Monday, 30 June 2025

Hukum Bermakmum kepada Imam yang Masih Suka berjudi

Apa hukum bermakmum kepada orang yang suka berjudi?
Jawab :
Fasiq berasal dari kata fasaqa yafsiqu/ yafsuqu fisqan yang berarti keluar dari ketaatan, kebenaran, agama dan dari keistiqamahan. Fasik pada asalnya diartikan sebagai keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lainnya dan hal itu akan mengakibatkan kerusakan. 
Dalam kitab Raddul Muhtar A’la Durril Mukhtar disebutkan bahwa fasik dalam istilah definisikan sebagai seorang yang melakukan dosa besar ataupun seringkali melakukan dosa-dosa kecil. 
Dalam fathulbari Imam Ibnu Hajar al-A’sqolani menyatakan bahwa ,"sebagian dari para Imam berkata : dosa besar yang disebabkan oleh hati lebih besar dibandingkan dosa besar yang dilakukan oleh anggota badan dikarenakan dosa tersebutlah penyebab kefasikan itu menjadi nyata dan nampak (dalam diri manusia).' Imam asy-Syaukani menukil perkataan Imam al-Qurthubi," adapun kefasikan yang umumnya digunakan dalam syariat yaitu : (perbuatan yang telah menyebabkan seseorang) keluar dari zona ketaatan kepada Allah Ta’ala. Terkadang perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran dan bisa juga dianggap sebagai kemaksiatan. Sebagaimana hadits berikut ini :
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
mencela seorang muslim adalah kefasikan sedangkan membunuhnya adalah kekafiran."
Begitupula dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala juga dinyatakan sebagai orang fasik, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. 
Ada juga kefasikan didapati dari penakwilan misalkan seorang meminum nabidz dari madu atau gandum, jika ditakwilkan kepada mazhab selain mazhab hanafiyah maka hal tersebut termasuk perbuatan yang diharamkan dikarenakan mereka menganggap nabidz madu dan gandum sebagai khamr Dan orang yang meminumnya dianggap sebagai seorang fasik. Namun jika ditakwilkan kepada mazhab Hanafiyah maka hal tersebut bukanlah perbuatan yang menjadikan pelaku sebagai seorang fasik, dikarenakan mazhab hanafiyah tidak beranggapan bahwa nabidz madu dan gandum termasuk jenis khamr. 
Jadi dapat kita simpulkan bahwa bahwa orang yang melakukan dosa besar seperti berjudi (sebagaimana di tulis imam adzahabi dalam kitab Kabair) atau orang yang masih rutin melakukan dosa kecil dinamakan orang fasik.
Lalu bagaimana hukum makmum di belakang imam yang fasik?
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Imam Ibnu Rusyd di tulis terdapat perbedaan ulama terkait dengan hal ini. Masalah ini adalah masalah ijtihadi dimana syariat tidak menjelaskannya secara gamblang dan pasti sehingga akhirnya para ulama berijtihad dengan menggunakan qiyas (analogi). Pengqiyasan yang mereka gunakan pun juga sangat kontradiktif (saling bertentangan antara satu dengan lainnya) dimana kelompok ulama yang menyatakan sahnya shalat dibelakang seorang yang yang fasik berhujjah bahwa yang dibutuhkan seorang makmum dari seorang imam hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan sahnya shalat. Sedangkan kelompok ulama yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik berargumen dengan menggunakan qiyas. Mereka mengqiyaskan imamah dalam shalat dengan persaksian di depan hakim. Mereka mennyatakan bahwa seorang yang fasik sangat memungkinkan untuk merusak shalatnya sebagaimana mereka berbohong ketika bersaksi di pengadilan.
Diantara perbedaan ulama :
A. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
1. Mazhab Maliki
Dalam mazhab maliki ada pendapat yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang mu’tamad dalam mazhab maliki.
2. Mazhab Hambali
Mazhab hambali berpendapat bahwa tidak sah bermakmum kepada imam yang fasik secara mutlak. Baik itu kefasikannya berkaitan dengan i’tiqod (keyakinan) ataupun berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Begitu pula jika kefasikannya dia tampakkan ataupun disembunyikannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik ? mereka tidaklah sama. 
Dan juga Sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :
لا تؤمن امرأة رجلا، ولا يؤم أعرابي مهاجرا، ولا فاجر مؤمنا إلا أن يقهره بسلطان يخاف سيفه وسوطه
Seorang perempuan tidak boleh mengimami seorang lelaki, begitu pula seorang a’rabi (badui) mengimami seorang muhajir dan seorang yang fajir (fasik) mengimami seorang mukmin. Kecuali (seorang mukmin) dipaksa dengan kekuasaan (yang dimiliki oleh si fasik), dimana seorang mukmin tersebut takut akan ditebas oleh pedangnya dan dicambuk.
Namun jika seorang mukmin bermakmum kepada imam yang fasik maka di haruskan untuk mengulang shalatnya Kecuali shalat jumat dikarenakan darurat ataupun udzur, dalam artian tidak ada lagi kesempatan untuk mencari imam selain si fasik tersebut. 
B. Pendapat Yang Membolehkan
1. Mazhab Hanafi
Dalam mazhab hanafi bermakmum kepada seorang yang fasik dibolehkan jika dilihat kepada keumuman dalam pengertian setiap orang yang berakal, bahkan dibolehkan juga seorang budak, orang a’rabi (badui), orang buta dan anak hasil perzinahan menjadi imam sholat walaupun disertai dengan kemakruhan. Mereka mengatakan bahwa tidak seyogyanya bermakmum kepada seorang yang fasik kecuali pada sholat jumat, dikarenakan selain sholat jumat ada kesempatan untuk memilih bermakmun dengan selainnya. Namun makruh jika di dalam satu kota ada banyak masjid yang melangsungkan sholat jumat karena dia punya kesempatan untuk memilih bermakmum dengan yang lainnya. Dalam pandangan hanafiyah sholat dibelakang orang fasik lebih utama daripada sholat sendirian serta bermakmum kepadanya akan mendapatkan keutamaan sholat berjamaah walaupun menurut mereka lebih utama sholat dibelakang orang yang bertakwa, sebagaimana hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :
من صلى خلف عالم تقي ، فكأنما صلى خلف نبي
barangsiapa yang sholat dibelakang orang alim yang bertakwa maka seolah-olah dia sedang bermakmum kepada Nabi. 
2. Mazhab Maliki
Dalam mazhab maliki dibolehkan dan sah jika bermakmum kepada seorang yang fasik dimana kefasikannya berkaitan dengan kemaksiatan anggota tubuh (seperti berzina, minum khamr) walaupun pembolehannya tersebut disertai dengan kemakruhan sebagaimana sahnya bermakmun kepada pelaku bid’ah yang pengkafiran terhadapnya terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, seperti kelompok qadariyah. Adapun jika kefasikannya berkaitan erat dengan rusaknya shalat, seperti niat dan tujuannnya yang ingin menyombongkan diri dengan menjadi imam sholat ataupun sengaja membaca al-Quran dengan memakai qira'ah (bacaan) yang syadz, yang bacaan tersebut bertentangan dengan al quran versi mushaf utsmani serta merusak shalat dengan tidak melaksanakan syarat ataupun rukun-rukunnya secara sengaja. Maka bermakmun kepadanya menjadi tidak sah. 
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab syafi’i membolehkan seorang untuk shalat di belakang imam yang fasik namun disertai kemakruhan. Kemakruhannya tersebut hanya berlaku jika makmumnya bukanlah seorang yang fasik adapun jika kefasikannya sama antara imam dan makmum maka tidak dimakruhkan selama kefasikan imam tersebut tidak lebih parah dibandingkan makmumnya.

Wallahua'lam bi shawab

Friday, 6 June 2025

Hukum amal orang Kafir jika masuk Islam


(باب بَيَانِ حُكْمِ عَمَلِ الْكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ بَعْدَه،)
Bab Penjelasan Hukum amal orang kafir jika masuk islam
فِيهِ حَدِيثُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ (أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ هَلْ لِي فِيهَا مِنْ شَيْءٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ) أَمَّا التَّحَنُّثُ فَهُوَ التَّعَبُّدُ كَمَا فَسَّرَهُ فِي الْحَدِيثِ وَفَسَّرَهُ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى بِالتَّبَرُّرِ وَهُوَ فِعْلُ الْبِرِّ وَهُوَ الطَّاعَةُ قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ أَصْلُ التَّحَنُّثِ أَنْ يَفْعَلَ فِعْلًا يَخْرُجُ بِهِ مِنَ الْحِنْثِ وَهُوَ الْإِثْمُ وَكَذَا تَأَثَّمَ وَتَحَرَّجَ وَتَهَجَّدَ أَيْ فَعَلَ فِعْلًا يَخْرُجُ بِهِ عَنِ الْإِثْمِ وَالْحَرَجِ وَالْهُجُودِ
Terdapat Hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shnllallahu Alaihi wa Sallam, "Bagaimana pendapat engkau dengan perkara-pekara yang dulu saya beribadah dengannya pada masa jahiliyah, apalah ada sesuatu untukku padanya? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepadanya, "Kamu sudah menyerahkan dari apa yang telah kamu pinjamkan dari kebaikan. "At-Tahanuts adalah At-Ta'abbud (beribadah) sebagaimana yang ditafsirkan dalam hadits, dalam riwayat lain ditafsirkan at-tabarur, perbuatan baik berupa taat, ahli bahasa berkata bahwa asal kata at-tahannuts adalah melakukan perbuatan yang keluar dari al-hints, yaitu dosa, begitu iuga dengan Ta' atstsama, Taharaja, dan Tahajada adalahm elakukan perbuatan yang keluar dari dosa, kesalahan dan tidur di waktu malam. 
 وَأَمَّا قَوْلُهُ ﷺ أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ فَاخْتُلِفَ فِي مَعْنَاهُ فَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْمَازِرِيُّ رحمه الله ظَاهِرُهُ خِلَافُ مَا تَقْتَضِيهِ الْأُصُولُ لِأَنَّ الْكَافِرَ لَا يَصِحُّ مِنْهُ التَّقَرُّبُ فَلَا يُثَابُ عَلَى طَاعَتِهِ وَيَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مُطِيعًا غَيْرَ مُتَقَرِّبٍ كَنَظِيرِهِ فِي الْإِيمَانِ فَإِنَّهُ مُطِيعٌ فِيهِ مِنْ حَيْثُ كَانَ مُوَافِقًا لِلْأَمْرِ وَالطَّاعَةُ عِنْدنَا مُوَافَقَةُ الْأَمْرِ وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ مُتَقَرِّبًا لِأَنَّ مِنْ شَرْطِ الْمُتَقَرِّبِ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِالْمُتَقَرَّبِ إِلَيْهِ وَهُوَ فِي حِينِ نَظَرِهِ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ الْعِلْمُ بِاللَّهِ تَعَالَى
Sabda beliau Slullallahu Alaihi wa Sallam, "أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ ," diperselisihkan maknanya. Al-Imam Abu Abdillah Al Maaziri Rahimnhullah berkata bahwa zhahirnya adalah perselisihan yang sampai kepada permasalahan pokok karena orang kafir tidak sah ibadahnya sehingga tidak akan dibalas atas ketaatannya, tetapi sah jika dia dinamakan orang yang taat bukan orang yang beribadah seperti perbandingannya dalam masalah iman, sesungguhnya dia dalam hal ini adalah orang yang taat karena sesuai dengan perintah dan taat menurut kami sesuai dengan perintah, tetapi dia tidak menjadi orang yang beribadah karena syarat beribadah adalah mengetahui Dzat yang ia ibadahi, dan dia pada saat merenungkannya tidak memperoleh ilmu tentang Allah Ta'ala sama sekali.
 بَعْدُ فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا عُلِمَ أَنَّ الْحَدِيثَ مُتَأَوَّلٌ وَهُوَ يَحْتَمِلُ وُجُوهًا أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ اكْتَسَبْتَ طِبَاعًا جَمِيلَةً وَأَنْتَ تَنْتَفِعُ بِتِلْكَ الطِّبَاعِ فِي الْإِسْلَامِ وَتَكُونُ تِلْكَ الْعَادَةُ تَمْهِيدًا لَكَ وَمَعُونَةً عَلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالثَّانِي مَعْنَاهُ اكْتَسَبْتَ بِذَلِكَ ثَنَاءً جَمِيلًا فَهُوَ بَاقٍ عَلَيْكَ فِي الْإِسْلَامِ والثالث أنه لا يبعد أن يزاد فِي حَسَنَاتِهِ الَّتِي يَفْعَلُهَا فِي الْإِسْلَامِ وَيَكْثُرُ أَجْرُهُ لِمَا تَقَدَّمَ لَهُ مِنَ الْأَفْعَالِ الْجَمِيلَةِ وَقَدْ قَالُوا فِي الْكَافِرِ إِذَا كَانَ يَفْعَلُ الْخَيْرَ فَإِنَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُ بِهِ فَلَا يَبْعُدُ أَنْ يُزَادَ هَذَا فِي الْأُجُورِ هَذَا آخِرُ كَلَامِ الْمَازِرِيِّ رحمه الله
Jika sudah pasti seperti ini, maka dapat diketahui bahwa hadits ini dapat ditakwil dengan memiliki beberapa kemungkinan, salah satunya adalah Anda sudah melakukan kebiasaan atau tabiat yang bagus dan dapat mengambil manfaat dari kebiasaannya tersebut dalam Islam, dan kebiasaan tersebut menjadi pembuka bagi Anda serta membantu untuk melakukan perbuatan baik, kedua maknanya adalah Anda sudah melakukan demikian dan itu mendapatkan pujian yang baik hingga akan tetap ada pada masa Islam, ketiga adalah tidak mustahil akan ditambah kebaikannya yang telah ia lakukan pada masa Islam dan akan diperbanyak pahalanya dari amal perbuatan yang sudah dilakukan, mereka berkata tentang orang kafir jika melakukan perbuatan baik sesungguhnya dapat meringankannya dan tidak mustahil untuk ditambah pahalanya. Ini adalah akhir dari perkataan Al-Maaziri Rahimahullah.
 قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رحمه الله وَقِيلَ مَعْنَاهُ بِبَرَكَةِ مَا سَبَقَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ هَدَاكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى الْإِسْلَامِ وَأَنَّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ خَيْرٌ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى سَعَادَةِ آخِرِهِ وحسن عاقبته هذا كلام القاضي 
Al-Qadhi 'Iyadh Rahimahullah berkata dan ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah dengan barakah kebaikan yang telah kamu lakukan, maka Allah Ta'ah memberikan petunjuk kepadamu tentang Islam dan barangsiapa yang terlihat kebaikan darinya di awal perkaranya, maka ini adalah bukti atas kebahagiaan pada akhirnya dan kebaikan pada akibatnya. Ini perkataan Qadhi.
وذهب بن بَطَّالٍ وَغَيْرُهُ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ إِلَى أَنَّ الْحَدِيثَ عَلَى ظَاهِرِهِ وَأَنَّهُ إِذَا أَسْلَمَ الْكَافِرُ وَمَاتَ عَلَى الْإِسْلَامِ يُثَابُ عَلَى مَا فَعَلَهُ مِنَ الْخَيْرِ فِي حَالِ الْكُفْرِ وَاسْتَدَلُّوا بِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا أَسْلَمَ الْكَافِرُ فَحَسُنَ إِسْلَامُهُ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ كُلَّ حَسَنَةٍ زَلَفَهَا وَمَحَا عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ زَلَفَهَا وَكَانَ عَمَلُهُ بَعْدُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلَّا أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ سبحانه وتعالى ذَكَرَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي غَرِيبِ حَدِيثِ مَالِكٍ وَرَوَاهُ عَنْهُ مِنْ تِسْعِ طُرُقٍ وَثَبَتَ فِيهَا كُلِّهَا أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا حَسُنَ إِسْلَامُهُ يُكْتَبُ لَهُ فِي الْإِسْلَامِ كل حسنة عملها فى الشرك
Ibnu Baththal dan selainnya dari kalangan muhaqqiq berpendapat bahwa hadits ini sesuai dengan zhahirnya, yaitu jika orang kafir masuk Islam dan meninggal dalam keadaan Islam, maka akan dibalas atas kebaikan yang telah ia lakukan pada saat masih kafir, mereka berargumen dengan hadits Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah Shallallahul aaihi wa Sallam bersabda, "Jika orang lafir masuk lslam lalu baik lslamnya, Allah Ta'ala menulis setiap kebailan yang ia persembahkan, dan menghapus setiap kejelekan yang ia persembahkan, dan amalannya setiap kebaikan adalah sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus lali lipat, dan kejelekan ditulis satu kejelekan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengampuni kejelekannya, Ad-Daraquthni menyebutkannya dalam Gharib Hadits Malik,dan yang meriwayatkan adalah dari sembilan jalan, ketetapannya adalah bahwa orang kafir jika keislamanya baik, maka akan ditulis untuknya pada saat Islam, setiap kebaikan yang telah ia lakukan pada saat musyrik
قال بن بَطَّالٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَ ذِكْرِهِ الْحَدِيثَ وَلِلَّهِ تَعَالَى أَنْ يَتَفَضَّلَ على عباده بما يشاء لَا اعْتِرَاضَ لِأَحَدٍ عَلَيْهِ قَالَ وَهُوَ كَقَوْلِهِ ﷺ لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رضي الله عنه أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَأَمَّا قَوْلُ الْفُقَهَاءِ لَا يَصِحُّ مِنَ الْكَافِرِ عِبَادَةٌ وَلَوْ أَسْلَمَ لَمْ يُعْتَدَّ بِهَا فَمُرَادُهُمْ أَنَّهُ لَا يُعْتَدُّ لَهُ بِهَا فِي أَحْكَامِ الدُّنْيَا وَلَيْسَ فِيهِ تَعَرُّضٌ لِثَوَابِ الْآخِرَةِ فَإِنْ أَقْدَمَ قَائِلٌ عَلَى التَّصْرِيحِ بِأَنَّهُ إِذَا أَسْلَمَ لَا يُثَابُ عَلَيْهَا فِي الْآخِرَةِ رُدَّ قَوْلُهُ بِهَذِهِ السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ وَقَدْ يُعْتَدُّ بِبَعْضِ أَفْعَالِ الْكُفَّارِ فِي أَحْكَامِ الدُّنْيَا فَقَدْ قَالَ الْفُقَهَاءُ إِذَا وَجَبَ عَلَى الْكَافِرِ كَفَّارَةُ ظِهَارٍ أَوْ غَيْرُهَا فَكَفَّرَ فِي حَالِ كُفْرِهِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَإِذَا أَسْلَمَ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ إِعَادَتُهَا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ رحمه الله فِيمَا إِذَا أَجْنَبَ وَاغْتَسَلَ فِي حَالِ كُفْرِهِ ثُمَّ أَسْلَمَ هَلْ تَجِبُ عَلَيْهِ إِعَادَةُ الْغُسْلِ أَمْ لَا وَبَالَغَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَقَالَ يَصِحُّ مِنْ كُلِّ كَافِرٍ كُلُّ طَهَارَةٍ مِنْ غُسْلٍ وَوُضُوءٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِذَا أَسْلَمَ صَلَّى بِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Ibnu Baththal Rahimahullah Ta'ala berkata setelah menyebutkan hadits ini dan Allah Ta'ala memiliki keutamaan terhadap hamba-hambaNya yang Dia kehendaki, tidak ada seorangpun yang menyangkalNya. Ia berkata, dan ini seperti sabda beliau Shallallahu alaihiwa sallam kepada Hakim bin Hizam radhiyallahuanhu, "Aslamta'ala maa aslafta min khairin, " Wallahu a'lam. 
Adapun pendapat ulama fiqh adalah tidak sah ibadah dari orang kafir jika dia masuk Islam, maka amalannya tidak dianggap, maksud mereka adalah amalan baiknya tidak dianggap pada hukum-hukum dunia dan tidak bertentangan dengan pahala akhirat. Jika pembicara mengemukakan secara terang-terangan bahwa jika masuk Islam, tidak akan dibalas di akhirat, maka perkataannya tertolak dengan sunnah shahihah ini dan terkadang beberapa amal perbuatan orang kafir dianggap juga pada hukum-huk'um dunia, ulama fiqh telah mengatakan bahwa jika diwajibkan untuk orang kafir membayar kaffarah zhihnr atau selairmya lalu dia membayamya pada saat masih kafir, maka hal tersebut sudah mencukupinya. Jika masuk Islam, tidak wajib mengulangnya. Para pengikut Asy-Syafii Rahimahullah telah berselisih pendapat tentang orang kafir yang junub lalu ia mandi pada saat masih kafir kemudian ia masuk Islam, apakah wajib mengulangi mandinya atau tidak? Sebagian pengikut Asy-Syafii mengatakan sah setiap orang kafir semua thaharahah-nya, baik mandi, wudhu atau tayammum, dan jika dia masuk Islam, ia boleh shalat dengan thaharah-nya,Wallahu a'lam. 
 وَأَمَّا مَا يَتَعَلَّقُ بِلَفْظِ الْبَابِ فَقَوْلُهُ (أَعْتَقَ مِائَةَ رَقَبَةٍ وَحَمَلَ عَلَى مِائَةِ بعير) معناه تصدق بها وفيه صالح عن بن شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ وَهَؤُلَاءِ ثَلَاثَةٌ تَابِعِيُّونَ رَوَى بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ وَقَدْ قَدَّمْنَا أَمْثَالَ ذَلِكَ وَفِيهِ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ الصَّحَابِيُّ رضي الله عنه وَمِنْ مَنَاقِبِهِ أَنَّهُ وُلِدَ فِي الْكَعْبَةِ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ وَلَا يُعْرَفُ أَحَدٌ شَارَكَهُ فِي هَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ وَمِنْ طُرَفِ أَخْبَارِهِ أَنَّهُ عَاشَ سِتِّينَ سَنَةً فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَسِتِّينَ فِي الْإِسْلَامِ وَأَسْلَمَ عَامَ الْفَتْحِ وَمَاتَ بِالْمَدِينَةِ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ فَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالْإِسْلَامِ مِنْ حِينِ ظُهُورِهِ وَانْتِشَارِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Kaitannya dengan lafazh bab ini adalah perkataannya, "A'taqa bi mi'ah raqabah wa hamala 'ala mi'ah ba'iir, "Maknanya adalah bershadaqah. 
Terdapat Shalih dari Ibnu Syihab dari Urwah, mereka bertiga adalah tabi'in yang saling meriwayatkan satu dengan lainnya, kami telah kemukakan contohnya. Selain itu, terdapat Hakim bin Hizam seorang sahabat Radhiyallahu Anhu, di antara kebaikanya adalah ia lahir di Ka'bah, sebagian ulama berkata bahwa tidak diketahui seorang pun yang berserikat dengannya dalam masalah ini. Ulama berkata bahwa di antara kabar baiknya adalah dia hidup enam tahun di masa jahiliyah dan enam tahun di masa Islam, masuk Islam setelah Fathu Makkah, meninggal dunia di Madinah pada tahun 54, yang dimaksud dengan Islam adalah pada saat mulai dan menyebarya, Wallahu a'lam

شرح النووي على مسلم

Friday, 2 May 2025

Apakah jasad atau ruh yang disiksa di alam kubur?

Apakah jasad arau ruh manusia yang di siksa di alam kubur?
Jawab :
Alam kubur disebut juga dengan alam barzakh. Ulama berbeda pendapat soal ini. Sebagian menyatakan ruhnya saja yang disiksa. Sebagian lagi menyatakan yang disiksa roh dan jasadnya. Sebagian lagi menyatakan ruhnya saja namun terkadang jasadnya juga merasakannya.Pendapat yang sahih di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah menyatakan bahwa azab atau nikmat kubur itu dirasakan oleh badan dan rohnya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 17/201, menyatakan penggambaran siksa atau nikmat kubur sebagai berikut:

فان قيل : فنحن نشاهد الميت على حاله في قبره فكيف يُسأل ويُقعد ويضرب بمطارق من حديد ولا يظهر له أثر ، فالجواب : أن ذلك غير ممتنع بل له نظر في العادة وهو النائم ، فإنه يجد لذة وآلاما لا نحس نحن شيئا منها ، وكذا يجد اليقظان لذة وآلما لما يسمعه أو يفكر فيه ولا يشاهد ذلك جليسه منه ، وكذا كان جبرئيل يأتي النبي صلى الله عليه وسلم فيخبره بالوحي الكريم ولا يدركه الحاضرون ، وكل هذا ظاهر جلى .

Apabila ditanyakan: "Kami melihat keadaan mayit di kuburnya, bagaimana (mungkin) ia ditanya, didudukkan, dipukul dengan pukulan besi padahal tidak ada bekas apapun?" Jawabnya adalah: "Hal itu tidak mencegah (bukan berarti tidak terjadi). Bisa saja ia melihat dalam kebiasaan ketika ia sedang tidur di mana ia merasakan kenikmatan atau tersiksa yang tidak kita rasakan sama sekali darinya. Begitu juga orang yang sadar merasa nikmat atau sakit ketika ia mendengar atau berfikir padahal teman di sekitarnya tidak melihat hal itu. Begitu juga, malaikat Jibril datang pada Nabi menurunkan wahyu dan hal itu tidak diketahui oleh orang-orang yang hadir di sekitarnya. Ini semua sangat jelas."
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya siksa dan nikmat kubur itu terjadi pada ruh dan jasad manusia di alam barzakh (alam kubur)

Monday, 14 April 2025

Hukum Puasa wanita yang melebihi masa Haid

Assalamualaikum, berapa batas maksimal haid wanita dan bagaimana hukum puasa wanita yang keluar darah melebihi waktu haid?

Jawab :
Waalaikumsallam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Para ulama berbeda pendapat mengenai lama masa haid. Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa paling cepat haid itu terjadi selama tiga hari tiga malam, dan bila kurang dari itu tidaklah disebut haid tetapi istihadhah. Yaitu darah penyakit yang tidak menghalangi kewajiban shalat dan puasa.
Sedangkan paling lama masa haidh itu menurut madzhab ini adalah sepuluh hari sepuluh malam, kalau lebih dari itu bukan haid tapi istihadhah.
Dasar pendapat mereka adalah hadis berikut ini:
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, "Haid itu paling cepat buat perawan dan janda tiga hari. Dan paling lama sepuluh hari." (HR Tabarani dan Daruquthni dengan sanad yang dhaif)
Al-Malikiyah mengatakan paling cepat haid itu sekejap saja, bila seorang wanita mendapatkan haid dalam sekejap itu, batallah puasanya, salatnya dan tawafnya. Namun dalam kasus iddah dan istibra  lamanya satu hari.
Madzhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa paling cepat haid itu adalah satu hari satu malam. Dan umumnya enam atau tujuh hari. Dan paling lama lima belas hari lima belas malam. Bila lebih dari itu maka darah yang keluar adalah darah istihadhah. Para ulama syafiiyah melakukan eksperimen dan penelitian pada faal tubuh wanita. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan dan membuat rumus batas mininal dan maksimal. Di sini yang berlaku adalah sebuah kaidah al-'adatu muhakkamah, yaitu suatu yang sudah menjadi kebiasaan, meski tanpa dalil yang sharih dari nabi Shalallahu alaihi wa sallam, bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
Pendapat ini sesuai dengan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu yang berkata, Bahwa paling cepat haid itu sehari semalam, dan bila lebih dari lima belas hari menjadi darah istihadhah.
Jadi menurut madzhab syafi'i jika seorang haid lebih dari 15 hari maka termasuk darah istihadhah. Lalu bagaimana hukumnya?
Seorang muslimah yang mengalami haidh tidak diperkenankan beribadah seperti shalat dan puasa. Sedangkan muslimah yang mengalami istihadhah maka ibadah tetap menjadi kewajibannya. Tidak gugur sebagaimana muslimah yang sedang haidh. Dalam hadist disebutkan :
أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تُهَرَاقُ الدَّمَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَتْ لَهَا أُمُّ سَلَمَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِتَنْظُرْ عَدَدَ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي كَانَتْ تَحِيضُ مِنْ الشَّهْرِ قَبْلَ أَنْ يُصِيبَهَا الَّذِي أَصَابَهَا فَلْتَتْرُكْ الصَّلَاةَ قَدْرَ ذَلِكَ مِنْ الشَّهْرِ فَإِذَا خَلَّفَتْ ذَلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ لِتَسْتَثْفِرْ ثُمَّ لِتُصَلِّي
 Ada seorang wanita yang darahnya mengalir terus-menerus pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ummu Salamah meminta fatwa daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Hendaklah dia melihat bilangan hari dan malam yang dia didatangi haidh pada bulan sebelum dia ditimpa istihadah. Maka tinggalkanlah shalat sebanyak hari yang dia haidh pada bulan itu. Dan jika telah berlalu hari-hari tersebut, maka mandilah dan (kenakanlah kain pada tempat keluar darah untuk menghalang darah mengalir) dan kemudian shalatlah.” 
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam ‘Minhaj al-Thalibin’ berkata:
وَالِاسْتِحَاضَةُ حَدَثٌ دَائِمٌ كَسَلَسٍ فَلَا تَمْنَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ، فَتَغْسِلُ الْمُسْتَحَاضَةُ فَرْجَهَا وَتَعْصِبُهُ، وَتَتَوَضَّأُ وَقْتَ الصَّلَاةِ، وَتُبَادِرُ بِهَا فَلَوْ أَخَّرَتْ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ كَسَتْرٍ وَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ لَمْ يَضُرَّ، وَإِلَّا فَيَضُرُّ عَلَى الصَّحِيحِ. وَيَجِبُ الْوُضُوءُ لِكُلِّ فَرْضٍ، وَكَذَا تَجْدِيدُ الْعِصَابَةِ فِي الْأَصَحِّ
 “Istihadhah adalah hadats yang permanen seperti orang beser, maka ia tidak mencegah puasa dan sholat. Maka mustahadhah (diwajibkan) membasuh vaginanya dan membalutnya. Ia (wajib) berwudhu pada waktu shalat, ia (wajib) segera melaksanakan sholat.”
Lebih lengkapnya beliau menjelaskan
   وَلَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَإِذَا تَوَضَّأَتْ اسْتَبَاحَتْ مَسَّ الْمُصْحَفِ وَحَمْلَهُ وَسُجُودَ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ وَعَلَيْهَا الصَّلَاةُ وَالصَّوْمُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ الْعِبَادَاتِ الَّتِي عَلَى الطَّاهِرِ وَلَا خِلَافَ في شئ مِنْ هَذَا عِنْدَنَا قَالَ أَصْحَابُنَا وَجَامِعُ الْقَوْلِ في المستحاضة انه لا يثبت لها شئ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ بِلَا خِلَافٍ وَنَقَلَ ابْنُ جَرِيرٍ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَأَنَّ عَلَيْهَا جَمِيعَ الْفَرَائِضِ الَّتِي عَلَى الطَّاهِرِ   
"Diperbolehkan bagi perempuan yang istihadhah membaca Al-Qur’an. Ketika ia telah wudhu, maka diperbolehkan baginya memegang dan membawa mushaf, melaksanakan sujud tilawah dan sujud syukur. Wajib bagi perempuan istihadhah melaksanakan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lain yang wajib bagi orang yang suci. Tidak ada perkhilafan mengenai hal ini dalam mazhab kita (Mazhab Syafi’i). Ulama Syafi’iyah berkata: Kesimpulan tentang perempuan yang istihadhah adalah tidak tetap baginya hukum-hukum yang berlaku ketika keadaan haid dengan tanpa adanya perkhilafan ulama. Ibnu Jarir menukil adanya konsensus ulama (ijma’) bahwa boleh bagi perempuan yang istihadhah membaca Al-Qur’an, dan wajib baginya seluruh kefardhuan yang wajib bagi perempuan yang suci. (Imam Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab.
Dapat disimpulkan bahwa hukum puasa bagi wanita yang istihadhah boleh, bahkan diwajibkan untuk tetap shalat dan puasa. (Sedangkan untuk shalat dan puasa sunnah ada ikhtilaf diantara ulama.Tetapi, ada ulama yang memperbolehkan melaksanakan shalat sunnah selama dalam waktu shalat tidak ada darah yang keluar)
Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk berpuasa. Tidak ada larangan bagi mereka untuk menjalankan ibadah puasa, termasuk pada bulan Ramadhan. Puasa mereka sah, dan mereka tidak perlu mengqadha puasa di hari-hari berikutnya. Mereka juga boleh menyentuh dan membaca Al Quran setelah berwudhu.

Wallahu a'lam bi shawab
Temanggung, 14 April 2025
Ta' Rouf Yusuf

Tuesday, 4 February 2025

Al Fatihah Bagian 4

Tadabur Al Fatihah bagian ke 4
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus,

Permintaan yang diajarkan Allah yang pertama adalah permintaan hidayah. Makna dari (الهداية) adalah petunjuk atau pertolongan untuk menjalankan ketaatan, sedangkan permintaan petunjuk dari  orang yang telah mendapat petunjuk berarti ia meminta tambahan hidayah dari hidayah yang telah ada. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (QS. Muhammad : 17)
Imam Al-Ghazali, menyebutkan bahwa hidayah memiliki tiga tingkatan. 

Pertama, memahami baik dan buruk, hidayah umum.
وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ
"Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)," (Surat Al-Balad ayat 10).
Allah menganugerahkan hidayah jenis ini kepada segenap hamba-Nya, sebagian melalui jalan akal pikiran mereka dan sebagian lagi melalui lisan para utusan-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam Surat Fushshilat ayat 17.
وَاَمَّا ثَمُوْدُ فَهَدَيْنٰهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمٰى عَلَى الْهُدٰى
"Adapun kaum Samud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu."
Pada jenjang dasar ini, banyak pintu menuju hidayah terbuka mulai dari kitab suci, para rasul, dan akal pikiran. Hanya kedengkian, kesombongan, dan nafsu duniawi yang menutup pintu-pintu hidayah tersebut.

Kedua, cahaya ilmu dan amal saleh.
Hidayah ini berada pada satu tingkat di atas hidayah pertama. Hidayah ini dianugerahkan oleh Allah kepada sebagian hamba-Nya setelah melalui tahapan-tahapan dan sejauh kesiapan spiritual (berupa ilmu dan amal saleh) yang bersangkutan. Hidayah kedua ini merupakan buah dari mujahadah, latihan/tempaan spiritual. 
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ
"Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (Al-Ankabut ayat 69).
Pada surat lainnya, Allah mengatakan:
وَالَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى
"Orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka." (Surat Muhammad ayat 17).
Ketiga, cahaya alam kenabian dan kewalian.
Hidayah level ketiga ini berada di atas hidayah kedua. Hidayah ketiga ini merupakan puncak hidayah Allah. Cahaya hidayah ini memancar setelah kesempurnaan mujahadah/tempaan spiritual yang maksimal. Hidayah ini sangat mulia karena dinisbahkan kepada Allah.
قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰىۗ
"Katakan, ‘Sungguh, petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya);'" (Surat Al-An’am ayat 71).
Pada surat lain, Allah mengatakan sebagai berikut:
اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّاسِ
"Apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak (sama dengan orang yang berada dalam kegelapan?)" (Surat Al-An’am ayat 122).

Sebagian ulama membagi Hidayah ini menjadi 5  jenis :
1. Hidayah al-Ilhami (Insting/Naluri)
Hidayah al-Ilhami adalah denyut hati (gerak hati) yang ada pada setiap makhluk hidup. Hidayah ini tidak hanya diberikan kepada manusia, tetapi juga kepada hewan sekalipun.
Hidayah al-Ilhami merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan pada suatu pikiran, tetapi hanya berupa dorongan alamiah dalam diri manusia (naluri). Hidayah jenis ini diberikan oleh Allah kepada manusia sejak masih bayi.
2. Hidayah al-Hawasi (Pancaindra)
Hidayah al-hawasi atau hidayah pancaindra adalah petunjuk yang diberikan melalui pancaindra, seperti halnya melihat dengan mata, meraba dengan tangan, mencium dengan hidung, mendengar dengan telinga, dan seterusnya.
Pancaindera yang dimaksud yakni mata, telinga, hidung, indera perasa, dan indera peraba. Hidayah ini diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk-Nya.
3. Hidayah al-Aqli (Akal)
Hidayah al-Aqli atau hidayah akal-pikiran adalah hidayah yang dimotori dengan akal pikiran yang dengannya manusia bisa berbuat banyak hal. Hidayah jenis ini diberikan untuk meluruskan kekeliruan-kekeliruan pancaindra, sebab kadangkala tangkapan indra kurang akurat.
Pancaindra mungkin mengalami gangguan, cacat, atau memiliki kemampuan sebatas pada pendeteksian secara objektif sehingga tidak mampu menyimpulkan, mengakomodasi, dan menyalurkan petunjuk sesuai dengan kebutuhan.
4. Hidayah al-Adyani (Agama)
Hidayah al-Adyani atau hidayah agama adalah hidayah yang bersumber dari wahyu Allah, yakni Alquran. Hidayah jenis dimaksudkan sebagai petunjuk agama dan pedoman seluruh umat.
Petunjuk agama berperan penting bagi kehidupan manusia, sebab dengan akal budi semata, manusia belum bisa sampai pada kebenaran yang hakiki. Dengan agama, Allah telah memperkenalkan kebenaran demi kebenaran.
Kebenaran yang dimaksud adalah wahyu Ilahi yang mampu menunjukkan jalan yang lurus dan mengajari manusia kepada sesuatu yang belum bisa dijelaskan oleh akal atau nalurinya. Dengan berpedoman pada petunjuk agama, manusia tidak akan tersesat karena semua bersumber dari Allah semata.
5. Hidayah Taufiqi (Pertolongan)
Agama bukanlah hidayah terakhir, masih ada hidayah lain yang jauh lebih penting, yaitu hidayah Taufiqi atau hidayah pertolongan. Hidayah jenis ini semata-mata berada di tangan Allah.
Tidak ada seorang pun kecuali Allah satu-satunya yang dapat memberikan hidayah Taufiqi kepada manusia. Sebagaimana yang terjadi pada Abu Thalib paman Rasulullah dan Kan'an putra Nabi Nuh.
Hidayah Taufiqi adalah suatu kekuatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengamalkan dengan sungguh-sungguh apa yang telah diketahuinya.
Dengan kata lain, hidayah Taufiqi adalah hidayah dilalah, yakni Allah telah menunjukkan jalan, cara, metode, dan seterusnya sehingga seseorang yang mendapat hidayah ini selalu mudah dan tidak terbebani sedikit pun dalam menjalankan syariat Allah.

Makna dari (الصراط المستقيم) secara bahasa adalah: jalan yang tidak berbelok; dan yang dimaksud dalam ayat adalah jalan Islam.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari an-Nawwas bin Sam’an radhiallahu anhu, dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ، فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا، وَلَا تَتَعَرَّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ، فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ، وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ: حُدُودُ اللهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ: مَحَارِمُ اللهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ: كِتَابُ اللهِ، وَالدَّاعِي مِنِ فَوْقَ الصِّرَاطِ: وَاعِظُ اللهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ
“Allah telah membuat sebuah perumpamaan jalan yang lurus. Di dua sisi jalan terdapat dua pagar. Di pagar tersebut terdapat pintu-pintu yang terbuka. Dan di pintu-pintu itu terdapat tirai-tirai yang terurai. Di depan jalan itu terdapat seseorang yang berseru: ‘Wahai manusia, masuklah kalian semua ke jalan ini dan jangan lah berbelok.’ Di atas itu juga terdapat penyeru yang akan memanggil. Apabila ada seseorang yang ingin membuka pintu-pintu tersebut,penyeru di atas jalan berkata:’Celaka kamu, janganlah engkau membukanya. Jika engkau membukanya, niscaya engkau akan terperosok masuk ke dalamnya.’ Jalan itu adalah Islam. Pagar-pagar itu adalah batasan-batasan Allah. Pintu-pintu yang terbuka itu adalah perkara-perkara yang diharamkan Allah. Penyeru di depan pintu jalan adalah Kitabullah. Penyeru di atas jalan adalah pemberi peringatan dari Allah yang ada di dalam hati setiap muslim.” ( HR Ahmad )

Ayat selanjutnya menerangkan lebih lanjut jalan yang lurus yang di maksud.
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Mereka adalah orang-orang yang disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 69-70 : “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu dengan Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah (sebagai Dzat yang) Maha mengetahui. 
Ketaatan dinyatakan sebagai kenikmatan, hal ini menunjukkan bahwa berjalan di jalan yang lurus ini terasa nikmat.
Beberapa ahli tafsir menafsirkan
 الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
Orang-orang yang dimurkai sebagai orang-orang Yahudi. Hal ini disebabkan karena orang-orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi memeranginya sehingga mereka berhak mendapat kemarahan dari Allah Ta’ala. 
وَلَا الضَّالِّينَ
Orang orang yang tersesat adalah orang-orang Nasrani. Sedangkan orang-orang Nasrani memerangi kebenaran disebabkan kebodohan yang ada pada mereka sehingga mereka berada dalam kesesatan yang nyata.
Disebutkan dalam hadist yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: “tidaklah orang-orang Yahudi dengki terhadap sesuatu melebihi kedengkian mereka terhadap salam dan kalimat amin (yang ada dalam Islam)”. 
Dan makna dari kalimat amin adalah Ya Allah kabulkanlah untuk kami.

Ta' Rouf Yusuf






Thursday, 26 December 2024

Pengantar Pendidikan Akhlak Mulia

Pengantar

Tujuan utama di utusnya Nabi Muhammad shallahu alaihi wa salla adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Proses tersebut dilakukan Rasulullah dengan mendidik generasi terbaik umat ini. Islam hadir sebagai solusi permasalahan kehidupan. Permasalahan kehidupan di dunia dimulai dari kerusakan akhlak manusia. Oleh karena itu perbaikan kerusakan-kerusakan di muka bumi ini dimulai dengan pembenahan akhlak Mulia. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

 إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku (Rasulullah shalallhu alaihi wa sallam) diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad  2/381)

Tujuan Pendidikan menurut Syed M. Naquib Al Attas adalah membentuk individu yang baik. Orang yang baik menurut beliau adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq, yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya, yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab. 

Dari paparan beliau tentang orang baik maka dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya pendiidkan adalah proses membentuk manusia yang baik atau dapat kita sebut manusia yang memiliki akhlak mulia. Dalam proses tersebut beliau menawarkan konsep Ta’dib atau meberikan adab. Menurut beliau Ta’dib ini adalah satu “cara Allah mendidik Nabi Nya”. Sebagaimana yang sebutkan dalam hadits

 أدبنى ربى فأحسن تأديبى 

“Tuhanku telah mendidikku, maka Ia menjadikan pendidikanku menjadi baik”.

Hadits ini dilihat dari segi tashihnya adalah hadits dhaif,  sedangkan  sanadnya  ada  yang  bersambung,  periwayatnya  adil, ada  perawi  yang majhul dan maknanya shahih. Namun meski demikian hadits ini dapat dijadikan hujjah secara tathbiqi, dan hadits ini dapat diimplementasikan sebagai sandaran sebuah hukum, dan dapat diamalkan jika ada penguat hadits lain.

Di   dalam   hadis   ini   secara   eksplisit   digunakan   istilah ta'dib (yang   diartikan pendidikan)   dari   kata addaba yang   berarti   mendidik.   Kata   ini,menurut   al-Zajjaj, dikatakan  sebagai  cara  Tuhan  mendidik  Nabi-Nya,  tentu  saja  mengandung  konsep pendidikan yang sempurna. Dengan penjelasan di atas al-Attas selanjutnya menguraikan pengertian   hadis   ini   sebagai   berikut:   "Tuhanku   telah   membuatku   mengenali   dan mengakui, dengan apa (yaitu adab) yang secara berangsur-angsur telah ditanamkan ke dalam  diriku,  tempat-tempat  yang  tepat  dari  segala  sesuatu  di  dalam  penciptaan, sehingga  hal  itu  membmbingku  ke  arah  pengenalan  dan  pengakuan  tempat  Nya  yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian dan sebagai akibatnya, Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik" (Alatas, 1996).

Makna Adab

Dalam bahasa Arab, kata adab merupakan bentuk kata benda dari kata kerja أدب  berarti kesopanan, sopan santun, tata krama, moral, nilai-nilai, yang dianggap baik oleh masyarakat. Mengutip pernyataan Abu Isma’il al-Harawi, pengarang kitab Manazil as-Sa’irin, yang dimaksud dengan adab adalah menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan serta mengetahui bahaya pelanggaran. 

Sedangkan menurut AbdulAziz bin Fathi As Syayid Nada mengatakan bahwa adab adalah seluruh hukum-hukum syar’I yang lima,yakni wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Sehingga yang dimaksud beradab adalah melaksanakan seluruh perintah Allah, baik yang hukumnya wajib maupun yang sunah dan meninggalkan seluruh larangan Nya baik yang haram maupun makruh. Adapun dalam perkara-perkara yang mubah, yang paling sempurna adalah yang dipilih Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa Adab Islam adalah kesopanan, tata krama, moral Islam dimana hal tersebut adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan apa yang dilarang oleh Nya. Sebagaimana firman Allah :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ 

Padahal mereka hanya diperintah untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam beragama secara lurus, dan juga agar mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S Al-Bayyinah: 5)

Makna Akhlak

Di dalam bahasa Arab kata “akhlak” ( أخلاق ) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, kelakuan perangai, tabiat, adat, dan sebagainya. Kata akhlak ini mempunyai akar kata yang sama dengan kata khaliq yang bermakna pencipta dan kata makhluq yang artinya ciptaan, yang diciptakan, dari kata khalaqa, menciptakan. Dengan demikian, kata khulq dan akhlak yang mengacu pada makna “penciptaan” segala yang ada selain Tuhan yang termasuk di dalamnya kejadian manusia.

Sedangkan pengertian akhlak menurut istilah adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan suatu perbuatan dengan mudah karena kebiasaan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Akhlak juga merupakan sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan dengan sadar dan disengaja. Oleh karena itu, sifat yang lahir dalam perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan disengaja jika itu baik disebut akhlak terpuji/mulia (akhlak mahmudah atau akhlak al-karim), sedangkan perbuatan yang buruk disebut akhlak yang tercela/jelek (akhlak madzmumah atau akhlak asayi’ah)

Imam Ghazali mendefinisikan akhlak dengan  suatu sifat yang tertanam dengan kokoh di dalam jiwa manusia, yang menjadi sumber kahirnya perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan gampang dan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan yang terpuji dan indah, baik menurut akal maupun hukum, disebut akhlak yang baik (khuluq hasan). Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan jelek dan kotor, maka ia disebut akhlak kotor (khuluq sayyi’).

Lalu bagaimana akhlak dapat didapatkan oleh seorang Manusia?

Dalil-dalil di dalam Al-Quran dan Sunnah menunjukkan bahwa ibadah yang benar sesuai dengan adab-adabnya haruslah memiliki pengaruh kepada jiwa, akhlak, dan perilaku orang yang melaksanakannya. Shalat yang merupakan rukun Islam yang paling utama setelah Tauhid, sekaligus ibadah yang memiliki kedudukan khusus di dalam Islam, satu di antara hikmah disyariatkannya disebutkan oleh Allah  Subhânahu wata`âlâ  di dalam Al-Quran, yaitu untuk mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Allah  Subhânahu wata`âlâ  berfirman (yang artinya): "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran), dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui segala yang kalian kerjakan." [QS. Al-`Ankabût: 45]

Ketika Nabi  Shallallâhu `alaihi wasallam  dikabarkan tentang seorang wanita yang rajin melakukan shalat malam, tapi di pagi hari sering menyakiti tetangganya, beliau bersabda, "Perempuan itu di Neraka." Itu seakan menunjukkan bahwa hakikat shalat adalah pembersihan dan penyucian diri dari akhlak-akhlak tercela dan sifat-sifat buruk, sehingga barang siapa yang tidak mendapatkan manfaat dengan shalatnya pada sisi ini maka seolah-olah ia belum memetik buah terpenting dari shalatnya.

Puasa pun demikian halnya. Ia merupakan sarana pendidikan diri, sekaligus penghalang dari syahwat-syahwat terlarang, sebelum menjadi penghalang dari Makan dan minuman, minuman, dan keinginan-keinginan yang dibolehkan. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits, Rasulullah  Shallallâhu `alaihi wasallam  bersabda, "Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak memerlukan (puasanya) saat ia meninggalkan Makan dan minuman dan minumannya."

Al-Quran juga menyebutkan buah yang paling agung dari puasa, yaitu dalam firman Allah  Subhânahu wata`âlâ (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 183]

Dalam konteks yang sama, Nabi Shallallâhu `alaihi wasallam  menjelaskan bahwa barang siapa yang berpuasa karena menjalankan perintah Allah, maka ia harus istimewa dalam akhlak dan kesabarannya. Beliau bersabda, "Maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa pada suatu hari, janganlah ia berkata-kata kotor dan janganlah ia berteriak-teriak. Jika seseorang mencelanya atau memeranginya hendaklah ia berkata: 'Aku sedang berpuasa'."

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat sebagian orang melakukan hal yang sama sekali bertentangan dengan ajaran hadits ini. Ketika berpuasa, dada mereka menjadi sempit dan akhlak mereka menjadi buruk. Baru saja ada sedikit perselisihan paham, mereka langsung marah, mengangkat suara, dan menyakiti orang lain. Tapi jika dicela, mereka mengatakan bahwa mereka sedang berpuasa!! Apakah orang-orang seperti ini benar-benar telah mendapatkan buah dari puasa? Apakah mereka telah melaksanakan arahan Nabi  Shallallâhu `alaihi wasallam?

Jika Anda melihat ibadah zakat, Anda juga mendapatkan bahwa zakat pada dasarnya disyariatkan untuk membersihkan jiwa manusia dari kotoran-kotoran kebakhilan dan kerakusan, sekaligus membiasakan diri menjadi dermawan, suka memberi, gemar membantu, dan ikut merasakan penderitaan orang lain. Itulah sebabnya, Allah Subhânahu wata`âlâ  berfirman (yang artinya): "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan diri mereka." [QS. At-Taubah: 103]. Dengan demikian, zakat bukanlah pajak yang diambil paksa dari manusia, melainkan penanaman rasa belas-kasih dan kasih sayang terhadap sesama, sekaligus penguatan hubungan kenal-mengenal dan kecintaan antar anggota masyarakat.

Adapun ibadah haji yang dibebankan kepada kaum muslimin yang mampu, sesungguhnya bukanlah sekedar sebuah perjalanan menuju tempat suci yang dicintai oleh hati kaum muslimin. Bukan itu semata! Ia pada dasarnya merupakan perjalanan spiritual yang penuh dengan makna-makna mulia tentang keimanan, peningkatan kualitas ruhiyah, dan ketinggian akhlak. Oleh karena itu, tentang ibadah yang satu ini, Allah  Subhânahu wata`âlâ  berfirman (yang artinya): "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata atau berbuat kotor (rafats), berbuat fasik (dosa), dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal." [QS. Al-Baqarah: 197]

Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam pun selalu mengingatkan para shahabat beliau dalam melaksanakan haji, "Berlaku tenanglah, berlaku tenanglah."

Beliau juga menyampaikan pentingnya menghias diri dengan akhlak mulia dalam menunaikan haji, sekaligus memberikan kabar gembira berupa pahala yang besar untuk orang yang memenuhinya. Beliau bersabda, "Barang siapa yang menunaikan haji dengan tidak berkata atau berbuat kotor dan tidak pula berbuat fasik (dosa) niscaya akan keluar dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya."

Itulah ibadah-ibadah utama di dalam Islam. Dalil-dalil yang telah kita sebutkan tentang keutamaan dan anjuran melaksanakannya dengan jelas menunjukkan betapa lekat dan kuatnya hubungan antara agama dan akhlak, antara ibadah dan perilaku. Sesungguhnya ibadah-ibadah tersebut, walaupun berbeda-beda dari segi bentuk dan penampilannya, tetapi semuanya bermuara pada tujuan utama yang telah digambarkan oleh Rasulullah  Shallallâhu `alaihi wasallam  dalam sabda beliau: "Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak."

Imam Al-Ghazâli berkata, "Maka shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah-ibadah lainnya adalah tangga-tangga menuju kesempurnaan yang dicita-citakan. Semuanya laksana sungai-sungai untuk bersuci yang akan melindungi kehidupan dan meninggikan derajat hidup manusia. Oleh karena itu, sifat-sifat mulia yang berhubungan atau tumbuh dari ibadah-ibadah tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama Allah. Jika seseorang tidak mengambil manfaat dari ibadah-ibadah itu untuk menyucikan hatinya, serta mengasah hubungannya dengan Allah dan manusia, berarti ia telah gagal."

Jadi dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan syariat seluruhnya atau Adab yang benar akan menghasilkan akhlak yang kuat tertanam di dalam jiwa manusia. Sehingga Akhlakul karimah adalah merupakan hasil dari proses riyadhoh berupa pengamalan Adab-adab Islam.

Misalkan di dalam Adab masuk ke kamar mandi di ajarkan doa 

اللّٰهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك من الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ 

 “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan setan perempuan.”

Doa ini dibaca oleh Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam  ketika ia hendak masuk ke kamar kecil/wc/toilet. Redaksi doa ini dapat dirujuk dalam Kitab Jami Shahih Bukhari dan Jami Shahih Muslim melalui riwayat sahabat Anas bin Malik ra. Ada baiknya doa masuk kamar kecil/wc/toilet ini diawali dengan pembacaan basmalah. Pembacaan basmalah dapat menutup aurat manusia dari pandangan jin dan makhluk halus lainnya. Rasulullah bersabda sebagai berikut: 

وروينا عن علي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ستر ما بين أعين الجن وعورات بني آدم إذا دخل الكنيف أن يقول بسم الله رواه الترمذي 

“Diriwayatkan dari Sayyidina Ali radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallâhu `alaihi wasallam  bersabda, ‘Penghalang pandangan jin dan aurat manusia apabila ia memasuki kamar kecil/wc/toilet adalah bacaan ‘bismillāh,’” (HR At-Tirmiżi).

Disamping itu dalam hati manusia di ajarkan akhlak muroqobatullah ( merasa di awasi Allah ) walaupun sedang berada di tempat yang sangat privat. Maka jika adab ini dilakukan oleh seorang muslim, maka perasaan merasa selalu di awasi oleh Allah ini akan tertanam kuat sehingga akan menimbulkan rasa khauf jika berbuat maksiat kepada Allah.

Maka dari paparan di atas dapat kita simpulkan bahwan Ibadah dan Adab-adab Islami yang dilakukan dengan ikhlas dan benar secara istiqomah akan menghasilkan akhlakul karimah. Maka jika kita merujuk kepada ulama salaf, mereka sangat serius dalam menanamkan adab-adab Islami kepada anaknya secara khusus atau anak-anak kaum muslimin secara umum.

Al Imam Abu Abdillah Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta’ala, seorang tabi’ tabi’in, beliau berkata: “Mereka-mereka dulu (para salaf) tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk pergi menuntut ilmu hingga anak-anaknya telah diajar adab terlebih dahulu dan memperbanyak ibadah 20 tahun”

Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullahu ta’ala (seorang tabi’ tabi’in)., salah seorang ulama yang mengumpulkan seluruh cabang ilmu, dari ilmu hadits, qur’an, fiqh dan lain-lain. Beliau adalah sumber rujukan di samping keutamaan yang lain dari sisi ibadah, infak, jihad, dll), beliau mengatakan: “Saya menuntut adab selama 30 tahun dan saya menuntut ilmu cuma 20 tahun dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu”.

Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Sebagaimana Yusuf bin Al Husain juga berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata

تعلم من أدبه قبل علمه

“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Sangat besar perhatian mereka akan penanaman adab-adab Islami tentunya disebabkan karena mereka memahami betapa pentingnya penanaman adab ini dalam proses Pendidikan akhlak mulia.

Ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang sebagai prinsip-prinsip dalam Pendidikan Adab:

  1. Menanamkan Aqidah

Aqidah adalah pondasi penting di dalam membangun kekokohan pribadi anak. Akidah yang ditanamkan secara benar akan tertanam dalam kepribadian anak. Akidah ini juga yang akan menjadi dasar bagi sang anak dalam menjalani kehidupannya. Akidah ini ibarat sebuah akar dalam sebatang pohon. Jika akarnya kuat, maka pohon pun akan tumbuh dengan kokoh, batangnya sehat, rantingnya kuat daunnya rimbun, buahnya pun manis.

Aqidah juga menjadi sumber kebaikan seseorang. Begitu manusia yang memiliki akidah yang kokoh, maka dia akan menjadi pribadi yang kuat dalam pelaksanaan hukum Islam dan adab-adab islami. Menjadikan setiap gerak dalam hidupnya sebagai usaha untuk meraih ridho Allah subhanahu wa ta’alla sehingga dia akan konsisten memegang dan melaksanakan syariat dengan totalitas.

Diantara cara menanamkan aqidah juga dengan membiasakan anak mengucapkan dan menghayati kalimat thoyibah. Seperti membiasakan membaca basmalah sebelum memulai sesuatu, hamdalah setelah menyelesaikan sesuatu dan sebagainya. Dengan mengucapkan kalimat Thoyibah maka akan menjadi pengendali tersendiri bagi anak sehingga sang anak senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada Allah.

  1. Mengenalkan kepribadian dan sosok Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam

Mengajarkan dan mengenalkan kepribadian diri dan keteladanan keseharian Rasulullah shalallhu alaihi wa sallam. Hal ini dilakukan agar anak mengenal bagaimana sikap yang harus diteladani. Anak pun akan memiliki standar yang jelas terkait adab yang harus diikuti, yaitu Rasulullah. Lebih dari itu akan lahir kecintaan anak kepada keagungan sosok Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Maka dengan begitu anak akan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladannya dalam kehidupan.

  1. Teladan Orang Tua dan Pendidik

Untuk merekatkan nasehat supaya terwujud dalam kepribadian anak maka teladan adalah salah satu unsur terpenting. Bagaimana mungkin anak akan memiliki adab yang baik jika orangtua tidak mencontohkannya, atau mungkin apa yang disampaikan orangtua berbeda dengan apa yang dilakukan. Maka jika hal ini terjadi justru akan menimbulkan kebingungan tersendiri bagi anaknya. 

  1. Lingkungan yang Baik

Lingkungan yang baik disekitar anak sangat berdampak dalam pembiasaan perilaku baik anak. Jika di rumah kebiasaan baik sudah ditanamkan, tetapi di lingkungan masyarakat justru mengajarkan sebaliknya, maka anak akan cenderung mengikuti yang biasa dilakukan teman-temannya. Apalagi jika kebiasaan buruk itu termasuk yang menyenangkan dan melenakan, maka bukan tidak mungkin anak akan sangat mudah mengikutinya. Termasuk di sini adalah orangtua juga harus memilihkan teman bagi anak, dengan siapa dia bergaul dan bersahabat maka itu akan menentukan kebiasaanya. Rasulullah shalallhu alaihi wa sallam mengingatkan terkait hal ini dalam sabdanya ;

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari)

Diantara lingkungan yang mempengaruhi adalah media social. Menjadi keharusan bagi kita untuk mengontrol penggunaan media elektronik maupun media sosial. Kontrol dan pendampingan harus senantiasa dilakukan oleh orangtua. Jangan pernah membiarkan anak main gadget ataupun nonton TV sendiri tanpa dikontrol dan tanpa pendampingan.


Dalam Prakteknya orang tua dan pendidik dapat melaksanakan beberapa hal untuk menanamkan adab-adab Islami ini, diantaranya :

  1. Menanamkan Pendidikan dengan nasehat dan teladan

Sahabat Jabir radhiyallah’anhu berkata, “ Aku berbaiat kepada Rasuuah saw untuk meaksanakan sholat, membayar zakat dan menasehati setiap Muslim ( HR Bukhari Muslim )

Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah suri teadan yang baik ( Al Ahzab : 21 )

  1. Pembiasaan, perhatian dan pemantauan

Diceritakan pula oleh Abu Hurairah: “(Ketika) Hasan (cucu Nabi saw.) (masih kecil), ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah (zakat), lalu menjadikannya (masuk) ke dalam mulutnya, maka Nabi saw.  memerintahkan: Kikh kikh. “muntahkan, muntahkan.” agar membuangnya kemudian beliau bersabda: “Apakah kau tidak merasa bahwa kami tidak Makan dan minum sedekah.” (HR. Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

  1. Memberikan Hadiah dan hukuman yang layak

Kadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan memberikan hukuman jika diperlukan. Beliau bersabda :

 عَلِّقُوا السَوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ البَيْتِ، فَإِنَّهُ أدَبٌ لَهُمْ “

Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” ( Sahihul Jami’ )

  1. Mensholehkan diri dan senantiasa mendoakan anak

Allah Ta’ala berfirman dalam surat al kahfi bahwa Beliau menjaga keturunan orang sholeh.

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al Kahfi : 82)

Disamping itu wajib bagi pendidik untuk mendoakan anak-anak yang dididik. 

Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berkata,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِي

“Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.  (QS. Ash Shaffaat: 100)

Oleh karena itu dalam buku ini akan penulis sampaikan adab-adab Islami berdasarkan dalilnya. Disamping itu akan kami berikan table muntabaah sebagai pembiasaan bagi anak dan orangtua. Disamping hal tersebut Muntabaah juga dapat dijadikan sebagai acuan dan komitmen bersama untuk mensholehkan orangtua dan anak.

Al Quran dan Sunah Sebagai Pedoman Akhlak Mulia

Sayyidah Aisyah radhiyallahu`anhā ketika ditanya mengenai akhlak Rasulullah shallallāhu `alaihi wa sallam, beliau menjawab: “Akhlak rasulullah adalah Al Quran” (HR Ahmad).

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ 

Hadits ini menunjukkan bahwa kehidupan Rasulullah merupakan manifestasi riil Al Quran dalam kehidupan nyata. Maka sebagai seorang muslim maka wajib bagi kita untuk menjadikan Alquran ini sebagai pedoman  hidup dan pendidikan akhlak. 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat al-isra ayat ke 9 ;

إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا


"Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, "( Al Isra :9 ) 

Alquran membimbing dan memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan yang lebih lurus lebih selamat yang membuat manusia mendapat keberuntungan hakiki di dunia dan akhirat. Jalan yang lebih lurus dalam ayat tersebut adalah jalan yang datang dari Allah subhanahu wa ta'ala dan jalan tersebut merupakan pilihan dari Allah subhanahu wa ta'ala. 

Alquran adalah kitab Allah yang didalamnya tidak ada kesalahan sama sekali dan dia dapat menunjukkan kepada jalan yang lurus, maka keberuntungan Hakiki seorang manusia di dunia dan akhirat adalah ketika dia mengikuti petunjuk Alquran. Seorang manusia dapat membuahkan hasil mendapatkan petunjuk Jika dia menjadikan Alquran ini sebagai ajaran yang dipegang teguh dalam kehidupannya. Di dalam Alquran dijelaskan tentang nilai akhlak-akhlak mulia yang harus dimiliki seorang manusia dan perilaku perilaku tercela yang harus dijauhi oleh seorang manusia. Sehingga seorang yang mengaplikasikan akhlak-akhlak mulia dalam Al Quran akan mendapat derajat yang tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi) 

Ada berapa kaidah yang bisa dipegang dalam kita menjadikan Alquran ini sebagai pedoman kita dalam pendidikan akhlak mulia:

1. Setiap perintah Allah dalam Alquran, untuk beriman kepada Allah dan rasulnya, mengikuti ajarannya  berbuat adil, melakukan kebaikan hingga perintah-perintah yang berkaitan dengan makan dan minum semua mengandung nilai-nilai akhlak mulia yang manfaatnya kembali kepada manusia, baik sebagai individu keluarga masyarakat maupun negara untuk saat ini maupun di masa yang akan di yang akan datang . 

2. Setiap larangan dalam Alquran, mulai dari larangan untuk tidak menyekutukan Allah, larangan membangkang kepada RasulNya, berbuat dzolim, melakukan perbuatan keji hingga larangan-larangan yang berkaitan dengan kehidupan seperti larangan memakan riba, makan harta dengan cara yang batil, memakan daging yang disembelih dengan tanpa menyebut nama Allah dan larangan memakan barang haram, mengandung nilai Akhlak Yang Mulia. Tujuan larangan ini adalah untuk kemaslahatan umat manusia baik kapasitasnya sebagai individu, keluarga, masyarakat maupun negara. 

3. Setiap hukum yang terkandung dalam Alquran yang disyariatkan kepada umat manusia semuanya mengandung nilai-nilai akhlak yang luhur. Jika hukum-hukum tersebut diaplikasikan dalam kehidupan maka manfaatnya akan kembali kepada manusia yaitu terciptanya rasa aman dan tentram pada diri dan seluruh lapisan masyarakat 

4.Setiap berita dan kisah yang disampaikan Alquran bertujuan agar mendidik manusia memiliki akhlak mulia dan menjauhi perilaku tercela sebagaimana terdapat dalam Ibrah yang dapat dipetik dari setiap cerita atau kisah yang terdapat dalam Alquran. 

5. Setiap pembicaraan tentang surga dan semua nikmat yang dijanjikan oleh Allah kepada hambanya yang beriman juga pembicaraan tentang neraka yang siksanya bagi setiap orang yang kafir, pada dasarnya bertujuan untuk mengajak manusia untuk berakhlak mulia karena dengan berakhlak mulia lah seseorang dapat memperoleh surga dan terhindar dari siksa neraka.

6. Setiap ajakan untuk berjihad fisabilillah, rela berkorban dengan harta dan jiwa pada hakekatnya adalah ajakan untuk berakhlak mulia karena jihad bertujuan agar agama Allah tetap tinggi dan manusia tidak menyembah selain Allah dan tetap mengikuti ajaran Nabi. 

7. Setiap pembicaraan tentang setan dan bujukannya rayuannya, godaannya serta permusuhan nya dengan umat manusia juga ancaman siksa yang pedih bagi mereka yang mengikuti setan, pada dasarnya adalah ajakan untuk berakhlak mulia yaitu dengan menempatkan setan sebagai musuh yang harus diperangi dan segala tipu dayanya harus dihancurkan. Sungguh beruntung lah masyarakat yang selalu memerangi setan dan golongannya. 

Semua petunjuk yang terkandung dalam Al Quran menuntun manusia untuk berakhlak mulia. Seluruh kandungan tersebut adalah petunjuk dari Allah, baik yang lahir maupun batin. Seseorang yang mengikuti petunjuk Al Quran dengan konsisten akan melatih manusia memiliki akhlak terpuji dan memiliki sikap selalu menjauhi menjauhi semua perilaku tercela. Maka Ibadah dengan adab-adabnya sesuai dengan arahan Al Quran akan mampu menanamkan akhlak mulia yang akan tertanam dalam diri seorang mukmin.

Ta'Rouf Yusuf, S.Pd

Sunday, 8 December 2024

Makna Syahadat Tauhid ( Kajian Kitab Sulam Taufiq Bag 3)

Makna Syahadatain
فَصْلٌ: في مَعْنَى الشَّهادَتَيْنِ

فَمِمّا يَجِبُ عِلْمُهُ واعْتِقادُهُ مُطْلَقًا، والنُّطْقُ به في الحالِ إنْ كانَ كافِرًا، وإلّا ففي الصَّلاةِ، الشَّهادَتانِ وهُما: "أشْهَدُ أنْ لا إلٰهَ إلّا اللهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ"، صلى الله عليه وسلم.

مَعْنَى الشَّهادَةِ الأُولَى: ومَعْنَى أشْهَدُ أنْ لا إلٰهَ إلّا اللهُ: أنْ تَعْلَمَ وتَعْتَقِدَ وتُؤْمِنَ وتُصَدِّقَ أنْ لا مَعْبُودَ بِحَقٍّ في الوُجُودِ إلّا اللهُ، الواحِدُ، الأحَدُ، الأوَّلُ، القَدِيمُ، الحَيُّ، القَيُّومُ، الباقِي، الدائِمُ، الخالِقُ، الرّازِقُ، العالِمُ، القَدِيرُ، الفَعّالُ لما يُرِيدُ، ما شاءَ اللهُ كانَ وما لم يَشَأْ لم يَكُنْ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ، مَوْصُوفٌ بِكُلِّ كَمالٍ، مُنَزَّهٌ عن كُلِّ نَقْصٍ، ﴿ لَيْسَ كَمثْلِهِ شَيْءٌ وهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴾، فهو القَدِيمُ وما سِواهُ حادِثٌ، وهو الخالِقُ وما سِواهُ مَخْلُوقٌ، وكَلامُهُ قَدِيمٌ [أي بِلا ابْتِداءٍ] كَسائِرِ صِفاتِهِ، لِأنَّهُ سُبْحانَهُ مُبايِنٌ لِجَمِيعِ المَخْلُوقاتِ في الذّاتِ والصِّفاتِ والأفْعال، [ومَهْما تَصَوَّرْتَ بِبالِك، فَاللهُ تَعالَى لا يُشْبِهُ ذلِك]، سُبْحانَهُ وتَعالَى عَمّا يَقُولُ الظّالِمُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا.

Pasal Makna Dua Kalimat Syahadat *
Diantara perkara yang wajib untuk diketahui dan diyakininya secara mutlak adalah dua kalimat syahadat yang wajib ia ucapkan disaat itu juga apabila ia kafir dan didalam sholat apabila ia muslim.**
Dua kalimat syahadat itu adalah "Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah dengan sebenar-benarnya kecuali hanya Allah dan bahwasanya nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam adalah utusanNya."
Adapun ma’na أشهد ان لا اله الا الله adalah engkau mengetahui, meyakini, mempercayai dan membenarkan*** bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah dengan sebenar-benarnya didalam wujud kecuali hanya Allah.
Yang maha esa, yang maha tunggal, yang maha pertama, yang maha terdahulu, yang maha hidup, yang maha kekal, yang maha abadi, yang maha pencipta, yang maha memberi rizqi, yang maha mengetahui, yang maha kuasa, yang maha memperbuat pada sesuatu yang dikehendaki.
Apapun yang diinginkanNya wujud, maka akan terwujud. Dan apapun yang tidak diinginkanNya wujud, maka tidak akan terwujud. 
Dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolonganNya yang maha tinggi lagi maha agung. ****
Dia bersifat dengan semua sifat kesempurnaan dan disucikan dari semua kekurangan dan tidak ada sesuatu apapun yang menyamaiNya dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.
Dia adalah terdahulu dan selainNya adalah baru. Dan Dia adalah yang menciptakan dan selainNya adalah yang diciptakan.
KalamNya adalah terdahulu sebagaimana sifat-sifatNya karena sesungguhnya Dia (maha suci Dia) berbeda dengan seluruh makhluk didalam dzat, sifat dan perbuatan.
Maha suci dan maha tinggi Dia dari apa-apa yang diucapkan oleh orang-orang yang zholim dengan ketinggian yang besar.
-------
* Keutamaan Syahadatain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang sampaikan kepada Maryam serta ruh dari-Nya; dan bersyahadat pula bahwa surga dan neraka adalah benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, seberapapun amal yang sudah diperbuatnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dan dalan Shahih Muslim dan lainnya, hadits marfu’ dari Utsman radliyallah ‘anhu,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal sedangkan dia mengetahui makna La Ilaha Illallah pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radliyallah ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Saya bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak diibadahi) selain Allah dan aku adalah utusan Allah, tiada-lah seorang hamba bertemu Allah (meninggal dunia) dengan membawa keduanya tanpa ada keraguan sedikitpun pasti ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Dari ‘Ubadah bin al Shamit radliyallah ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak diibadahi) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Muslim)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencukupkan dua kalimat syahadat untuk para sahabat. Yaitu untuk mengucapkannya, mengamalkan arahannya, lalu melaksanakan konsekuensinya berupa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan melaksanakan segala macam ibadah, selalu mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla, dan menjauhi kesyirikan.
* Setiap orang yang lahir pada dasarnya adalah muslim, sehingga tidak perlu melakukan syahadat ulang. Dalam aqidah Islam, tidak ada orang yang lahir dalam keadaan kafir. Sebab jauh sebelum bayi itu lahir, Allah Subhanahu wa ta'alla telah meminta mereka untuk berikrar tentang masalah tauhid, yaitu mengakui bahwa Allah adalah tuhannya.
Di dalam Al-Quran, hal ini ditegaskan sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa bayi lahir itu dalam keadaan kafir.
Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul, kami menjadi saksi." agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini. " (QS Al-A'raf: 172 )
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR Bukhari)
Maka anak-anak yang beragama non Islam itu pada dasarnya adalah anak korban pemurtadan dari orang tuanya. Sebab pada dasarnya anak itu muslim sejak dari perut ibunya. Dan lahir dalam keadaan fitrah yang berarti muslim.
Sedangkan bila orang tuanya muslim, maka tidak ada proses pengkafiran. Dan karena itu tidak ada kewajiban untuk masuk Islam dengan berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat
Seorang yang dibesarkan menjadi nonmuslim, ketika sadar dan ingin masuk Islam, maka cukuplah baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada dirinya sendiri. Di dalam hatinya itu dia mengingkarkan bahwa dirinya menyatakan tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahubwa ta'alla. Juga mengikrarkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salla adalah rasul-Nya.
Adapun syahadat itu harus disaksikan oleh orang lain, sama sekali bukan merupakan syarat sahnya syahadat itu sendiri. Meski banyak para shahabat Nabi ketika masuk Islam yang datang menemui beliau, bukan berarti syarat masuk Islam itu harus berikrar di muka orang lain.
Tindakan mereka sekedar menegaskan secara formal bahwa dirinya sudah masuk Islam, serta menyatakan ikrar untuk membela dan memperjuangkan agama Allah.
Banyak di antara shahabat yang ketika masuk Islam pertama kali tidak di hadapan beliau Shalallahu alaihibwa sallam. Ikrar atas syahadat maknanya adalah mengumumkan kepada khalayak bahwa dirinya kini telah berganti agama dari non muslim menjadi muslim. Ikrar ini berfungsi untuk merubah pandangan umum sehingga mereka bisa memperlakukannya sebagai muslim.
Namun dalam kondisi tertentu, pengumuman atas ke-Islaman diri itu tidak mutlak harus dilakukan. Misalnya seperti yang dahulu dialami oleh Rasulullah dan para shahabat di masa awal dakwah, banyak di antara mereka yang merahasiakan ke-Islamannya. Namun syahadat mereka tetap syah dan mereka resmi dianggap sebagai muslim.
Di hari ini pun bila ada seserorang yang karena pertimbangan tertentu ingin merahasiakan ke-Islamannya, maka dia sudah syah menjadi muslim dengan bersyahadat tanpa disaksikan siapapun. Dan sejak itu dia terhitung mulai menjadi muslim yang punya kewajiban shalat, puasa, zakat dan lain-lain.
Syahadatain itu tidak mensyaratkan harus dilakukan di depan imam, tokoh, kiayi atau ulama. Tanpa adanya kesaksian mereka pun syahadat itu sudah sah dan dia sudah menjadi muslim dengan sendirinya.
Imam Nawawi Al Bantani menjelaskan syarat-syarat seseorang mengucapkan dua kalimah syahadat untuk masuk Islam
adalah:
1.
Diucapkan secara berturut-turut, artinya ketika mengucapkan dua
kalimah syahadat maka tidak disela-selai atau dipisah waktu yang lama antara keduanya.
2. Diucapkan secara tertib atau urut, artinya mengucapkan Asyhadu An
Laa Ilaaha Illa Allah, kemudian baru, Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Tidak boleh sebaliknya.
3. Diucapkan dengan Bahasa Arab bagi orang yang mampu
mengucapkannya disertai tahu maknanya. Ini berdasarkan pernyataan
dari Syeh Ahmad az-Zahid dan Allamah Muhammad ar-Romli.
4. Harus mengulangi lafadz “أشھد ” jika tidak menyebutkan huruf athof
 (و). Apabila menyebutkannya maka cukup mengucapkan lafadz
“أشھد ” yang pertama saja.
*** Seseorang harus mengetahui makna syahadatain, meyakini kebenaran isi nya, mengimani dalam hatinya dan membenarkannya dengan melaksanakan konsekuensi dua kalimat syahadat.
Karena itulah, ketika seorang nonmuslim mengucapkan dua kalimat syahadat secara dzahir dia dilindungi dan darahnya dijaga sehingga dia diuji dan dilihat setelah itu. Jika dia istiqamah di atas agama islam dan konsisten dengan tauhidnya serta mengamalkan ajaran Islam, maka dia sebagai muslim. Dia mendapat hak dan kewajiban sebagaimana kaum muslimin lainnya. Jika dia menyelisihi tuntutan syahadatnya, meninggalkan sebagian syariat Islam dengan menentang dan mengingkarinya, atau menghalalkan sesuatu yang sudah sangat jelas keharamanya, maka kalimat ini tidak bisa menjaminnya.
Makna Syahadat Tauhid
adalah kamu mengetahui, meyakini “أشھد أن لا إلھ إلا الله” Makna
mempercayai, dan membenarkan dengan cara hatimu mengatakan, “Saya
ridho bahwa sebenarnya tidak ada tuhan yang benar disembah kecuali Allah الواحد Yang Maha Esa sifat nya dan الاحد Yang Maha Esa Dzat Nya (yang tidak terdiri dari bagian-bagian. Oleh karena itu, Dia
adalah Yang Maha Esa dalam Dzat, Sifat-sifat, dan tidak bertempat di suatu
tempat tertentu), الاول Yang Maha Awal (yang tidak ada permulaan bagi wujud-Nya), القديم Yang Maha Qodiim (yang wujud-Nya bukan berasal dari yang lainNya), الحي القيوم Yang Maha Hayyu dan Qoyyum (yang berdiri sendiri dan tidak
membutuhkan yang lain. Oleh karena itu, keberadaan Allah tidak berhubungan dengan yang lain. Sebaliknya keberadaan selain-Nya
berhubungan dengan-Nya), الباقى Yang Maha al-Baqi (yang tidak akan sirna
setelah seluruh makhluk sirna), الداءم Yang Maha ad-Daaim (yang tidak akan
pernah berubah sepanjang masa), الخالق Yang Maha al-Khooliq (yang
menciptakan seluruh makhluk yang mana wujud mereka berasal dari
keadaan tidak ada), الرازق Yang Maha ar-Rozzaq (yang membagi pasti semua
yang hidup sampai mati dengan rizki yang dapat membuat batin dan dzahir
mereka mampu bertahan dan kuat, yaitu seperti keyakinan, pengetahuan,
tempat tinggal, pakaian, makanan pokok, dan lain-lain), العالم Yang Maha ‘Aalim
(yaitu Dzat yang Ilmu-Nya bukan dihasilkan dari proses usaha dan objek-objek yang diketahui oleh Ilmu-Nya tidak ada batasnya), القدير Yang Maha AlQodiir (yaitu Dzat yang tidak dilemahkan oleh sesuatu yang besar dan remeh), الفعال لما يريد Yang Maha berbuat segala sesuatu yang Dia kehendaki, yaitu Dia
tidak lemah atas segala sesuatu yang Dia kehendaki dan Dia tidak tercegah
dari segala sesuatu yang Dia cari, oleh karena ini, 
ما شاءَ اللهُ كانَ وما لم يَشَأْ لم يَكُنْ 
segala sesuatu yang Dia kehendaki wujudnya maka terwujud dan segala sesuatu yang Dia tidak
kehendaki wujudnya maka tidak akan terwujud.
**** La haula Wa laa Quwwata Illa Billahil Aliyil Adhim berarti bahwa tidak ada kemampuan, gerakan, dan kekuatan kecuali sebab Allah, Yang Maha Luhur Derajat-Nya, Yang Maha Agung. 
Imam Nawawi Al Bantani menjelaskan
ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ
berarti tidak ada kemampuan menghindari maksiat
 kecuali dengan pertolongan Allah dan tidak ada kekuatan melakukan ketaatan kecuali dengan
pertolongan-Nya. Makna Lafadz ‘ العلي ’
berarti Yang Maha Luhur Derajat-Nya, dan Yang Maha Suci dari segala sesuatu selain-Nya.
Lafadz ‘ العظيم ’ berarti Yang Memiliki Keagungan dan Kesombongan.
Lafadz hauqolah adalah tanaman-tanaman surga, seperti yang disebutkan dalam
hadis Mi’roj, “Ketika Rasulullah, Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallama, melihat Nabi Ibrahim, ‘Alaihi as-Salaam, yang tengah duduk di samping pintu surga di atas kursi yang terbuat dari intan zabarjud hijau, Nabi Ibrahim berkata kepada Rasulullah, Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallama, ‘Perintahkanlah umatmu untuk memperbanyak tanaman-tanaman surga karena tanahnya sangatlah subur dan luas!’ Rasulullah bertanya, ‘Apa tanaman-tanaman surga itu?’ Nabi Ibrahim menjawab 
. ‘لا حول ولا قوة إلا باالله العلي العظيم ’ 
Termasuk keistimewaan kalimah hauqolah adalah seperti yang tertulis dalam kitab
Fawaid asy-Syarji bahwa Ibnu Abi Dunya berkata dengan sanadnya yang sampai pada
Rasulullah, Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallama, bahwa beliau bersabda, “Barang siapa membaca
‘لا حول ولا قوة إلا باالله العلي العظيم
Setiap hari 100 kali maka ia tidak akan tertimpa kefakiran
selamanya.”
Diriwayatkan dalam hadis juga, “Ketika seseorang memiliki hajat yang penting, dan ia membaca 
‘لا حول ولا قوة إلا باالله العلي العظيم
sebanyak minimal 300 kali maka Allah memudahkan hajat itu.” Demikian ini disebutkan oleh Syaikhuna Yusuf dalam Hasyiahnya ‘Ala al-Mi’roj.


Hukum Bermakmum kepada Imam yang Masih Suka berjudi

Apa hukum bermakmum kepada orang yang suka berjudi? Jawab : Fasiq berasal dari kata fasaqa yafsiqu/ yafsuqu fisqan yang berarti keluar dari ...