Orang Yahudi menyebutnya sebagai Har Ha Bayit
(Bait Suci), orang Nasrani menyebutnya Bait Allah atau Bait Suci. Sedangkan
orang Islam menyebutnya sebagai Masjidil Aqsa (Masjid yang jauh) atau Baitul
Maqdis (Bait Suci). Sejarah tiga agama samawi ini memang tidak bisa lepas dari
Bait Suci ini.
Bahkan bagi orang Yahudi, ini adalah tempat yang
paling suci. Sedangkan bagi orang Islam ini adalah satu dari tiga masjid suci
dan merupakan kiblat pertama.
Kompleks suci yang juga disebut Al Haram Asy
Syarief atau Temple Mount ini berdiri di Kota Jerusalem (Darussalam), tanah
yang juga disucikan sekaligus diperebutkan tiga agama. Jerusalem berarti negeri
yang damai, tapi ironisnya dari dulu sampai sekarang konflik terus bergejolak
di sana.
Bait Suci ini dibangun secara sederhana oleh Nabi
Yakub Alaihisallam (Jacob) alias Israel. Dalam hadisnya Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam
mengungkapkan bahwa pembangunan Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsa ini dilakukan
40 tahun setelah Nabi Ibrahim Alaihisallam (Abraham) membangun Ka'bah atau Masjidil Haram di
Mekkah, yang merupakan tempat ibadah pertama di bumi yang awalnya diinisiasi
Nabi Adam Alaihisallam.
Pembangunan Bait Suci atau Bait Allah secara
megah dilakukan oleh nabi sekaligus raja yang kaya raya yaitu Sulaiman Alaihisallam
(Solomon). Orang Israel atau yahudi mengenal bagunan ini sebagai Bait Suci
Pertama (First Temple). Orang Islam menyebutnya sebagai Masjid Al Aqsa. Masjid
artinya tempat bersujud. Dalam keyakinan Islam, semua nabi membawa agama tauhid
atau Islam (agama yang berserah diri total pada Allah) dan beribadahnya sujud
(walau namanya waktu itu bukan sholat, dan sampai sekarang masih ada aliran
Yahudi dan Nasrani yang ibadahnya mirip sholat).
Bangunan ini bertahan sampai tahun 586 SM,
sebelum dihancurkan oleh bangsa Babilonia yang dipimpin Nebukadnezar. Selain
menghancurkan bangunan suci, Bangsa Babilonia juga mengusir bangsa Israel dari
Jerusalem.
Lalu pada 536-513 SM bangsa Israel yang kembali
dari pembuangan membangun kembali Bait Suci yang oleh orang Yahudi dikenal
sebagai Second Temple (Bait Suci Kedua). Lalu Herodes Agung merenovasi pada
tahun 19 SM. Tapi bangunan suci ini kembali hancur di tangan Bangsa Romawi pada
tahun 70 M. Versi lain, orang Yahudi sendiri yang menghancurkan agar tidak
bangunan suci itu tidak tercemar oleh bangsa Romawi.
Pada tahun 530 M, Kaisar Yustinianus membangun
gereja di lokasi itu untuk Bunda Maria. Namun dihancurkan oleh Kaisar Khosrau
II pada awal abad ke-7 M.
Dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih,
diceritakan bahwa ketika di Makkah sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis. Meskipun beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Makkah menghadap Baitul Maqdis bukan
berarti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi Ka’bah. Namun beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil posisi supaya Ka’bah berada di tengah
antara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Baitul Maqdis. Dengan demikian,
Ka’bah tetap berada di depan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meski
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap shalat menghadap Baitul Maqdis selama
16 bulan, ada yang mengatakan 17 bulan sebgaimana dirwayatkan imam Bukhari dari
Al Barra, . Dan pada pertengahan bulan Rajab tahun kedua hijrah, Allah
memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merubah
arah kiblat shalat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari arah Baitul Maqdis
ke arah Ka’bah di Makkah, kiblat Nabi Ibrahim Alaihissallam dan Ismail
Alaihissallam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan cara
mempertemukan dua riwayat yang menjelaskan berapa lama Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hijrah ke Madinah. Kata beliau rahimahullah : “Mempertemukan dua riwayat
ini mudah. Orang yang menetapkan 16 bulan berarti dia menggabungkan antara
bulan kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah dengan bulan
turunnya perintah merubah kiblat menjadi satu bulan serta mengabaikan sisa hari
(dua-pent) bulan tersebut (karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
di Madinah pada pertengahan bulan Rabi’ul Awal dan beliau diperintahkan untuk
merubah kiblat pada pertengahan bulan Rajab -pent), sedangkan orang yang menetapkan
17 bulan berarti dia menghitung kedua bulan tersebut.
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, shalat menghadap Baitul Maqdis setelah hijrah ke Madinah mendapatkan
sambutan hangat dari kaum Yahudi, karena mereka juga beribadah menghadap ke
Baitul Maqdis. Mereka mengira bahwa agama yang dibawa Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengikuti kiblat dan cara beribadah mereka. Berangkat dari
anggapan ini, mereka sangat berambisi untuk mengajak Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam bergabung bersama mereka. Padahal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat berharap agar kiblat kaum Muslimin dirubah ke arah
Ka’bah, kiblat Nabi Ibrahim dan Ismail, rumah pertama yang dibangun untuk
mentauhidkan Allah Azza wa Jalla . Berkali-kali beliau menengadahkan wajah ke
langit, mengharap agar Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu perihal kiblat.
Dalam Tafsir al Munir juga di kisahan
dimana Nabi shalallahu alaikhi wa sallam merinduan pengalihan kiblat ini sebab
ka’bah adalahkiblat kakek beliau Nabi Ibrahim di samping karena hal itu akan
lebih menarik hati orang Arab untuk beriman karena merekalah yang akan menjadi
tulang punggung penyebaran agama Islam.
Kaum Yahudi juga dulu berkata ‘,” Muhammad
memilih agama yang berbeda dengan kita tapi dia mengikuti kiblat kita, kalau
buan karena agama kita pasti dia tidak tahu emana dia menghadap kiblatnya..”
Dalam Tafsir Ibnu
Katsir diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu
Abbas, katanya, “Masalah yang pertama kali dinasakh (dihapus hukumnya) di dalam
al-Qur’an adalah masalah kiblat. Hal itu terjadi ketika Rasulullah hijrah ke
Madinah. Pada waktu itu mayoritas penduduknya adalah Yahudi. Maka Allah Ta’ala
memerintahkan untuk menghadap ke Baitul Maqdis. Orang-orang Yahudi pun merasa
senang Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis sekitar belasan bulan, padahal
beliau sendiri lebih menyukai (untuk menghadap ke) kiblat Ibrahim. Karena itu,
beliau berdoa memohon kepada Allah sambil menengadahkan wajahnya ke langit,
maka Allah Ta’ala pun menurunkan ayat:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً
تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
يَعْمَلُونَ
Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.
Maka hal itu menyebabkan orang-orang Yahudi
menjadi bimbang seraya berucap “Apakah yang memalingkan mereka [umat Islam]
dari kiblatnya [Baitul Maqdis] yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?
Katakanlah, kepunyaan Allahlah timur dan barat.”
Permohonan pengalihan kiblat ini sebenarnya sudah diketahui sebelumnya oleh ahli
kitab karena sudah dijelaskan dalam kitab Taurat maupun Injil, bahwa kiblat
umat Islam adalah Ka’bah.
Lafadl يَعْمَلُونَ dalam qira’ah sab’ah ada bacaan ya’malun memakai
huruf ya’ yang artinya “mereka (orang-orang Yahudi) lakukan”, ada bacaan ta’malun memakai hurut ta’ yang artinya “kalian (umat Islam) lakukan”. Namun mereka menyembunyikan apa yang mereka ketahui oleh
karena itu Allah mengakhiri ayat ni dengan ungkapan bahwa Allah maha mengetahui
apa yang mereka kerjakan.
Kemudian Al
Quran menjelaskan sebab fitnah berpalingnya kaum ahlul kitab akan kesesatanya
dalam ayatselanjutnya.
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آَيَةٍ مَا تَبِعُوا
قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ
قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145)
Dan
sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak
akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan
sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Umat Yahudi tidak akan
mengikuti kiblat umat Islam walaupun itu adalah suatu kebenaran. Demikian juga
Yahudi tidak akan mengikuti kiblat Nasrani dan Nasrani tidak pula mengikuti
kiblatnya Yahudi. Kiblat Yahudi adalah Baitul Muqaddas dan kiblat Nasrani
adalah mathla’ asy syam (arah
munculnya matahari) padahal
kiblat NabiIsa sama dengan Nabi Musa. Kiblat Nasrani bukanlah
berdasar wahyu tapi rekayasa Paulus setelah Nabi Isa dirafa’. Paulus adalah
orang Yahudi yang menyusup masuk agama Nasrani (Kristen) dan bermaksud merusak
ajarannya. Paulus menyebar kebohongan bahwa dia bermimpi bertemu dengan Nabi
Isa dan mengatakan padanya bahwa matahari adalah bintang yang ia senangi. Nabi
Isa berpesan padanya agar umatnya ketika sembahyang menghadap arah terbitnya
matahari.
Maka
kemudian Allah memberi peringatan dengan kalimat ,” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang
ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang
yang zalim. “
الَّذِينَ
آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا
مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad
seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian
diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
Sebagaimana yang terjadi dengan Abdullah bin sallam seorang pendeta yang
jujur. Tatkala Rasulullah ke Madinah dan tiba di Quba', seorang juru
panggil berseru menyatakan kedatangan beliau. Saat itu Husen bin Salam sedang
berada di atas pohon kurma. Bibinya, Khalidah binti Harits, menunggu di bawah
pohon tersebut. Begitu mendengar kedatangan Rasulullah, ia berteriak,
"Allahu Akbar, Allahu Akbar!"
Mendengar teriakan itu, bibinya berkata, "Kamu akan kecewa. Seandainya
saja kamu mendengar kedatangan Musa bin Imran, kamu tidak bisa berbuat
apa-apa."
"Wahai bibi, demi Allah, dia adalah saudara Musa bin Imran. Dia
dibangkitkan membawa agamanya yang sama," kata Husen.
"Diakah Nabi yang kau ceritakan itu?" tanya bibinya.
"Benar!" jawabnya lalu bergegas menemui Rasulullah yang sedang
dikerumuni orang banyak. Setelah berdesak-desakan, akhirnya Husen berhasil
menemui beliau.
Sabda beliau pertama kali adalah, "Wahai manusia, sebarluaskan salam.
Beri makan orang yang kelaparan. Shalatlah di tengah malam, ketika orang banyak
sedang tidur nyenyak. Pasti kamu masuk surga dengan bahagia."
Husen bin Salam memandangi Rasulullah dengan seksama. Ia yakin, wajah beliau
tidak menunjukkan raut membohong. Perlahan Husen mendekat seraya mengucapkan
dua kalimah syahadat.
Rasulullah bertanya padanya, "Siapa namamu?"
"Husen bin Salam," jawabnya.
"Mestinya Abdullah bin Salam," kata Rasulullah mengganti namanya
dengan yang lebih baik.
"Saya setuju," kata Husen. "Demi Allah yang mengutus engkau
dengan benar, mulai hari ini saya tidak ingin lagi memakai nama lain, selain
Abdullah bin Salam."
Setelah itu Abdullah bin Salam pulang. Ia mengajak seluruh
keluarganya—termasuk bibinya, Khalidah, yang saat itu sudah lanjut usia—untuk
memeluk Islam. Mereka menerima ajakannnya. Abdullah meminta keluarganya untuk
merahasiakan keislaman mereka dari orang-orang Yahudi hingga waktu yang tepat.
Tak berapa lama kemudian, Abdullah bin Salam menemui Rasulullah dan berkata,
"Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi suka berbohong dan sesat, saya
meminta engkau memanggil ketua-ketua mereka, tapi jangan sampai mereka tahu
kalau saya masuk Islam. Serulah mereka kepada agama Allah, saya akan
bersembunyi di kamarmu mendengar reaksi mereka."
Rasulullah menerima permintaan tersebut. Beliau memasukkan Abdullah ke dalam
bilik dan mengumpulkan para pemuka Yahudi. Rasulullah membacakan kepada mereka
ayat-ayat Al-Qur'an dan mengajak mereka memeluk Islam. Namun orang-orang Yahudi
itu menolak, bahkan membantah kata-kata beliau.
Setelah mengetahui bahwa mereka enggan menerima seruannya, Rasulullah
bertanya, "Bagaimana kedudukan Husen menurut kalian?"
"Dia pemimpin kami, kepala pendeta kami dan pemuka kami," jawab
mereka.
"Bagaimana pendapat kalian kalau dia masuk Islam? Maukah kalian
mengikutinya?" tanya Rasulullah.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin dia masuk Islam," jawab mereka
serentak.
Tiba-tiba Abdullah bin Salam keluar dari bilik Rasulullah dan menemui mereka
seraya berkata, "Wahai kaum Yahudi, bertakwalah kepada Allah. Terimalah
agama yang dibawa Muhammad. Demi Allah, sesungguhnya kalian sudah mengetahui
bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah. Bukankah kalian telah membaca nama dan
sifat-sifatnya dalam Taurat? Demi Allah, aku mengakui Muhammad adalah
Rasulullah. Aku beriman kepadanya dan membenarkan segala ucapannya."
"Bohong!" jawab mereka. "Kau jahat dan bodoh, tidak bisa
membedakan mana yang benar dan salah!"
Mereka pun meninggalkan Abdullah bin Salam dan Rasulullah shalallahu alaihi
wa sallam. "Kau lihat, wahai Rasulullah. Orang-orang Yahudi itu pendusta
dan sesat. Mereka tidak mau mengakui kebenaran walaupun di depan mata,"
ujar Abdullah.
Itulah sifat Yahudi, oleh karena itu Allah kemudian menyambung dengan ayat sebagai
penakar kebenaran.
الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu adalah dari
Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Melalui al-Qur’ân, Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa tujuan lain dari
perubahan kiblat ini adalah untuk menguji kekuatan aqidah kaum Muslimin dan
kesigapan mereka melaksanakan perintah-perintah Allah Azza wa Jalla.
Dan ternyata kesiagapan para shahabat merupakan bukti keimanan yang luar
biasa. Sebagaimana tergambar dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh imam
Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang mengatakan :
بَيْنَا النَّاسُ يُصَلُّونَ الصُّبْحَ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ إِذْ جَاءَ جَاءٍ
فَقَالَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قُرْآنًا أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا فَتَوَجَّهُوا إِلَى
الْكَعْبَةِ
Ketika jama’ah kaum Muslimin sedang
menunaikan shalat Shubuh di Quba’, tiba-tiba ada seorang shahabat mendatangi
mereka, lalu mengatakan : “Allah Azza wa Jalla telah menurunkan sebuah ayat
kepada Nabi-Nya agar menghadap Ka’bah, maka hendaklah kalian menghadap Ka’bah
!” Lantas mereka semua berpaling menghadap ke arah Ka’bah.
Ayat di atas juga sebagai jawaban dari
pertanyaan yang timbul akibat perubahan kiblat ini, yaitu bagaimana dengan
shalat para shahabat yang meninggal dunia sebelum perubahan kiblat ini, apakah
shalat mereka dengan menghadap Baitul Maqdis diterima oleh Allah Azza wa Jalla
ataukah tidak ? Jawabannya, Allah Azza wa Jalla tidak akan menyia-nyiakan
shalat mereka. Karena mereka melakukan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis
itu dalam rangka mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, sebagaimana para
shahabat yang masih hidup menunaikan shalat menghadap Ka’bah juga dalam rangka
mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Kesigapan mememnuhi seruan Rasul inilah
yang menjadi salah satu kesuksesan kaum muslimin. Semoga Allah Azza wa Jalla
memberikan kemudahan kepada kita semua untuk mendirikan shalat dengan benar dan
teratur sehingga iman kita semakin kuat. Dan semoga Allah Azza wa Jalla
mempersatukan seluruh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia, karena kiblat
mereka sesungguhnya hanya satu.
Temanggung, 6 Januari 2019 M / 30 Rabiul
Tsani 1440 H
Ta’ Rouf Yusuf