Tuesday, 7 February 2023

Cara Menghindari Dosa serta Hal berkaitan dengan Mursyid dan Adab Murid


Pertanyaan
Assalamuaalaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, afwan apakah di izinkan bertanya?
1. Saat seseorang berusaha menghindar dari dosa ia sadar bahwa itu dosa, tapi tetap serasa sulit meninggal kanya, Lantas apakah sebabnya? Saat ia berjuang jatuh bangun dalam dosa, apakah ada pahalanya? Apakah Allah masih memandang perjuangan nya itu?Dan membantu dia? Lantas apakah ada amalan khusus atau yang semisalnya agar kita bisa keluar dari lubang dosa itu
2. Dan perihal mursyid. Apakah semua perintah beliau harus dilakukan? Bolehkah menyelisihi beliau saat kita ada problem dan sangat sulit klo harus menuruti perintah beliu? Bolehkah demikian?
Karena kami dengar semua perintahnya harus dilaksanakan... 🙏
Syukron... 
Baarokallohu fiikum🤲🏻🤲🏻
08777294 xxxx

Jawab :
Waalaikumsallam wa rahmatullahi wa barakatuh
Pertanyaan pertama 
Ada beberapa istilah dalam Al-Quran untuk menyebut dosa atau kemaksiatan, diantaranya itsm (إثم), dzanb (ذنب), ‘ishyan (عصيان), huub (حوب), sayyi-ah (سيئة), dan khathi-ah (خطيئة). Istilah-istilah ini sama-sama merujuk kepada pengertian dosa, namun masing-masing punya kekhasan makna.
Itsm (الإثم) dan dzanb (الذنب) biasanya diartikan dosa. Secara bahasa, الذنب makna aslinya ekor. Dosa disebut demikian karena ia merupakan akibat sesuatu perbuatan, yakni datang di belakang sesuatu. Atau, karena ia merupakan sesuatu yang dianggap kotor akibat akhirnya, seperti umumnya ekor binatang. Adapun الإثم makna aslinya adalah lambat/buth-u (البطء) dan telat/ta-akhkhur (التأخّر). Dosa disebut demikian karena orang yang berdosa itu lambat dari kebaikan dan telat darinya.
Sedangkan ‘ishyan (العصيان), biasanya diartikan kedurhakaan atau maksiat. Makna aslinya adalah berpisah, seperti anak untuk yang tidak mau lagi ikut induknya karena dia sudah tidak lagi menyusu/disapih. Orang bermaksiat diserupakan degan ini karena ia tidak mau mengikuti petunjuk Allah, memisahkan diri, dan berbuat semaunya sendiri.
Kemudian huub (الحوب), makna aslinya adalah hardikan untuk mencegah untuk melakukan sesuatu. Dosa disebut demikian karena pada dasarnya ia merupakn sesuatu yang dilarang, atau karena pelakunya sadar bahwa hal itu sebenarnya 
Adapun sayyi’ah (السيئة) adalah kebalikan dari hasanah (الحسنة), aslinya berakar kepada kata suu’ (السوء). Makna aslinya adalah segala hal yang membuat seseorang sedih dan berduka, baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Dosa kecil dan kesalahan (duniawi) biasanya disebut juga dengan sayyi’ah, karena ia membuat pelakunya sedih dan resah, merasa tidak nyaman, merasa bersalah. Sedangkan, khothiah (الخطيئة), yang aslinya berakar dari kata khotho’ (الخطأ). Makna aslinya adalah berbelok dari arah yang semestinya, atau tidak tepat sasaran. Khoti’ah dan sayyi’ah mirip, karena sering dipakai untuk mnyebut dosa kecil atau kekeliruan-kekeliruan. Tapi umumnya khoti’ah digunakan untuk mnyebut hal-hal secara tidak sengaja dilakukan. Misal, ingin memanah kijang tapi meleset terkena manusia. Maka, kebalikan dari khotho’ adalah showab (الصواب), yakni pas, kena, atau tepat sasaran.
Secara istilah dalam bebarapa kitab, para ulama berada pada satu pemahaman, bahwa dosa adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah dan RasulNya, yang telah ditetapkan sebelumnya untuk dita’ati, dan pelakunya diberikan sangsi (uqubat) baik di dunia dan di akhirat. Atau meninggalkan perbuatan yang sudah ditetapkan hukumnya oleh Allah dan RasulNya.
Dosa  dalam berbagai variannya adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah, pelakukan akan mendapatkan sangsi baik di dunia dan diakhirat, karena ia bentuk dari pembangkangan terhadap perintah Sang Pencipta, yang telah menjadikannya berada di dunia untuk menta’ati perintahNya dan menjahui segala laranganNya.
Dalam bentuk apa pun dosa  itu, tetap sebuah pelanggaran, baik dosa; kecil, sedang, dan besar, dan setiap pelanggaran ada sangsinya. Sangsinya Allah yang menetapkan, walau pada akhirnya hanya Allah dengan segala rahasianya yang memberikan keputusan terakhir; diampuni atau disiksa. Ada dosa yang diampuni dan ada dosa yang tidak diampuni, ini juga hak Allah, tetapi Allah dalam banyak Ayat al-Qur’an menegaskan; bahwa Allah maha pengampun, bagi orang yang memohon ampunan padaNya
Begitu banyak dosa-dosa yang ada dalam diri manusia. Mulai dari dosa yang muncul dari mata, telinga, mulut, tangan, kaki, badan, hingga hati yang senantiasa berjibaku dengan nafsu dan godaan setan al-rajīm. Nafsu dan godaan setan merupakan tantangan yang niscaya akan dihadapi oleh setiap anak Adam. Apabila ia sanggup menahan dan mengendalikan setiap keinginan hawa nafsu dan godaan setan, tentu ia akan menang dan memperoleh pahala di sisi Allah. Namun, jika ia kalah dan terjerumus sehingga menjadi budak hawa nafsu dan menuruti godaan setan, maka dosa akan menyelimutinya. Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmiżi no. 2499, Ṣahih al-Targīb 3139)
Hadis ini menggambarkan bagaimana kesalahan (dosa) merupakan perkara yang tidak terlepas dari diri manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan solusi dan jalan keluar bagi hamba-Nya yang berbuat kesalahan, yaitu bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya.
Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
 يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ
 “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semuanya melakukan dosa pada malam dan siang hari, padahal Aku Maha mengampuni dosa semuanya. Maka mintalah ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni kalian.” (HR. Muslim)
Dan dosa menjadi susah dihindari karena kecenderungan manusia kepada kemaksiatan dan bisikan-bisikan setan sebagaimana saya pernah membahas dalam artikel berjudul bisikan hati.

http://masrauf.blogspot.com/2022/11/bisikan-hati.html

Namun menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk meninggalkan dosa walaupun sulit, apalagi bagi orang yang telah mengetahui. 
Dalil tentang ampunan Allah tidak boleh dijadikan menjadi dalil untuk bermudah-mudahan dengan dosa. Bukankah banyak juga kisah bagaimana seorang yang sholeh namun di akhir hayatnya su’ul khatimah?
Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا
 ” … Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka, maka masuklah dia ke dalam neraka … ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana jika saat orang tersebut sedang melakukan kemaksiatan, tiba-tiba malakul maut datang menjemputnya? Bukankah setiap amalan seorang hamba tergantung pada akhirnya? Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
 “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari)
Allah Ta’ala tidak sesaat pun lalai dari perbuatan orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya,
 وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
 “ Dan janganlah sekali-kali engkau (Muhammad ) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim … ”  (QS. Ibrahim: 42)

Lalu bagaimana cara kita berusaha meninggalkan dosa? Ada beberapa tips yang di berikan oleh syaikh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Ruhiyatut Daiyah :
1. Muahadah, dimana seorang mengingat Kembali bahwa dirinya telah berjanji untuk mematuhi dan taat kepada Rabb nya. Sehingga kesadaran untuk meninggalkan dos aini harus selalu diperbaharui sehingga selalu muncul dala diri seorang muslim untuk meninggalkan dosa.
2. Mujahadah, kecenderungan jiwa seseorang memang harus dilawan dengan mujahadah. Kesungguhan hati untuk meninggalkan dosa. Seorang muslim harus mengetahui efek buruk dosa dan berbuat dengan seluruh kemampuanya untuk menghindari dosa.
3. Muraqabah, seorang muslim melatih hatinya untuk selalu merasa diawasi oleh Allah. Sehingga dia akan merasa malu Ketika akan berbuat kemaksiatan kepada Allah.
4. Muhasabah, introspeksi diri. Menghitung bekal menuju akhirat. Betapa banyaknya dosa yang sudah diperbuat dan sedikitnya amal shaleh yang telah diperbuat. Berapa amal yang diterima oleh Allah dan yang tertolak. Maka dengan selalu menginsrospeksi diri ini seorang muslim akan merasa betapa banyak kekurangan dirinya.
5. Mu’aqabah , memberikan sanksi atau hukuman kepada dirnya. Dengan memberikan sanksi dan konsisten maka akan membuat jiwa akan merasa tersiksa jika dia berbuat dosa.

Perjuangan untuk mengajarkan jiwa meninggalkan hal-hal yang dibenci Allah berupa dosa ini harus secara konsisten dilakukan agar jiwa manusia terdidik sehingga dia selalu cenderung kepada kebaikan dan menghindari dosa. Usaha tersebut merupakan usaha penyucian jiwa sebagaimana Allah berfirman
 وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (dengan ketakwaan) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).” (Qs Asy Syams: 7-10)

Di samping usaha tadi, kita juga diajarkan untuk berdoa agar terhindar dari perbuatan maksiat, karena memang pada hakikatnya manusia membutuhkan pertolongan dari Allah untuk menghindari dari kemaksiatan ini. Ada beberapa Riwayat doa tentang hal ini dan diantara doa yang saya senang mengamalkanya adalah do’a sayidul istighfar.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ : اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ 
Dari  Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan : (Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau). (Beliau bersabda) “Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga. ( HR Bukhari )



Pertanyaan kedua ;
Kata mursyid berasal dari Bahasa arab “arsyada-yursidu” yang artinya membimbing atau menunjuk. Sedangkan secara istilah, mursyid adalah orang yang bertugas untuk membimbing dan menunjukkan jalan yang lurus kepada seseorang.
Dalam ilmu tasawuf dan tarekat islam kata mursyid dikenal juga dengan istilah syaikh. Keduanya memiliki makna yang sama, yakni merujuk pada seorang guru.
Dijelaskan dalam buku Majmu’ah Rasail karya Imam Al-Ghazali, seorang mursyid harus melakukan beberapa riyadhah (latihan) ketakwaan seperti menyedikitkan makan, berbicara, dan tidur. Ia harus memperbanyak amal ibadah seperti sholat, sedekah, dan puasa.
Seorang mursyid harus memiliki akhlak terpuji berupa kesabaran, syukur, tawakkal, tenang (tuma’ninah), dermawan, qanaah, amanah, ramah, rendah hati, makrifat, jujur, berwibawa, memiliki rasa malu, tenang, lembut, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, ia juga harus memurnikan hatinya dan menjauhkan diri dari sifat tercela seperti sombong, kikir, hasud, dengki, tamak, panjang angan-angan, gegabah, dan lain sebagainya. Dalam kesehariannya, ia harus menjauhi fanatisme terhadap dunia.
Dalam kitab yang sama Imam Ghazali juga menyampaikan adab seorang murid kepada mursyid atau gurunya.
آداب المتعلم مع العالم: يبدؤه بالسلام ، ويقل بين يديه الكلام ، ويقوم له إذا قام ، ولا يقول له : قال فلان خلاف ما قلت ، ولا يسأل جليسه في مجلسه ، ولا يبتسم عند مخاطبته ، ولا يشير عليه بخلاف رأيه ، ولا يأخذ بثوبه إذا قام ، ولا يستفهمه عن مسألة في طريقه حتى يبلغ إلى منزله، ولا يكثر عليه عند ملله.   
“Adab murid terhadap guru, yakni: mendahului beruluk salam, tidak banyak berbicara di depan guru, berdiri ketika guru berdiri, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda”, tidak bertanya-tanya kepada teman duduknya ketika guru di dalam majelis, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah.”   
Dari kutipan di atas dapat diuraikan kesepuluh adab murid terhadap guru sebagai berikut:   
Pertama, mendahului beruluk salam. Seorang murid hendaknya mendahului beruluk salam kepada guru. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa yang kecil memberi salam kepada yang besar.   
Kedua, tidak banyak berbicara di depan guru. Banyak berbicara bisa berarti merasa lebih tahu dari pada orang-orang di sekitarnya. Apa bila hal ini dilakukan di depan guru, maka bisa menimbulkan kesan seolah-seolah murid lebih tahu dari pada gurunya. Hal ini tidak baik dilakukan kecuali atas perintah guru.    
Ketiga, berdiri ketika guru berdiri. Bila guru berdiri, murid sebaiknya lekas berdiri juga. Hal ini tidak hanya penting kalau-kalau guru memerlukan bantuan sewaktu-waktu, misalnya uluran tangan agar segera bisa tegak berdiri, tetapi juga merupakan sopan santun yang terpuji. Demikian pula jika guru duduk sebaiknya murid juga duduk.   
Keempat, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda.” Ketika guru memberikan suatu penjelasan yang berbeda dengan apa yang pernah dijelaskan oleh orang lain, sebaiknya murid tidak langsung menyangkal penjelasan guru. Sebaiknya murid meminta izin terlebih dahulu untuk menyampaikan pendapat orang lain yang berbeda. Jika guru berkenan, murid tentu boleh menyampaikan hal itu.    
Kelima, tidak bertanya-tanya kepada teman duduknya sewaktu guru di dalam majelis. Dalam majlis ta’lim atau kegiatan belajar mengajar di kelas, murid hendaknya bertanya kepada guru ketika ada hal yang belum jelas. Hal ini tentu lebih baik daripada bertanya kepada teman di sebelahnya. Lebih memilih bertanya kepada teman dan bukannya langsung kepada guru bisa membuat perasaan guru kurang nyaman.   
Keenam, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru. Guru tidak sama dengan teman, dan oleh karenanya tidak bisa disetarakan dengan teman. Seorang murid harus memosisikan guru lebih tinggi dari teman sendiri sehingga ketika berbicara dengan guru tidak boleh sambil tertawa atau bersenyum yang berlebihan.   
Ketujuh, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru. Bisa saja seorang murid memiliki pendapat yang berbeda dengan guru. Jika ini memang terjadi, murid tidak perlu mengungkapkannya secara terbuka sehingga diketahui orang banyak. Lebih baik murid meminta komentar sang guru tentang pendapatnya yang berbeda. Cara ini lebih sopan dari pada menunjukkan sikap kontra dengan guru di depan teman-teman.    
Kedelapan, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri. Ketika guru hendak berdiri dari posisi duduk mungkin ia membutuhkan bantuan karena kondisinya yang sudah agak lemah. Dalam keadaan seperti ini, murid jangan sekali-kali menarik baju guru dalam rangka memberikan bantuan tenaga. Ia bisa berjongkok untuk menawarkan pundaknya sebagai tumpuan untuk berdiri; atau sesuai arahan guru.     
Kesembilan, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah. Jika ada suatu hal yang ingin ditanyakan kepada guru, terlebih jika itu menyangkut pribadi guru, tanyakan masalah itu ketika telah sampai di rumah. Tentu saja ini berlaku terutama kalau perjalanan dengan menaiki kendaraan umum.    
Kesepuluh, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah. Dalam keadaan guru sedang lelah, seorang murid hendaknya tidak mengajukan banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban pelik, misalnya. Dalam hal ini dikhawatirkan guru kurang berkenan menjawabnya sebab memang sedang lelah sehingga membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina. 

Jadi sebagai murid kepada mursyidnya dia harus memenuhi adab-adab tersebut. Namun disatu sisi mursyid juga manusia yang tetap memiliki celah untuk salah. Maka ketaatan manusia kepada mursyid tidak boleh melebihi kepatuhanya kepada Allah dan Rasulnya dan ketaatan kepada syariat. Kita harus berusaha mematuhi semampu kita namun kita tidak boleh taat dalam kemaksiatan. 
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36).

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari-Muslim).

Wallahu a’lam

Temanggung, 8 Februari 2023
Ta' Rouf Yusuf

No comments:

Post a Comment

Al Fatihah Bagian 3

Al Fatihah Bag 3 إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertol...