Pertanyaan :
Assalamualaikum
Apa hukum suami tidak menafkahi Istri? Apakah suami tetap memiliki hak sebagai suami?
Lalu apakah nafkah itu berkaitan dengan ketaatan istri dalam pernikahan, maksudnya apakah seorang istri boleh tidak taat jika tidak dinafkahi?
XXXXX
Jawab :
Wa'alaikumussalam WA rahmatullahi WA barakatuh.
Secara Bahasa, kata nafkah berasal dari Bahasa arab ( نفقة ) yang berasal dari kata nafaqa dan berimbuhan hamzah anfaqa yunfiqu infak atau nafaqah. Dalam Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Murtadla al-Zabidi mendifinisikan nafkah adalah harta yang diberikan kepada diri sendiri atau keluarga. nafkah juga diucapkan dengan infak yang diambil dari kata yang sama nafaqa.
Dan dalam Lisanu al-‘Arab, Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa kata nafkah atau infak merupakan sinonim kata shadaqah dan ith’am (memberi makan). Infak dinamakan shadaqah jika seseorang yang mengeluarkan hartanya dengan kejujuran (keikhlasan) dari hatinya.
Nafkah menurut syara’ adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Menurut para ahli fiqih definisi nafkah adalah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang dan papan termasuk kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tanggga.
Allah memerintahkan seseorang memberi nafkah kepada keluarga berdasarkan dari firman Allah swt berikut, Surat al-Baqarah ayat 233
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli warispun seperti itu. (QS. Al-Baqarah: 233)
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ – ٧
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (QS. At-Talaq: 7)
قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ
Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, memberi nafkah adalah kewajiban bagi seroang suami tetapi itu disesuaikan dengan kemampuan dan kadar rizkinya. Jika ia kaya maka ia menafkahi keluarganya sesuai dengan kekayaannya, tetapi jika ia miskin ia menafkahi keluarganya sesuai dengan rizkinya. Dan nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada yang berlaku di masyarakat setempat. Dan tidak ada yang mengetahui kadar kemampuan seseorang dalam memberi nafkah kecuali dirinya, karena itulah ia sendiri yang bisa menyesuaikan dengan kondisinya dalam memberi nafkah kepada keluarganya.
Meski memberi nafkah merupakan sebuah kewajiban, tetapi hal itu tidak perlu ditakutkan dan dirisaukan oleh seorang suami yang menjadi kepala rumah tangga. Sebab sebagaimana dijelaskan Allah swt telah menjamin rezeki setiap orang.
وَيَقْدِرُ لَهٗ ۗوَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ – ٣٩
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)
Ayat ini menjelaskan bahwa rizki itu sudah ditentukan Allah swt; lapang dan sempitnya. Dan menariknya, Allah telah berjanji bahwa segala nafkah atau infak yang dikeluarkan akan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah swt yang maha pemberi rezeki.
Tidak hanya itu, memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak terbaik yang dikeluarkan seseorang dari pada infak yang dikeluarkan untuk berjihad di jalan Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abdurrahman Tsauban berikut.
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجرًا الذي أنفقته على أهلك».
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda,: “Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dan dinar yang kamu infakkan untuk memerdekan budak, dan dinar yang kamu shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang yang kamu infakkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu”. (HR Muslim)
Sehingga dapat kita simpulkan orang yang mampu memberi nafkah tetapi tidak memberi nafkah kepada keluarganya merupakan hal yang dilarang dan mendapat dosa. Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma’.
Adapun dalil-dalil dari hadits, antara lain:
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,”Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud].
Pada saat haji wada’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik). [HR Muslim].
Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah dalam al Iqna fii Masailil Ijma’ menukilkan Ijma’ tentang masalah masalah nafkah, dengan perkataan beliau: “Ahlul ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)”.
Lalu berapa besaran nafkah tersebut?
Menurut Imam Asy-Syafii (w. 204 H) sebagaimana yang beliau tulis di dalam kitabnya Al-Umm sebagai berikut :
[باب قدر النفقة] (قال الشافعي) قال والنفقة نفقتان نفقة الموسر ونفقة المقتر عليه رزقه وهو الفقير ..قال وأقل ما يلزم المقتر من نفقة امرأته المعروف ببلدهما قال فإن كان المعروف أن الأغلب من نظرائها لا تكون إلا مخدومة عالها وخادما لها واحدا لا يزيد عليه وأقل ما يعولها به وخادمها ما لا يقوم بدن أحد على أقل منه وذلك مد بمد النبي - صلى الله عليه وسلم “
في كل يوم من طعام البلد الذي يقتاتون حنطة كان أو شعيرا أو ذرة أو أرزا أو سلتا ولخادمها مثله ومكيلة من أدم بلادها زيتا كان أو سمنا بقدر ما يكفي ما وصفت من ثلاثين مدا في الشهر ولخادمها شبيه به.
ويفرض لها في دهن ومشط أقل ما يكفيها ولا يكون ذلك لخادمها لأنه ليس بالمعروف لها
(قال الشافعي) : وإن كانت ببلد يقتاتون فيه أصنافا من الحبوب كان لها الأغلب من قوت مثلها في ذلك البلد وقد قيل لها في الشهر أربعة أرطال لحم في كل جمعة رطل وذلك المعروف لها،
وفرض لها من الكسوة ما يكسي مثلها ببلدها عند المقتر وذلك من القطن الكوفي والبصري وما أشبههما ولخادمها كرباس وتبان وما أشبهه
وفرض لها في البلاد الباردة أقل ما يكفي في البرد من جبة محشوة وقطيفة أو لحاف وسراويل وقميص وخمار أو مقنعة ولخادمها جبة صوف وكساء تلتحفه يدفئ مثلها وقميص ومقنعة وخف وما لا غنى بها عنه وفرض لها للصيف قميصا وملحفة ومقنعة قال وتكفيها القطيفة سنتين والجبة المحشوة كما يكفي مثلها السنتين ونحو ذلك.. إلخ..
Imam syafi’i berkata : dan nafkah itu terdapat dua macam: nafkah ketika lapang dan nafkah ketika sempit rezekinya yaitu seorang yang faqir¦ dan nafkah yang paling sedikit yang harus dikeluarkan oleh seorang suami yang sempit rezekinya adalah yang sesuai dengan adat negaranya, walaupun yang ma’ruf namun mayoritas adalah dilayani kebutuhannya, pembantu untuknya, dan tidak lebih dari itu.
Dan paling sedikit dari apa yang dia berikan kepadanya dan melayaninya apa yang tidak dilakukan seseorang yang lebih sedikit darinya, yaitu 1 mud dengan ukuran mudnya Nabi setiap hari dari makanan yang dia makan di negaranya baik itu gandum dengan segala jenisnya hinthah, sya’ir (jelai), jagung, nasi, atau jenis gandum (jenis makanan), dan untuk pembantunya juga sama seperti itu.
Dan lauk yang sesuai dengan negaranya, baik itu minyak, lemak secukupnya kira-kira 30 mud dalam waktu sebulan, dan begitu pula sama dengan pembantunya, dan menyediakan baginya minyak rambut dan sisir sesuai dengan kecukupannya, dan tidak memberikan itu kepada pembantunya, karena ini bukan suatu adat untuknya.
(Imam syafi’i berkata): jika si istri dari Negara yang makanan pokoknya adalah segala jenis biji-bijian maka untuknya biji-bijian yang mayoritas dikonsumsi di Negara tersebut. Dan ada yang berpendapat: untuknya daging 4 rithl dalam sebulan, setiap jum’at 1 rithl daging dan itu yang ma’ruf di negaranya.
Dan menyediakan untuknya pakaian yang sesuai dengan kebiasaan negaranya sesuai dengan kondisi suaminya yang kurang, yaitu bahan kapas buatan Kufah , Bashrah dan sejenisnya, dan untuk pembantunya seperti ribas (katun putih), tubban (pakaian) dan sejenisnya.
Dan menyediakan untuknya di Negara yang dingin paling tidak yang cukup untuk menahan dingin dari jubbah yang kasar, jaket, selimut, celana, baju kemeja, penutup kepala, jenis baju untuk menahan dingin. Dan untuk pembantunya jubah dari bulu, baju yang dapat memberikan rasa hangat, baju kemeja, penutup kepala, sepatu diatas mata kaki, dan apa saja yang ia butuhkan.
Dan menyediakan untuknya ketika musim panas baju, pakaian yang dapat menutup, dan tutup kepala, dan cukup baginya beludru (sutra) dipakai selama dua tahun, dan jubah dari kain kasar bisa di pakai selama 2 tahun. Dan seterusnya.
Al-Imam Asy-Syafii Al-Umm, jilid 5 hal. 95
Asy-Syirazi (w. 476 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
إذا كان الزوج موسراً وهو الذي يقدر على النفقة بماله أو كسبه لزمه في كل يوم مدان وإن كان معسرا وهولا يقدر على النفقة ولا كسب لزمه في كل يوم مد
وتجب النفقة عليه من قوت البلد
ويجب لها الأدم بقدر ما يحتاج إليه من أدم البلد
ويجب لها ما تحتاج إليه من المشط والسدر والدهن للرأس وأجرة الحمام إن كان عادتها دخول الحمام
ويجب لها الكسوة...ويجب لامرأة الموسر من مرتفع ما يلبس في البلد من القطن والكتان والخز والإبريسم ولامرأة المعسر من غليظ القطن والكتان ولامرأة المتوسط ما بينهما
ويجب لها ملحفة أو كساء ووسادة ومضربة محشوة للنوم ... ويكون ذلك لامرأة الموسر من المرتفع ولامرأة المعسر من غير المرتفع ولامرأة المتوسط ما بينهما
ويجب لها مسكن .... ويكون المسكن على قدر يساره وإعساره وتوسطه كما قلنا في النفقة
وإن كانت المرأة ممن لا تخدم نفسها بأن تكون من ذوات الأقدار أو مريضة وجب لها خادم ...ولا يجب لها أكثر من خادم واحد ... ولا يجوز أن يكون الخادم إلا امرأة أو ذا رحم محرم
وإن كان الخادم مملوكاً لها واتفقا على خدمته لزمه نفقته فإن كان موسراً لزمه للخادم مد وثلث من قوت البلد وإن كان متوسطاً أو معسراً لزمه مد
ويجب أن يدفع إليها نفقة كل يوم إذا طلعت الشمس لأنه أول وقت الحاجة ويجب أن يدفع إليها الكسوة في كل ستة أشهر لأن العرف في الكسوة أن تبدل في هذه المدة
Jika suami seorang yang mapan dan mampu menafkahi dengan hartanya atau hasil kerjanya maka wajib baginya menafkahi setiap hari 2 mud, jika suami tidak mapan dan tidak terlalu mampu menafkahi maka wajib baginya 1 mud. Dan suami wajib memberi nafkah berupa makanan yang biasa dimakan di negaranya.
Suami juga wajib memberi kepada istri makanan pelengkap atau lauk sesuai standar kebutuhan di negara tersebut. Suami wajib menyediakan kebutuhan istri berupa sisir, wewangian, minyak rambut, dan anggaran biaya kamar mandi jika dia terbiasa menggunakan kamar mandi.
Suami wajib menyediakan pakaian. jika istri dari kalangan berada maka wajib baginya pakaian yang terbaik baik dari katun, linen, khaz, dan sutera. Jika suaminya tidak mapan maka bagi istrinya pakaian dari katun kasar dan linen. Jika dari kalangan menengah maka diantara keduanya (antara standar berada dan biasa).
Suami wajib menyediakan selimut dan seprainya, dan bantal, dan hal yang lazim dibutuhkan untuk tidur... dan bagi istri yang suaminya mapan maka dia berhak mendapatkan kualitas terbaik. Dan jika suami tidak mapan maka dia mendapatkan yang kualitaas biasa. Dan istri dari kalangan menengah diantara keduanya.
Wajib menyediakan tempat tinggal. dan tempat tinggal ini disesuaikan dengan kemampuan suami, mapan, tidak mapan, atau menengah, sebagaimana telah disebutkan di bab nafkah.
Jika istri tidak biasa melayani diri sendiri karena dia dari kalangan berada atau karena sakit maka wajib menyediakan pembantu. dan suami tidak wajib menyediakan lebih dari satu .dan pembantu tersebut haruslah seorang wanita atau mahram. Jika pembantu itu adalah milik istri dan mereka sepakat bahwa budak itu digunakan untuk mebnatu suami maka si suamilah yang wajib menafkahi pembantu itu. Jika dia mampu maka wajib memberi 1 dan sepertiga mud makanan pokok di negeri tersebut, jika sari kalangan menengah dan tidak mampu maka wajib memberi 1 mud.
Suami wajib memberi istrinya nafkah harian kepada ketika matahari terbit karena merupakan awal waktu kebutuhan istri dimulai, dan wajib memberi pakaian setiap enam bulan karena biasanya pakaian akan berubah pada masa waktu ini.
Imam Nawawi (w. 676 H) menuliskan di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin sebagai berikut :
أما نفقة الزوجة، فواجبة بالنصوص، والإجماع، ...: الأول في قدر الواجب وكيفيته وفيه طرفان: الأول فيما يجب وهو ستة أنواع: الأول الطعام، أما قدره، فيختلف باختلاف حال الزوج باليسار والإعسار
الواجب الثاني: الأدم وجنسه غالب أدم البلد من الزيت والشيرج والسمن والتمر والخل والجبن وغيرها ... ويعود الوجه السابق في الطعام أن الاعتبار بما يليق بالزوج، وأما قدره، فقال الأصحاب: لا يتقدر
الواجب الثالث: الخادم. النساء صنفان، صنف لا يخدمن أنفسهن في عادة البلد، بل لهن من يخدمهن، فمن كانت منهن، فعلى الزوج إخدامها على المذهب وبه قطع الجمهور... والاعتبار بالمرأة في بيت أبيها
الواجب الرابع: الكسوة فتجب كسوتها على قدر الكفاية، وتختلف بطول المرأة وقصرها وهزالها وسمنها، وباختلاف البلاد في الحر والبرد
الواجب الخامس: آلات التنظف، فعلى الزوج للزوجة ما تتنظف به، ...والرجوع في قدرها إلى العادة
الواجب السادس: الإسكان فيجب لها مسكن يليق بها في العادة
Nafkah untuk istri merupakan kewajiban berdasarkan nash-nash dan ijma'. Pembahasan pertama tentang hal-hal yang wajib ada enam macam :
Pertama : Makanan pokok, kadarnya berbeda-beda tergantung kondisi finansial suami sedang lapang atau sempit (rezekinya).
Kedua : Lauk atau makanan pelengkap, dan jenisnya disesuaikan dengan kebiasaan di tempat tersebut seperti; minyak, minyak wijen, mentega, kurma, cuka, keju dan sebagainya. dan seperti yang telah dibahas pada makanan pokok, kadarnya disesuaikan dengan kondisi suami.
Ketiga : Pembantu. Wanita ada dua macam, ada yang tidak biasa melayani kebutuhan dirinya sendiri seperti terdapat di beberapa negara, selalu ada yang melayani kebutuhannya, jika istrinya dari kalangan seperti ini, maka suami harus menyediakannya menurut pendapat mazhab ini dan jumhur... dan hal ini kembali kepada kondisi wanita tersebut ketika di rumah orang tuanya...
Keempat : Pakaian, maka wajib memberikan pakaian yang cukup, yang sesuai dengannya; tinggi, pendek, kurus, dan gemuk. Dan juga sesuai dengan kondisi tempat tinggal saat musim panas dan dingin...
Kelima : Alat-alat yang dibutuhkan untuk membersihkan diri. Seorang suami wajib menyediakan untuk istrinya alat-alat yang dibutuhkan untuk membersihkan diri, kadarnya disesuaikan dengan kondisi setempat.
Keenam : Tempat tinggal, suami wajib menyediakan tempat tinggal yang layak disesuaikan dengan kondisi setempat .
Besaran nafkah menurut Imam Syafi'i dalam qoulul qodim serta sebagian ulama-ulama mazhab Syafi’i seperti Ibnu Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Abu Fadhl dan lain-lain, mengatakan bahwa nafkah adalah wajib Alal kifayah atau secukupnya, tidak ada angka tertentu tetapi dikembalikan pada kebutuhan dan kebiasaan.
Seorang suami boleh tidak menafkahi jika ada 5 hal dalam diri istrinya :
1. istri kabur atau pindah dari rumah suaminya ke tempat lain tanpa seizin suaminya atau alasan yang dibenarkan agama.
Menurut Ibnu Abdin Muhammad Amin bin Umar al-Hanafi dalam kitabnya Radd al-Muhtar jika istri melakukan seperti itu boleh tidak dinafkahi.
2. istri bepergian tanpa izin dan kebolehan dari suaminya. Menurut Maharati terkait hal ini antara para ulama memasukkan perginya seorang istri tanpa izin dari suami sebagai bentuk nusyuz. Maka mengutip Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, istri tak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Bahkan dalam Mazhab Syafi'i, seorang istri yang bepergian ibadah sunnah ketika suami tak mengijinkan termasuk bentuk nusyuz. Nusyuz adalah maksiatnya istri atau ketidaktaatan istri terhadap konsekuensi dari nikah yang sah, salah satunya adalah berhubungan badan.
3. Istri menolak melakukan sesuatu yang diperbolehkan karena akad nikah yang sah, atau disebut nusyuz, kecuali jika memang ada udzur yang diperbolehkan.
4. Istri dipenjara karena melakukan tindak pidana
5. Suami meninggal sehingga ia menjadi seorang janda, dalam hal ini istri berhak mewarisi harta peninggalan suaminya, sesuai dengan bagian yang ditetapkan.
Jadi seorang suami yang memiliki istri yang baik dan dia mampu menafkahi tetapi dia tidak melakukan maka dia berdosa. Bahkan istri boleh mengambil harta suami sebagaimana dalam satu hadits Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)
Lalu bagaimana jika seorang suami memang tidak mampu memberi nafkah? Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan.
لزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل
“Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.” Ketika seorang suami ternyata tidak bisa memenuhi kewajiban pemberian nafkah, selama istrinya rela dan lapang dada untuk saling berbagi, maka ikatan pernikahan tetap bisa dipertahankan. Kebijakan semacam ini tercermin dalam Alquran surat al-Talaq: 7 :
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. Sebaliknya, ketika istri merasa tidak bisa bersabar akan hal tersebut. Ia boleh menuntut hak tersebut kepada suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, juz VII, hal. 121:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ
“Imam Syafi’i berkata, baik Alquran maupun sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak boleh meninggalkannya sehingga diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersamanya atau pisah dengannya,”
Lalu apakah ada hubungan antara kewajiban taat kepada suami dengan tidak dipenuhinya nafkah. Nafkah adalah kewajiban suami dan hak bagi istri. Dalam Islam jika hak seseorang tidak di berikan maka dia boleh menuntut hak nya. Namun seorang istri yang di dzalimi kemudian dia tetap tetap berlaku adil dengan menjalankan kewajibanya tentunya akan mendapatkan pahala yang besar. Allah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 8
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( AL Maidah : 8)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menerangkan dalam Tafsir Munir bahwa hendaklah seorang yang beriman jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran sebagaimana yang kalian janjikan kepada Allah. Seraya mengagungkan dan ikhlas hanya karena Allah. Dan jadilah saksi dengan penuh kadilan tanpa bermaksud menguntungkan seseorang. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil dan menyembunyikan persaksian yang bermanfaat untuk mereka. Berlaku adillah kepada siapapun, karena adil itu lebih dekat kepada takwa Allah, atau karena takut kepada neraka. Dan bertakwalah kepada Allah dengan menjalankan syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan dan Maha memberi balasan atas itu.
Jadi sebagai seorang mukmin, jika suaminya berbuat dzalim maka dia tetap harus berbuat adil dengan menjalankan keajiban-kewajibanya. Pilihan tersebut tentunya berat, namun ketika seorang istri memilih untuk tetap bertahan dan taat kepada suaminya maka dia akan mendapatkan keutamaan yang besar.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi).
Yang dimaksudkan dengan hadits di atas adalah jika seorang wanita beriman itu meninggal dunia lantas ia benar-benar memperhatikan kewajiban terhadap suaminya sampai suami tersebut ridha dengannya, maka ia dijamin masuk surga. Bisa juga makna hadits tersebut adalah adanya pengampunan dosa atau Allah meridhainya. (Lihat Nuzhatul Muttaqin karya Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, hal. 149).
Begitu pula ada hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
Dengan ketaatan seorang istri, maka akan langgeng dan terus harmonis hubungan kedua pasangan. Hal ini akan sangat membantu untuk kehidupan dunia dan akhirat.Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan istri yang taat suami itulah yang dianggap wanita terbaik.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai)
Namun jika hal tersebut dirasa berat bagi istri maka, Islam juga memberikan jalan keluar yaitu kebolehan untuk menuntut perceraian.
Temanggung, 1 November 2023
Ta' Rouf Yusuf
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment