Wednesday, 18 March 2015

Tafsir Al-Isti’adzah



http://www.hasmi.org/wp-content/uploads/2012/09/istiadzah.png




Definisi Isti’adzah.
Secara etimologi dia adalah masdhar dari kata اِسْتَعاذَ  –  يَسْتَعِيْذُ  –  اِسْتِعاذًا  yang bermakna permintaan perlindungan dan penjagaan dari sesuatu yang dibenci.
Sementara secara terminology, isti’adzah ada empat bentuk:
Isti’adzah ada 4 macam:
  • Isti’adzah kepada Allah Ta’ala.
Yaitu isti’adzah yang mengandung kesempurnaan rasa butuh kepada Allah, bersandar kepada-Nya, serta meyakini penjagaan dan kesempurnaan pemeliharaan Allah Ta’ala dari segala sesuatu, baik di zaman sekarang maupun di zaman yang akan datang, baik pada perkara yang kecil maupun yang besar, baik yang berasal dari manusia maupun selainnya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Falaq dan surah An-Naas, dari awal sampai akhir.
  • Isti’adzah dengan salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti sifat kalam-Nya, keagungan-Nya, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan semacamnya.
Dalilnya sangat banyak, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.( HR. Muslim no. 4881)
Juga sabda beliau:
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dan berlindung dengan ampunan-Mu dari hukuman-Mu.” (HR. Muslim no. 751)
  • Isti’adzah kepada orang mati atau orang yang masih hidup tetapi tidak ada di tempat dan tidak mampu melindungi.
Ini adalah kesyirikan. Di antara bentuknya adalah seperti pada firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6).
  • Isti’adzah dengan apa-apa yang memungkinkan untuk dijadikan perlindungan, baik berupa manusia, atau tempat-tempat, atau selainnya.
Isti’adzah jenis ini dibolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau menyebutkan tentang fitnah:
وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ
“Dan siapa yang ingin melihat fitnah itu, maka fitnah itu akan mengintainya. Siapa yang menemukan tempat pertahanan atau tempat perlindungan, hendaklah dia berlindung padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 3334 dan Muslim no. 5137)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperjelas makna ‘tempat pertahanan atau tempat perlindungan’ ini dengan sabdanya, “Barangsiapa yang memiliki unta maka hendaknya dia menggunakan untanya (sebagai tempat berlindung).”
Hanya saja, jika seseorang meminta perlindungan dari kejelekan orang yang zhalim, maka dia wajib untuk dilindungi sekuat tenaga. Namun jika dia meminta perlindungan agar bisa melakukan sesuatu yang dilarang atau lari dari kewajiban, maka haram untuk melindunginya.
Sebelum membaca Al Qur’an, kita diperintahkan membaca isti’adzah, yaitu ucapan:
اعوذ با الله من الشيطان الرجيم
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
 “Apabila  kamu  membaca  Al  Quran  hendaklah  kamu  meminta  perlindungan  kepada  Allah  dari setan yang terkutuk.” (An Nahl: 98)
Maksudnya  apabila  kamu  hendak membaca  Al  Qur’an.  Hal  ini  seperti pada  ayat  “Idzaa qumtum ilash shalaah…dst. (Al Maa’idah: 6),  maksudnya apabila kamu hendak mendirikan shalat.  Adapun dalil dalam hadits yang menunjukkan demikian salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dan bertakbir, lalu mengucapkan:
“Mahasuci  Engkau  ya  Allah,  dan  dengan  memuji-Mu.  Mahasuci  nama-Mu,  Mahatinggi
keagungan-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.”
Selanjutnya Beliau mengucapkan, “Laailaahaillallah.” Sebanyak tiga kali. Lalu Mengucapkan:
 “Aku  berlindung  kepada  Allah  Yang  Maha  Mendengar  lagi  Maha  Mengetahui  dari  setan  yang terkutuk; dari cekiknya, kesombongan, dan syairnya.” (Diriwayatkan pula oleh  pemilik kitab sunan yang empat. Tirmidzi berkata, “Ia merupakan hadits paling masyhur dalam bab ini.”)
Al  Hamz  dalam  hadits  tersebut  adalah  mautah,  yakni  cekiknya,  nafkh  adalah kesombongannya, sedangkan nafts adalah syairnya.
Adapun makna أَعُوْذُ بِاللهِ مِنِ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ, maka Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsrinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, jangan sampai dia memberikan mudharat pada agama dan duniaku, atau dia menghalangi saya dari mengerakan apa yang diperintahkan kepadaku, atau dia mendorong saya untuk mengerjakan apa yang aku dilarang melakukannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa isti’adzah hukumnya sunat; tidak wajib. Sedangkan Ar Raaziy menukilkan dari ‘Athaa’ bin Abi Rabaah bahwa isti’adzah wajib dibaca dalam shalat dan di luar shalat setiap hendak  membaca  Al Qur’an.  Ar  Raaziy  berhujjah  untuk  ‘Atha’  dengan  zhahir ayat,  “Fasta’idz,” dimana ia  merupakan perintah yang zhahirnya adalah wajib, dan lagi karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selalu merutinkannya, ia juga dapat menolak kejahatan setan, sedangkan suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu yang menyempurnakan itu menjadi wajib. Di samping itu, membaca isti’adzah itu lebih hati-hati.
Ada beberapa pendapat tentang lafadz bacaan ta’awud :
1.    Imam Nawawi berkata bacaan atau sifatnya ta’awud yang terpilih adalah
اعوذ با الله من الشيطان الرجيم
dan beberapa ulama salaf menambahi dengan
السميع العليم
2. menurut Humaid bin Qois اعوذ با الله القا در من الشيطان الغادر
3. dari beberapa kaum اعوذ باالله العظيم من الشيطان الرجيم
4. menururt Abi Salman اعوذ باالله القوي من الشطان الغوي
5. dari yang lainnya الجيم ان الله هو السميع العليم اعوذ بالله من الشيطان
Namun ucapan, اعوذ با الله من الشيطان الرجيم  dianggap cukup dalam beristi’adzah.

Di antara rahasia isti’adzah adalah membersihkan mulut yang sebelumnya dipenuhi laghw (ucapan sia-sia)  dan  rafts  (ucapan  kotor),  membuat  mulut  menjadi  baik  untuk  membaca  firman  Allah. Isti’adzah juga merupakan permintaan pertolongan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, mengakui kekuasaan-Nya dan menyadari keadaan dirinya yang lemah untuk melawan musuh yang nyata yaitu setan, dimana untuk menghadapinya hanya dengan pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala  saja.
Makna “A’udzu billahi minasy syaithaanir rajiim”  adalah aku berlindung kepada Allah dari setan yang  terkutuk  agar  dia  (setan)  tidak  membahayakanku  baik  pada  agamaku,  duniaku  atau menghalangiku  dari  mengerjakan  perkara  yang  diperintahkan  kepadaku,  demikian  pula  agar  dia tidak mendorongku untuk mengerjakan perkara yang dilarang.
Setan dalam bahasa Arab berasal dari kata “syathana” yang artinya jauh, sehingga setan itu artinya jauh dengan tabiatnya dari tabiat wajar manusia dan jauh dengan kefasikannya dari setiap kebaikan. Ada pula yang berpendapat, bahwa ia berasal dari kata syaatha (terbakar), karena ia dicipta dari api. Ada yang berpendapat, bahwa keduanya benar, namun pendapat pertama lebih shahih. Sibawaih  berkata,  “Orang-orang  Arab  mengatakan,  “Tasyaithana  fulaan”  apabila  orang  tersebut melakukan  perbuatan  setan.  Kalau  setan  berasal  dari  kata  syaatha,  tentu  mereka  mengatakan “Tasyayyatha.” Dengan demikian setan menurut pendapat yang shahih berasal dari kata syathana yang berarti jauh. Oleh  karena  itulah,  mereka  menyebut  setiap  yang  durhaka  dari  kalangan  jin,  manusia  maupun hewan dengan sebutan “setan.”
Allah Subhaanahu wa Ta'aala  berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al An’aam: 112)
Adapun hewan bisa disebut setan adalah seperti pada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Akan  memutuskan  shalat,  yaitu  wanita,  keledai  dan  anjing  hitam.”  Maka  Abu  Dzar  berkata, “Wahai  Rasulullah.  Mengapa  anjing  hitam  tidak  (anjing)  merah  atau  kuning?” Beliau menjawab, “Anjing  hitam adalah setan.” (HR. Muslim)
Adapun “Rajiim” artinya marjuum, yaitu yang dirajam dan diusir dari kebaikan. Keadaannya yang dirajam adalah seperti diterangkan dalam surat Ash Shaaffaat ayat 8:
 “Setan-setan  itu  tidak dapat  mendengarkan  (pembicaraan) para  malaikat  dan  mereka  dilempari dari segala penjuru.”
Ada pula yang berpendapat, bahwa rajim artinya raajim (yang melempar), karena ia melemparkan was-was dan tipuan kepada manusia, namun pendapat pertama lebih masyhur dan lebih shahih.

No comments:

Post a Comment

Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...