Tuesday, 26 January 2021

Perintahkanlah Anakmu Shalat

 

Shalat adalah pilar kedua dari lima pilar Islam. Shalat merupakan tiang agama, sehingga agama tidak akan pernah bisa dibangun dan tegak berdiri tanpa pilar shalat.

Sahabat Umar pernah berkata kepada salah seorang pegawainya," Menurutku, urusan terpenting kalian adalah shalat. Siapa yang mengabaikan shalat berarti terhadap hal-hal selain shalat dia akan lebih mengabaikan."  Dari perkataan Umar ini dapat kita simpulkan bahwa sumber segala kebaikan adalah shalat. Termasuk sumber kebaikan- kebaikan anak-anak kita di awali dari shalat.

Rasulullah shallallahu ‘a laihi wa sallam bersabda

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun dan pukulah mereka jika tidak shalat saat berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidur.” (HR : Abu Dawud )

Anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada orang tua. Maka, mendidik anak merupakan kewajiban orang tua karena termasuk pelaksanaan amanah. Terlebih khusus mendidik anak untuk shalat, karena ada perintah langsung dari Rasulullah untuk memerintahkan anak shalat. Dalam hadits di atas disebutkan “perintahkanlah”, kalimat ini disebutkan dengan kalimat perintah, dan kalimat perintah menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan.

Imam asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar tentang hadits itu “Hadits di atas menunjukkan wajibnya orang tua memerintahkan anaknya untuk shalat.”

Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam dalam Aunul Ma'bud berkata, “Hadits ini adalah perintah untuk para wali bukan perintah untuk anak kecil, karena anak kecil bukan sasaran hadits ini”

Sebagai orang tua kita berkewajiban mendidik anak untuk shalat, maka jika ia melalaikan kewajibannya maka ia akan diminta pertanggungjawabannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas yang ia pimpin, seorang amir adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, maka ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.” (HR: Bukhari- Muslim)

Disebutkan dalam hadits ini “seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas keluarganya”, termasuk di dalamnya adalah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya terlebih khusus pendidikan agama.

 

Setelah Rasulullah memerintahkan orangtua untuk memerintahkan shalat, dari hadits ini kita juga bisa mengambil cara bagaimana mendidik anak untuk shalat. Pendidikan shalat melalui beberapa tahap, yaitu : mengajarkan dan membiasakan anak shalat, memerintahkan anak untuk shalat, dan yang ketiga adalah memukul anak jika enggan atau membangkang saat diperintah untuk shalat.

Tahap pertama, yaitu tahapan mengajarkan dan membiasakan anak shalat harus dilakukan sebelum anak mencapai umur tujuh tahun. Karena saat anak berumur tujuh tahun, ia sudah diperintahkan untuk shalat. Agat efektif, dalam mengajarkan dan membiasakan shalat maka kita harus menyesuaikan dengan perkembangan psikologis. Di usia ini kita sebagai orang tua harus menjadi teladan dalam shalat, memberikan hadiah jika diperlukan dan mendo'akan dengan intens. Usahakan untuk tidak memaksa dan memberi beban yang lebih dari kemampuan anak agar anak tidak kehilangan kecintaan akan shalat. Tumbuh kembangkan rasa kecintaan kepada shalat yang merupakan fitrah anak.

Di antara perkataan salaf yang mendukung bahwa anak sudah mulai diajari shalat sebelum berumur tujuh tahun adalah perkataan Ibnu Umar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengajari anak-anak shalat saat mereka bisa membedakan mana kanan mana kiri.”

Jundub bin Tsabit berkata, “Mereka mengajari anak-anak untuk shalat saat mereka bisa berhitung sampai angka dua puluh.”

Kedua atsar ini menjelaskan bahwa mengajari anak shalat dilakukan sebelum anak berusia tujuh tahun, karena usia-usia tersebut anak sudah mampu membedakan mana kanan dan mana kiri dan sudah mampu berhitung sampai angka dua puluh. Anak yang sudah bisa membedakan kanan kiri atau menghitung hingga angka dua puluh tidak harus berusia tujuh tahun.

Selain itu, makna sabda Nabi “perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat” secara implisit merupakan perintah kepada orang tua untuk mengajari anak-anak shalat, termasuk rukun-rukun shalat, syarat-syarat sah shalat, dan lain sebagainya.

Adapun waktu untuk memerintahkan anak shalat adalah saat anak berusia tujuh tahun. Karenanya, Imam Abu Dawud membuat bab khusus dalam kitabnya “Bab kapan anak diperintahkan untuk shalat” lalu menyebutkan hadits di atas. Perlu dipahami, bahwa memerintahkan anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun bukanlah perintah bersifat wajib, namun perintah untuk membiasakan anak shalat.

Imam asy-Syaukani menyebutkan dalam Nailul Authar, “Bab diperintahkannya anak kecil untuk shalat sebagai pembiasaan bukan pengharusan”.

Mengapa harus usia tujuh tahun, di antara hikmahnya adalah Anak usia tujuh tahun sudah mulai meluas lingkungan bermainnya dan pengetahuannya, maka harus diimbangi dengan lingkungan agamis dan pengetahuan islami. Umur tujuh tahun juga masa-masa paling bagus bagi anak belajar segala macam ketrampilan, maka jika ia telah terampil menjalankan shalat, niscaya ia akan menjaga shalatnya saat telah tumbuh dewasa.

Anak usia tujuh tahun telah bisa membedakan, dan ia selalu melakukan perbuatan yang diperintahkan orang tuanya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang tuanya, sehingga jika diperintahkan untuk shalat niscaya ia segera memenuhinya.

Berbeda saat anak telah berusia sebelas tahun, maka memenuhi perintah orang tua tanpa ada perdebatan dulu merupakan sifat kekanak-kanakan menurut mereka. Dan jika anak telah tumbuh dewasa, maka jika ia bisa membantah perintah kedua orang tua biasanya ia akan merasa bahwa dirinya telah dewasa.

Oang tua juga harus memerintahkan anaknya saat usia tujuh tahun dengan memberi motivasi dan ajakan yang baik agar anak terbiasa shalat dengan cara terbaik yang bisa dilakukan. Kemudian saat anak usia sepuluh tahun, maka ia diperintahkan dengan perintah yang bersifat wajib, agar anak mau mengerjakan shalat. Jika anak enggan atau tidak memenuhi seruan orang tua, maka orang tua boleh memberikan pukulan mendidik yang bisa membuat mereka jera dan tidak menyakiti.

Perlu diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk mendidik anak. Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara lainnya terlebih dahulu, seperti menasihati, kemudian memperingatkan dengan keras, memberi ancaman hukuman jika memang anak termasuk orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan, barulah ia memukul anaknya.

Tentunya, saat memukul harus memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tidak lebih dari sepuluh kali, karena tujuan memukul adalah mendidik bukan menyakiti. Hal ini sesuai sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّه

“Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam hukuman pasti dari hukuman-hukuman yang Allah tentukan.” (HR: Bukhari)

2. Tidak memukul wajah, karena di wajah terdapat mata, hidung, mulut, lisan, dan bagian-bagian vital lainnya. Sehingga jika salah satu dari bagian ini cidera atau terganggu maka akan hilang fungsi vital dari organ tersebut. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ

“Apabila salah seorang di antara kalian hendak memukul, hendaklah ia menjauhi wajah.” (HR Ahmad)

3. Tidak memukul pada anggota tubuh yang vital dan membahayakan, seperti kemaluan, perut dan yang semisalnya.

4. Tidak memukul saat emosi dan marah. Karena marah hanya akan menyeret pelakunya kepada kebrutalan. Sehingga ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Memukulnya harus ikhlas karena Allah.

Jika orang tua memukul anaknya sesuai ketentuan-ketentuan di atas, maka hal ini diperbolehkan dan ia tidak berdosa. Adapun memukul anak dengan pukulan yang kelewat batas, maka ia berdosa. Hendaklah ia selalu ingat sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاه

“Sesungguhnya Allah lembut dan menyukai kelembutan, Allah memberikan manfaat atas kelembutan dengan manfaat yang tidak diberikan atas kekerasan dan tidak diberikan kepada yang lainnya pula.” (HR: Muslim)

Maka jika hadits Nabi ini kita amalkan dengan sepenuh hati, maka anak-anak yang mencintai shalat in sya Allah akan terwujud. Kebaikan shalat anak ini juga akan mengundang kebaikan-kebaikan agama yang lain.

Wallahu a'lam

Temanggung, 5 Muharram 1438.

Ta' Rouf Yusuf

Sunday, 26 January 2020

Jangan Jauhkan Masjidmu dari Anak-Anak



Kemarin sempat ada obrolan rame terkait hadits ini selepas kajian sore. Sebenarnya sudah agak lama dengar hadits ini di sebuah khutbah tapi belum nggeh. Baru kemarin setelah dengar lagi di pengajian sore jadi pengen tahu. Lalu penasaran nyari hadits ini ada di mana. haditsnya berbunyi
جنبوا مساجدكم صبيانكم ومجانينكم
“Jauhkan masjid mu dari anak-anak dan orang gila.”
التبيان في ضعف حديث جنبوا مساجدكم الصبيان
«جنبوا مساجدكم صبيانكم، ومجانينكم، وسل سيوفكم، وإقامة حدودكم».
روي هذا اللفظ من حديث مكحول الشامي، واختلف فيه على مكحول اختلافا كثيرا، وأسانيده كلها ضعيفة؛ كما سيأتي.
أخرجه عبد الرزاق في "المصنف" (1726) عن محمد بن مسلم، عن عبد ربه بن عبد الله، عن مكحول، عن معاذ بن جبل قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «جنبوا مساجدكم مجانينكم، وصبيانكم، ورفع أصواتكم، وسل سيوفكم، وبيعكم، وشراءكم، وإقامة حدودكم، وخصومتكم، وجمروها يوم جمعكم، واجعلوا مطاهركم على أبوابها».
وعن عبد الرزاق، أخرجه إسحاق بن راهويه في "مسنده" – كما في "إتحاف الخيرة" (2/41)، و"المطالب العالية" (3/504)-.
قال البوصيري: «وكذا رواه الطبراني في "الكبير" من رواية مكحول، عن معاذ، ولم يسمع منه».
وقال الحافظ ابن حجر: «هذا منقطع».
وأخرجه الطبراني في "الكبير" (20/173رقم 369) من طريق سعيد بن أبي مريم، عن محمد بن مسلم الطائفي، عن عبد ربه بن عبد الله الشامي، عن يحيى بن العلاء، عن مكحول، عن معاذ بن جبل، به. فزاد في الإسناد: «يحيى بن العلاء» بين عبد ربه ومكحول.
وأخرجه الطبراني في "مسند الشاميين" (3591) من طريق أحمد بن عبد الرحمن، عن محمد بن مسلم الطائفي، عن عبد ربه بن عبد الله الشامي، عن مكحول، عن يحيى بن العلاء، عن معاذ بن جبل، به. هكذا بجعل يحيى بن العلاء بين مكحول ومعاذ.
قال البيهقي في "السنن الكبرى" (10/103): «وقيل: عن مكحول، عن يحيى بن العلاء، عن معاذ؛ مرفوعا، وليس بصحيح».
وسنده ضعيف جدا لانقطاعه بين مكحول وبين معاذ بن جبل، ولتفرد محمد بن مسلم الطائفي به، وهو صدوق يخطئ من حفظه كما في "التقريب".
وأما عبد ربه بن عبد الله، فهو: عبد الله بن عبد ربه الثقفي وقد قلب اسمه وهو مجهول، ذكره البخاري وابن أبي حاتم ولم يذكرا فيه جرحا ولا تعديلا وذكره ابن حبان على عادته في "الثقات"، انظر: "التاريخ الكبير" (5/141)، و"الجرح والتعديل" (5/105)، و"الثقات" (7/48).
ويحيى بن العلاء إن كان هو الرازي فإنه رمي بالوضع كما في "التقريب" وإلا فهو مجهول.
وأخرجه ابن شبة في "تاريخ المدينة" (1/35)، و ابن ماجه (750)، والطبراني في "المعجم الكبير" (22/57 رقم 136)، وفي "مسند الشاميين" (3385) من طريق الحارث بن نبهان، عن عتبة بن يقظان عن أبي سعيد الشامي، عن مكحول، عن واثلة بن الأسقع، به. هكذا عن واثلة بدلا من معاذ.
ووقع عند ابن شبة: «عتبة بن يقظان أبي سعد»، وهو خطأ، وصوابه: «عتبة بن يقظان عن أبي سعد». ووقع في مسند الشاميين: «عقبة بن يقظان عن أبي سعد الشامي- هو عبد القدوس بن حبيب-». ووقع عند ابن ماجه: «أبي سعيد» دون نسبة.
سنده ضعيف جدا؛ لانقطاعه بين مكحول وواثلة. انظر المراسيل لابن أبي حاتم (ص 213).
وأبو سعيد الشامي، مجهول كما في "التقريب".
قال مغلطاي في "شرح ابن ماجه" (4/1245-1246): «هذا الحديث معلل بأمور منها: الحارث بن نبهان الجرمي القائل فيه أحمد: هو رجل صالح، لم يكن يعرف الحديث ولا يحفظه، وهو منكر الحديث، وقال ابن معين: لا يكتب حديثه ليس بشيء، وفي رواية: كثير الغلط، وقال أبو حاتم: متروك الحديث ضعيف الحديث منكره، ......، الثّاني: عتبة بن يقظان وإن ذكره ابن حبان في كتاب الثقات، فقد قال النسائي: كان غير ثقة، وقال علي بن الحسن بن الجنيد: لا يساوي شيئا فيما ذكره ابن أبي حاتم».
وأخرجه عبد الرزاق في "المصنف" (1727) عن عبد القدوس بن حبيب، عن مكحول، مرسلا.
وسند ضعيف جدا؛ لإرساله، وعبد القدوس بن حبيب متروك الحديث، انظر: "التاريخ الكبير" (6/119-120)، و"الضعفاء" للعقيلي (3/96)، و"الجرح والتعديل" (6/55)، و"المجروحين" (2/131)، و"الكامل" لابن عدي (5/343)، و"ميزان الاعتدال" (2/643).
وأخرجه العقيلي في "الضعفاء"(3/347-348)، والطبراني في "مسند الشاميين" (3436)، وفي "المعجم الكبير" (8/156 رقم 7601)، وابن عدي في "الكامل" (5/219)، والبيهقي في "الكبرى" (10/103) من طريق أبي نعيم هانئ بن عبد الرحمن النخعي عن العلاء بن كثير، عن مكحول، عن أبي الدرداء، وأبي أمامة، وواثلة، به.
ومن طريق العقيلي أخرجه ابن الجوزي في "العلل المتناهية" (1/402-403).
قال العقيلي في الموضع السابق: «الرواية فيها لين».
وقال ابن عدي: «وللعلاء بن كثير عن مكحول، عن الصحابة، عن النبي صلى الله عليه وسلم، نسخ كلها غير محفوظة، وهو منكر الحديث».
وقال البيهقي: «العلاء بن كثير هذا شامى منكر الحديث».
وقال في "الصغرى" (9/19): «ورُوِي عن العلاء بن كثير - وهو ضعيف- عن مكحول، عن أبي الدرداء، وواثلة، وأبي أمامة، ومكحول لم يثبت سماعه منهم».
وقال عبد الحق في "الأحكام الوسطى" (1/297): «العلاء بن كثير...ضعيف عندهم».وانظر: "بيان الوهم والإيهام" (3/189-190)؛ فإنه مهم.
وقال ابن الجوزي: «هذا حديث لا يصح عن رسول الله صلى الله عليه و سلم، قال أحمد بن حنبل: العلاء ليس بشيء، وقال البخاري: منكر الحديث، وقال ابن حبان: يروي الموضوعات عن الأثبات».
وقال الحافظ ابن حجر في "الفتح" (13/157): «والمشهور فيه حديث مكحول عن أبي الدرداء وواثلة وأبي أمامة مرفوعا: «جنبوا مساجدكم صبيانكم» الحديث، وفيه: «وإقامة حدودكم»؛ أخرجه البيهقي في الخلافيات، وأصله في ابن ماجه من حديث واثلة فقط، وليس فيه ذكر الحدود، وسنده ضعيف».
وأخرجه ابن أبي شيبة في "المصنف" (29247)، وإسحاق بن راهويه- كما في "فتاوى السبكي" (2/338)- عن محمد بن فضيل ، عن محمد بن خالد الضبي ، عن مكحول ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «جنبوا مساجدكم إقامة حدودكم". ولفظ إسحاق أتم من هذا، وقد وقع في المطبوع من الفتاوى: «أبي فضيل»، وصوابه: "ابن فضيل".
وسنده ضعيف لإرساله وهو صحيح إلى مرسله.
وأخرجه ابن المرجى المقدسي في "فضائل بيت المقدس" (ص: 417-418) من طريق خالد بن معدان، عن معاذ بن جبل، به.
وسنده ضعيف؛ لانقطاعه بين خالد بن معدان ومعاذ. انظر: "المراسيل" لابن أبي حاتم (ص 52).
وللحديث شواهد ببعض لفظه لا يخلو أحدها من نكارة أو شدة ضعف. انظر: "البدر المنير" (9/565-567)
Kesimpulanya dari beberapa sanad di atas, hadis diatas lemah dan tidak jelas asalnya dari mana, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Begitu kata para ulama Hadis, seperti Al-Bazzar dan Abdul Haq Al-Asybili. Sebagaimana juga beberapa Ahli Hadis seperti Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar dan Ibnu Al-Jauzi dan Al-Munziri dan Haitsami dan ulama-ulama lain juga melemahkan hadis tersebut.
Di obrolan kemarin juga ada pertanyaan bagaimana jika anak-anak itu berada di antara shaf orang dewasa, bukankah ada kemungkinan anak itu membawa najis?
Dalam Shahih Muslim di riwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam membawa cucunya Umamah putri dari Zainab ke dalam masjid saat shalat fardhu dan menjadi imam. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim:

عن أبي قتادة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن الربيع فإذا قام حملها وإذا سجد وضعها

Rasulullah pernah shalat membawa Umamah putrinya Zainab binti Rasulullah dari suaminya Abul Ash bin Rabi'. Apabila Nabi berdiri beliau menggendongnya, apabila Nabi sujud beliau meletakkannya.

Dari hadits ini Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 5/31-32, menjelaskan unsur hukumnya:

فيه حديث حمل أمامة رضي الله عنها ، ففيه دليل لصحة صلاة من حمل آدميا أو حيوانا طاهرا من طير وشاة وغيرهما ، وأن ثياب الصبيان وأجسادهم طاهرة حتى تتحقق نجاستها ، وأن الفعل القليل لا [ ص: 199 ] يبطل الصلاة ، وأن الأفعال إذا تعددت ولم تتوال ، بل تفرقت لا تبطل الصلاة .

وقوله : ( رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم - يؤم الناس وأمامة على عاتقه ) هذا يدل لمذهب الشافعي - رحمه الله تعالى - ومن وافقه أنه يجوز حمل الصبي والصبية وغيرهما من الحيوان الطاهر في صلاة الفرض وصلاة النفل ، ويجوز ذلك للإمام والمأموم ، والمنفرد

Dalam hadits menggendong Umamamah radhiyallaanha di dalam hadits ini menjadi dalil atas sahnya shalatnya orang yang membawa manusia atau hewan yang suci seperti burung, kambing dan lainnya. Adapun baju anak kecil dan tubuhnya itu suci kecuali kalau jelas najisnya. Dan bahwa gerakan kecil tidak membatalkan shalat. Dan bahwa gerakan-gerakan yang banyak yang tidak berturut-turut tapi terpisah tidak membatalkan shalat.

Adapun hadis "Aku melihat Nabi menjadi imam shalat sedang Umamah berada di bahunya" ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi'i dan yang setuju dengannya bahwa boleh membawa (menggendong) anak kecil laki-laki atau perempuan dan lainnya seperti hewan yang suci pada saat shalat fardhu dan shalat sunnah. Dan hal itu boleh dilakukan oleh imam dan makmum atau shalat sendirian.
Beliau juga menjelaskan
اِدَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّ هَذَا الْحَدِيث مَنْسُوخ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ مِنْ الْخَصَائِص، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ، وَكُلّ ذَلِكَ دَعَاوِي بَاطِلَة مَرْدُودَة لا دَلِيل لَهَا، وَلَيْسَ فِي الْحَدِيث مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع، لأَنَّ الآدَمِيّ طَاهِر، وَمَا فِي جَوْفه مَعْفُوّ عَنْهُ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ مَحْمُولَة عَلَى الطَّهَارَة حَتَّى يَتَيَقَّن النَّجَاسَة، وَالأَعْمَال فِي الصَّلاة لا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ، وَدَلائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى ذَلِكَ، وَإِنَّمَا فَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ لِبَيَانِ الْجَوَاز .
Sebagian pengikut Madzhab Maliki beranggapan bahwa hadits ini mansukh, sebagian lagi beranggapan hadits ini termasuk salah satu kekhususan Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, dan sebagian lagi beranggapan bahwa itu merupakan keadaan darurat… Semua anggapan itu adalah anggapan yang batil, tertolak, dan tidak berdasar… Dalam hadits tersebut tidak ada sesuatu yang menyelisihi kaidah syariat, karena tubuh anak adam itu suci, adapun yang ada di dalam jasadnya, maka najisnya tidaklah dianggap. Sedangkan pakaian dan badan anak kecil itu dianggap suci hingga benar-benar diyakini ada najisnya… dan gerakan di dalam sholat, tidak membatalkannya apabila masih tergolong sedikit atau terpisah-pisah… dan dalil-dalil syariat dalam masalah ini sangatlah banyak… Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melakukan hal tersebut itu untuk menerangkan (kepada umatnya) bolehnya (melakukan hal tersebut). Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam
Temanggung,  2 Jumadil Akhir 1441 H
Ta’ Rouf Yusuf

Thursday, 7 November 2019

Hukum menyentuh&membaca Al Qur’an bagi orang berhadats.


Menyentuh mushaf
Ada 2 pendapat dalam masalah bolehkah seseorang yang berhadats menyentuh mushaf.
Tidak boleh(haram), ini adalah pendapat  madzhab yang empat, mereka berdalil dengan surat yang dikirim rasulullah kepada Amr bin Hazm y berbunyi,”tidak menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (HR Malik dalam al muwaththa’, dengan drajat hasan ligairihi) hal ini menunjukkan keharaman menyentuh mushaf ketika berhadats.
Boleh, ini adalah pendapat madzhab Zhahiri. Ibnu Hazm berkata ,”Membaca Al Qur’an,sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir diperbolehkan baik dalam berwudhu ataupun tidak dan boleh dilakukan oleh orang yang sedang junub dan haid.” Pendalilannya adalah bahwasanya membaca al qur’an dan dzikir adalah perkara mustahab, berpahala bagi yang melakukan maka bagi yang melarangnya harus mendatangkan dalil dari al qur’an atau hadits larangannya. Adapun menurut beliau dalil tentang larangan menyentuh mushaf tidak ada yang shahih sedangkan hadits di atas memang diterima akan tetapi kata thaahir/orang yang suci adalah kata mustarak( memiliki beberapa makna yang sama kuat) thaahir bisa berarti suci dari hadats besar/ hadats kecil, bisa juga berarti seorang mukmin (bukan kafir, karena kekafiran adalah kekotoran) atau suci dari najis. Untuk menentukan  salah satu makna maka di butuhkan dalil.
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang mengharamkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats, alasannya.
Pertama:  hadits di atas menunjukkan haramnya menyentuh mushaf, dan tidak bisa disangkal dengan alasan ‘mustarak’nya kata thaahir. Sebab tidak ada salahnya jika hadits tersebut di pahami untuk seluruh makna. Dengan demikian orang musyrik, orang berhadats besar & kecil haram menyentuh mushaf. Demikian juga tangan yang bernajis.
Ibnu taimiyah berkata,” boleh menetapkan hukum untuk semua makna yang terkandung dalam kata mustarak. Hal ini di bolehkan oleh mayoritas ahli fiqih dan ahli kalam.”
Kedua:  hal ini diamalkan para sahabat dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat dan tabi’in tentang haramnya menyentuh mushaf bagi orang berhadats.(lihat kitab muhtashar ulama,al mughni, syarah umdatul ahkam ibnu taimiyah)
Ketiga: berdasarkan firman Allah:

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ ﴿٧٩﴾

" tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Waqiah:79)
Benar memang maksud ayat ini adalah lauhul mahfudz yang ada di langit. Akan tetapi ayat ini sama dengan yang ada dalam surat ‘abasa
sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,. Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan,yang ditinggikan lagi disucikan. di tangan Para penulis (malaikat),. yang mulia lagi berbakti. (‘Abasa:11-16)

Bahwa al qur’an yang berada di lauhul mahfudz sama seperti al qur’an yang ada di lembaran-lambaran kertas, batu kayu, kulit kain dll. Jika yang di lauhul mahfudz tidak boleh di sentuh kecuali oleh orang orang yang suci maka demikian juga dengan al qur’an yang ada d bumi, karena kemuliaan al qur’an itu sama baik di bumi atau di langit.
Orang yang berhadats  disini diperbolehkan menyentuh setelah bersuci dari hadats.
Lalu bagaimana menyentuh mushaf al qur’an dengan pembatas. Maka terdapat perselisihan di antara ulama.ada ulamayang mebolehkan dan ada yang tidak. Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh  mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf.Seperti yang digunakan pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.
Sedang hukum membawa mushaf al qur’an ketika berhadats tanpa menyentuhnya, misalnya di dalam tasnya maka pendapat yang tepat dalam hal ini adalah dibolehkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyentuh secara langsung, inilah pendapat hasan bashri, atho’, assya’bi , al qosim al hakam dan hammad.
Boleh Menyentuh kitab-kitab tafsir dalam keadaan berhadats baik kecil maupun besar, dalilnya adalah surat yang dikirimkan kepada heraklius yang terdapat ayat al qur’an yang diriwayatkan dalm shahih bukhari dan muslim. Padahal ketika Rasulullah mengirim surat itu, pasti dia yakin surat itu akan di sentuh oleh orang kafir yang tak pernah bersuci dari hadats.
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak al qur’annya daripada kajian tafsirnya, begitu pula jika isinya sama banyaknya, menurut pendapat yang kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsirnya maka di bolehkan untuk menyentuhnya. An Nawawi dalam al majmu’  syarah muhadzab mengatakan,” jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat al qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Hal tersebut juga dibolehkan untuk kitab hadits dan fiqih yang terdapat tulisan ayat al qur’an. Begitu juga hukum menyentuh Al qur’an terjemah, karena al qur’an terjemah dihukumi sama dengan kitab tafsir yang memiliki tafsir lebih banyak daripada al qurannya. Karena terjemah dalam bahasa selain arab, kadang satu kata dalam bahasa arab harus diterjemahkan dalam beberapa kata,belum lagi catatan kaki dan keterangan-keterangan lain. Maka hukum menyentuh al qur’an terjemah sama dengan menyentuh kitab tafsir.


Hukum membaca Al Qur’an bagi orang berhadats.
Telah sepakat seluruh ulama akan kebolehan membaca al qur’an tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil. Akan tetapi ada perbedaan pendapat hukumnya untuk orang haid,nifas&junub. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang melarang dengan beberapa syarat dan ada yang membolehkan.
, Drs. H. Sholahudin Al-aiyub, M.Sc dalam situs MUI menerangkan  “orang yang sedang haidh atau nifas adalah termasuk orang yang sedang menanggung hadats, oleh karenanya tidak boleh membaca al-Quran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi.
Yang perlu diperhatikan bahwa pengertian “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat al-Quran melalui mulut, baik dengan melihatmushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Sedangkan apabila orang yang sedang haidh/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Quran kemudian membacanya dalam hati, maka yang demikian itu dibolehkan.
Memang, ada pendapat dalam mazhab Malikiyah yang membolehkan bagi orang haidh untuk membaca al-Quran, dengan alasan bahwa Sayyidatina Aisyah R.A. pernah membaca al-Quran dalam keadaan sedang haidh. Namun pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar (jumhur) ulama, dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh sayyidatina Aisyah RA tersebut (jika riwayatnya dianggap shahih) bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca al-Quran bagi orang yang sedang haidh, karena bertentangan dengan sabda Nabi di atas.”
Menurut kami, pendapat yang kuat adalah yang membolehkan membaca tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil, haid, nifas dan tidak boleh bagi orang junub. Sedangkan orang junub tidak bisa di samakan dengan orang haid dan nifas karena waktunya yang singkat dan bisa segera bersuci dari hadats dengan mandi, atau tayamum. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan ali bin abi thalib, beliau berkata,” Rasulullah biasa membacakan al qur’an kepada kami dalam keadaan apapun selama beliau tidak junub.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud,Ibnu Majah, An Nasa’i dan Ahmad, menurut At Tirmidzi hadits ini hasan shahih, sedangkan menurut ibnu sakan, Abdul Haq dan Al Baghawi hadits ini shahih)
juga dalam lafadz lain .,”tidak ada yang menghalangi beliau (Rasulullah)membaca  Al Qur’an selain Junub.”( HR Ahmad dalam al musnad dan dinilai shahih oleh Ahmad Syakir)
Wallahua’lam
(diambil dari berbagai sumber,Ta’ Rauf Yusuf)


Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...