Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Jihad[1]
Jihad diambil dari kata al-juhd ( اَلْجُهْدُ ) yang artinya tenaga dan beban, dikatakan, “ جَاهَدَ – يُجَاهِدُ – جِهَادًا أَوْ مُجَاهَدَةً ,” apabila ia mencurahkan dan mengerahkan tenaga serta menanggung beban dalam memerangi dan memukul mundur musuh.
Jihad tidaklah disebut jihad yang sebenarnya jika tidak ditujukan untuk mencari wajah Allah, untuk meninggikan kalimat Allah, mengangkat bendera kebenaran, menyingkirkan kebathilan dan mencurahkan tenaga untuk mencari ridha Allah. Apabila dimaksudkan untuk tujuan selain tujuan tersebut, berupa kedudukan duniawi, maka tidak disebut jihad yang sebenarnya.
Barangsiapa berperang untuk mendapatkan kedudukan, meraih harta rampasan, atau untuk menampakkan keberanian atau untuk mendapat ketenaran, maka ia tidak akan mendapat bagian ganjaran di akhirat kelak dan tidak akan mendapat pahala.
Dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:
اَلرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغَنَمِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ، فَمَنْ فِي سَبِيْلِِ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
‘Seorang laki-laki berperang untuk mendapatkan harta ram-pasan, seorang laki-laki berperang agar disebut-sebut (dikenang), dan seorang laki-laki berperang agar orang melihat kedudukan-nya, manakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah?’ Rasulullah j menjawab, ‘Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia telah berperang di jalan Allah.’” [2]
Anjuran Untuk Berjihad
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخَلَهُ الْجَنَّةَ، جَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَوْ جَلَسَ فِيْ أَرْضِهِ الَّتِي وُلِدَ فِيْهَا. فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُبَشِّرُ النَّاسَ؟ قَالَ: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ، وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمنِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرَ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ.
‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat dan berpuasa pada bulan Ramadhan, maka sungguh Allah akan memasukkannya ke dalam Surga, baik ia berjihad di jalan Allah atau hanya diam dan tinggal di tempat kelahirannya.’ Para Sahabat bertanya, ‘Tidakkah kita memberi kabar gembira pada manusia?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di Surga itu terdapat seratus tingkat (derajat). Allah menyiapkannya untuk para mujahid (orang yang berjihad) di jalan Allah. Jarak antara satu derajat dengan yang lainnya seperti jarak antara langit dan bumi. Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah Surga Firdaus, karena sesungguhnya Surga Firdaus itu adalah Surga yang paling baik dan paling tinggi, di atasnya ada ‘Arsy Allah, dan dari situlah memancar sungai-sungai Surga.’”[3]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ، لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
‘Perumpamaan orang yang berjihad fii sabiilillaah (di jalan Allah) seperti orang yang berpuasa, shalat, dan mentaati ayat-ayat Allah. Ia tidak pernah berhenti dari puasa dan shalat tersebut sampai ia kembali dari jihad di jalan Allah.’” [4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِنْتَدَبَ اللهُkلِمَنْ خَرَجَ فِيْ سَبِيْلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ إِيْمَانٌ بِي وَتَصْدِيْقٌ بِرُسُلِي أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيْمَةٍ، أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ.
‘Allah menjamin balasan bagi orang yang keluar fii sabiilillaah, tidak ada yang membuat ia keluar kecuali iman kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku, maka Aku akan mengembalikannya dengan apa yang ia peroleh berupa pahala atau harta rampasan, atau Aku akan memasukkannya ke dalam Surga.’” [5]
Keutamaan Mati Syahid
Dari Masruq rahimahullah, ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud tentang (tafsir) ayat.
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
"‘Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Rabb-nya mendapat rizki.’ [Ali ‘Imran: 169]
Ia berkata, ‘Kami telah menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda:
أَرْوَاحُهُمْ فِيْ جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ، لَهَا قَنَادِيْلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَائَتْ، ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيْلِ، فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمُ اطِّلاَعَةً. فَقَالَ: هَلْ تَشْتَهُوْنَ شَيْئًا؟ قَالُوْا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي؟ وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا. فَفَعَلَ ذلِكَ بِِهِِمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوْا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوْا، قَالُوْا: يَا رَبِّ نُرِيْدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِيْ سَبِيْلِكَ مَرَّةً أُخْرَى. فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوْا.
"Ruh-ruh mereka berada dalam tembolok burung berwarna hijau, burung itu mempunyai sarang yang bergelantungan pada ‘Arsy Allah, ia terbang di Surga pada pagi hari sekendaknya, kemudian ia kembali ke sarang tersebut. Allah memperhatikan mereka dan berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab, ‘Apa lagi yang kami inginkan? Sedangkan kami telah terbang di Surga sekendak kami.’ Allah mengulangi sampai tiga kali, ketika mereka melihat bahwa mereka tidak akan dibiarkan sampai meminta sesuatu, mereka pun berkata, ‘Ya Rabb-ku, kami ingin agar Engkau mengembalikan ruh kami ke jasad-jasad kami hingga kami dapat berperang kembali di jalan-Mu.’ Ketika Allah melihat mereka tidak membutuhkan apa-apa lagi, Allah pun meninggalkan mereka.’” [6]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Ummu ar-Rabi’ binti al-Bara' -ia adalah ibu Haritsah bin Suraqah- mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Nabiyullaah, apakah engkau mau menceritakan kepadaku tentang keadaan Haritsah (ia telah terbunuh pada perang Badar tertembus panah nyasar), apabila ia berada di dalam Surga, maka aku akan bersabar, namun jika selain itu aku akan bersungguh-sungguh menangisinya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أُمَّ حَارِثَةَ، إِنَّهَا جِنَانٌ فِي الْجَنَّةِ، وَإِنَّ ابْنَكِ أَصَابَ الْفِرْدَوْسَ اْلأَعْلَى.
“Wahai Ummu Haritsah, sesungguhnya di sana terdapat banyak Surga dan sungguh anakmu telah mendapat Firdaus (Surga) yang paling tinggi.” [7]
Dari Miqdad bin Ma’dikarib, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِيْ أَوَّلِ دُفْعَةٍ وَيَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ اْلأَكْبَرِ، وَيُوْضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ، اَلْيَاقُوْتَةُ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا، ويُزَوَّجُ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ زَوْجَةً مِنَ الْحُوْرِ (الْعِيْنِ)، وَيُشَفَّعُ فِيْ سَبْعِيْنَ مِنْ أقَارِبِهِ.
"Orang yang mati syahid akan mendapat tujuh bagian di sisi Allah; (1) Diampuni dosa-dosanya saat pertama kali kematiannya, (2) terhindar dari adzab kubur, (3) aman dari keguncangan yang paling besar, (4) dipasangkan di atas kepalanya mahkota kehormatan yang satu berliannya saja lebih baik dari dunia dan seisinya, (5) dinikahkan dengan 72 bidadari, dan (6) diberi syafa’at untuk 70 keluarganya.” [8]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلشَّهِيْدُ لاَ يَجِدُ أَلِمِ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ أَلِمِ الْقَرْصَةِ.
"Orang yang mati syahid tidak akan merasakan sakitnya kematian kecuali seperti kalian merasakan sakitnya cubitan.’” [9]
Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Jihad
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan adzab yang pedih dan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” [At-Taubah: 38-39]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri...” [Al-Baqarah: 195]
Berkata Ibnu Katsir, “Telah berkata al-Laits bin Sa’ad, dari Yazid bin Abi Hubaib, dari Aslam Abu ‘Imran, ia berkata, ‘Ada seorang Muhajirin menyerang barisan musuh di Konstantinopel hingga mengkoyak-koyak mereka, sedangkan bersama kami Abu Ayyub al-Anshari. Ketika beberapa orang berkata, ‘Orang itu telah mencampakkan dirinya sendiri dalam kebinasaan.’ Abu Ayyub berkata, ‘Kami lebih mengerti mengenai ayat ini. Sungguh, ayat itu diturunkan berkenaan dengan kami. Kami menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersama beliau kami terjun dalam beberapa peperangan dan kami membela beliau. Ketika Islam tersebar dan unggul, kami kaum Anshar berkumpul untuk mengungkapkan suka cita. Lalu kami katakan, ‘Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita sebagai Sahabat dan pembela Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga Islam tersebar luas dan memiliki banyak penganut. Dan kami telah mengutamakan beliau daripada keluarga, harta kekayaan dan anak-anak. Peperangan pun kini telah berakhir, maka sebaiknya kita kembali pulang kepada keluarga dan anak-anak kita dan menetap bersama mereka.’ Maka, turunlah ayat ini kepada kami.
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri...” [Al-Baqarah: 195]
Jadi, kebinasaan itu terletak pada tindakan kami menetap bersama keluarga dan harta kekayaan serta meninggalkan jihad.’”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, ‘Abd bin Humaid dalam kitab Tafsiirnya, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Mardawaih, al-Hafizh Abu Ya’la, al-Mu-shili dalam Musnadnya, Ibnu Hibban dalam Shahiihnya dan al-Hakim dalam Mustadraknya, semuanya meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib. Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.” Dan berkata al-Hakim, “Hadits ini memenuhi syarat Syai-khaini (al-Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak meriwayatkannya.” [10]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا
إِلَى دِيْنِكُمْ.
“Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah, kalian memegang ekor-ekor sapi, kalian ridha akan pertanian, dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan pada kalian, (yang) tidak akan hilang kehinaan itu hingga ka-lian kembali kepada agama kalian.” [11]
Hukum Jihad
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]
Jihad hukumnya fardhu kifayah, berdasarkan firman Allah:
لَّا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada ma-sing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (Surga)…” [An-Nisaa': 95]
Allah mengabarkan keutamaan bagi orang-orang yang melaksanakan jihad, dan kebaikan bagi mereka serta bagi orang-orang yang tetap tinggal (tidak berjihad), seandainya orang-orang yang tidak berjihad itu adalah orang-orang yang meninggalkan suatu kewajiban, maka bagi mereka keburukan, bukan kebaikan.[12]
Ketahuilah, banyak melaksanakan jihad sangat disukai, dengan dasar hadits-hadits yang sampai kepada kita. Paling sedikit wajib melaksanakan jihad sekali dalam setahun, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan jihad setiap tahun semenjak diperintahkan, sedangkan mengikuti beliau hukumnya wajib dan karena jihad adalah kewajiban yang berulang-ulang, dan sedikitnya pengulangan itu sekali dalam setahun, seperti puasa dan zakat. Seandainya dibutuhkan lebih dari sekali dalam setahun, maka wajib dikerjakan, karena jihad adalah fardhu kifayah, maka diperkirakan sesuai dengan kebutuhan, wallaahu a’lam.
Namun perlu kita ketahui dan semua orang perlu mengetahui bahwa perang dalam Islam tidak akan terjadi sebelum adanya pemberitahuan dan penawaran untuk memilih antara menerima Islam atau membayar jizyah atau perang. Apabila (sebelumnya) terdapat perjanjian damai, maka harus didahului dengan adanya pengkhianatan terhadap perjanjian itu (dalam keadaan di mana ditakutkan mereka berkhianat). Hukum terakhir mengadakan perjanjian dengan ahli dzimmah yang mau menerima Islam dan membayar jizyah, tidak ada perjanjian selain dalam keadaan seperti ini, kecuali jika kaum muslimin dalam keadaan lemah, menjadikan hukum yang telah ditentukan dalam keadaan lemah tersebut sebagai hukum sementara yang diambil dalam keadaan yang mirip dengan keadaan yang mereka alami saat itu.[13]
Adab-Adab Dalam Perang
Dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Dahulu apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat seorang amir pada satu tentara atau expedisi peperangan. Beliau memberi wasiat kepada amir tersebut agar bertakwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang ikut bersamanya, kemudian beliau bersabda:
اغْزُوْا بِاِسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تَمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَدْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِلاَلٍ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِيْنَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ، وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْهِمْ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَبِ الْمُسْلِمِيْنَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِي الْغَنِيْمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ. فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإنْ هُمْ أَبَوْا فَسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ.
"Berperanglah kalian dengan Nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah, perangilah dan janganlah kalian berkhianat, janganlah kalian mengingkari janji, janganlah kalian membunuh anak-anak. Jika kalian berjumpa dengan musuh kalian dari orang-orang musyrik, ajaklah mereka kepada tiga perkara, jika mereka berkenan terimalah dari mereka dan jangan apa-apakan mereka, ajaklah mereka kepada Islam, jika mereka berkenan terimalah keislaman mereka dan jangan kalian apa-apakan mereka. Kemudian ajaklah mereka agar pindah dari tempat mereka ke tempat kaum Muhajirin, dan kabarkan bahwa jika mereka mengerjakan hal itu, maka bagi mereka apa yang didapat oleh kaum Muhajirin dan mereka pun akan dibebani dengan apa yang dibebankan kepada kaum Muhajirin. Apabila mereka enggan untuk pindah, kabarkan kepada mereka bahwa keadaan mereka seperti orang-orang Arab pegunungan yang muslim, hukum Allah yang berlaku kepada kaum mukmin tetap berlaku kepada mereka, mereka tidak akan mendapat bagian dari ghanimah dan fai’ kecuali mereka ikut berjihad bersama kaum muslimin. Jika mereka enggan (terhadap Islam) maka mintalah jizyah dari mereka, apabila mereka berkenan terimalah jizyah dari mereka dan jangan apa-apakan mereka. Jika mereka enggan (mem-bayar jizyah) maka mintalah pertolongan kepada Allah, dan perangilah mereka.’” [14]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
وُجِدَتِ امْرَأَةٌ مَقْتُولَةٌ فِي بَعْضِ مَغَازِي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ.
“Telah dijumpai wanita yang terbunuh dalam beberapa peperangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak.” [15]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu kepada penduduk Yaman untuk memberi pengajaran (tentang Islam) kepada mereka, beliau berwasiat kepada Mu’adz dengan wasiat:
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذٰلِكَ. فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.
“Sesungguhnya engkau mendatangi suatu kaum dari ahli Kitab, ajaklah mereka kepada syahadat bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku adalah utusan Allah, apabila mereka mentaatimu dalam masalah ini, sampaikanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan bagi mereka shalat lima kali sehari semalam. Apabila mereka mentaatimu dalam masalah ini, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan bagi mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan di bagikan kepada orang-orang miskin di antara mereka. Apabila mereka mentaatimu dalam masalah ini, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka dan jagalah dirimu dari do’a orang-orang mazhlum (teraniaya), karena sesungguhnya tidak ada satu tabir peng-halang pun antara do’anya dan Allah.” [16]
Kepada Siapakah Jihad Diwajibkan?
Jihad wajib bagi setiap muslim, yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang, serta mempunyai harta yang cukup untuk dirinya dan keluarga yang ditinggalkan ketika dia tidak ada di sisi mereka.
Adapun kewajiban jihad bagi seorang muslim bukan bagi orang kafir sudah jelas, karena jihad adalah memerangi orang kafir.
Adapun kewajiban jihad bagi orang-orang yang sudah baligh, bukan bagi anak-anak, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar:
عُرِضْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَ عُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي.
“Aku dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Uhud, sedangkan aku pada saat itu berumur empat belas tahun, beliau tidak mengizinkan aku untuk ikut serta. Kemudian aku dibawa lagi ke hadapan beliau pada perang Khandaq sedangkan aku pada saat itu berumur lima belas tahun, beliau pun mengizinkan aku ikut serta.” [17]
Adapun kewajiban jihad itu hanya untuk orang berakal dan tidak wajib bagi yang tidak berakal, berdasarkan karena hadits:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ.
“Telah diangkat pena dari tiga orang.” [18]
Adapun kewajiban jihad bagi laki-laki tidak bagi wanita, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
يَا رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.
“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah.” [19]
Adapun tidak diwajibkan jihad bagi orang sakit dan orang yang tidak mampu berdasarkan firman Allah:
لَّيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَىٰ وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
“Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya...” [At-Taubah: 91]
Adapun sebab tidak diwajibkan jihad bagi orang yang tidak merdeka karena seorang hamba saya adalah kepunyaan tuannya, dia tidak bisa berjihad tanpa seizin tuannya.
Kapan Hukum Jihad Menjadi Fardhu ‘Ain?
Jihad tidak menjadi fardhu ‘ain kecuali pada keadaan berikut:
1. Jika seorang mukallaf (yang dibebani syari’at) telah berada dalam barisan pasukan yang siap tempur.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu...” [Al-Anfaal: 45]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” [Al-Anfaal: 15]
2. Jika musuh telah menginjakkan kaki di negeri kaum muslimin.
3. Jika penguasa memerintahkan kepada seseorang untuk berjihad, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا.
“Tidak ada hijrah (dari kota Makkah) setelah penaklukan kota Makkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Apabila kalian diperintahkan untuk berperang maka pergilah!” [20]
Tawanan Perang
Tawanan dari orang kafir ada dua kelompok:
Kelompok yang langsung menjadi budak karena tertawan, mereka adalah para wanita dan anak-anak. Sebab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak [21]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membagikan anak-anak tawanan perang sebagaimana beliau membagikan harta rampasan.
Kelompok kedua adalah kelompok yang tidak menjadi budak hanya karena tertawan, mereka adalah laki-laki yang baligh. Imam berhak membunuh mereka atau memperbudak mereka atau membebaskan mereka tanpa tebusan ataupun dengan tebusan, baik berupa harta maupun laki-laki (yang tertawan dari kaum muslimin). Imam berhak memilih apa yang dapat mendatangkan kemaslahatan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi...” [Al-Anfaal: 67]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah membunuh laki-laki yang tertawan dari bani Quraidzah, menjadikan budak tawanan dari bani Mushthaliq, membebaskan Abul ‘Ash bin Rabi’ dan Tsumamah bin Atsal tanpa tebusan, membebaskan tawanan perang Badar dengan tebusan berupa harta dan membebaskan dua orang Sahabatnya dengan tebusan seorang musyrik dari bani ‘Uqail.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّىٰ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka tebaslah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti...” [Muhammad: 4]
Salb
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَن قَتَلَ قَتِيْلاً فَلَهُ سَلَبُهُ.
“Barangsiapa membunuh seseorang, maka baginya salb orang tersebut.” [22]
Salb adalah apa yang terdapat padanya (orang yang dibunuh), baik pakaian, perhiasan, atau senjatanya. Demikian pula binatang tunggangan yang ia pakai berperang.
Ghanimah
Setelah itu ghanimah (harta rampasan perang) dibagikan. Empat perlima bagian untuk orang-orang yang berperang, dengan perincian untuk pejalan kaki satu bagian dan untuk pasukan berkuda tiga bagian.
Allah berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah dan untuk Rasul...” [Al-Anfaal: 41]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
رَأَيْتُ الْمَغَانِمَ تُجَزَّأُ خَمْسَةَ أَجْزَاءٍ، ثُمَّ يُسْهَمُ عَلَيْهَا، فَمَا كَانَ لِرَسُوْلِ اللهِ j فَهُوَ لَهُ، يَتَخَيَّرُ.
“Aku melihat harta rampasan dibagi lima bagian, kemudian diberikan kepada yang ikut berperang, adapun yang menjadi bagian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagian itu adalah miliknya yang beliau pilih.”
Dan dari beliau juga, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membagi harta rampasan perang Khaibar, untuk penunggang kuda tiga bagian dan untuk kudanya dua bagian serta untuk pejalan kaki satu bagian. [23]
Bagian (penuh) tidak diberikan kecuali kepada seseorang yang terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan laki-laki. Apabila salah satu syarat tadi tidak terpenuhi maka ia diberi radkh [24] tidak diberi bagian (yang penuh) karena ia bukan orang yang wajib berjihad.
Dari ‘Umair maula Abul Lahm, ia berkata,
غَزَوْتُ مَعَ مَوْلاَيَ، يَوْمَ خَيْبَرَ، وَأَنَا مَمْلُوكٌ، فَلَمْ يَقْسِمْ لِي مِنَ الْغَنِيْمَةِ، وَأُعْطِيْتُ مِنْ خُرْثِيِّ الْمَتَاعِ، سَيْفًا، وَكُنْتُ أَجُرُّهُ إِذَا تَقَلَّدْتُهُ.
“Aku pernah berperang bersama tuanku dalam perang Khaibar sedangkan aku pada saat itu adalah seorang budak, aku tidak diberikan bagian (yang penuh) pada saat itu, aku hanya diberikan peralatan rumah tangga berupa pedang yang selalu aku seret ketika aku membawanya.” [25]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَو بِالنِّسَاءِ فَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَىٰ وَيُحْذَيْنَ مِنَ الْغَنِيمَةِ، وَأَمَّا بِسَهْمٍ، فَلَمْ يَضْرِبْ لَهُنَّ.
“Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berperang bersama para wanita, mereka mengobati orang-orang yang terluka, mereka diberi sedikit dari harta rampasan perang, mereka tidak diberikan bagian (yang sempurna).” [26]
Objek Pembagian Seperlima (Sisa Harta Rampasan Perang)
Sisa yang seperlima dibagi lima bagian, satu bagian untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah wafatnya beliau dipakai untuk kemaslahatan, satu bagian untuk keluarga dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muththalib, satu bagian untuk anak-anak yatim, satu bagian untuk orang-orang miskin dan satu bagian untuk ibnu sabil:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللَّهِ وَمَا أَنزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu.” [Al-Anfaal: 41]
Fa'i
Definisi Fai’ ( اَلْفَىءِ )
Fai’ diambil dari kata faa-a artinya kembali, secara syar’i fai’ adalah apa saja yang diambil dari orang-orang kafir tanpa peperangan, seperti harta yang mereka tinggalkan karena takut terhadap kaum muslimin, jizyah, pajak, dan harta yang ditinggalkan oleh ahli dzimmah yang meninggal dan tidak mempunyai ahli waris.
Akad (perjanjian) Dzimmah
Adz-Dzimmah artinya perjanjian dan keamanan.
Akad dzimmah adalah pengakuan seorang hakim (penguasa) atau wakilnya terhadap kekafiran sebagian ahli Kitab atau yang lainnya dari-orang-orang kafir dengan dua syarat: mereka membayar jizyah dan mereka harus patuh terhadap hukum Islam secara umum.[27]
Dasar dari perjanjian (akad) ini adalah firman Allah:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” [At-Taubah: 29]
Konsekuensi Akad Tersebut
Apabila akad dzimmah ini telah sempurna, maka haram membunuh mereka dan wajib menjaga harta benda mereka, menjaga kehormatan mereka, membebaskan orang-orang yang merdeka di antara mereka serta tidak menyiksa mereka [28] karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَإذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكينَ فَادْعُهُمْ إلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجابُوكَ فَقْبَلْ مِنهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ : اُدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَقْبَلْ مِنهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ، فَإِنْ هُمْ
أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ.
“Jika engkau berjumpa dengan musuhmu dari orang-orang musyrik, ajaklah mereka kepada tiga perkara, mana saja yang mereka berkenan menjalankannya maka terimalah dari me-reka dan jangan apa-apakan mereka, ajaklah mereka kepada Islam, jika mereka berkenan terimalah keislaman mereka dan jangan kalian apa-apakan mereka. Jika mereka enggan (terhadap Islam) maka mintalah jizyah dari mereka, apabila mereka berkenan terimalah jizyah dari mereka dan jangan apa-apakan mereka.”[29]
Hukum-Hukum Yang Dijalankan Pada Ahli Dzimmah
Hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan hak-hak manusia diberlakukan bagi mereka, baik dalam masalah akad, mu’amalah, ganti rugi yang disebabkan oleh tindakan kriminal, seperti melukai, memukul dan lainnya, ganti rugi harga barang orang lain yang ia rusak, dan ditegakkan juga hukum hadd pada mereka. [30]
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu (ia berkata).
أَنَّ يَهُوْدِيًّا رَضَّ رَأْسَ جَارِيَةٍ بَيْنَ حَجْرَيْنِ، قِيْلَ: مَنْ فَعَلَ هَذَا بِكِ، أَفُلاَنٌ أَفُلاَنٌ؟ حَتَّى سُمِّيَ الْيَهُوْدِيُّ فَأَوْمَأَتْ بِرَأْسِهَا، فَأُخِذَ الْيَهُوْدِيَّ فَاعْتَرَفَ، فَأَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُضُّ رَأْسُهُ بَيْنَ حَجَرَيْنِ.
“Ada seorang Yahudi menumbuk sampai remuk kepala seorang budak wanita di antara dua batu, kemudian ia (budak itu) ditanya, siapa yang melakukan ini padamu? Apakah si fulan? Apakah si fulan? Sampai disebut (nama) seorang Yahudi, maka ia mengangguk. Kemudian Yahudi itu ditangkap dan ia pun mengaku sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kepala Yahudi itu pun ditumbuk hingga remuk di antara dua batu.” [31]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhu (ia berkata).
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُتِيَ بِيَهُوْدَيْنِ قَدْ فَجَرَا بَعدَ إِحْصَانِهِمَا فَرَجَمَهُمَا.
“Telah dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dua orang Yahudi yang telah berzina sedangkan keduanya telah menikah, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merajam keduanya.” [32]
Kapan Perjanjian Itu Batal?
Barangsiapa yang tidak mau membayar jizyah dari kalangan ahli dzimmah atau tidak mau tunduk terhadap hukum Islam, maka ia telah membatalkan perjanjian, karena ia tidak mentaati syarat perjanjian.
Demikian pula perjanjian itu akan batal jika mereka menzhalimi kaum muslimin atau mencela Allah dan Rasul-Nya.
Dari ‘Umar Radhiyallahu 'anhu:
أَنَّهُ رُفِعَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَرَادَ اسْتِكْرَاهَ امْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ عَلَى الزِّنَى فَقَالَ: مَا عَلَى هَذَا صَالَحْنَاكُمْ، فَأَمَرَ بِهِ فَصُلِبَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ.
Bahwasanya pernah dibawa kepadanya seorang laki-laki yang hendak memperkosa seorang muslimah, ‘Umar pun berkata kepadanya, “Kami tidak berdamai denganmu atas hal-hal seperti ini.” Beliau pun memerintahkan agar orang itu disalib di Baitul Maqdis.[33]
Dari ‘Ali Radhiyallahu 'anhu (ia berkata).
أَنَّ يَهُوْدِيَّةً كَانَتْ تَشْتِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيْهِ، فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ فأَبْطَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا.
“Seorang wanita Yahudi mencela Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mencaci maki beliau, kemudian seorang laki-laki mencekiknya sampai mati, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membatalkan (hukuman atas) penumpahan darah wanita itu.” [34]
Konsekuensi jika Perjanjian Tersebut Batal
Apabila perjanjiannya batal maka keberadaannya (ahli dzimmah) seperti seorang tawanan, apabila ia masuk Islam maka haram dibunuh, apabila ia enggan masuk Islam maka Imam mempunyai pilihan, entah membunuhnya atau membebaskannya, atau membebaskannya dengan tebusan sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin hukum tawanan.
Dari Siapa Jizyah Diambil?
Dari Nafi’ dari Aslam (ia berkata).
أَنَّ عُمَرَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى أُمَرَاءِ اْلأَجْنَادِ: لاَ تَضْرِبُوا الْجِزْيَةَ عَلَى النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ، وَلاَ تَضْرِبُوْهَا إِلاَّ عَلَى مَنْ جَرَتْ عَلَيهِ الْمَوَاسِي.
“Bahwasanya ‘Umar Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada para pemimpin pasukan, ‘Jangan mengambil jizyah dari para wanita dan anak-anak, jangan mengambil jizyah kecuali dari orang yang telah tumbuh bulu kemaluannya.’”[35]
Besar Jizyah
Dari Mu’adz Radhiyallahu 'anhu.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا وَجَّهَهُ إِلَى الْيَمَنِ أمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا أَوْ عَدْلُهُ مِنَ الْمَعَافِرَةِ.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menugaskannya ke Yaman beliau memerintahkannya agar mengambil (jizyah) dari setiap orang (kafir) yang telah baligh satu dinar, atau seharga itu dari kain ma’afirah.” [36]
Jizyah boleh ditambah, berdasarkan hadits Aslam:
أَنَّ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ضَرَبَ الْجِزْيَةَ عَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَرْبَعَةَ دَنَانِيْرَ، وَعَلَى أَهْلِِ الْوَرِقِ أَرْبَعِيْنَ دِِرْهَمًا وَمَعَ ذَلِكَ أَرْزَاقَ الْمُسْلِمِيْنَ وَضِيَافَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
Bahwasanya ‘Umar bin al-Khaththab mewajibkan jizyah bagi pemilik emas empat dinar, dan bagi pemilik perak empat puluh dinar, di samping itu mereka hendaknya memberikan rizkinya kepada kaum muslimin dan menjamu tamu selama tiga hari.[37]
Seorang Imam hendaknya memperhatikan kelapangan dan kesulitan seseorang, karena Ibnu Abi Nujaih berkata:
قُلْتُ لِمُجَاهِدِ: مَا شَأْنُ أَهْلِ الشَّامِ عَلَيْهِمْ أَرْبَعَةُ دَنَانِيْرَ، وَأَهْلُ الْيَمَنِ عَلَيْهِمْ دِيْنَارٌ؟ قَالَ: جُعِلَ ذَلِكَ مِنْ قِبَلِ الْيَسَّارِ.
“Aku berkata kepada Mujahid, ‘Kenapa penduduk Syam dikenakan empat dinar sedangkan penduduk Yaman dikenakan satu dinar?’ Ia (Mujahid) berkata, ‘Hal tersebut ditetapkan sesuai dengan kemudahan.’” [38]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Footnote :
[1]. Fiq-hus Sunnah (III/40, 27).
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/27, no. 2810), Shahiih Muslim (III/1516, no. 1904), Sunan Abi Dawud (VII/193, no. 2500), Sunan at-Tirmidzi (III/100, no. 1697), Sunan Ibni Majah (II/931, no. 2783).
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2126)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 921)], Shahiih al-Bukhari (VI/11, no. 2790).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5851)], Shahiih Muslim (III/1498, no. 1878), Sunan at-Tirmidzi (III/88, no. 1669).
[5]. Muttafaq ‘alaih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5851)], Shahiih Muslim (III/1498, no. 1878), Sunan at-Tirmidzi (III/88, no. 1669).
[6]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1068)], Shahiih Muslim (III/2502, no. 1887), Sunan at-Tirmidzi (IV/298, no. 4098).
[7]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7852)], Shahiih al-Bukhari (VI/25, no. 2809), Sunan at-Tirmidzi (V/9, no. 3224), dan sahmun ghariib maknanya panah yang tidak diketahui siapa yang melepaskannya.
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2257)], Sunan at-Tirmidzi (III/106, no. 1712), Sunan Ibni Majah (II/935, no. 2799).
[9]. Hasan shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2260)], Sunan at-Tirmidzi (III/109, no. 1719), Sunan Ibni Majah (II/937, no. 3802), Sunan an-Nasa-i (VI/36).
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2187)], Tafsiir Ibni Katsir (I/228), Sunan Abi Dawud (VI/188, no. 2495), Sunan at-Tirmidzi (III/280, no. 4053), Mustadrak al-Hakim (II/275).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 423)].
[12]. Tafsiir ath-Thabari (II/345).
[13]. Azh-Zhilaal.
[14]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1111)], Shahiih Muslim (III/1356, no. 1731), Sunan at-Tirmidzi (II/431, no. 1429) secara ringkas.
[15]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/148, no. 3015), Shahiih Muslim (III/ 1364, no. 1744), Sunan Abi Dawud (VII/329, no. 2651), Sunan at-Tirmidzi (III/66, no. 1617), Sunan Ibni Majah (II/947, no. 2841).
[16]. Muttafaq ‘alaih.
[17]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/276, no. 2664), Shahiih Muslim (III/ 1490, no. 1868), Sunan at-Tirmidzi (III/127, no. 1763), Sunan an-Nasa-i (VI/ 155), Sunan Abi Dawud (XII/80, no. 4384).
[18]. Telah ditakhrij.
[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2345), Sunan Ibni Majah (II/968, no. 2901), Ahmad (XI/18, no. 21), ad-Daraquthni (II/284, no. 215).
[20]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/3, no. 2783), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan at-Tirmidzi (III/73, no. 1638), Sunan Abi Dawud (VII/158, no. 2463).
[21]. Telah disebutkan takhrijnya.
[22] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/247, no. 3142), Shahiih Muslim (III/ 1370, no. 1751), Sunan at-Tirmidzi (III/61, no. 1608), Sunan Abi Dawud (VII/385, no. 2700).
[23]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2303), Sunan Ibni Majah (II/952, no. 2853), ini adalah lafazh dalam riwayat beliau, dan yang meriwayatkan seperti ini tanpa menyebutkan ‘khaibar’, Shahiih al-Bukhari (VI/67, no. 2863), Shahiih Muslim (III/1383, no. 1762), Sunan Abi Dawud (VII/404, no. 2716).
[24] Radkh yaitu pemberian yang sedikit. (Lihat Lisaanul ‘Arab III/19).
[25]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2304), Sunan at-Tirmidzi (III/58, no. 1200), Sunan Abi Dawud (VII/402, no. 2712), Sunan Ibni Majah (II/952, no. 2855).
[26]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1151), Shahiih Muslim (III/1444, no. 1812), Sunan Abi Dawud (VII/399, no. 2711), Sunan at-Tirmidzi (III/57, no. 1958).
[27]. Fiq-hus Sunnah (III/64).
[28]. Fiq-hus Sunnah (III/65).
[29]. Telah disebutkan takhrijnya.
[30]. Manaarus Sabiil (II/298
[31]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/198, no. 6876), Shahiih Muslim (III/ 1299, no. 1672), Sunan an-Nasa-i (VIII/22), Sunan Abi Dawud (XII/267, no. 4512), Sunan at-Tirmidzi (II/426, no. 1413).
[32]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1253)].
[33]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1278)], Ibnu Abi Syaibah (II/85/11), al-Baihaqi (IX/201).
[34]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/91)], Sunan Abi Dawud (XII/17, no. 4340), al-Baihaqi (IX/200).
[35]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1255)], al-Baihaqi (IX/195).
[36]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1254)], Sunan Abi Dawud (VIII/287, no. 3022)
[37]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1261)], al-Baihaqi (IX/195).
[38]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1260)], Shahiih al-Bukhari (VI/257) secara mu’allaq.