saw. mengatakan bahwa di akhir zaman akan semakin banyak orang yang menyeru ke pintu neraka, mereka berkata dengan bahasa kita [bahkan menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan hadits], berpakaian dengan pakaian kita layaknya para ulama.
5. وعد
Wa’d yaitu janji-janji palsu yang tak pernah ditepati. Janji itu kadang berupa bantuan, pertolongan, bahkan kebahagiaan hidup namun pada hakekatnya hanya isapan jempol dan pengingkaran.
6. كيد
Kaid atau tipu daya. Siang malam setan selalu melancarkan makar dan tipu daya untuk mencelakakan manusia. Bahkan hal ini mereka lakukan dalam gedung-gedung megah bertingkat dengan berbagai acara yang melibatkan para pakar, ahli, dan ilmuwan.
7.صد
 Shadd yaitu menghalangi mereka dari jalan Allah, baik dengan terang-terangan maupun tersembunyi.
8. عداوة
‘Adaawah yaitu permusuhan. Semakin tinggi ketaatan hamba kepada Allah, semakin besar permusuhan setan kepadanya.

Sunday, 10 March 2024

Penentuan Awal Ramadahan


Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaimana cara kita menyikapi perbedaan tersebut? 
Jawab :
Bismillah
Waalaikumsalam wararahmatullahi WA barakatuh 
Perbedaan tersebut sering terjadi karena perbedaan metode bagaimana menentukan awal bulan. Ada yang menggunakan metode hisab dan rukyah. Perbedaan tersebut juga disebabkan perbedaan kriteria teknik pelaksanaan metode hisab. 

Misal  Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) mengeluarkan kriteria imkan rukyah hilal Nahdlatul Ulama melalui Surat Keputusan LF PBNU No. 001/SK/LF–PBNU/III/2022 Tentang Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama.

Lembaga Falakiyah dalam lampiran surat keputusannya menyebut ketinggian hilal awal Ramadhan 1443 H minimal 3 (tiga) derajat.

“Tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi hilal minimal 6,4 derajat,” demikian bunyi surat keputusan yang ditandatangani Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa dan Sekretaris LF PBNU. 

Ketinggian hilal minimal 3 derajat pada kriteria imkan rukyah NU ini menjadi dasar pembentukan almanak Nahdlatul Ulama dan dasar penerimaan laporan rukyah hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyyah pada kalender Hijriyyah Nahdlatul Ulama.

Kriteria imkan rukyah NU putusan LF PBNU ini mulai diberlakukan sejak awal Ramadhan 1443 H. 

Imkan rukyat merupakan bagian dari metode hisab hakiki yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan pada sore hari konjungsi (ijtimak). Dalam metode ini, penanggalan berbasis peredaran bulan disebut memasuki perhitungan baru bila pada sore hari ke-29 bulan qamariah berjalan saat matahari terbenam, bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian sedemikian rupa yang memungkinkannya untuk dapat dilihat.

Sementara di negara lain seperti Mesir sudut ketinggian hilal minimal 4 derajat, di komunitas Muslim Amerika minimal 15 derajat. Kriteria-kriteria ini hanya didasarkan pada kesepakatan belaka bukan alasan astronomis.

Sedang Muhamadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal (antara arsi merah dan putih), Dalam metode wujudul hilal, bulan qamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu pertama, telah terjadi ijtimak, kedua, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam dan ketiga, pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.

Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan baru merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat.

Sama seperti imkan rukyat, metode wujudul hilal juga bagian dari hisab hakiki. Jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapapun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru. 

Hal inilah yang menyebabkan perbedaan yang terjadi di Indonesia. 

Namun sebenarnya Penentuan hari raya, baik masuknya Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah, sebenarnya bukanlah wewenang pribadi dan kelompok  masyarakat. Sejak zaman salaf, hal itu merupakan wewenang negara/penguasa, selama penguasa itu masih muslim terlepas apakah penguasa itu shalih atau tidak.

Jika banyak individu atau ormas memutuskan sendiri, padahal ormas jumlahnya begitu banyak, lalu tidak ada keseragaman pandangan di antara mereka, maka, bisa  dibayangkan mungkin akan terjadi versi hari raya yang begitu banyak.

Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma menceritakan:

تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah ﷺ  bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa" (HR. Abu Daud )

أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi ﷺ ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi ﷺ memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi )

Di hadits ini menunjukkan, Ibnu Umar tidak memutuskan sendiri, atau orang-orang yg melihat hilal pun tidak memutuskan sendiri, tapi tetap dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai pemimpin saat itu, lalu Beliau yang memutuskan. Hadits yang kedua juga demikian, orang-orang yang sudah melihat hilal tidak memutuskan sendiri tapi dilaporkan dulu ke Rasulullah sebagai pemimpin.

Di hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi ) 

Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” 

Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam   Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:

وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ

“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada  pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)

Ormas, para pakar, posisinya sebagai partner, teman diskusi, dan pemberi masukan. Ketika belum ada keputusan, maka silahkan eksplorasi berbagai dalil dan sudut pandang, jangan dibatasi. Tapi ketika sudah ada keputusan pemerintah maka sebaiknya keputusan pemerintah ini dipatuhi bersama. 

Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُ عَنْ مَذْهَبِهِ لِمَذْهَبِ الْحَاكِمِ وَتَتَغَيَّرُ فُتْيَاهُ بَعْدَ الْحُكْمِ

Ketahuilah, bahwa keputusan pemimpin dalam masalah yang masih diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim  (pemimpin) dan dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim. (Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)

Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:

فإذا حكم ولي أمر المسلمين بحكم ترى أنت أن فيه معصية، والمسألة من مسائل الخلاف فيجب عليك طاعته، ولا إثم عليك؛ لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف

Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan perselisihan. (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah Al Islamiyah)

Demikianlah, dalam peribadatan yang sifatnya kolektif (jama'i) seringkali kita harus mengalahkan emosi dan fanatisme kelompok dan pribadi demi kebersamaan umat Islam. Kebersamaan itu harus nyata dan nampak, bukan hanya teori saja.

Wallahu A'lam.

Wednesday, 13 December 2023

Benarkah Nabi Lahir 12 Rabiul Awal?



Masalah ini mulai sering dimunculkan agar menjadi ragu dengan kelahiran Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallama, sehingga tidak melakukan perayaan Maulid Nabi di tanggal 12 Rabiul Awal tersebut.
Berkenaan dengan kelahiran Rasulullah ini meliputi 3 pembahasan, hari lahirnya, tahun kelahirannya dan tanggal kelahirannya.
Hari Lahir Nabi
Ulama sepakat kelahiran Rasulullah adalah hari Senin sebagaimana dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim
Tahun Kelahiran Nabi
Dijelaskan dalam banyak hadis disebutkan:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفِيْلِ. رواه البزار والطبراني في الكبير ورجاله موثقون (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق - ج 1 / ص 242)
“Ibnu Abbas berkata: Rasulullah dilahirkan di tahun gajah” HR al-Bazzar dan al-Thabrani, para perawinya terpercaya
Juga dalam riwayat lain ditegaskan bahwa Qais bin Makhzamah memiliki kesamaan tahun kelahiran dengan Rasulullah di tahun Gajah (HR Ahmad, dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth)
Tanggal Kelahiran Nabi
Imam Nawawi berkata:
وَاخْتَلَفُوا فِي يَوْم الْوِلَادَة هَلْ هُوَ ثَانِي الشَّهْر ، أَمْ ثَامِنه ، أَمْ عَاشِره ، أَمْ ثَانِي عَشَره ؟ (شرح النووي على مسلم - ج 8 / ص 66)
“Ulama beda pendapat tentang hari kelahirannya, apakah hari 2 bulan Rabiul Awal, ke 8, ke 10 ataukah ke 12 ? (Syarah Muslim 8/66)
Dalil Penguat Tanggal 12 Rabiul Awal
- Hadis al-Baihaqi
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ قَالَ : وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً مَضَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ  قَالَ الْبَيْهَقِي رَحِمَهُ اللهُ : وَرَوَيْنَا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ثُمَّ عَنْ قَيْسِ بْنِ مَخْزَمَةَ ثُمَّ عَنْ قبُاَثَ بْنِ أَشِيْمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ عَامَ الْفِيْلِ وَكَانَ الزُّهْرِي وَمَنْ تَابَعَهُ يَقُوْلُوْنَ وُلِدَ بَعْدَهُ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ (شعب الإيمان - ج 2 / ص 134)
Muhammad bin Ishaq berkata: “Rasulullah dilahirkan pada 12 malam bulan Rabiul Awal”. Al-Baihaqi berkata: “Kami meriwayatkan dari Ibnu Abbas kemudian dari Qais bin Makhzamah kemudian dari Qubats bin Asyim bahwa Nabi dilahirkan pada tahun Gajah. Al-Zuhri dan yang mengikutinya mengatakan bahwa dilahirkan sesudah tahun Gajah. Pendapat pertama lebih sahih (HR al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman)

- Riwayat Ibnu Abi Syaibah
قَالَ أَبُوْ بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ : حَدَّثَنَا عُثْمَانُ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ مَيْنَاءَ عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَا : وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفِيْلِ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ وَفِيْهِ بُعِثَ وَفِيْهِ عُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ وَفِيْهِ هَاجَرَ وَفِيْهِ مَاتَ فِيْهِ انْقِطَاعٌ وَقَدِ اخْتَارَهُ الْحَافِظُ عَبْدُ الْغَنِى بْنُ سُرُوْرٍ الْمَقْدِسِي فِي سِيْرَتِهِ (سيرة ابن كثير - ج 2 / ص 93)
“Jabir dan Ibnu Abbas berkata: “Nabi dilahirkan pada tahun Gajah, hari Senin 12 Rabiul Awal. Di hari Senin beliau diangkat menjadi Nabi, melakukan Mi’raj ke langit, hijrah ke Madinah dan hari Senin beliau wafat” Sanadnya terputus dan dipilih oleh al-Hafidz Abd al-Ghani bin Surur al-Maqdisi  dalam kitab sejarahnya” (Sirah Ibni Katsir, 2/93) Juga dapat dilihat dalam al-Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir.

- Ahli Hadis al-Munawi
(تنبيه) الْأَصَحُّ أَنَّهُ وُلِدَ بِمَكَّةَ بِالشُّعَبِ بِعِيْدِ فَجْرِ الْاِثْنَيْنِ ثَانِيَ عَشَرَ رَبِيْعَ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ (فيض القدير - ج 3 / ص 768)
“Pendapat yang lebih sahih bahwa Nabi dilahirkan di Kabilah Quraisy pada fajar hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah” (Faidh al-Qadir 3/768)
Bahkan ulama Salafi pun berpendapat 12 Rabiul Awal:
- Syaikh Bin Baz
فتوى رقم (3474):
س: أُرِيْدُ التَّعَرُّفَ عَنْ حَيَاةِ الرَّسُوْلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى وُلِدَ؟ ... 
ج: وُلِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً مَضَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ ... (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء - ج 6 / ص 277)
“Fatwa No 3474: Soal: Saya inging mengetahui kehidupan Rasulullah Muhammad shalla Allahu alaihi wa sallama, kapan dilahirkan?
Jawab: “Nabi dilahirkan di hari Senin, 12 malam di bulan Rabiul Awal tahun Gajah” (Fatawa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiah wa al-Ifta’, 6/277)
- Syaikh Abdullah al-Faqih
وَأَكْثَرُ أَهْلِ السِّيَرِ عَلَى أَنَّهُ وُلِدَ يَوْمَ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ، بَعْدَ الْحَادِثَةِ بِخَمْسِيْنَ يَوْماً (فتاوى الشبكة الإسلامية - ج 44 / ص 50)
“Kebanyakan ahli sejarah bahwa Nabi dilahirkan pada 12 Rabiul Awal, tahun Gajah, setelah 50 hari dari peristiwa tersebut” (Fatawa al-Syabkah al-Islamiyah, 44/50)
فَالْمَشْهُوْرُ فِي كُتُبِ السِّيْرَةِ النَّبَوِيَّةِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ فِي الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ (فتاوى الشبكة الإسلامية - ج 126 / ص 120)
“Pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab sejarah kenabian bahwa Nabi dilahirkan pada 12 Rabiul Awal, tahun Gajah” (Fatawa al-Syabkah al-Islamiyah, 126/120)
سيرة ابن كثير - (ج 1 / ص 392)
 و قال ابن عباس : ولد نبيكم محمد صلى الله عليه و سلم يوم الاثنين و نبئ يوم الاثنين ثم قيل : كان ذلك في شهر ربيع الأول كما تقدم عن ابن عباس و جابر أنه ولد عليه السلام في الثاني عشر من ربيع الأول يوم الاثنين و فيه بعث و فيه عرج به إلى السماء
فتاوى الأزهر - (ج 8 / ص 255)
روى عن جابر وابن عباس :
ولد رسول الله صلى الله عليه وسلم عام الفيل يوم الاثنين الثانى عشر من ربيع الأول ، وفيه بعث وفيه عرج به إلى السماء وفيه هاجر وفيه مات أى فى شهر ربيع الأول ، فالرسول صلى الله عليه وسلم نص على أن يوم ولادته له مزية على بقية الأيام ، وللمؤمن أن يطمع فى تعظيم أجره بموافقته ليوم فيه بركة ، وتفضيل العمل بمصادفته لأوقات الامتنان الإِلهى معلوم قطعا من الشريعة، ولذا يكون الاحتفال بذلك اليوم ، وشكر الله على نعمته علينا بولادة النبى وهدايتنا لشريعته مما تقره الأصول
الفصول في السيرة - (ج 1 / ص 219)
 و قال السهيلي ما زعم أنه لم يسبق إليه : من أنه لا يمكن أن تكون وقفته يوم الجمعة تاسع ذي الحجة ثم تكون وفاته يوم الإثنين الثاني عشر من ربيع الأول بعده سواء حسبت الشهور كاملة أم ناقصة أم بعضها كاملا و بعضها ناقصا 
 و قد حصل له جواب صحيح في غاية الصحة و لله الحمد أفردته مع غيره من الأجوبة و هو أن هذا إنما وقع بحسب اختلاف رؤية هلال ذي الحجة في مكة و المدينة فرآه أهل مكة قبل أولئك بيوم و على هذا يتم القول المشهور ولله الحمد والمنة
تحفة الأحوذي - (ج 9 / ص 26)
 قَالَ اِبْنُ الْجَوْزِيِّ فِي التَّلْقِيحِ : اِتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيلِ وَاخْتَلَفُوا فِيمَا مَضَى مِنْ ذَلِكَ لِوِلَادَتِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا أَنَّهُ وُلِدَ لِلَّيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ ، وَالثَّانِي لِثَمَانٍ خَلَوْنَ مِنْهُ ، وَالثَّالِثُ لِعَشْرِ خَلَوْنَ مِنْهُ ، وَالرَّابِعُ لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْهُ اِنْتَهَى .

Tuesday, 31 October 2023

Apa Hukum Suami yang tidak Menafkahi Istri?

Pertanyaan :
Assalamualaikum
Apa hukum suami tidak menafkahi Istri? Apakah suami tetap memiliki hak sebagai suami?
Lalu apakah nafkah itu berkaitan dengan ketaatan istri dalam pernikahan, maksudnya apakah seorang istri boleh tidak taat jika tidak dinafkahi?
XXXXX

Jawab :
Wa'alaikumussalam WA rahmatullahi WA barakatuh.
Secara Bahasa, kata nafkah berasal dari Bahasa arab ( نفقة ) yang berasal dari kata nafaqa dan berimbuhan hamzah anfaqa yunfiqu infak atau nafaqah. Dalam Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Murtadla al-Zabidi mendifinisikan nafkah adalah harta yang diberikan kepada diri sendiri atau keluarga. nafkah juga diucapkan dengan infak yang diambil dari kata yang sama nafaqa.
Dan dalam Lisanu al-‘Arab, Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa kata nafkah atau infak merupakan sinonim kata shadaqah dan ith’am (memberi makan). Infak dinamakan shadaqah jika seseorang yang mengeluarkan hartanya dengan kejujuran (keikhlasan) dari hatinya.
Nafkah menurut syara’ adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Menurut para ahli fiqih definisi nafkah adalah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang dan papan termasuk kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tanggga.
 Allah memerintahkan seseorang memberi nafkah kepada keluarga berdasarkan dari firman Allah swt berikut, Surat al-Baqarah ayat 233
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli warispun seperti itu. (QS. Al-Baqarah: 233)
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ – ٧
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (QS. At-Talaq: 7)
قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ 
Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, memberi nafkah adalah kewajiban bagi seroang suami tetapi itu disesuaikan dengan kemampuan dan kadar rizkinya. Jika ia kaya maka ia menafkahi keluarganya sesuai dengan kekayaannya, tetapi jika ia miskin ia menafkahi keluarganya sesuai dengan rizkinya. Dan nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada yang berlaku di masyarakat setempat. Dan tidak ada yang mengetahui kadar kemampuan seseorang dalam memberi nafkah kecuali dirinya, karena itulah ia sendiri yang bisa menyesuaikan dengan kondisinya dalam memberi nafkah kepada keluarganya.
Meski memberi nafkah merupakan sebuah kewajiban, tetapi hal itu tidak perlu ditakutkan dan dirisaukan oleh seorang suami yang menjadi kepala rumah tangga. Sebab sebagaimana dijelaskan Allah swt telah menjamin rezeki setiap orang.
وَيَقْدِرُ لَهٗ ۗوَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ – ٣٩
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)
 Ayat ini menjelaskan bahwa rizki itu sudah ditentukan Allah swt; lapang dan sempitnya. Dan menariknya, Allah telah berjanji bahwa segala nafkah atau infak yang dikeluarkan akan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah swt yang maha pemberi rezeki.
Tidak hanya itu, memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak terbaik yang dikeluarkan seseorang dari pada infak yang dikeluarkan untuk berjihad di jalan Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abdurrahman Tsauban berikut.
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجرًا الذي أنفقته على أهلك».
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda,: “Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dan dinar yang kamu infakkan untuk memerdekan budak, dan dinar yang kamu shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang yang kamu infakkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu”. (HR Muslim)
Sehingga dapat kita simpulkan orang yang mampu memberi nafkah tetapi tidak memberi nafkah kepada keluarganya merupakan hal yang dilarang dan mendapat dosa. Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma’.
Adapun dalil-dalil dari hadits, antara lain:
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,”Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud].
Pada saat haji wada’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik). [HR Muslim].
Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah dalam al Iqna fii Masailil Ijma’  menukilkan Ijma’ tentang masalah masalah nafkah, dengan perkataan beliau: “Ahlul ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)”. 
Lalu berapa besaran nafkah tersebut? 
Menurut Imam Asy-Syafii (w. 204 H) sebagaimana yang beliau tulis di dalam kitabnya Al-Umm sebagai berikut :
[باب قدر النفقة] (قال الشافعي) قال والنفقة نفقتان نفقة الموسر ونفقة المقتر عليه رزقه وهو الفقير ..قال وأقل ما يلزم المقتر من نفقة امرأته المعروف ببلدهما قال فإن كان المعروف أن الأغلب من نظرائها لا تكون إلا مخدومة عالها وخادما لها واحدا لا يزيد عليه وأقل ما يعولها به وخادمها ما لا يقوم بدن أحد على أقل منه وذلك مد بمد النبي - صلى الله عليه وسلم “
في كل يوم من طعام البلد الذي يقتاتون حنطة كان أو شعيرا أو ذرة أو أرزا أو سلتا ولخادمها مثله ومكيلة من أدم بلادها زيتا كان أو سمنا بقدر ما يكفي ما وصفت من ثلاثين مدا في الشهر ولخادمها شبيه به.
ويفرض لها في دهن ومشط أقل ما يكفيها ولا يكون ذلك لخادمها لأنه ليس بالمعروف لها
(قال الشافعي) : وإن كانت ببلد يقتاتون فيه أصنافا من الحبوب كان لها الأغلب من قوت مثلها في ذلك البلد وقد قيل لها في الشهر أربعة أرطال لحم في كل جمعة رطل وذلك المعروف لها،
وفرض لها من الكسوة ما يكسي مثلها ببلدها عند المقتر وذلك من القطن الكوفي والبصري وما أشبههما ولخادمها كرباس وتبان وما أشبهه
وفرض لها في البلاد الباردة أقل ما يكفي في البرد من جبة محشوة وقطيفة أو لحاف وسراويل وقميص وخمار أو مقنعة ولخادمها جبة صوف وكساء تلتحفه يدفئ مثلها وقميص ومقنعة وخف وما لا غنى بها عنه وفرض لها للصيف قميصا وملحفة ومقنعة قال وتكفيها القطيفة سنتين والجبة المحشوة كما يكفي مثلها السنتين ونحو ذلك.. إلخ..
Imam syafi’i berkata : dan nafkah itu terdapat dua macam: nafkah ketika lapang dan nafkah ketika sempit rezekinya yaitu seorang yang faqir¦ dan nafkah yang paling sedikit yang harus dikeluarkan oleh seorang suami yang sempit rezekinya adalah yang sesuai dengan adat negaranya, walaupun yang ma’ruf namun mayoritas adalah dilayani kebutuhannya, pembantu untuknya, dan tidak lebih dari itu.
Dan paling sedikit dari apa yang dia berikan kepadanya dan melayaninya apa yang tidak dilakukan seseorang yang lebih sedikit darinya, yaitu 1 mud dengan ukuran mudnya Nabi setiap hari dari makanan yang dia makan di negaranya baik itu gandum dengan segala jenisnya hinthah, sya’ir (jelai), jagung, nasi, atau jenis gandum (jenis makanan), dan untuk pembantunya juga sama seperti itu.
Dan lauk yang sesuai dengan negaranya, baik itu minyak, lemak secukupnya kira-kira 30 mud dalam waktu sebulan, dan begitu pula sama dengan pembantunya, dan menyediakan baginya minyak rambut dan sisir sesuai dengan kecukupannya, dan tidak memberikan itu kepada pembantunya, karena ini bukan suatu adat untuknya.

(Imam syafi’i berkata): jika si istri dari Negara yang makanan pokoknya adalah segala jenis biji-bijian maka untuknya biji-bijian yang mayoritas dikonsumsi di Negara tersebut. Dan ada yang berpendapat: untuknya daging 4 rithl dalam sebulan, setiap jum’at 1 rithl daging dan itu yang ma’ruf di negaranya.
Dan menyediakan untuknya pakaian yang sesuai dengan kebiasaan negaranya sesuai dengan kondisi suaminya yang kurang, yaitu bahan kapas buatan Kufah , Bashrah dan sejenisnya, dan untuk pembantunya seperti ribas (katun putih), tubban (pakaian) dan sejenisnya.
Dan menyediakan untuknya di Negara yang dingin paling tidak yang cukup untuk menahan dingin dari jubbah yang kasar, jaket, selimut, celana, baju kemeja, penutup kepala, jenis baju untuk menahan dingin. Dan untuk pembantunya jubah dari bulu, baju yang dapat memberikan rasa hangat, baju kemeja, penutup kepala, sepatu diatas mata kaki, dan apa saja yang ia butuhkan.
Dan menyediakan untuknya ketika musim panas baju, pakaian yang dapat menutup, dan tutup kepala, dan cukup baginya beludru (sutra) dipakai selama dua tahun, dan jubah dari kain kasar bisa di pakai selama 2 tahun. Dan seterusnya.
Al-Imam Asy-Syafii Al-Umm, jilid 5 hal. 95
Asy-Syirazi (w. 476 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
إذا كان الزوج موسراً وهو الذي يقدر على النفقة بماله أو كسبه لزمه في كل يوم مدان وإن كان معسرا وهولا يقدر على النفقة ولا كسب لزمه في كل يوم مد
وتجب النفقة عليه من قوت البلد
ويجب لها الأدم بقدر ما يحتاج إليه من أدم البلد
ويجب لها ما تحتاج إليه من المشط والسدر والدهن للرأس وأجرة الحمام إن كان عادتها دخول الحمام
ويجب لها الكسوة...ويجب لامرأة الموسر من مرتفع ما يلبس في البلد من القطن والكتان والخز والإبريسم ولامرأة المعسر من غليظ القطن والكتان ولامرأة المتوسط ما بينهما
ويجب لها ملحفة أو كساء ووسادة ومضربة محشوة للنوم ... ويكون ذلك لامرأة الموسر من المرتفع ولامرأة المعسر من غير المرتفع ولامرأة المتوسط ما بينهما
ويجب لها مسكن .... ويكون المسكن على قدر يساره وإعساره وتوسطه كما قلنا في النفقة
وإن كانت المرأة ممن لا تخدم نفسها بأن تكون من ذوات الأقدار أو مريضة وجب لها خادم ...ولا يجب لها أكثر من خادم واحد ... ولا يجوز أن يكون الخادم إلا امرأة أو ذا رحم محرم
وإن كان الخادم مملوكاً لها واتفقا على خدمته لزمه نفقته فإن كان موسراً لزمه للخادم مد وثلث من قوت البلد وإن كان متوسطاً أو معسراً لزمه مد
ويجب أن يدفع إليها نفقة كل يوم إذا طلعت الشمس لأنه أول وقت الحاجة ويجب أن يدفع إليها الكسوة في كل ستة أشهر لأن العرف في الكسوة أن تبدل في هذه المدة
Jika suami seorang yang mapan dan mampu menafkahi dengan hartanya atau hasil kerjanya maka wajib baginya menafkahi setiap hari 2 mud, jika suami tidak mapan dan tidak terlalu mampu menafkahi maka wajib baginya 1 mud. Dan suami wajib memberi nafkah berupa makanan yang biasa dimakan di negaranya.
Suami juga wajib memberi kepada istri makanan pelengkap atau lauk sesuai standar kebutuhan di negara tersebut. Suami wajib menyediakan kebutuhan istri berupa sisir, wewangian, minyak rambut, dan anggaran biaya kamar mandi jika dia terbiasa menggunakan kamar mandi.
Suami wajib menyediakan pakaian. jika istri dari kalangan berada maka wajib baginya pakaian yang terbaik baik dari katun, linen, khaz, dan sutera. Jika suaminya tidak mapan maka bagi istrinya pakaian dari katun kasar dan linen. Jika dari kalangan menengah maka diantara keduanya (antara standar berada dan biasa).
Suami wajib menyediakan selimut dan seprainya, dan bantal, dan hal yang lazim dibutuhkan untuk tidur... dan bagi istri yang suaminya mapan maka dia berhak mendapatkan kualitas terbaik. Dan jika suami tidak mapan maka dia mendapatkan yang kualitaas biasa. Dan istri dari kalangan menengah diantara keduanya.
Wajib menyediakan tempat tinggal. dan tempat tinggal ini disesuaikan dengan kemampuan suami, mapan, tidak mapan, atau menengah, sebagaimana telah disebutkan di bab nafkah.
Jika istri tidak biasa melayani diri sendiri karena dia dari kalangan berada atau karena sakit maka wajib menyediakan pembantu. dan suami tidak wajib menyediakan lebih dari satu .dan pembantu tersebut haruslah seorang wanita atau mahram. Jika pembantu itu adalah milik istri dan mereka sepakat bahwa budak itu digunakan untuk mebnatu suami maka si suamilah yang wajib menafkahi pembantu itu. Jika dia mampu maka wajib memberi 1 dan sepertiga mud makanan pokok di negeri tersebut, jika sari kalangan menengah dan tidak mampu maka wajib memberi 1 mud.
Suami wajib memberi istrinya nafkah harian kepada ketika matahari terbit karena merupakan awal waktu kebutuhan istri dimulai, dan wajib memberi pakaian setiap enam bulan karena biasanya pakaian akan berubah pada masa waktu ini.
 Imam Nawawi (w. 676 H) menuliskan di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin sebagai berikut :
أما نفقة الزوجة، فواجبة بالنصوص، والإجماع، ...: الأول في قدر الواجب وكيفيته وفيه طرفان: الأول فيما يجب وهو ستة أنواع: الأول الطعام، أما قدره، فيختلف باختلاف حال الزوج باليسار والإعسار
الواجب الثاني: الأدم وجنسه غالب أدم البلد من الزيت والشيرج والسمن والتمر والخل والجبن وغيرها ... ويعود الوجه السابق في الطعام أن الاعتبار بما يليق بالزوج، وأما قدره، فقال الأصحاب: لا يتقدر
الواجب الثالث: الخادم. النساء صنفان، صنف لا يخدمن أنفسهن في عادة البلد، بل لهن من يخدمهن، فمن كانت منهن، فعلى الزوج إخدامها على المذهب وبه قطع الجمهور... والاعتبار بالمرأة في بيت أبيها
الواجب الرابع: الكسوة فتجب كسوتها على قدر الكفاية، وتختلف بطول المرأة وقصرها وهزالها وسمنها، وباختلاف البلاد في الحر والبرد
الواجب الخامس: آلات التنظف، فعلى الزوج للزوجة ما تتنظف به، ...والرجوع في قدرها إلى العادة
الواجب السادس: الإسكان فيجب لها مسكن يليق بها في العادة
Nafkah untuk istri merupakan kewajiban berdasarkan nash-nash dan ijma'. Pembahasan pertama tentang hal-hal yang wajib ada enam macam :
Pertama : Makanan pokok, kadarnya berbeda-beda tergantung kondisi finansial suami sedang lapang atau sempit (rezekinya).
Kedua : Lauk atau makanan pelengkap, dan jenisnya disesuaikan dengan kebiasaan di tempat tersebut seperti; minyak, minyak wijen, mentega, kurma, cuka, keju dan sebagainya. dan seperti yang telah dibahas pada makanan pokok, kadarnya disesuaikan dengan kondisi suami.
Ketiga : Pembantu. Wanita ada dua macam, ada yang tidak biasa melayani kebutuhan dirinya sendiri seperti terdapat di beberapa negara, selalu ada yang melayani kebutuhannya, jika istrinya dari kalangan seperti ini, maka suami harus menyediakannya menurut pendapat mazhab ini dan jumhur... dan hal ini kembali kepada kondisi wanita tersebut ketika di rumah orang tuanya...
Keempat : Pakaian, maka wajib memberikan pakaian yang cukup, yang sesuai dengannya; tinggi, pendek, kurus, dan gemuk. Dan juga sesuai dengan kondisi tempat tinggal saat musim panas dan dingin...
Kelima : Alat-alat yang dibutuhkan untuk membersihkan diri. Seorang suami wajib menyediakan untuk istrinya alat-alat yang dibutuhkan untuk membersihkan diri, kadarnya disesuaikan dengan kondisi setempat.
Keenam : Tempat tinggal, suami wajib menyediakan tempat tinggal yang layak disesuaikan dengan kondisi setempat .
Besaran nafkah menurut Imam Syafi'i dalam qoulul qodim serta sebagian ulama-ulama mazhab Syafi’i seperti Ibnu Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Abu Fadhl dan lain-lain, mengatakan bahwa nafkah adalah wajib Alal kifayah atau secukupnya, tidak ada angka tertentu tetapi dikembalikan pada kebutuhan dan kebiasaan.
Seorang suami boleh tidak menafkahi jika ada 5 hal dalam diri istrinya :
1. istri kabur atau pindah dari rumah suaminya ke tempat lain tanpa seizin suaminya atau alasan yang dibenarkan agama. 
Menurut Ibnu Abdin Muhammad Amin bin Umar al-Hanafi dalam kitabnya Radd al-Muhtar jika istri melakukan seperti itu boleh tidak dinafkahi.  
2. istri bepergian tanpa izin dan kebolehan dari suaminya. Menurut Maharati terkait hal ini antara para ulama memasukkan perginya seorang istri tanpa izin dari suami sebagai bentuk nusyuz. Maka mengutip Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, istri tak berhak mendapatkan nafkah dari suami.  
Bahkan dalam Mazhab Syafi'i, seorang istri yang bepergian ibadah sunnah ketika suami tak mengijinkan termasuk bentuk nusyuz. Nusyuz adalah maksiatnya istri atau ketidaktaatan istri terhadap konsekuensi dari nikah yang sah, salah satunya adalah berhubungan badan. 
3. Istri menolak melakukan sesuatu yang diperbolehkan karena akad nikah yang sah, atau disebut nusyuz, kecuali jika memang ada udzur yang diperbolehkan. 
4.  Istri dipenjara karena melakukan tindak pidana 
5. Suami meninggal sehingga ia menjadi seorang janda, dalam hal ini istri berhak mewarisi harta peninggalan suaminya, sesuai dengan bagian yang ditetapkan.
Jadi seorang suami yang memiliki istri yang baik dan dia mampu menafkahi tetapi dia tidak melakukan maka dia berdosa. Bahkan istri boleh mengambil harta suami sebagaimana dalam satu hadits Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
 Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)

Lalu bagaimana jika seorang suami memang tidak mampu memberi nafkah? Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan.
لزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل
“Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.” Ketika seorang suami ternyata tidak bisa memenuhi kewajiban pemberian nafkah, selama istrinya rela dan lapang dada untuk saling berbagi, maka ikatan pernikahan tetap bisa dipertahankan. Kebijakan semacam ini tercermin dalam Alquran surat al-Talaq: 7 :
 لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. Sebaliknya, ketika istri merasa tidak bisa bersabar akan hal tersebut. Ia boleh menuntut hak tersebut kepada suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, juz VII, hal. 121:
 قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ
“Imam Syafi’i berkata, baik Alquran maupun sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak boleh meninggalkannya sehingga diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersamanya atau pisah dengannya,”

Lalu apakah ada hubungan antara kewajiban taat kepada suami dengan tidak dipenuhinya nafkah. Nafkah adalah kewajiban suami dan hak bagi istri. Dalam Islam jika hak seseorang tidak di berikan maka dia boleh menuntut hak nya. Namun seorang istri yang di dzalimi kemudian dia tetap tetap berlaku adil dengan menjalankan kewajibanya  tentunya akan mendapatkan pahala yang besar.  Allah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 8
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( AL Maidah : 8)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menerangkan dalam Tafsir Munir bahwa hendaklah seorang yang beriman jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran sebagaimana yang kalian janjikan kepada Allah. Seraya mengagungkan dan ikhlas hanya karena Allah. Dan jadilah saksi dengan penuh kadilan tanpa bermaksud menguntungkan seseorang. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil dan menyembunyikan persaksian yang bermanfaat untuk mereka. Berlaku adillah kepada siapapun, karena adil itu lebih dekat kepada takwa Allah, atau karena takut kepada neraka. Dan bertakwalah kepada Allah dengan menjalankan syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan dan Maha memberi balasan atas itu.

Jadi sebagai seorang mukmin, jika suaminya berbuat dzalim maka dia tetap harus berbuat adil dengan menjalankan keajiban-kewajibanya. Pilihan tersebut tentunya berat, namun ketika seorang istri memilih untuk tetap bertahan dan taat kepada suaminya maka dia akan mendapatkan keutamaan yang besar.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi).
Yang dimaksudkan dengan hadits di atas adalah jika seorang wanita beriman itu meninggal dunia lantas ia benar-benar memperhatikan kewajiban terhadap suaminya sampai suami tersebut ridha dengannya, maka ia dijamin masuk surga. Bisa juga makna hadits tersebut adalah adanya pengampunan dosa atau Allah meridhainya. (Lihat Nuzhatul Muttaqin karya Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, hal. 149).
Begitu pula ada hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
Dengan ketaatan seorang istri, maka akan langgeng dan terus harmonis hubungan kedua pasangan. Hal ini akan sangat membantu untuk kehidupan dunia dan akhirat.Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan istri yang taat suami itulah yang dianggap wanita terbaik.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai)

Namun jika hal tersebut dirasa berat bagi istri maka, Islam juga memberikan jalan keluar yaitu kebolehan untuk menuntut perceraian.

Temanggung, 1 November 2023
Ta' Rouf Yusuf
Wallahu a’lam

Friday, 27 October 2023

Tips Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga

Islam dengan agama yang sempurna telah memerintahkan kedua orang tua untuk saling menunaikan hak masing-masing, agar tidak terjadi sesuatu tidak terpuji.  Diantara hak-hak ini adalah:

1. Ketaatan seorang isteri kepada suami sesuai koridor yang benar. Diriwayatkan oleh al-Bazar dan ath-Thabrani bahwa suatu hari di masa Rasulullah saw. para wanita berkumpul dan mengirim salah seorang utusan kepada beliau, dan berkata kepadanya, 
يا رسول الله، أنا وافدة النساء اليك، هذا الجهاز كتبه الله على الر جال، فان يصيبوا اجروا وان قتلوا كانوا احياء عند ربهم يرزقون، ونحن معشر النساء نقوم عليهم. فما لنا من ذلك؟ فقال رسول الله: اللعب من بقيت من النساء: “ان طا هو الزوج٫ والاعتراف بحقه، يعدل” ذلك، وقليل منكن من يفعله
"Wahai Rasulullah, saya diutus oleh para wanita kepadamu. Allah telah mewajibkan jihad bagi laki-laki. Jika mereka menunaikannya, mereka mendapat pahala. Jika mereka gugur, mereka akan tetap hidup dan diberi rezeki di sisi Allah. Sedangkan kami para wanita yang mengurus mereka, apakah juga mendapat pahala?" Lalu Rasulullah saw. menjawab, "Sampaikan kepada para wanita yang kau temui, bahwa taat kepada suami dan memenuhi haknya adalah sama dengan itu (maksudnya sama dengan pahala jihad di jalan Allah), namun sangat sedikit di antara kalian yang melakukannya."

2. Isteri yang menjaga harta suaminya dan memelihara dirinya sendiri. Rasulullah saw. bersabda, 
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرٍ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ

"Akan aku beritahu kepada kalian semua, sebaik-baik harta simpanan seorang laki-laki adalah wanita salihah. Apabila ia (laki-laki) memandangnya, maka ia (wanita) akan menyenangkannya. Jika suami memerintahnya, ia menaatinya. Dan apabila suami sedang pergi, ia menjaga harta suaminya dan dirinya." (HR. Ibnu Majah)

3. Tidak menolak ajakan suami untuk tidur bersama. Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
 "Apabila seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidur, namun ia menolaknya, lalu malam itu sang suami marah kepadanya, malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh." (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Suami berkewajiban mencari nafkah untuk isteri dan anak-anaknya. Allah Ta'ala berfirman,
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
 "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf." (al-Baqarah: 233)  
اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ.

Rasulullah saw. bersabda, "Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambilnya (menjadi isteri) dengan amanah Allah, dan kalian menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah. Maka, berilah nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang benar (makruf)." (HR. Muslim)

5. Bermusyawarah dengan isteri dalam urusan-urusan rumah tangga. Rasulullah saw. bersabda, 
امروا النساء في بنا تهن 
"Musyawarahkan urusan anak-anak perempuanmu dengan isterimu." (HR. Ahmad dan Abu Daud) 
Maksudnya, minta izin kepada isteri sebelum mereka anak-anak perempuan itu dilamar.

6. Hendaknya seorang suami menutup mata terhadap kekurangan-kekurangan isterinya, terutama bila sang isteri memiliki kebaikan-kebaikan lain yang dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut. Rasulullah saw. bersabda, 
لاَ يَفْرَك مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَة إِنْ كَرِه مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَر
"Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (isteri).  Sebab, bila ada satu hal yang dibencinya (dari isterinya itu) boleh jadi ia ridha pada hal lainnya." (HR. Muslim)

7. Hendaknya seorang suami memperlakukan isterinya dengan baik, lemah lembut terhadapnya dan bercanda bersamanya. Firman Allah, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (an-Nisaa': 19) Rasulullah saw. bersabda,
خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلى
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku di antara kalian. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. memperlihatkan sebuah mainan kepada Aisyah ra. di halaman masjid, Lalu beliau meletakkan telapak tangannya pada pintu dan menjulurkan sebelah tangannya. Lalu Aisyah meletakkan wajahnya pada bahu Rasulullah. 
Abu Daud dan an-Nasa'i meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berlomba lari dengan Aisyah. Suatu ketika Aisyah mengalahkannya. Namun pada hari lainnya beliau mengalahkan Aisyah, lalu berkata. "Ini untuk kekalahan yang kemarin."
Umar ra. yang dikenal sangat kuat dan serius berkata, "Seharusnya seorang laki-laki bertingkah seperti anak kecil saat bersama keluarganya (maksudnya dalam kemesraan dan kemudahan), meski di tengah masyarakat ia bertindak sebagai pria jantan."

8. Hendaknya seorang suami membantu isterinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ini untuk meneladani Nabi saw., seperti yang tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya dari Aisyah ra. Aisyah ditanya, "Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di rumah?" Maka Aisyah menjawab, "Seperti yang kalian
semua kerjakan. Beliau mengangkat dan menurunkan barang-barang, membantu pekerjaan keluarganya, memotong daging,
menyapu lantai, dan menolong pembantu yang sedang bekerja."

Tarbiyatul Aulad fil Islam karya Abdulla bin Nashih Ulwan

Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...