Wednesday, 24 June 2015

Metode Pendidikan Anak Yang Efektif *

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht77LkQgi5LATY-lp3Kzmw9DfUeEbUbNVgmInDJMfc3r9alqxy9HhhxyBCSEYSJ2GVpB2JaCoF_LYhNRgbjj-9xBJqAKPoSHiEPvTpXcY738rMquNJkq6YepU1VoSq5p4ESXFeP6bcq5Y/s400/bayi-tidur.gif


Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad merangkum metodologi yang efektif dalam mendidik anak yang di sarikan oleh beliau dari Al Quran dan Hadits. Menurut Beliau metode dan kaidah tersebut terfokus dalam lima hal di bawah ini:
A.    Pendidikan Dengan Teladan
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode yang paling sukses untuk mempersiapkan akhlak seorang anak dan membentuk jiwa serta rasa sosialnya. Disadari atau tidak seorang pendidik adalah model yang akan di tiru setiap kata-kata, tindakan, rasa dan setiap gerak-geriknya yang akan terpatri dalam jiwa sang anak.
R~asulullah se`ndiri merupakan Mode`l Hidup dalam Pengaplikasian Al Quran sehingga aisyah ketika di tanya tentang akhlak Nabi maka beliau menjawab akhlaknya adalah Al Qur’an. Nabi juga menjadi contoh setiap apa yang dia ajarkan kepada para sahabatnya. Al Qur’an menjelaskan, slah satunya dalam surat al ahzab : 21 , “ Sungguh ,telah ada dalam diri  Rasulullah itu teladan yang baik bagimu.”
B.     Pendidikan Dengan Pembiasaaan
Manusia dilahirkan dalam fitrah mentauhidkan Allah dalam agama yang lurus, namun sebagaimana yang di sabdakan Nabi bahwa yang membuat manusia keluar dari fitrahnya adalah orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa pembiasaan oleh orang tuanya akan membentuk karakter sang anak. Pembiasaan yang buruk akan melahirkan akhlak yang buruk begitu juga pembiasaan dengan adab dan akhlak islami yang sesuai denga n fitrahnya akan mengantar manusia menuju manusia yang berakhlakul karimah. Maka dibutuhkan pengajaran dan pembiasaan akan adab dan akhlak islami dalam mengetahui dan mengamalkan akhlak-akhlak Islam.
C.     Pendidikan Dengan Nasihat Yang Bijak
Nasehat merupakan metode pendidikan yang cukup efektif dalam membentuk iman seorang anak, serta mempersiapkan akhlak , jiwa dan rasa sosialnya.Nasehat memberikan pengaruh besar untuk membuka hati anak terhadap hakikat sesuatu , mendorongnya menuju hal-hal yang positif, mengisinya dengan akhlak mulia dan menyadarkanya akan prinsip-prinsip Islam.
Al Qur’an memberikan contoh dalam Nasehat yang  menurut Penulis metode Quran dalam memberikan Nasehat memiliki cirri-ciri :
1.      Seruan yang menyadarkan, yang di barengi dengan simpati atau penolakan.
2.      Gaya narasi kisah yang disertai dengan ‘ibrah ( pelajaran ) dan Nasehat
3.      Arahan yang bermanfaat bagi agama, dunia dan akhirat yang disertai berbagai pesan dan nasehat.
Rasulullahsebagai Pendidik terbaik juga memiliki beberapa metode yang efektif dalam memberikan Nasehat, di antaranya adalah :
1.      Menggunakan Gaya berkisah
2.      Menggunakan teknik dialog ( diskusi ) dan tanya jawab
3.      Memulai Nasehat dengan bersumpah atas nama Allah
4.      Membumbui Nasehat dengan humor
5.      Memberikan Nasehat dengan singkat agar tidak membosankan
6.      Menjaga pengaruh ( kesan ) nasehat pada hadirin
7.      Memberikan Nasehat dengan perumpamaan
8.      Memberikan Nasehat dengan visualisasi gerakan tangan
9.      Memberikan nasehat dengan visualisasi
10.  Memberikan nasehat dengan contoh tindakan langsung
11.  Memberikan nasehat dengan memanfaatkan momen yang ada.
12.  Memberikan Nasehat dengan mengalihkan kepada yang lebih penting
13.  Memberikan dengan memperlihatkan barang secara nyata
D.    P endidikan dengan Perhatian dan Pemantauan
Pendidikan dengan pemantauan adalah memberikan perhatian penuh dan memantau setiap perkembangan keimanan, akhlak,intelektual, fisik,mental, social dan spiritual, dimana kesemua aspek tersebut memang mendapat perhatian secara khusus dalam pendidikan Islam.
E.     Pendidikan dengan Hukuman Yang Layak
Disamping memberikan reward dalam syariat Islam juga dikenal adanya punishment. Syariat Islam yang mulia dan adil, beserta prinsip-prinsipnya yang komprehensif menjamin terpenuhinya semua kebutuhan dasar manusia, yang manusia tidak bisa hidup tanpanya. Kebutuhan dasar itu diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh para ulama yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga kehormatan, menjaga akal dan menjaga harta benda. Semua yang ada dalam syariat Islam adalah dalam rangka menjaga dan memelihara kebutuhan dasar itu. Pelanggaran akan hal-hal kebutuhan dasar diatas akan dikenakan punishmentyang dalam syariat Islam dikenal dengan Hudud dan ta’dzir.
1.      Hudud adalah hukuman yang telah Allah tentukan dalam syariat Islam, dan ini adalah hak Allah sebagai pemilik alam semesta beserta isinya
2.      Ta’dzir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh syariat sebagai hak Allah atau hukuman bagi manusia yang melakukan pelanggaran yang tidak ada ketentuan had atau kafarah. Hukuman ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek kejut dan sebagai pendidikan untuk perbaikan bagi umat.
Pemberian hukuman dalam Islam adalah dengan tujuan untuk memperbaiki dan meluruskan kembali perilaku anak yang menyimpang, oleh karena itu, Islam juga mengajarkan kaifiyah pemberian hukuman kepada anak agar pelurusan kembali anak dari penyimpangan benar-benar tercapai, di antaranya adalah :
a.       Berinteraksi dengan lemah lembut dan penuh kasih saying
b.      Memperhatikan karakter anak yang bersalah sebagai dasar pemberlakuan hukuman.
c.       Terapi dilakukan dari yang ringan ke yang lebih berat
Pemberian hukuman ta’dzir tidak selalu dilakukan oleh Rasulullah, kadang Rasulullah hanya cukup memberikan pengarahan dengan lemah lembut,isyarat, kecaman, pemboikotan, pukulan atau kadang baru mengunakan hukuman yang membuat orang lain takut melakuakan pelanggaran yang sama.. Pendidik bias memilih hal yang paling tepat agar maksud dari hukuman benar-benar terwujud.

Demikian lima metode yang in sya Allah jika di aplikasikan dalam pendidikan maka bi idznillah akan terwujud pribadi yang berakhlakul karimah yang akan menjadi permata bagi para orang tua dan pendidik.
Wallahu a’lam

* Di rangkum dari Tarbiyatul Aulad Fil Islam Abdullah Nashih ‘Ulwan

Wednesday, 18 March 2015

Tafsir Al-Isti’adzah



http://www.hasmi.org/wp-content/uploads/2012/09/istiadzah.png




Definisi Isti’adzah.
Secara etimologi dia adalah masdhar dari kata اِسْتَعاذَ  –  يَسْتَعِيْذُ  –  اِسْتِعاذًا  yang bermakna permintaan perlindungan dan penjagaan dari sesuatu yang dibenci.
Sementara secara terminology, isti’adzah ada empat bentuk:
Isti’adzah ada 4 macam:
  • Isti’adzah kepada Allah Ta’ala.
Yaitu isti’adzah yang mengandung kesempurnaan rasa butuh kepada Allah, bersandar kepada-Nya, serta meyakini penjagaan dan kesempurnaan pemeliharaan Allah Ta’ala dari segala sesuatu, baik di zaman sekarang maupun di zaman yang akan datang, baik pada perkara yang kecil maupun yang besar, baik yang berasal dari manusia maupun selainnya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Falaq dan surah An-Naas, dari awal sampai akhir.
  • Isti’adzah dengan salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti sifat kalam-Nya, keagungan-Nya, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan semacamnya.
Dalilnya sangat banyak, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.( HR. Muslim no. 4881)
Juga sabda beliau:
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dan berlindung dengan ampunan-Mu dari hukuman-Mu.” (HR. Muslim no. 751)
  • Isti’adzah kepada orang mati atau orang yang masih hidup tetapi tidak ada di tempat dan tidak mampu melindungi.
Ini adalah kesyirikan. Di antara bentuknya adalah seperti pada firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6).
  • Isti’adzah dengan apa-apa yang memungkinkan untuk dijadikan perlindungan, baik berupa manusia, atau tempat-tempat, atau selainnya.
Isti’adzah jenis ini dibolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau menyebutkan tentang fitnah:
وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ
“Dan siapa yang ingin melihat fitnah itu, maka fitnah itu akan mengintainya. Siapa yang menemukan tempat pertahanan atau tempat perlindungan, hendaklah dia berlindung padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 3334 dan Muslim no. 5137)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperjelas makna ‘tempat pertahanan atau tempat perlindungan’ ini dengan sabdanya, “Barangsiapa yang memiliki unta maka hendaknya dia menggunakan untanya (sebagai tempat berlindung).”
Hanya saja, jika seseorang meminta perlindungan dari kejelekan orang yang zhalim, maka dia wajib untuk dilindungi sekuat tenaga. Namun jika dia meminta perlindungan agar bisa melakukan sesuatu yang dilarang atau lari dari kewajiban, maka haram untuk melindunginya.
Sebelum membaca Al Qur’an, kita diperintahkan membaca isti’adzah, yaitu ucapan:
اعوذ با الله من الشيطان الرجيم
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
 “Apabila  kamu  membaca  Al  Quran  hendaklah  kamu  meminta  perlindungan  kepada  Allah  dari setan yang terkutuk.” (An Nahl: 98)
Maksudnya  apabila  kamu  hendak membaca  Al  Qur’an.  Hal  ini  seperti pada  ayat  “Idzaa qumtum ilash shalaah…dst. (Al Maa’idah: 6),  maksudnya apabila kamu hendak mendirikan shalat.  Adapun dalil dalam hadits yang menunjukkan demikian salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dan bertakbir, lalu mengucapkan:
“Mahasuci  Engkau  ya  Allah,  dan  dengan  memuji-Mu.  Mahasuci  nama-Mu,  Mahatinggi
keagungan-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.”
Selanjutnya Beliau mengucapkan, “Laailaahaillallah.” Sebanyak tiga kali. Lalu Mengucapkan:
 “Aku  berlindung  kepada  Allah  Yang  Maha  Mendengar  lagi  Maha  Mengetahui  dari  setan  yang terkutuk; dari cekiknya, kesombongan, dan syairnya.” (Diriwayatkan pula oleh  pemilik kitab sunan yang empat. Tirmidzi berkata, “Ia merupakan hadits paling masyhur dalam bab ini.”)
Al  Hamz  dalam  hadits  tersebut  adalah  mautah,  yakni  cekiknya,  nafkh  adalah kesombongannya, sedangkan nafts adalah syairnya.
Adapun makna أَعُوْذُ بِاللهِ مِنِ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ, maka Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsrinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, jangan sampai dia memberikan mudharat pada agama dan duniaku, atau dia menghalangi saya dari mengerakan apa yang diperintahkan kepadaku, atau dia mendorong saya untuk mengerjakan apa yang aku dilarang melakukannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa isti’adzah hukumnya sunat; tidak wajib. Sedangkan Ar Raaziy menukilkan dari ‘Athaa’ bin Abi Rabaah bahwa isti’adzah wajib dibaca dalam shalat dan di luar shalat setiap hendak  membaca  Al Qur’an.  Ar  Raaziy  berhujjah  untuk  ‘Atha’  dengan  zhahir ayat,  “Fasta’idz,” dimana ia  merupakan perintah yang zhahirnya adalah wajib, dan lagi karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selalu merutinkannya, ia juga dapat menolak kejahatan setan, sedangkan suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu yang menyempurnakan itu menjadi wajib. Di samping itu, membaca isti’adzah itu lebih hati-hati.
Ada beberapa pendapat tentang lafadz bacaan ta’awud :
1.    Imam Nawawi berkata bacaan atau sifatnya ta’awud yang terpilih adalah
اعوذ با الله من الشيطان الرجيم
dan beberapa ulama salaf menambahi dengan
السميع العليم
2. menurut Humaid bin Qois اعوذ با الله القا در من الشيطان الغادر
3. dari beberapa kaum اعوذ باالله العظيم من الشيطان الرجيم
4. menururt Abi Salman اعوذ باالله القوي من الشطان الغوي
5. dari yang lainnya الجيم ان الله هو السميع العليم اعوذ بالله من الشيطان
Namun ucapan, اعوذ با الله من الشيطان الرجيم  dianggap cukup dalam beristi’adzah.

Di antara rahasia isti’adzah adalah membersihkan mulut yang sebelumnya dipenuhi laghw (ucapan sia-sia)  dan  rafts  (ucapan  kotor),  membuat  mulut  menjadi  baik  untuk  membaca  firman  Allah. Isti’adzah juga merupakan permintaan pertolongan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, mengakui kekuasaan-Nya dan menyadari keadaan dirinya yang lemah untuk melawan musuh yang nyata yaitu setan, dimana untuk menghadapinya hanya dengan pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala  saja.
Makna “A’udzu billahi minasy syaithaanir rajiim”  adalah aku berlindung kepada Allah dari setan yang  terkutuk  agar  dia  (setan)  tidak  membahayakanku  baik  pada  agamaku,  duniaku  atau menghalangiku  dari  mengerjakan  perkara  yang  diperintahkan  kepadaku,  demikian  pula  agar  dia tidak mendorongku untuk mengerjakan perkara yang dilarang.
Setan dalam bahasa Arab berasal dari kata “syathana” yang artinya jauh, sehingga setan itu artinya jauh dengan tabiatnya dari tabiat wajar manusia dan jauh dengan kefasikannya dari setiap kebaikan. Ada pula yang berpendapat, bahwa ia berasal dari kata syaatha (terbakar), karena ia dicipta dari api. Ada yang berpendapat, bahwa keduanya benar, namun pendapat pertama lebih shahih. Sibawaih  berkata,  “Orang-orang  Arab  mengatakan,  “Tasyaithana  fulaan”  apabila  orang  tersebut melakukan  perbuatan  setan.  Kalau  setan  berasal  dari  kata  syaatha,  tentu  mereka  mengatakan “Tasyayyatha.” Dengan demikian setan menurut pendapat yang shahih berasal dari kata syathana yang berarti jauh. Oleh  karena  itulah,  mereka  menyebut  setiap  yang  durhaka  dari  kalangan  jin,  manusia  maupun hewan dengan sebutan “setan.”
Allah Subhaanahu wa Ta'aala  berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al An’aam: 112)
Adapun hewan bisa disebut setan adalah seperti pada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Akan  memutuskan  shalat,  yaitu  wanita,  keledai  dan  anjing  hitam.”  Maka  Abu  Dzar  berkata, “Wahai  Rasulullah.  Mengapa  anjing  hitam  tidak  (anjing)  merah  atau  kuning?” Beliau menjawab, “Anjing  hitam adalah setan.” (HR. Muslim)
Adapun “Rajiim” artinya marjuum, yaitu yang dirajam dan diusir dari kebaikan. Keadaannya yang dirajam adalah seperti diterangkan dalam surat Ash Shaaffaat ayat 8:
 “Setan-setan  itu  tidak dapat  mendengarkan  (pembicaraan) para  malaikat  dan  mereka  dilempari dari segala penjuru.”
Ada pula yang berpendapat, bahwa rajim artinya raajim (yang melempar), karena ia melemparkan was-was dan tipuan kepada manusia, namun pendapat pertama lebih masyhur dan lebih shahih.

Thursday, 19 February 2015

Berlemah Lembut Terhadap Anak-anak Kita

http://1.bp.blogspot.com/-L31L8W701gw/UDoL4uKQ5sI/AAAAAAAAQKI/Qcw9W-NFPwo/s640/muj.jpg
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekerasan dan tidak pula Dia berikan kepada yang lainnya.’’ (HR Muslim).

Memaknai hadis tersebut,  Imam Nawawi menjelaskan, kelembutan adalah seutama-utamanya akhlak dari seluruh akhlak mulia lainnya. Dengan kelemahlembutan itulah Rasulullah SAW bisa sukses besar dalam menjalankan misi dakwahnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS. 3: 159).

Kita sering mendapati keadaan dimana rasa sabar kita begitu di uji ketika menghadapi anak-anak kita. Kadang muncul rasa marah dalam hati kita. Ketika marah inilah kekuatan seseorang di uji apakah dia bisa marah karena Allah atau hanya marah mengikuti hawa nafsunya, hal ini sangat penting bagi para pendidik anak-anak kaum muslimin atau kita sebagai orang tua bagi anank-anak kita.

Namun sebelumnya ijinkan saya membahas satu sifat dimana Allah memberikanya dalam akhlak Rasulullah sehingga beliau mampu dengan sukses mampu mendidik kaum muslimin generasi pertama menjadi generasi terbaik umat ini. Yaitu kelemah lembutan.

Fitrah manusia cenderung kepada kebaikan dan mencintai kelembutan. Akan tetapi, karena ego, hawa nafsu atau kepentingan sesaatlah, banyak manusia yang kemudian berubah menjadi orang yang kasar, beringas, dan kejam. Padahal, pada dasarnya ego dan  hawa nafsu hanya akan memberikan ketidak baikan saja baik bagi urusan dunia maupun akhirat. Jadi wajar jika sikap kasar, beringas, dan kejam tidak akan mendapat ridha dari Allah, akan tetapi Allah sangat menyukai kelembutan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut.

Rasulullah bersabda , “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Syarah Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi mengatakan, hadis itu menjelaskan tentang perintah agar umat Islam bersikap lemah lembut. Baik dalam ucapan maupun perbuatan. Hal demikian melahirkan hubungan harmonis antara pendidik dan yang dididik. Yang akhirnya akan menanamkan pula sikap kelembutan dalam hati anak-anak kaum muslimin. Bahkan terhadap seorang penguasa zalim sekelas Fir’aun pun Allah memerintahkan Nabi Musa berkata lemah lembut. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.’’ (QS 20 : 44) lalu bagaimana dengan anak-anak didik kita.

Namun kelemah lembutan dalam mendidik ini juga harus di tempatkan pada tempatnya yang sesuai, jika kita melihat apa yang dilakukan Rasulullah secara Holistik maka kita akan mendapati beberapa keadaan dimana Rasulullah bersikap tegas dalam mendidik, misalnya kejadian yang diceritakan oleh Abu Hurairah ra., ia berkata: Hasan bin Ali mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkan ke dalam mulutnya. Rasullulah SAW bersabda : ‘ Wah…wah….., buanglah kurma itu Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat ?” (HR.Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menjelaskan kepada kita bagaimana cara Rasulullah mendidik cucunya yang bernama Hasan bin ‘ Ali untuk tidak makan makanan yang haram . Ketika Rasulullah melihat Hasan memasukkan ke dalam mulutnya kurma yang dia ambil dari tumpukan kurma zakat , beliau segera melarang dan menyuruh memuntahkannya . Bersamaan dengan itu , Rasulullah saw, mengatakan kepada cucunya bahwa keluarga beliau dilarang makan barang zakat . 

Rasulullah mendidik Hasan bin ‘Ali secara praktis untuk memuntahkan kurma yang ada di mulutnya dan menjelaskan kepanya bahwa kurma tersebut adalah hasil zakat yang haram dimakan oleh keluarga Rasullulah saw. Dengan didikan secara langsung tersebut , anak menjadi sadar bahwa makanan yang diharamkan oleh agama harus dijauhi, bahkan kalau sudah masuk ke mulut harus dimuntahkan dengan cara yang tegas.

Hal ini menggambarkan keindahan akhlak Rasulullah bagaimana menerapkan kelembutan dalam mendidik secara tepat. Begitu juga beliau juga menganjurkan kaum muslimin mendidik anak-anak  kemampuan dasar berjihad seperti berkuda, memanah dan berenang. Hal ini menjadi gambaran bahwa kelembutan dalam mendidik tidak menafikan ketegasan dalam hal-hal tertentu. Wallahu a’lam.

Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...