Sebentar lagi Ramadhan, tentu rasa rindu makin menggebu untuk bertemu Ramadhan yang mulia ini. Bulan Ramadhan
adalah bulan Pendidikan. Semestinya di bulan ini umat Islam mengencangkan ikat
pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat mendididk diri dan keluarga
untuk menjadikan diri pribadi yang mulia. Salah satu sarana mendidik diri
adalah membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Perenungan isi
Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di
bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan
peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.
Usaha yang
mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan,
bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang
membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ayat ini
mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita
kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا
“Wahai
orang-orang yang beriman”
Dari lafadz
ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah,
seperti yang dinyatakan Imam
Suyuthi dalam Al Itqan Fi Ulumil Qur’an , sedangkan
yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah
ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah.
Imam Ath
Thabari dalam Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an menyatakan
bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”. Imam
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala
ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini
merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”.
Dari ayat ini
kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang.
Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman,
keimanan ini menjadi pondasi dasar pendidikan dimana akan dibangun manusia
bertaqwa dan berakhlak mulia diatasnya.
Allah Ta’ala
pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan
puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang. Iman secara bahasa
artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ
بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang
yang benar” (QS. Yusuf: 17)
Secara
gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman
dalam sebuah hadits:
الإيمان أن
تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
“Iman
adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani
Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani
qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”( HR. Muslim no.102,
108 )
Dari hadits
tersebut ada enam hal yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Akan
tetapi keimanan juga bukan hanya bergantung dengan amalan batin semata, Imam
Asy Syafi’i menjelaskan tentang keimanan ini dengan perkataan beliau yang muliayang
di kutip dalam sebuah kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah:
وكان الإجماع
من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ
واحد من الثلاثة بالآخر
“Setahu
saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa
perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu
pun dari tiga hal ini”
Dengan
demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan
melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya.
Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya
berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan
juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar.
Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Telah
diwajibkan atas kamu berpuasa ”
Al Qurthubi
dalam Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an menafsirkan
ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan
wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga
menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada
perselisihan pendapat mengenai wajibnya”.
Namun
ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya
dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa),
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
(QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Katsir
menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau
menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar
adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan
diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
‘Barangsiapa
di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al
Baqarah: 185)”.
Bertahapnya
pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika
itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban
puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah
mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini
dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa
atau tidak, namun tetap dianjurkan”.Hal inipun dapat menjadi contoh yang indah
bagi para pendidik dalam mendidik murid-muridnya, sebagaimna Allah mendidik
hamba-Nya. Dari hal ini juga terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita,
bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh
mana ia menerapkan Keimanannya.
كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
Imam Al Alusi
dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum
kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai
sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul.
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab.
Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini
menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati
lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah
menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun
permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa
sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama
kadarnya”.
Beberapa
riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah
disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu
‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah
puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal
itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat
tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah
ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala
dengan puasa Ramadhan”. Demikian juga dengan membaca sirah-sirah para nabi dan
orang-orang sholih juga akan menjadi sarana mendidik diri, karena dengan
mengetahui kisah orang-orang terdahulu maka akan memancing kita untuk selalu
mendidik kita menjadi hamba yang lebih baik.
لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Agar
kalian bertaqwa”
Kata la’alla
dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan)
dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara).
Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa
adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji,
dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan
puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.
Imam At
Thabari dalam Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an menafsirkan
ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan,
minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”.
Imam Al
Baghawi dalam Ma’alim At Tanziil memperluas
tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian
bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab
puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir
juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul
dari makanan, minuman dan jima”.
Dalam Tafsir Jalalain
dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab
puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”.
Lalu bagaimana
puasa menjadi pendididk bagi diri kita untuk menjadi hamba yang bertaqwa adalah
sebagaimana dijelasankan dengan indah oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa
dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena
orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
- Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
- Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
- Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
- Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
- Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”
Secara bahasa
arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya
berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut
terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah
adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:
العَمَلُ
بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ
مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
“Taqwa
adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap
ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut
terhadap adzab Allah”.
Demikianlah
sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul,
mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari
Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau
orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan
hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang
mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan
tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil
Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang
memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya
yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara
kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Semoga puasa
kita dapat menjadi sarana pendidik dan saksi dihadapan Allah tentang keimanan
kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa,
menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
No comments:
Post a Comment