Definisi Isti’adzah.
Secara etimologi dia adalah masdhar dari kata اِسْتَعاذَ – يَسْتَعِيْذُ – اِسْتِعاذًا yang bermakna permintaan
perlindungan dan penjagaan dari sesuatu yang dibenci.
Sementara secara terminology, isti’adzah ada empat bentuk:
Isti’adzah ada 4 macam:
- Isti’adzah kepada Allah Ta’ala.
Yaitu isti’adzah yang mengandung kesempurnaan rasa butuh kepada Allah,
bersandar kepada-Nya, serta meyakini penjagaan dan kesempurnaan pemeliharaan
Allah Ta’ala dari segala sesuatu, baik di zaman sekarang maupun di zaman yang
akan datang, baik pada perkara yang kecil maupun yang besar, baik yang berasal
dari manusia maupun selainnya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Falaq dan surah An-Naas,
dari awal sampai akhir.
- Isti’adzah dengan salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti sifat kalam-Nya, keagungan-Nya, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan semacamnya.
Dalilnya sangat banyak, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ
اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan
apa-apa yang Dia ciptakan.( HR. Muslim no. 4881)”
Juga sabda beliau:
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ
سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dan berlindung dengan
ampunan-Mu dari hukuman-Mu.” (HR. Muslim no. 751)
- Isti’adzah kepada orang mati atau orang yang masih hidup tetapi tidak ada di tempat dan tidak mampu melindungi.
Ini adalah kesyirikan. Di antara bentuknya adalah seperti pada firman Allah
Ta’ala:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ
مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah
bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6).
- Isti’adzah dengan apa-apa yang memungkinkan untuk dijadikan perlindungan, baik berupa manusia, atau tempat-tempat, atau selainnya.
Isti’adzah jenis ini dibolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tatkala beliau menyebutkan tentang fitnah:
وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا
تَسْتَشْرِفْهُ وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ
“Dan siapa yang ingin melihat fitnah itu, maka fitnah itu akan
mengintainya. Siapa yang menemukan tempat pertahanan atau tempat perlindungan,
hendaklah dia berlindung padanya.” (HR. Al-Bukhari no.
3334 dan Muslim no. 5137)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperjelas makna ‘tempat
pertahanan atau tempat perlindungan’ ini dengan sabdanya, “Barangsiapa yang
memiliki unta maka hendaknya dia menggunakan untanya (sebagai tempat
berlindung).”
Hanya saja, jika seseorang meminta perlindungan dari kejelekan orang yang
zhalim, maka dia wajib untuk dilindungi sekuat tenaga. Namun jika dia meminta
perlindungan agar bisa melakukan sesuatu yang dilarang atau lari dari
kewajiban, maka haram untuk melindunginya.
Sebelum membaca Al Qur’an, kita diperintahkan membaca isti’adzah,
yaitu ucapan:
اعوذ با الله من الشيطان الرجيم
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Apabila kamu
membaca Al Quran
hendaklah kamu meminta
perlindungan kepada Allah
dari setan yang terkutuk.” (An Nahl: 98)
Maksudnya apabila kamu
hendak membaca Al Qur’an.
Hal ini seperti pada
ayat “Idzaa qumtum ilash
shalaah…dst. (Al Maa’idah: 6), maksudnya
apabila kamu hendak mendirikan shalat.
Adapun dalil dalam hadits yang menunjukkan demikian salah satunya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai
shalatnya dan bertakbir, lalu mengucapkan:
“Mahasuci Engkau ya
Allah, dan dengan
memuji-Mu. Mahasuci nama-Mu,
Mahatinggi
keagungan-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali
Engkau.”
Selanjutnya Beliau mengucapkan, “Laailaahaillallah.” Sebanyak tiga
kali. Lalu Mengucapkan:
“Aku berlindung
kepada Allah Yang
Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui dari
setan yang terkutuk; dari
cekiknya, kesombongan, dan syairnya.” (Diriwayatkan pula oleh pemilik kitab sunan yang empat. Tirmidzi
berkata, “Ia merupakan hadits paling masyhur dalam bab ini.”)
Al Hamz dalam
hadits tersebut adalah
mautah, yakni cekiknya,
nafkh adalah kesombongannya,
sedangkan nafts adalah syairnya.
Adapun makna أَعُوْذُ بِاللهِ مِنِ الشَّيْطانِ
الرَّجِيْمِ, maka Al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsrinya, “Aku berlindung kepada Allah
dari setan yang terkutuk, jangan sampai dia memberikan mudharat pada agama dan
duniaku, atau dia menghalangi saya dari mengerakan apa yang diperintahkan
kepadaku, atau dia mendorong saya untuk mengerjakan apa yang aku dilarang
melakukannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa isti’adzah hukumnya sunat; tidak
wajib. Sedangkan Ar Raaziy menukilkan dari ‘Athaa’ bin Abi Rabaah bahwa
isti’adzah wajib dibaca dalam shalat dan di luar shalat setiap hendak membaca
Al Qur’an. Ar Raaziy
berhujjah untuk ‘Atha’
dengan zhahir ayat, “Fasta’idz,” dimana ia merupakan perintah yang zhahirnya adalah
wajib, dan lagi karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selalu merutinkannya,
ia juga dapat menolak kejahatan setan, sedangkan suatu kewajiban jika tidak
sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu yang menyempurnakan itu menjadi wajib.
Di samping itu, membaca isti’adzah itu lebih hati-hati.
Ada beberapa pendapat tentang lafadz bacaan ta’awud :
1. Imam Nawawi berkata bacaan atau sifatnya ta’awud yang terpilih adalah
اعوذ با الله من الشيطان الرجيم
dan beberapa ulama salaf menambahi dengan
السميع العليم
2. menurut Humaid bin
Qois اعوذ با الله القا در من الشيطان الغادر
3. dari beberapa kaum اعوذ باالله العظيم من الشيطان الرجيم
4. menururt Abi Salman اعوذ باالله القوي من الشطان الغوي
5. dari yang lainnya الجيم ان الله هو السميع العليم اعوذ بالله من الشيطان
Namun ucapan, اعوذ با الله من الشيطان
الرجيم dianggap
cukup dalam beristi’adzah.
Di antara rahasia isti’adzah adalah membersihkan mulut yang
sebelumnya dipenuhi laghw (ucapan sia-sia)
dan rafts (ucapan
kotor), membuat mulut
menjadi baik untuk
membaca firman Allah. Isti’adzah juga merupakan permintaan
pertolongan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, mengakui kekuasaan-Nya dan
menyadari keadaan dirinya yang lemah untuk melawan musuh yang nyata yaitu
setan, dimana untuk menghadapinya hanya dengan pertolongan Allah Subhaanahu wa
Ta'aala saja.
Makna “A’udzu billahi minasy syaithaanir rajiim” adalah aku berlindung kepada Allah dari setan
yang terkutuk agar
dia (setan) tidak
membahayakanku baik pada
agamaku, duniaku atau menghalangiku dari
mengerjakan perkara yang
diperintahkan kepadaku, demikian
pula agar dia tidak mendorongku untuk mengerjakan
perkara yang dilarang.
Setan dalam bahasa Arab berasal dari kata “syathana” yang artinya
jauh, sehingga setan itu artinya jauh dengan tabiatnya dari tabiat wajar
manusia dan jauh dengan kefasikannya dari setiap kebaikan. Ada pula yang
berpendapat, bahwa ia berasal dari kata syaatha (terbakar), karena ia dicipta
dari api. Ada yang berpendapat, bahwa keduanya benar, namun pendapat pertama
lebih shahih. Sibawaih berkata, “Orang-orang
Arab mengatakan, “Tasyaithana
fulaan” apabila orang
tersebut melakukan perbuatan setan.
Kalau setan berasal
dari kata syaatha,
tentu mereka mengatakan “Tasyayyatha.” Dengan demikian
setan menurut pendapat yang shahih berasal dari kata syathana yang berarti
jauh. Oleh karena itulah,
mereka menyebut setiap
yang durhaka dari
kalangan jin, manusia
maupun hewan dengan sebutan “setan.”
Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu (manusia).” (Al An’aam: 112)
Adapun hewan bisa disebut setan adalah seperti pada sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Akan
memutuskan shalat, yaitu
wanita, keledai dan
anjing hitam.” Maka
Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah.
Mengapa anjing hitam
tidak (anjing) merah
atau kuning?” Beliau menjawab,
“Anjing hitam adalah setan.” (HR.
Muslim)
Adapun “Rajiim” artinya marjuum, yaitu yang dirajam dan diusir dari
kebaikan. Keadaannya yang dirajam adalah seperti diterangkan dalam surat Ash
Shaaffaat ayat 8:
“Setan-setan itu
tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat
dan mereka dilempari dari segala penjuru.”
Ada pula yang berpendapat, bahwa rajim artinya raajim (yang
melempar), karena ia melemparkan was-was dan tipuan kepada manusia, namun pendapat
pertama lebih masyhur dan lebih shahih.
No comments:
Post a Comment