Tuesday, 12 April 2016

Panduan Ramadhan


Definisi Puasa Dan Hukumnya
Puasa  dalam  bahasa  Arab  disebut  As Shiyam,  menurut bahasa berarti: Menahan  ( Al Imsak) .Sedangkan  menurut  istilah,  puasa  adalah:  Ibadah kepada Allah  Ta’ala  dengan meninggalkan sesuatu yang membatalkan sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.Menahan makan dan minum untuk tujuan lain selain ibadah, seperti pengobatan atau semacamnya, tidak dapat dinamakan  puasa,  meskipun  istilah  puasa  biasa  dipakai untuk hal-hal semacam itu.
Puasa  Ramadan  merupakan  salah  satu  rukun  Islam yang diwajibkan atas setiap muslim yang baligh, berakal, mampu melakukannya dan menetap (tidak sedang safar). Allah Ta’ala berfirman, “Hai  orang-orang  yang  beriman,  diwajibkan  atas  kamu  berpuasa  sebagaimana  diwajibkan  atas  orang-orang  sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”  (QS. Al-Baqarah: 183)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, Islam dibangun di atas lima perkara:  (di antaranya disebutkan) puasa Ramadhan.”  (Muttafaq alaih)  
Keutamaan Bulan Ramadan dan Puasa
1. Al-Quran diturunkan di bulan Ramadan
Firman Allah Ta’ala: “Bulan  Ramadhan,  bulan  yang  di  dalamnya  diturunkan  (permulaan) Al-Quran."  (QS. Al-Baqarah : 185)
2. Di dalamnya terdapat Lailatul Qadar
Lailatul Qadar adalah malam yang nilainya lebih utama di sisi Allah Ta’ala dari seribu bulan. Allah Ta'ala befirman,  “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan."  (QS. Al-Qadar: 1-3)
3. Doa orang yang puasa mustajabah (terkabul) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Ada tiga  doa  yang dikabulkan:  Doa  orang yang  puasa,  doa  orang yang safar, dan doa orang yang dizalimi.”   (HR. Baihaqi)
4.  Setan  diikat,  pintu  surga  dibuka   dan  pintu  neraka ditutup Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika datang Ramadhan, pintu  surga  dibuka, pintu  neraka ditutup dan setan-setan diikat.” (Muttafaq alaih)
5. Puasa  melindungi kesucian diri (Iffah)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Wahai  para  pemuda;  siapa  di  antara  kalian  yang  sudah  mampu,  maka  menikahlah,  karena  menikah  dapat  menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.  Siapa yang tidak mampu (menikah), maka hendaklah dia puasa, karena puasa merupakan pelindung.” (Muttafaq alaih)
6. Puasa sebagai tameng dari Neraka
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Puasa  adalah  tameng,  orang  yang  sedang  puasa  berlindung dengannya dari api neraka.” (HR. Ahmad)
7. Puasa Tidak Ada Tandingannya
Dari  Umamah  radiallahu  anhu  dia
berkata,  "Aku  berkata,  'Ya  Rasulullah  tunjukkanlah  kepadaku  perbuatan  yang dapat memasukkan aku ke dalam surga.’
Maka beliau bersabda, Hendaklah  kamu  puasa,  tidak  ada  yang  sebanding  lengannya” (HR.  Ahmad dan Nasa’i)
8. Puasa dan Al-Quran Memberi syafaat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Puasa dan Al-Quran menjadi syafaat kepada  seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata, 'Ya Rabb, aku telah mencegahnya  dari  makanan  dan  syahwat, jadikanlah  aku  syafaat  baginya.'  Dan  Al-Quran  berkata,  “Ya  Rabb,  aku  telah  mencegahnya  dari  tidur  di  waktu  malam,  jadikanlah  aku  syafaat baginya.”  Dia  berkata:  “Keduanya  dapat  memberi  syafaat.”(HR. Ahmad)
9. Pintu Ar-Rayyan bagi yang puasa
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: Sungguh,  di  surga  terdapat  pintu  bernama:  Ar-Rayyan. 
Mereka  yang  puasa  akan  memasukinya  pada  hari  kiamat.  Tidak ada  seorang  pun  yang  masuk  melaluinya  selain  mereka.  Jika mereka  telah  masuk,  maka  pintu  itu  pun  ditutup  dan  tidak ada seorang pun yang memasukinya.”  (Muttafaq alaih)
10. Ganjaran yang tidak terbatas
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, "Setiap kebaikan akan dibalas  sepuluh  kebaikan  hingga  tujuh  ratus  kali  lipat.  Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya.” (HR. Tirmizi)
Karena puasa sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Dan  orang  sabar,  Allah  nyatakan  dalam  Al-Quran  akan dibalas tanpa batas. "Sesungguhnya,  hanya  orang-orang  yang  bersabarlah  yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)
11. Puasa khusus untuk Allah Ta’ala 
Allah Ta’ala berfirman (hadits qudsi): Puasa  untuk-Ku  dan  Akulah  yang  akan
membalasnya.  Dia meninggalkan  syahwat  dan  makan-minumnya  karena-Ku.” (HR. Muslim)
12.  Bau  mulut  orang  puasa  lebih  harum  dari  wangi minyak kesturi
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Bau  mulut  orang  yang  puasa  lebih  harum  di  sisi  Allah  dari wangi
minyak kesturi.” (HR. Bukhari) 
13. Ampunan atas dosa yang telah lalu
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Siapa  yang  puasa  pada  bulan  Ramadhan  dengan  iman  dan harapan  mendapatkan  pahala  maka  akan  diampuni  dosadosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Pembagian Manusia Di Bulan Ramadan
1.  Muslim,  balig,  berakal  dan  menetap:  Wajib  baginya berpuasa, jika mampu dan tidak memiliki halangan.
2.  Anak kecil yang belum balig:  Tidak diwajibkan  berpuasa. Namun  walinya agar melatihnya  berpuasa.
3.  Tidak mampu puasa karena sebab yang tetap: Seperti orang tua  renta  dan  orang sakit yang tidak  ada harapan sembuh.  Dia  boleh  berbuka,  dan  setiap  hari  yang puasanya dia tinggalkan, diganti dengan memberi makan seorang miskin.
4.  Orang  sakit  yang  ada  harapan  sembuh:  Jika  berat baginya  berpuasa  dia  dapat  berbuka,  namun  harus menggantinya (qadha) setelah sembuh.
5.  Wanita  haid  dan  Nifas:  Tidak  boleh  baginya  berpuasa,  namun  dia  wajib  mengganti  puasa   yang  ditinggalkan .
6.  Wanita  hamil  atau  menyusui:  Jika  berat  baginya berpuasa  karena  hamil  atau  menyusui  atau  khawatir akan  kondisi  anaknya,  dia  dapat  berbuka  dan  menggantinya tatkala keadaannya sudah pulih dan kekhawatirannya telah hilang.
7.  Musafir  (orang yang pergi jauh):  Dia  boleh  berpuasa atau berbuka sesuai keinginannya. Akan tetapi jika berat dan  lelah  maka  berbuka  lebih  utama.  Bahkan  jika membahayakan  dirinya,  dia  wajib  berbuka.  Jika  tidak berpuasa, dia harus menggantinya, baik safarnya bersifat sementara seperti umrah atau bersifat tetap seperti sopir angkutan luar kota evaluasi  sejauh  mana  seseorang  telah  melaksanakan  agenda  kebaikannya  sesuai  target  yang  telah  dicanangkan.
3. Berdoa
Seseorang  diperintahkan  untuk  mengusahakan  agar dirinya selalu berada dalam ibadah kepada Allah. Namun pada  akhirnya,  taufiq  dari  Allah  yang  paling  menentukan. Maka  hendaknya  dia  berdoa  semoga  Allah  memberinya  kemudahan  dalam  berpuasa  dan  beribadah  di dalamnya  lebih baik  dari bulan-bulan sebelumnya,  serta melakukan  setiap  perbuatan  yang  diridhai-Nya  dan dijauhkan  dari  segala  sesuatu  yang dapat  merusak puasanya, atau mengurangi pahalanya.
Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan satu riwayat yang menunjukkan semangat para sahabat dalam menyambut Ramadhan. Ibnu Rajab menyebutkan keterangan Mu’alla bin Al-Fadhl ulama tabi’ tabiin yang mengatakan,  Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif)
Satu harapan yang luar biasa. Karena mereka menilai, Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Sehingga mereka tidak akan menjadikannya kesempatan yang sia-sia. Kemudian Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan salah satu contoh doa yang mereka lantunkan. Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir  seorang ulama tabi’in , bahwa beliau mengatakan, Diantara doa sebagian sahabat ketika datang Ramadhan,
اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً
Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)
Kedua, ada satu doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika masuk ramadhan. Doa itu adalah doa melihat hilal. Akan tetapi sejatinya doa ini adalah doa umum, berlaku untuk semua awal bulan, ketika seseorang melihat hilal dan tidak khusus untuk bulan ramadhan. Teks doa itu,
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَالتَّوْفِيقِ لِمَا نُحِبُّ وَتَرْضَى، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ
Allahu akbar, ya Allah jadikanlah hilal itu bagi kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan islam, dan membawa taufiq yang membimbing kami menuju apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhan kami dan Tuhan kamu (wahai bulan), adalah Allah.” (HR. Ahmad).
Penentuan Awal Dan Akhir Ramadan
Penetapan  awal  dan  akhir  Ramadan berdasarkan  petunjuk  Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wa sallam, terdapat dua cara secara berurutan. Cara  pertama  harus  digunakan  dahulu.  Jika  terhalang, baru kemudian menggunakan cara kedua.
Kedua urutan tersebut adalah;
1.  Ru'yatul Hilal.
Ru'yatul  hilal  adalah  terlihatnya  hilal  (bulan  sabit  di awal  bulan)  tepatnya  di  awal  malam  setelah  maghribtanggal 29 bulan hijriah.
2.  Menyempurnakan  bilangan  bulan  hijriah  menjadi  30  hari.
Langkah  kedua  ini  diambil  apabila langkah  pertama, ru'yatul  hilal  terhalang.  Seperti  karena  mendung,  kabut, dsb. Penentuan 30 hari, karena jumlah hari dalam bulan bulan hijriah maksimal hanya 30 hari.
Ketentuan ini berdasarkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda ,"Berpuasalah  kalian  (menetapkan  awal  Ramadan)  setelah melihat  (hilal)  dan  berbukalah  kalian  (menetapkan  akhir Ramadan)  setelah  melihat  hilal.  Jika  kalian  terhalang  mendung,  maka  sempurnakan  (bilangan)  Sya'ban  30  hari.”(Muttafaq alaih)
Berbagai riwayat lainnya seputar masalah ini menunjukkan bahwa Rasulullah  Shalallahu’alaihi wa sallam, semasa hidupnya menetapkan  awal  Ramadan  dan  mengumumkannya  setelah menerima laporan  ada yang melihat hilal (ru'yatul hilal). Karenanya, jumhur ulama berpendapat demikian.
Hanya  saja,  yang  perlu  ditekankan  di  sini  adalah bahwa masalah penetapan awal dan akhir Ramadan  dan mengumumkannya,  bukanlah  wewenang  individu  atau kelompok dalam  sebuah  negeri  Islam.  Tetapi  dia  adalah wewenang  penguasa  jika  mereka  telah berusaha  menetapkannya  sesuai  dengan  kaidah-kaidah  syar'i.  Agar masyarakat  terhindar  dari  kesimpangsiuran  informasi
dan kekacauan.
Maka  sebagai  masyarakat,  hendaknya mengikuti keputusan pemerintah yang telah berupaya  menetapkan awal  dan  akhir  Ramadan  berdasarkan  ketentuan  syari. Apalagi  jika  pemerintah  telah  membentuk  kepanitiaan khusus  untuk  itu.  Walaupun  keputusannya  berbeda
dengan negeri-negeri Islam lainnya.
Pandangan seperti ini  dikenal dengan istilah  ikhtilaful mathali  (perbedaan  tempat  terbit  hilal).  Yaitu  bahwa setiap negeri boleh menentukan awal dan akhir Ramadan sesuai  terbitnya  hilal  di  negerinya,  walaupun  berbeda dengan negeri Islam lainnya.
Adapun  pandangan  lainnya  dikenal  dengan  istilah wihdatul mathali'  (kesatuan mathla') maksudnya penyeragaman  ketetapan.  Yaitu,  jika  ada  satu  negeri  yang  telah melihat  hilal  dan  diumumkan,  maka  negeri-negeri  lain hendaknya
mengikutinya  tanpa  memperdulikan  apakah hilal di negerinya terlihat atau tidak.  Pendapat ini cukup kuat pula dalil dan argumentasinya.
Namun, pendapat yang dikuatkan sebagian ulama dan kini dipraktekkan di negeri-negeri Islam adalah  ikhtilaful mathali'. Di samping hal ini lebih mendatangkan kesatuan. dan keutuhan di tengah masyarakat, juga sesuai dengan sabda Rasulullah  Shalallahu’alaihi wa sallam, "Puasa  adalah  di  hari  kalian  berpuasa,  dan  berbuka  (berlebaran) adalah di hari kalian berbuka, dan berkurban adalah di hari kalian berkurban." (HR. Tirmizi)
Juga  terdapat  dalam  riwayat  bahwa  pada  masa Mu'awiyah,  kaum  muslimin  yang  berada  di  Syam  berbeda awal Ramadannya dengan yang berada di Madinah. Ibnu Abbas berkomentar tentang hal tersebut, "Demikianlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita." (HR. Muslim)
Hal  ini  juga  berlaku  bagi  pendatang  yang  tinggal  di negara-negara  tersebut.  Hendaknya  awal  dan  akhir Ramadan  mengikuti  pengumuman  negara  tempat  dia tinggal saat itu, bukan negara asalnya.
Adapun  bagi mereka yang tinggal di negeri  non  muslim  yang  pemerintahnya  tidak  memperdulikan  masalah ru'yatul  hilal,  maka  mereka  dapat  berpedoman  pada
lembaga-lembaga Islam yang dipercaya  dalam  menetapkan  awal  dan  akhir  Ramadan  dengan  ketentuan  syar'i.
Atau  jika  tidak  ada,  mereka  dapat  berpedoman  dengan negeri-negeri Islam yang mereka percaya pengamalannya
terhadap  ajara  Islam  atau  penetapan  awal  dan  akhir bulannya ditentukan berdasarkan petunjuk syariat.
Larangan  Berpuasa  Sehari  Dua  Hari  Sebelum
Ramadan Dan Pada Hari Yang Meragukan
Terdapat larangan berpuasa pada sehari atau dua hari sebelum Ramadan, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, "Jangan kalian mendahulukan Ramadan dengan berpuasa sehari  atau  dua  hari  (sebelumnya).  Kecuali  seseorang  yang (memang  seharusnya/biasanya)  melakukan  puasanya  pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa." (Muttafaq alaih)
Larangan  ini  berlaku  bagi  orang  yang  melakukan puasa  dengan  niat  hati-hati  kalau  hari-hari  tersebut termasuk  Ramadan.  Sebab,  yang  diperintahkan  adalah memastikan  datangnya  bulan  Ramadan  dengan  terlihatnya hilal Ramadan. Kalau hilal tidak terlihat, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi tiga puluh hari berdasarkan riwayat shahih yang telah disebutkan di atas.
Adapun  jika  hari  itu  bertepatan  dengan  hari-hari sunnah  berpuasa  yang  biasa  dia  lakukan  (seperti  Senen dan  Kamis),  atau  dia  berpuasa  pada  hari  itu  karena  hendak membayar qadha puasanya, atau nazar atau kaffarat, maka dibolehkan.
Hikmah pelarangan ini adalah agar ada pemisah antara puasa Ramadan yang  fardhu dengan puasa-puasasunah sebelum dan sesudahnya. Disamping menunjukkan
bahwa waktu ibadah bulan Ramadan sudah tetap awal dan akhirnya, tidak dapat ditambah atau dikurang. Maka, dilarang puasa sehari atau dua hari sebelumnya
dan dilarang pula puasa sehari sesudahnya, yaitu pada hari Idul Fitri. Adapula larangan berpuasa pada hari yang dikenal
dengan istilah Yaumusy-Syak . Yaitu, jika pada sore tanggal 29 Sya'ban hilal Ramadan tidak terlihat karena mendung atau terhalang oleh sebab lainnya, maka
keesokan harinya dianggap sebagai tanggal 30 Sya'ban. Dikatakan hari meragukan, karena pada hari tersebut tidak jelas
apakah malam sebelumnya hilal telah terbit , namun tidak terlihat, atau hilal memang benar-benar belum terbit. Pada hari tersebut, menurut jumhur ulama, seseorang  dilarang berpuasa jika tujuannya sekedar ingin hati-hati agar tidak ada hari yang tertinggal dari bulan Ramadan. Berdasarkan hadits, "Siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan padanya, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abu Qasim (Rasulullah) ." (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Nasa'i, Redaksi berasal dari riwayat Nasa'i)
 
Syarat dan Rukun Puasa
Syarat Wajib Puasa
Ibadah puasa diwajibkan bagi seseorang yang memiliki kriteria berikut;
1. Muslim
Syarat dasar ibadah adalah keimanan. Tanpa keimanan, maka ibadah apapun tidak akan diterima.Apalagi ayat tentang perintah puasa secara khusus Allah
Ta'ala menyeru kepada orang beriman,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Maka, orang kafir tidak diwajibkan berpuasa dan tidak sah puasanya kalaupun mereka melakukannya. Akan tetapi mereka tidak boleh memperlihatkan perbuatannya
yang tidak berpuasa di tengah masyarakat muslim yang berpuasa.
2. Baligh
Anak kecil yang belum berusia baligh tidak terkena kewajiban puasa. Akan tetapi kedua orang tuanya hendaknya melatih mereka sedikit demi sedikit untuk berpuasa. Sehingga saat mereka telah masuk usia baligh dan telah terkena kewajiban puasa, dirinya telah siap melakukannya.
3. Berakal
Orang gila tidak diwajibkan berpuasa hingga sembuh.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Pena diangkat (kewajiban tidak dibebankan) terhadap tiga (golongan); Orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga dia mimpi (baligh) dan orang gila hingga dia berakal." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Uzur Tidak Berpuasa
Adapula orang-orang yang disebut Ashabul A'zaar (pemilik uzur) untuk tidak berpuasa. Yaitu mereka yang telah memiliki syarat wajib, namun memiliki alasan untuk tidak berpuasa. Karenanya, walaupun  dibolehkan tidak berpuasa, mereka tetap diharuskan mengqadhanya atau membayar fidyah di hari yang lain sesuai jenis uzurnya.
Beberapa uzur tersebut adalah;
1. Sakit yang ada harapan sembuh
Orang sakit, jika khawatir dengan bepuasa akan semakin lama sembuhnya atau semakin bertambah sakitnya atau dirinya merasa sangat berat menjalaninya, maka dia memiliki uzur untuk tidak berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di kemudian hari, jika sakit yag dideritanya termasuk sakit yang ada kemungkinan sembuh.
2. Safar
Orang yang melakukan safar dalam jarak yang membolehkannya untuk melakukan qashar shalat, maka dia juga memiliki uzur untuk tidak berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di kemudian hari.
Kedua uzur di atas dilandasi oleh firman Allah Ta'ala, "Maka, siapa di antara kalian ada yang sakit atau safar (lalu berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)
3.  Orang tua renta dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh
Orang yang sanga tua renta sehingga sulit baginya berpuasa, begitu pula orang sakit yang diperkirakan tidak dapat sembuh berdasarkan informasi terpercaya dan
dengan sakit tersebut sulit baginya berpuasa, maka kedua jenis orang ini juga memiliki uzur untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan mengqadha puasa Ramadan yang ditinggalkan.
Sebagai gantinya adalah membayar fidyah,
yaitu mengeluarkan setengah sha' {(Satu Sha' sama dengan 4 mud, dan 1 mud sama dengan 675 Gram.  Jadi 1 Sha 'sama  dengan 2700 Gram (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki. Sedangkan menurut Imam al-Rafi’i dan madzhab Syafi’i, 1 sha’ sama dengan 693 1/3 dirham Jika dikonversi satuan gram, sama dengan 2751 gram (2,75 kg). (Kitab Al-Fiq al Islami Wa Adilatuhu Juz II hal, 911)}  makanan pokok (beras atau gandum, dll) untuk setiap hari puasa Ramadan yang ditinggalkan dan diberikan kepada orang miskin. Inilah kesimpulan yang dtetapkan shahabat dan para ulama berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika dia tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)
4. Haid dan nifas
Wanita yang haid dan nifas tidak wajib berpuasa,bahkan mereka dilarang  berpuasa. Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam , "Bukankah jika dia (wanita) sedang haid, dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangannya dalam agama." (HR.
Bukhari)
Wanita tersebut diwajibkan mengqadha puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan. Sebagaimana ucapan Aisyah, Kami mengalami haid pada masa Rasulullah . Kemudian kami suci. Maka Rasulullah  memerintahkan kami untuk mengqadha puasa dan beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqadha shalat." (HR. Tirmizi dan Nasa'i)
Wanita Hamil dan Menyusui
Para ulama menyebutkan bahwa wanita hamil dan menyusui, jika berat baginya untuk berpuasa, baik kekhawatirannya bersumber terhadap dirinya atau janinnya, maka dia termasuk orang yang memiliki uzuruntuk tidak berpuasa. Para ulama umumnya mengaitkan kondisi mereka dengan orang sakit yang tidak kuatberpuasa. Maka konsekwensinya, jika mereka tidak berpuasa adalah mengqadhanya di hari lainnya.
Di dalam kitab Kifayatul Akhyar, disebutkan bahwa masalah wanita hamil dan menyusui dikembalikan kepada motivasi atau niatnya. Kalau tidak puasa karena mengkhawatirkan kesehatan dirinya, maka dianggap dirinya seperti orang sakit. Maka menggantinya dengan cara seperti mengganti orang sakit, yaitu dengan berpuasa di hari lain. Sebaliknya, kalau mengkhawatirkan bayinya, maka dianggap seperti orang tua yang tidak punya kemampuan, maka cara menggantinya selain dengan puasa, juga dengan cara seperti orang tua, yaitu dengan membayar fidyah. Sehingga membayarnya dua-duanya.
Namun menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, wanita yang hamil atau menyusui cukup membayar fidyah saja tanpa harus berpuasa. Karena keduanya tidak berpuasa bukan karena sakit, melainkan karena keadaan yang membuatnya tidak mampu puasa. Kasusnya lebih dekat dengan orang tua yang tidak mampu puasa.
Dan pendapat kedua shahabat ini mungkin tepat bila untuk menjawab kasus para ibu yang setiap tahun hamil atau menyusui, di mana mereka nyaris tidak bisa berpuasa selama beberapa kali ramadhan, lantaran kalau bukan sedang hamil, maka sedang menyusui.
Rukun Puasa
Rukun puasa secara garis besar ada 2, yaitu; Niat dan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.
A. Niat
Niat diharuskan dalam setiap ibadah. Secara khusus, Rasulullah  menyatakan keharusan niat di malam hari sebelum masuk waktu fajar bagi orang yang berpuasa.Beliau bersabda,"Siapa yang tidak niat untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Para ulama berpendapat bahwa perkara ini berlaku dalam puasa wajib. Adapun puasa sunah, seseorang boleh memulai niat setelah fajar selama dia belum makan
dan minum.
Niat dilakukan di dalam hati. Tidak ada redaksi khusus untuk melafazkannya. Selama seseorang telah memantapkan niat di dalam hatinya bahwa dia besok akan berpuasa Ramadan, maka hal itu sudah cukup. 
Namun diperbolehkan jika hendak melafadzkan untuk menghadirkan niat di dalam hati. Ada beberapa pandangan ulama terkait melafadzkan niat, di antaranya adalah :
1. Mazhab Imam Abu Hanifah. Para ulama pengikut mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafadzkan niat sunnah hukumnya  untuk membantu kesempurnaan niat di dalam hati. Silakan cek di (Al-Bada'i al-Shana'iy fi Tartib al-Syara'i Jilid I/hal.127, al-durru al-Mukhtar Jilid I/hal.406, al-Lubab Jilid I/hal.66)
2. Mazhab Imam Malik bin Anas (Maliky). Niat shalat adalah syarat sah di dalam shalat, sebaiknya niat tidak dilafadzkan kecuali ragu. Karena itu menjadi sunnah melafadzkan niat shalat untuk menghilangkan keraguan. silakan lihat di (al-Syarh al-Shaghir wa hasyiyatu al-Shawi Jilid I/hal.303 dan 305)
3. Mazhab Syafi'i, Sunnah melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram dan wajib menentukan jenis shalat yang dilakukan (Lihat Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252)
4. Mazhab Hanbali, sunnah melafadzkan niat dengan lisan. Lihat al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370).
Niat dilakukan setiap malam. Ada sebagian ulama yang membolehkan niat sekaligus untuk satu bulan Ramadan.
B. Meninggalkan sesuatu yang  membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.
Perkara-perkara yang membatalkan puasa telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunah. Ada yang yang telah disepakati oleh para ulama, ada pula yang diperselisihkan.
Ada dua perkara yang penting diperhatikan dalam masalah ini. Pertama adalah perkara yang membatalkan puasa. Dan kedua terkait dengan waktu pelaksanaanya yang berawal dari sejak terbit fajar dan berakhir hingga terbenam matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam." (QS. Al-Baqarah: 187)
Juga berdasarkan ucapan dan pengamalan Rasulullah dalam berapa riwayat terkait. Maka, tidak dibenarkan menambah atau mengurangi waktu puasa yang ditentukan berdasarkan syariat.


*Perkara Yang Membatalkan Puasa
1. Jimak (bersetubuh)
Berdasarkan firman Allah Ta'ala,
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu." (QS. Al-Baqarah: 187)
Juga berdasarkan riwayat tentang kisah seseorang yang mengaku berjimak di bulan Ramadan. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dia untuk mem-bayar kaffarat  yang berat akibat perbuatannya, berupa memerdekakan budak, jika tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin. (Muttafaq alaih)
Para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan puasa. Bahkan, orang yang sengaja berjimak di siang hari bulan Ramadan dikenakan kaffarat yang berat sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat di atas. Ketentuan ini berlaku bagi suami isteri jika keduanya melakukan secara suka rela. Adapun jika suami memaksa isteri untuk melakukan hal tersebut, maka ketentuan
kaffarat tidak berlaku bagi isteri.
2. Makan dan minum dengan sengaja.
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al-Baqarah: 187)
Adapun makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana  sabda Raslullah Shalallahu’alaihi wa sallam, "Siapa yang lupa saat berpuasa, kemudian dia makan atau minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberinya makan dan minum." (Muttafaq alaih)
Termasuk dianggap yang membatalkan adalah semua tindakan yang dianggap menggantikan fungsi makan dan minum atau memasukkan sesuatu partikel ke dalam saluran pencernaan. Seperti suntik atau infus untuk mengganti zat makanan dan menghisap rokok.
3. Haid dan Nifas
Disepakati pula bahwa wanita yang kedatangan haid atau nifas saat puasa, maka puasanya batal. Bahkan tidak dibolehkan dia berpuasa. Berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, di antaranya, “Bukankah jika dia (wanita) sedang haid, dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangannya dalam agama." (HR. Bukhari)
4. Muntah dengan sengaja
Jumhur ulama berpendapat bahwa muntah tanpa sengaja tidak membatalkan puasa. Adapun sengaja agar muntah, membatalkan puasa. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa muntah secara mutlak, disengaja atau tidak, tidak membatalkan puasa. Namun yang dikuatkan adalah pendapat jumhur ulama. Berdasarkan  hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, "Siapa keluar muntah (tanpa sengaja) saat dia berpuasa,maka tidak diwajibkan baginya qadha. Dan siapa yang
sengaja muntah, maka dia harus qadha." (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dll)
4. Bekam
Para ulama berbeda pendapat apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa bekam membatalkan puasa. Jumhur berdalil dengan ucapan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari,
"Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu’alaihiwa sallam  melakukan bekam saat dia sedang ihram dan saat dia sedang puasa." (HR.Bukhari)
Juga terdapat beberapa riwayat lainnya yang menguatkan pendapat jumhur ulama.
Adapun Imam Ahmad berdalil dengan hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam yang berkata saat melihat ada orang yang berbekam di siang hari bulan Ramadan,
"Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam telahberbuka (batal puasanya)." (HR. Abu Daud)
Turunan dalam masalah ini adalah melakukan donor darah karena dianggap sama-sama mengeluarkan darah cukup besar dari dalam tubuh. Jika mengikuti pendapat jumhur ulama, maka donor darah tidak membatalkan puasa. Tapi jika berpedoman dengan pendapat Imam
Ahmad, maka donor darah tidak membatalkan puasa. Yang lebih hati-hati adalah menunda pelaksanaan hal tersebut hingga malam hari, jika memungkinkan. Karena pendapat Imam Ahmad dan argumentasinya cukup kuat.  Wallahua'lam.
5. Keluar mani secara sengaja
Misalnya dengan bercumbu, onani, atau sengaja melihat dan membaca sesuatu yang membangkitkan syahwat. Para ulama sepakat bahwa keluar mani karena bercumbu
dan semacamnya membatalkan puasa. Akan tetapi orang tersebut tidak diharuskan membayar kaffarat seperti orang yang berjimak. Dia hanya diwajibkan meneruskan puasanya dan diwajibkan mengqadha puasa hari tersebut di kemudian hari. Disamping dia harus
bertaubat atas dosa sengaja melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasanya. Adapun jika bercumbu namun tidak keluar mani, maka tidak membatalkan puasa.
Apakah bermesraan dengan isteri dibolehkan ketika berpuasa? Jumhur ulama mengatakan bahwa jika seseorang dapat mengendalikan syahwatnya, maka hal itu dibolehkan, akan tetapi jika dia khawatir tidak dapat mengendalikan syahwatnya, seperti khawatir akan keluar
mani atau akan mendorongnya berbuat jimak, maka hal tersebut diharamkan. Berdasarkan riwayat Aisyah radhiallahu anha, "Sesungguhnya Nabi saw mencium dan mencumbu isterinya
saat beliau sedang puasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan keinginannya di antara kalian." (Muttafaq alaih)

*Perkara Yang Tidak Membatalkan Puasa
1. Periksa darah dan suntik yang tujuannya tidak untuk memasukkan zat makanan. Seperti untuk berobat, tes darah, vaksin, atau kepeluan lainnya.
2.Mencicipi masakan jika dibutuhkan, dengan syarat: tidak sampai masuk ke dalam kerongkongan.
3. Menggunakan celak mata atau tetes mata atau semacamnya yang dimasukkan ke dalam mata.
4. Menuangkan air dingin di atas kepala atau mandi dengannya.
5. Menelan ludah, namun jika berupa lendir hendaklah dikeluarkan.
6. Menggunakan minyak wangi dan menciumnya.
7. Bermimpi hingga keluar mani.
8. Junub sebelum terbit fajar dan belum mandi janabah hingga terbit fajar sementara dia sudah niat puasa.
9. Boleh menghirup sesuatu yang tidak bersifat partikel untuk melegakan hidung tersumbat, atau melegakan dada bagi orang yang sesak nafas.
10. Sikat gigi dengan pasta gigi dengan syarat tidak ada partikel yang ditelan.
11. Bersiwak di siang hari, walaupun setelah matahari tergeincir.
12. Keluar mazi atau madi.
13. Menelan debu tanpa sengaja.

Yang Harus Dijauhi Saat Berpuasa
1.Berdusta
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka tidak ada bagi Allah Ta’ala nilainya dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari)
2. Lalai dan berkata kotor
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Puasa bukan hanya (menahan) makan dan minum saja,
akan tetapi puasa juga (menahan) dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor." (HR. Hakim)
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,“Betapa banyak orang yang puasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Catatan: Orang yang melakukan perbuatan seperti ini, status puasanya secara hukum tidak batal. Akan tetapi pahalnya gugur, bahkan berdosa karenanya. Namun, jika dia bertaubat saat itu juga dan mohon ampun kepada Allah, maka dia dapat meneruskan puasanya tanpa keharusan mengqadhanya.

Syarat-Syarat Batal Puasa
1. Mengerti. Jika seseorang melakukan perkara yang membatalkan puasa karena ketidaktahuannya makatidaklah membatalkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
 “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang (ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. Al-Ahzab : 5)
2. Sadar. Jika seseorang lupa ketika melakukan perbuatan yang membatalkan, seperti lupa makan dan minum, maka puasanya sah selama dia tinggalkan langsung ketika ingat, dan dia tidak wajib meng-qadha-nya.
3. Kehendak sendiri. Jika seseorang dipaksa (untuk berbuka) maka puasanya sah dan tidak meng-qadha, sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam “Sesungguhnya Allah melampaui (mengampuni) ummatkuyang melakukan kesalahan, kelupaan dan yang terpaksa” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Perbuatan Yang Dianjurkan
1. Tilawatul Quran
Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran. Seorang muslim hendaknya semakin dekat dengan Al Quran di bulan ini dengan membaca dan mempelajarinya. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata,
 "Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan, ketika Jibril menemuinya. Jibril menemuinya setiap malam di bulan Ramadan untuk mengulang bacaan Al-Quran." (HR. Bukhari)
2. Qiyamullail dan Taraweh
3. Banyak Bersadaqah
Berdasarkan isyarat hadits di atas, Ramadan adalah sarana kita untuk meningkatkan sadaqah dibanding waktu lainnya. Karena rahmat dan ampunan Allah sedang dilimpahkan di bulan mulia ini.
3. Banyak Bedoa
Ramadan adalah waktu mustajabah untuk berdoa. Isyarat tersebut dapat ditangkap dalam pembahasan tentang Ramadan dan puasa dalam Al-Quran surat Al- Baqarah ayat 183 dan seterusnya. Di tengah-tenah pembahasan, Allah menyelipkan ayat tentang anjuran berdoa,
yaitu pada surat Al-Baqarah, ayat 186.
"Dan apabila hamba-hamba-Ku, bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-
Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. Al-Baqarah: 186)
4. Umrah
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam berkata kepada seorang wanita Anshar, "Jika datang bulan Ramadan, lakukanlah umrah. Karena umrah di dalamnya sebanding dengan haji." (Muttafaq alaih)
5. Menghadirkan sifat-sifat utama Ibadah di bulan ini menyediakan sifat-sifat mulia
yang harus kita serap dalam kehidupan sehari-hari. Seperti zuhud terhadap dunia, cinta fakir miskin, gemar beribadah, sabar, syukur, tawakal, dll.
6. Disunahkan sahur dan mengakhirkannya.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan sahur untuk membedakan
antara puasa kita dengan puasa ahli kitab. Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur." (HR. Muslim)
Terdapat riwayat dari Zaid, dia berkata, “Kami sahur bersama Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam, lalu beliau bangkit untuk melaksanakan shalat”. Dia (Zaid) ditanya, ”Berapa lama jarak
antara azan dan sahur?” Dia menjawab, “sekedar (membaca) lima puluh ayat.” (Muttafaq alaih)
Disunahkan memakan korma saat melakukan sahur.
7. Sunah mempercepat Ifthar (berbuka puasa). Ifthar hendaknya dilakukan saat matahari terbenam. Mempercepat ifthar merupakan sunah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam,
karena beliau bersabda “Umatku selalu berada dalam sunnahku selama dia tidak
menunggu bintang-bintang (waktu malam) untuk berbuka.” (HR. Ibnu Hibban)
8. Memberi makan berbuka kepada orang yang puasa.
Hendaknya setiap orang berupaya untuk memberi makan bagi orang yang berbuka, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar dan kebaikan yang banyak. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang memberi makan orang yang puasa maka baginya (pahala puasa) orang itu, tanpa mengurangi pahala orang yang puasa tersebut.” (HR. Ahmad dan Tirmizi)
 Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan ruthab (korma
muda) sebelum shalat. Jika tidak ada, maka dengan beberapa tamr (korma masak). Jika tidak ada, dia cukup meminum beberapa teguk air.” (HR. Ahmad)
Jika berbuka beliau Shalallahu’alaihi wa sallam  membaca:
ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
"Telah hilang dahaga dan urat-urat telah basah dan pahalatelah tetap Insya Allah." (HR. Abu Daud dan Nasa'i)
Ketika ifthar, disunahkan berdoa. Karena bagi orang yang puasa -pada saat itu- doanya mustajabah (terkabul). Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda ,“Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak: Orang yang puasa saat dia ifthar (berbuka), Imam (pemimpin) yang adil, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
9. I'tikaf, khususnya pada sepuluh hari terakhir

ZAKAT FITRAH
Arti Zakat Fitrah (Fitr )  artinya berbuka, maksudnya adalah bulan  Ramadhan telah usai, dan kita boleh kembali tidak berpuasa. Zakat Fitrah adalah zakat yang dikeluarkan karena berakhirnya bulan Ramadan. Dalil dan Hikmahnya Zakat Fitrah disyariatkan berdasarkan umumnya nash Al-Quran, hadits shahih dan ijmak kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
 “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri." (QS. Al-A'la: 14)
Lebih dari satu orang dari kalangan salaf yang menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah Zakat Fitrah. Hal tersebut diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, dari Ibnu Khuzaimah dan lainnya. Terdapat riwayat dalam Ash-Shahihain dari Abdullah bin Umar, beliau berkata,“Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah.” (Muttafaq alaih)
Istilah asalnya adalah Zakatul Fithr. Namun di tengah masyarakat lebih dikenal dengan istilah Zakat Fitrah. Kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang sepakat (ijmak) tentang kewajiban zakat fitrah. Zakat fitrah disyariatkan sebagai pensuci jiwa dari segala kotoran, sifat bakhil dan akhlak yang buruk lainnya, penyempurna pahala, juga sebagai pensuci puasa yang mungkin berkurang pahalanya karena ucapan atau prilaku yang tak baik atau lainnya. Dia juga berfungsi untuk menghibur dan member kecukupan kepada fakir miskin di hari Id sehingga menumbuhkan rasa cinta di antara sesama. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ,“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang berpuasa dari tindakan dan ucapan buruk serta memberi makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud, Hakim dan yang lainnya)
Siapa Yang Diwajibkan?
Zakat fitrah adalah untuk mensucikan diri. Maka diwajibkan bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun wanita, merdeka ataupun budak, penduduk kota ataupun desa, berdasarkan ijmak. Juga diwajibkan mengeluarkan zakat untuk orang-orang yang wajib diberikan nafkah. Misalnya, seorang bapak wajib mengeluarkan zakat untuk istri dan anak-anaknya, walaupun mereka masih
kecil. Ibnu Umar radiallahuanhuma berkata,“Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ korma,atau satu sha’ gandum, baik kepada budak atau orang merdeka,laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orangdewasa dari kalangan muslimin. Beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya manusia untuk shalat (Id)." (Muttafaq alaih) Kekayaan dengan nishab tertentu bukan syarat diwajibkannya zakat fitrah sebagaimana pada zakat mal (harta). Siapa saja yang memiliki makanan pokok bagi diri dan keluarganya serta mereka yang wajib dinafkahinya pada hari dan malam Id, maka dia terkena kewajiban zakat fitrah. Jenis Makanan Yang Dikeluarkan Terdapat riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiallahu anhu, dia berkata, “Dahulu, kami mengeluarkannya Zakat Fitrah dalam bentuk
satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu korma atau satu sha’ aqith (keju kering) atau satu sha' zabib (korma kering)." (Muttafaq alaih)
Dalam riwayat lain beliau ,“Dahulu makanan kami adalah gandum, zabib, susu kering
dan korma.” (HR. Bukhari)
Sebaiknya dikeluarkan jenis yang paling baik dan paling bermanfaat bagi orang miskin.
Allah Ta’ala berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." (QS. Ali-Imran: 92)
Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan
Terdapat riwayat dari hadits shahih, bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam "Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’…”
Yang dimaksud adalah satu sha’ Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam yaitu sebanyak empat mud. Sedang satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan orang dewasa berukuran sedang. Satu Sha' sama dengan empat mud, dan satu mud sama dengan 675 Gram  Jadi satu Sha 'sama dengan 2700 Gram (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki.  Sedangkan menurut al-Rafi’i dan madzhab Syafi’i, sama dengan 693 1/3 dirham .Jika dikonversi satuan gram, sama dengan 2751 gram (2,75 kg) .Dari kalangan Hanbali berpendapat, satu sha' juga sama dengan 2751 gram (2,75 kg) Imam Hanafi ukuran satu sha menurut madzhab ini. lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg.
Jika lebih dari ukuran wajib di atas maka hal tersebut dihitung sebagai shadaqah.
Jumhur ulama mengharuskan zakat fitrah dikeluarkandalam bentuk makanan pokok. Namun Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan Zakat Fitrah dalam bentuk uang senilai makanan yang wajib dikeluarkan.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Waktu mengeluarkan zakat fitrah terbagi dua:
1. Waktu utama:
Dimulai sejak matahari terbenam pada malam Id hingga shalat Id. Lebih utama antara shalat Fajar dan shalat Id.
Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,“Beliau (Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam) memerintahkan agar (zakat fitrah) ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Id)."
(Mutafaq alaih)
Telah dijelaskan sebelumnya, tafsir kalangan salaf atas firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan beriman). dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (QS. Al-A’la : 14-15)
Bahwa yang dimaksud ayat ini adalah seseorang yang menyerahkan zakatnya pada hari Idul Fitri sesaat sebelum shalat.
2. Waktu yang dibolehkan
Yaitu, sehari atau dua hari sebelum Id. sebagaimana terdapat dalam shahih Bukhari: “Mereka (para shahabat) biasanya memberikan (zakat fitrah) kepada orang-orang miskin sehari atau dua hari sebelum Idul fitri.” (HR. Bukhari)
Maka hal tersebut merupakan ijmak para shahabat. Namun Imam Syafi’i berpendapat boleh menunaikan zakat fithri sejak awal bulan Ramadhan sebab adanya zakat fithri adalah karena puasa dan perayaan Idul Fithri. Jika salah satu sebab ini ditemukan, maka sah-sah saja jika zakat fithri disegerakan sebagaimana pula zakat maal boleh ditunaikan setelah kepemilikan nishob.
 Jika seseorang menunda pelaksanaannya hingga selesai shalat Id, maka dia wajib meng-qhada-nya, karenam kewajiban tersebut tidak berarti gugur hanya karena habis waktunya. Namun -menurut para ulama- dia tetapberdosa jika menunda pelaksanaannya dengan sengaja.
Kepada Siapa Zakat Fitrah Diberikan?
Dalam hadits Ibnu Abbas radiallahuanhuma, beliauberkata:
“Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi
orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan buruk dan (juga berfungsi sebagai) pemberi makan orang miskin.” (HR. Abu Daud, Hakim dan yang lainnya)
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa zakat fitrah diserahkan kepada orang-orang miskin saja.
Zakat fitrah hendaknya tidak digunakan untuk untuk hal-hal yang bersifat pembangunan materi, seperti pembangunan masjid atau sekolah, tetapi langsung diberikan kepada fakir miskin.

Beberapa Permasalahan Terkait Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat badan, bukan zakat maal (harta), tujuannya mensucikan badan. Karenanya kewajibannya tidak terkait nisab dan haul. Cukup seseorang memiliki kelebihan persediaan makan untuk dirinya dan keluarganya hari itu, dia sudah wajib mengeluarkan
zakat fitrah. Bahkan diwajibkan pula memberikan zakat kepada orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak kecil. Para ulama juga menyatakan sunnah mengeluarkan zakat fitrah bagi janin yang masih dalam kandungan, berdasarkan perbuatan Utsman bin Affan
radhiallahu'anhu yang melakukan hal tersebut.
Karena zakat fitrah adalah zakat badan, maka hendaknya dia dikeluarkan di tempat seseorang berada dengan standar yang berlaku di negeri tersebut. Jika kemudian, berdasarkan pertimbangan manfaat sebaiknya disalurkan ke daerah lain, hal tersebut tidak mengapa, sebab dibolehkan menyalurkan zakat fitrah ke daerah atau negeri lain, jika dipertimbangkan bahwa negeri lain sangat membutukkan dibanding negeri tempat dia berada.
Jika kita mengetahui langsung ada orang yang benar-benar berhak menerima zakat, lalu kita berikan secara langsung, itu tidak mengapa. Namun menyalurkan zakat  fitrah ke lembaga-lembaga penyalur zakat terpercaya lebih baik, lebih terarah dan relative lebih merata, apalagi
jika kita tidak tahu siapa yang paling berhak menerima zakat di sekitar kita.
Orang yang berhak menerima zakat fithrah, hanyalah fakir miskin. Ada sebagian ulama yang membolehkan penyalurannya ke delapan ashnaf (golongan) yang dikenal dalam zakat maal (harta). Namun berdasarkan hadits-hadits yang ada, serta maqashid syari'ah (tujuan syari'ah)
dalam ibadah ini, maka pendapat yang mengkhususkan penyalurannya kepada fakir miskin lebih kuat. Sebagian orang menyalurkan zakat fitrah kepada orang yang disebut sebagai amil, padahal dia kaya, hal ini tidak tepat. Wallahua'lam.
Mengeluarkan zakat fitrah, tidak menggugurkan kewajiban seseorang mengeluarkan zakat harta jika dia telah memiliki kriteria sebagai orang yang wajib zakatharta.

SHALAT TARAWEH
Arti Taraweh
Taraweh dalam bahasa Arab adalah kata jamak dari tarwiihah , artinya beristirahat atau
santai sejenak. Kalimat ini pada mulanya bermakna 'duduk' secara umum. Kemudian dikenal sebagai 'duduk' yang dilakukan setelah melakukan shalat empat rakaat di malam bulan Ramadhan”.
Karena pada saat itu, mereka yang shalat beristirahat sebentar dari shalatnya, mengingat panjangnya shalat yang mereka lakukan. Akhirnya istilah tersebut dilekatkan kepada nama shalat itu sendiri.
 1) Shalat Taraweh Zaman Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  dan Khulufaur Rasyidin
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha, bahwa saat masuk bulan Ramadhan, Rasulullah J shalat di masjid (Nabawi), lalu diikuti oleh beberapa orang. Kemudian beliau shalat lagi pada hari keduanya, yang mengikutinya semakin banyak. Lalu pada malam ketiga atau keempat
para shahabat sudah berkumpul (untuk shalat bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam), namun beliau Shalallahu’alaihi wa sallam  tak kunjung muncul. Di pagi harinya Rasulullah J bersabda kepada mereka: Lihat al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380, al-Mulakhash al-Fiqhi, 1/167
 “Saya melihat apa yang kalian lakukan (tadi malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar (untuk shalat) bersama kalian, hanya saja saya khawatir (shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian.” (Muttafaq alaih)
Kesimpulannya, pada awalnya shalat taraweh zaman Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dilaksanakan secara berjamaah. Kemudian tidak dilakukan secara berjamaah, karena Rasulullah J
khawatir, jika shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah terus menerus, akan turun ayat yang mewajibkannya kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak mampu melakukannya. Begitulah seterusnya hal tersebut berlanjut.
Shalat taraweh dilakukan sendiri atau berkelompok hingga Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  wafat, dan seterusnya juga berlangsung di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq .
Baru kemudian pada zaman khalifah Umar bin Khattab , pelaksanaannya dikembalikan seperti semula, yaitu dengan berjamaah.
Abdurrahman bin Abdun Al-Qory meriwayatkan,“Aku keluar bersama Umar bin Khattab di (malam) bulan Ramadhan menuju mesjid. Di sana orang-orang melakukan shalat terpisah-pisah; Ada yang shalat seorang diri, ada yang shalat mengimami beberapa orang. Menyaksikan hal tersebut Umar berkata,“Saya berpendapat, akan lebih baik jika mereka dikumpulkan dengan satu imam,” Maka beliau segera wujudkan keinginannya dengan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi orang yang shalat Taraweh. Kemudian di malam berikutnya saya keluar (menuju mesjid) dan menyaksikan orang-orang yang shalat (taraweh) dipimpin oleh seorang imam. Maka saat itu Umar berkata “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (HR. Bukhari)
Maka sejak zaman itu hingga kini, pelaksanaan shalat taraweh dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid dan telah menjadi sunnah yang diterima dan dilaksanakan kaum muslimin di seluruh dunia.|

Hukum Dan Keutamaannya
Shalat taraweh sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah). Pelaksanannya pada awal malam selama bulan Ramadhan, sesudah shalat Isya. Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail). Karena itu, keutamaan shalat taraweh dapat dinilai dari  keutamaan shalat malam yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhirakhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariat: 17-18)
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Maka, jika shalat malam secara umum memiliki keutamaan yang besar, apalagi jika shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang ada.
Hal tersebut semakin dikuatkan dengan kenyataan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya dikenal sebagai  syahrush-shiyam (bulan puasa), tetapi juga dikenal sebagai syahrul-qiyam (bulan ibadah shalat).
Maka hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam yang menerangkan tentang keutamaan puasa di bulan Ramadhan sepadan dengan keutamaan shalat malam di bulan tersebut. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,“Siapa yang puasa (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Beliau juga bersabda:
“Siapa yang beribadah (shalat) (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Sering terjadi pertentangan tentang jumlah rakaat shalat taraweh. Tidak jarang hal tersebut berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat muslim. Sesuatu yang sangat ironis. Mengingat shalat taraweh hukumnya sunah, sedangkan ukhuwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak diragukan lagi kewajibannya. Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar), yang wajib justru diabaikan .
Hal tersebut terjadi karena permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. tanpa meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan menyeluruh serta perkataan
para ulama tentang hal tersebut. Padahal para salafusshaleh melihat perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang untuk membid’ahkan atau menyatakan seseorang bukan golongannya.
Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), maka hukum yang  terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya. Sejumlah ulama berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari rakaat yang boleh dikerjakan. Sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam ,“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di antara kalian khawatir (datang) waktu shubuh, makahendaklah dia shalat (witir) satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan.” (Muttafaq alaih)
Hadits ini Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  sampaikan ketika menjawab pertanyaan seseorang tentang pelaksanaan shalat malam.
Maka dari jawaban tersebut ada dua hal yang dapat disimpulkan:
1. Shalat malam hendaklah dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat melakukan salam.
2. Shalat malam tidak ada batasan maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam sampaikan masalahnya, mengingat pertanyaan orang tersebut bersifat umum tentang shalat malam, baik tata caranya maupun  jumlah  rakaatnya.
Adapun hadits Aisyah radhiallahu anha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Aisyah radiallahuanha berkata, “Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, jangan Tanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq alaih)
Dalam hadits ini, dengan gamblang Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang  jumlah  rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, baik di bulan Ramadhan
ataupun di luar bulan Ramadhan, yaitu: 11 rakaat.
Namun yang patut diperhatikan adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat taraweh) maksimal sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari itu dianggap menyalahi sunnah Rasul. Karena dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikianlah shalat malam yang Rasulullah  Shalallahu’alaihi wa sallam lakukan. Sehingga para ulama berkesimpulan bahwa apa yang disampaikan Aisyah radhiallahuanha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  dalam
bilangan rakaat shalat malam dan tidak ada petunjuk bahwa beliau  melarang  pelaksanaan  shalat malam lebih dari itu. Yang menguatkan pendapat tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan Aisyah radhialluanha termasuk
yang meriwayatkan Dari Aisyah radhiallahuanha, dia berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  shalat pada malam hari sepuluh rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat.” (HR. Abu Daud)
Dari Abu Salamah dia berkata, "Aku bertanya tentang shalat Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam. Maka dia berkata, “Beliau shalat tiga belas rakaat; Shalat delapan rakaat, kemudian shalat witir. Kemudian shalat dua rakaat dalam keadaan duduk, jika hendak ruku' beliau bangkit, lalu ruku'. Kemudian beliau shalat dua rakaat antara azan dan iqamah shalat  Shubuh.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya, yang utama shalat Taraweh dilakukan 11 rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut tidaklah mengapa.
Bagi makmum, yang perlu diketahui adalah hendaklah dia melakukan shalat taraweh bersama imam hingga selesai (apakah imam melakukannya 11 atau 20 rakaat), berdasarkan hadits,“Seseorang, jika dia shalat bersama imam hingga selesai,maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail.” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)
Disamping hal tersebut lebih dekat kepada kesatuan dan persatuan. Jika terjadi perbedaan pendapat dalam suatu masjid masalah ini, sebaiknya diatasi dengan semangat ukhuwah
islamiyah dan memperjelas permasalahannya.
|
Beberapa Hukum Terkait Dengan Shalat Taraweh
1. Hendaknya shalat Taraweh dilakukan dengan tenang dan khusyu. Memperhatikan thuma’ninah, syarat dann rukunnya, serta tidak tergesa-gesa. Semakin lama shalatnya, maka semakin baik nilainya. Karena sesungguhnya nilai shalat ini terletak pada lamanya dia dilakukan. Karena itu pada zaman Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam mereka beristirahat di pertengahannya untuk menghilangkan letih. Namun penting juga dalam hal ini memperhatikan kondisi orang yang tua renta atau mereka yang lemah.
2. Betapapun besarnya kedudukan shalat Taraweh, tetap saja shalat Fardhu lebih utama kedudukannya. Karena itu, sebesar apapun perhatian seseorang untuk shalat Taraweh, tidak boleh mengalahkan perhatian dia dalam melaksanakan shalat Fardhu.
3. Tidak ada surat-surat khusus yang dibaca setelah membaca surat al-Fatihah. Bahkan para ulama menganjurkan agar imam membaca seluruh Al-Quran sejak awal  hingga akhir Ramadhan, agar makmum mendengarkan semua isi al-Quran. Namun tidak mengapa jika dia
membaca semampunya. Dibolehkan bagi imam, jika dia tidak hafal Al-Quran, memegang mushaf saat shalat. Namun bagi ma’mum selayaknya hal tersebut tidak dilakukan.
4. Jika seseorang datang ke mesjid, sedangkan pelaksanaan shalat Taraweh telah dimulai dan dia belum melaksanakan shalat Isya. Maka dia harus melakukan shalat Isya terlebih dahulu sebelum shalat Taraweh.
5. Jika seseorang terhalang melakukan shalat Taraweh secara berjamaah, maka hal tersebut tidak menghalanginya untuk shalat taraweh seorang diri di tempatnya.
6. Pada malam sepuluh hari terakhir (Al-Asyrul Awakhir) dianjurkan meningkatkan ibadah, khususnya shalat malam. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara berjamaah pada akhir malam.
Aisyah radhiallahuanha berkata ,“Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam biasanya jika telah memasuki sepuluh (hari terakhir bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan kainnya (tidak menggauli isterinya).” (Muttafaq alaih)
Aisyah radhiallahuanha juga berkata:
“Adalah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhir melebihi kesungguhan pada selainnya.” (HR. Muslim)
Kitapun disunnahkan pada sepuluh hari terakhir ini untuk melakukan i’tikaf, yaitu tinggal dan diam di mesjid dengan niat ibadah, agar lebih total beribadah kepada Allah dan tidak terganggu dengan kesibukan dunia. Perkara ini hendaknya mendapat perhatian serius, karena yang sering terjadi di tengah masyarakat justru sebaliknya. Yaitu semakin berkurangnya aktifitas ibadah
di hari-hari terakhir bulan Ramadhan dan berganti dengan kesibukan duniawi yang terkait dengan penyambutan Idul Fitri.

SHALAT WITIR
Arti dan Kedudukannya
Witir  berarti ganjil. Maka shalat ini dinamakan Witir karena jumlah rakaatnya bersifat ganjil.
Shalat witir bukan shalat yang khusus dilaksanakan pada bulan Ramadan saja, tetapi dia adalah shalat sunnah yang sangat dianjurkan (Sunah Mu’akkadah) untuk dilakukan seorang muslim setiap malam.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Witir merupakan tuntutan terhadap setiap muslim. Siapa yang ingin melakukan witir sebanyak tiga rakaat, maka lakukanlah, dan siapa yang ingin melaksanakan witir satu rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Waktu sholat Witirn dapat dilakukan setelah shalat Isya hingga masuk waktu Subuh.
Rasulullah  bersabda,“Sesungguhnya Allah telah menambahkan untuk kalian sebuah shalat yang lebih baik bagi kalian dari onta merah. Yaitu Witir, hendaklah kalian melakukannya sejak selesai shalat Isya hingga terbit Fajar.” (HR. Ahmad)
Shalat Witir hendaknya dijadikan sebagai penutup shalat di malam hari. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, “Akhirilah shalat kalian di waktu malam dengan Witir.” (Muttafaq alaih)
Jika seseorang tidak yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia melakukan Witir sebelum tidur. Adapun jika dia yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia witir di akhir malam dan menutup shalat malamnya dengan witir.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, "Siapa yang khawatir tidak dapat bangun malam, hendaknya dia shalat Witir pada awalnya. Siapa yang semangat untuk bangun di akhir malam, maka dia shalat Witir di akhirnya. Karena shalat di akhir malam dihadiri (malaikat) dan itu lebih utama." (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
Namun jika dia sudah melakukan Witir sebelum tidur, kemudian dia dapat bangun lagi sebelum Subuh, dia tetap boleh melakukan shalat malam, sedangkan witirnya cukup dengan yang sudah dilakukan sebelum tidur. Hal tersebut dibolehkan karena terdapat riwayat bahwa Raslullah Shalallahu’alaihi wa sallam  kadang masih melakukan shalat setelah shalat Witir. Adapun pesan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam agar kita menjadikan witir sebagai akhir shalat di malam hari, adalah bersifat anjuran, bukan keharusan. Yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan shalat witir lagi pada malam yang sama, karena Rasululah Shalallahu’alaihi wa sallam  bersabda
“Tidak ada dua Witir dalam satu malam” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)
Jumlah Rakaat dan Sunahnya
Jumlah rakaat witir  minimal satu rakaat, selebihnya dapat dilakukan tiga rakaat hingga sebelas rakaat. Yang penting bilangannya ganjil.
Jika dilakukan tiga rakaat, ada dua cara yang dapat dilakukan;
- Dilakukan tiga rakaat langsung, lalu duduk tahiyat pada rakaat terakhir dan salam.
- Dilakukan dua rakaat terlebih dahulu, lalu tahiyat pada rakaat kedua kemudian salam. Kemudian lakukan shalat satu rakaat lagi, lalu tahiyat, kemudian salam.
Jika menjadi imam, hendaknya memperhatikan kebiasaan jamaah dalam melakukan shalat Witir agar tidak terjadi kebingungan, atau memberitahunya sebelum shalat. Tidak melakukan shalat Witir seperti shalat Maghrib (melakukannya sebanyak tiga rakaat dengan dua tasyahud. Sebab ada riwayat yang melarang untuk menyamakan shalat Witir dengan shalat Maghrib.
Disunnahkan setelah membaca surat al-Fatihah- pada rakaat pertama membaca surat Al-A’la. Sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas. Kemudian dilanjutkan dzikir setelah witir :
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Subhaanal malikil qudduus –dibaca 3x- [artinya: Maha Suci Engkau yang Maha Merajai lagi Maha Suci dari berbagai kekurangan]” (HR. Abu Daud no. 1430, An-Nasai no. 1735, dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu Thahir mengatkaan bahwa sanad hadits ini shahih)
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Allahumma inni a’udzu bi ridhaoka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” -dibaca 1x- [artinya: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An-Nasa’i no. 1748 dan Ibnu Majah no. 1179. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
فَإِذَا فَرَغَ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari witirnya, beliau membaca ‘subhaanal malikil qudduus (sebanyak tiga kali)’, beliau memanjangkan di akhirnya.” (HR. An-Nasa’i no. 1700, Ibnu Majah no. 1182. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu ‘Abdirrahman bin Abza, dari bapaknya, ia berkata,
وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
“Jika mengucapkan salam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca, ‘Subhaanal malikil qudduus’ sebanyak tiga kali lalu beliau mengeraskan suaranya pada ucapan yang ketiga.” (HR. An-Nasa’i no. 1733 dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Cara membacanyaadalah mengeraskan bacaan terakhir berbeda dengan bacaan “subhaanal malikil qudduus” di pertama dan kedua, memanjangkan bacaan “qudduus” dengan empat atau enam harakat.
Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ :« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِى الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ »
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, beliau mengucapkan, ‘Subhaanal malikil qudduus’ sebanyak tiga kali dan di suara ketiga, beliau memanjangkan suaranya. Lalu beliau mengucapkan, ‘Rabbil malaikati war ruuh.’ ” (HR. As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi 3: 40 dan Sunan Ad-Daruquthni 4: 371. Tambahan ‘rabbil malaikati war ruuh’ adalah tambahan maqbulah yang diterima).
Sehingga doa setelah witir bisa pula dengan ‘subhaanal malikil quddus’ sebanyak 3 kali lalu bacaan terakhir dikeraskan atau dipanjangkan lalu ditambahkan dengan rabbil malaikati war ruuh.
Disunnahkan melakukan qunut pada rakaat terakhir dalam shalat Witir, baik sebelum ruku ataupun sesudah ruku. Qunut ini disunahkan dalam shalat Witir, baik di bulan Ramadan atau di luar bulan Ramadan. Sebagian ulama menyatakan bahwa qunut dilakukan dalam rakaat terakhir shalat Witir sejak pertengahan akhir di bulan Ramadan.Qunut dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruku’. qunut sebelum ruku’ diriwayatkan dalam hadits  Ubay bin Ka’ab:”bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku’.( HR Abu Dawud, Ibnu Majah)
LAILATUL QADAR
Lailatul Qadar adalah malam yang sangat mulia, malam yang lebih baik dari seribu bulan, malam diturunkannya al-Quranul-Karim ke Lauhil Mahfuz. Malam ini adalah malam yang penuh barokah, karena banyaknya kebaikan dan keutamaan di dalamnya.
Malam ini juga malam yang mustajabah karena setiap doa yang dipanjatkan akan dikabulkannya oleh Allah Ta’ala. Pada malam itu malaikat-malaikat akan turun ke bumi membawa segala keberkahan dan karunia dari Allah Ta’ala.
Maka seorang muslim yang beribadah pada malam ini dengan ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai ajaran Rasulullah  Shalallahu’alaihi wa sallam, dosa-dosanya akan diampuni oleh-Nya.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda ,“Siapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr dengan iman dan penuh harap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaq alaih)
Tidak ada petunjuk persis kapan Lailatul Qadar datang. Yang jelas dia datang pada malam bulan Ramadhan. Hikmahnya adalah agar kaum muslimin menghidupkan semua malam di bulan Ramadhan dengan ibadah dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala, jangan sampai ada satu malam pun yang dia lewatkan tanpa ibadah,  harapan dapat bertemu dan mendapatkan kemuliaan dari
Lailatul Qadar.
Namun demikian, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam telah memberikan perkiraan kepada kita tentang kemungkinan datangnya malam tersebut.
Kemungkinan pertama adalah bahwa dia datang pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda“Carilah Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.” (Muttafaq alaih)
Oleh karena itu pada hari-hari ini kita dianjurkan untuk meningkatkan ibadah kita kepada Allah Ta’ala. Selanjutnya dari sepuluh hari terakhir tersebut, kemungkinanyang lebih dekat adalah pada malam-malam ganjil. Sebagai-mana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam,
“Carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Rama-dhan.” (HR. Bukhari)
Dari malam-malam ganjil tersebut, kemungkinan yang paling dekat adalah malam-malam ganjil pada tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat bahwa sejumlah shahabat ada yang bermimpi melihat Lailatul Qadr pada malam tujuh hari terakhir, dan hal tersebut disetujui Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam, sehingga beliau bersabda,“Siapa yang ingin mendapatkannya, hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir (bulan Ramadhan).” (Muttafaq alaih)
Dan dari tujuh hari terakhir tersebut, yang paling dekat adalah pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan, sebagai-mana perkataan Ubay bin Ka’ab ,“Demi Allah, saya mengetahui kapan malam tersebut (Lailatul Qadar) yang kita diperintahkan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam untuk beribadah di dalamnya, dia adalah malam kedua puluh tujuh (Ramadhan).” (HR. Muslim)
Namun, yang paling utama adalah jika semua malam-malam Ramadan kita isi dengan  ibadah kepada Allah Ta’ala, baik berupa shalat, tilawah Al-Quran, berzikir, i’tikaf, khususnya pada sepuluh malam terakhir. Jika kita bertemu dengan malam Lai-latul Qadar, kita dianjurkan membaca:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdo’alah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku  (HR.Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad)
I'TIKAF
I’tikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian i’tikaf menurut istilah dikalangan para ulama terdapat perbedaan. Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat i’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i) i’tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah. Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan I’tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
Landasan Hukum Syariat I'tikaf dinyatakan dalam Alquran, hadits dan perbuatan Rasulullah J serta para sahabat. Dalam surat Albaqarah ayat 125 Allah Ta'ala berfirman,
"…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang
I'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." (QS. Albaqarah: 125)
Aisyah radhiallahu anha berkata,
"Sesungguhnya Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam  melakukan I'tikaf pada sepuluh hari
terakhir Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I'tikaf sesudahnya." (Muttafaq alaih)
Para ulama sepakat bahwa I'tikaf adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk I'tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya.
Sedangkan menurut pendapat yang kuat tentang lama i'tikaf dan waktunya bahwa lama I'tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, bahwa beliau menyampaikan kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam   bahwa dirinya di masa jahiliah pernah bernazar untuk I'tikaf di Masjidilharam selama satu malam, maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikan nazarmu." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa I'tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di masjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak ada landasan dalilnya, juga tidak sesuai dengan makna I'tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam waktu yang lama.
Bahkan Imam Nawawi yang bermadzhab Syafiiyah berpendapat bahwa I'tikaf boleh dilakukan walau sesaat tetap menganjurkan agar I'tikaf dilakukan tidak kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  dan para shahabat bahwa mereka melakukan I'tikaf kurang dari sehari.
Sedangkan lama maksimal I'tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  di tahun wafatnya pernah melakukan I'tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Adapun waktu I'tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah  Shalallahu’alaihi wa sallam  pernah melakukan I'tikaf di bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah I'tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadan (HR.Muslim). Namun waktu I'tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i'tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum'at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidilharam, Masjid Nabawi
dan Masjidil Aqsha.
Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa I'tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah  (Mushannaf Abdurrazzaq,). Disamping, jika I'tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i'tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat I'tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.
Yang dimaksud masjid sebagai tempat I'tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi  masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid. Lebih baik lagi jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta I'tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur dan menyimpan barang bawaan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa I'tikaf dimulai sejak sebelum terbenam matahari malam 21 Ramadan. Berdasarkan kenyataan bahwa malam 21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan termasuk malam ganjil yang diharapkan turun Lailatul Qadar. Ada juga yang berpendapat bahwa awal I'tikaf dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadan. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallah ‘anha bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  jika hendak I'tikaf, beliau shalat Fajar, setelah itu beliau masuk ke tempat I'tikafnya (HR. Muslim).
Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa I'tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu I'tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan.
Wanita dibolehkan melakukan I'tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  melakukan I'tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan I'tikaf (HR. Bukhari)
Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I'tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas.
Orang yang sedang I'tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi
mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid. Aisyah radhillahu anha berkata, "Adalah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada
kebutuhan jika sedang i'tikaf." (Muttafaq alaih)
Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang  I'tikaf  boleh keluar masjid adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area
masjid.
Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I'tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali I'tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i'tikaf. Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid
tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka I'tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat I'tikaf lagi dari awal. Bahkan, orang yang sedang i'tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Daud).
Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I'tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan I'tikaf.. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.
Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I'tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid.
Seseorang dibolehkan membatalkan I'tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya. Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang. Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah,
khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah, talabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan  i'tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam  dikunjungi Safhiah binti Huyay, isterinya, saat beliau I'tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat.
Dilarang saat I'tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya. Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.

IDUL FITRI
Idul Fitri merupakan hari raya umat Islam sekaligus menjadi syi’arnya. Kaum muslimin hendaknya gembira menyambut kedatangannya, namun tetap dengan adab-adab yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Adab-adab Yang Disyariatkan
1. Bersyukur atas nikmat dirinya dapat melalui bulan Ramadhan hingga akhir dan dapat menunaikan ibadah di dalamnya.
2. Disyariatkan takbir sejak matahari terbenam dimalam Idul Fitri, hingga dilaksanakan shalat Id. Disunnahkan bagi orang laki untuk mengeraskan bacaannya.
3. Mandi dan mengenakan wewangian serta memakai pakaian yang paling bagus, namun tidak berlebih-lebihan dan tidak melanggar syariat, seperti membuka aurat dan semacamnya.
4. Makan korma dengan ganjil sebelum berangkat shalat.
5. Ikut shalat dan mendengarkan khutbah bersama kaum muslimin. Bahkan wanita haidh juga diperintahkan untuk hadir bersama meskipun tidak shalat dan dijauhkan dari tempat shalat.
6. Disunnahkan menempuh jalan yang berbeda antara pergi dan pulang shalat id.
7. Dibolehkan untuk mengucapkan selamat lebaran satu sama lain. Misalnya dengan mengucapkan :

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ


 “Semoga Allah menerima amal kita semua.”
8. Diharamkan berpuasa pada hari itu (hari pertama bulan Syawal)

Perkara Yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam Pada Hari Id
1. Berlebih-lebihan dalam hal pakaian dan makanan. Apalagi jika disertai menyombongkan diri.
2. Mengendurkan ibadah dengan drastis, seperti melalaikan shalat dan tidak berjamaah bagi kaum laki-laki.
3. Menyepelekan perkara-perkara maksiat dengan alasan Idul Fitri.

Sebagai pelengkap ibadah Ramadan, maka disunahkan berpuasa pada bulan Syawal selama enam hari. Yang paling utama dilakukan secara berurutan pada hari kedua dan seterusnya di bulan Syawal. Akan tetapi tidak mengapa jika dilakukan secara acak selama bulan Syawal. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda’“Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (nilainya) bagaikan puasa setahun.” (HR. Muslim)
Namun jika seseorang memiliki kewajiban untuk meng-qadha puasa Ramadhan, maka hendaknya dia meng-qadha puasanya terlebih dahulu, baru setelah itu dia dapat puasa sunah Syawal. Akan tetapi, jika qadhanya terlalu banyak, sehingga sulit baginya untuk menyelesaikannya di bulan Syawal, maka sebagian ulama membolehkan baginya untuk puasa Syawal terlebih dahulu baru setelah itu puasa qadha. Karena pada dasarnya, qadha puasa Ramadan bersifat luas, tidak diharuskan dilakukan pada bulan Syawal. Wallahua’lam.

Referensi:
1. Tafsir Al-Quranul Azhim, Ibnu Katsir.
2. Shahih Bukhari
3. Shahih Muslim
4. Sunan Abu Daud
5. Sunan Tirmizi
6. Sunan Ibnu Majah
7. Sunan An-Nasai
8. Musnad Ahmad.
9. Fathul Bari, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
10. Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawi.
11. Tuhfatul Ahwazi, Syarah Jami Tirmizi, Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri.
12. Subulus-Salam Syarah Bulughul Maram, Imam Ash-Shan'ani.
13. Al-Mughni, Ibnu Qudamah.
14. Al-Majmu, Syarah Muhazab, Imam An-Nawawi.
15. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, Wazarah Al-Auqaf Wasy-Syu'uun Al-Islamiyah, Kuwait.
16. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, Ar-Ri'asah Al-Ammah Lil-Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta, Arab Saudi.
17. Fiqhus-Sunnah, Sayyid Sabiq.
18. Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
19. Majmu Fatawa Ibn Baz.
20. Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin.
21. Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, Syekh Soleh bin Fauzan.
22. Al-Ilmam Bi Syai'in Min Ahkamisshiyam, Syekh Abdul Aziz Ar- Rajihi.
23. Syarah Bulughul Maram, Syekh 'Athiah bin Muhammad Salim.
24. Al-Jami Li Ahkamish-Shiyam, Mahmud bin Abdullatif Al-Uwaidhah.
25. Tazkiratush-Shuwwaam, Abdullah bin Shaleh Al-Qushair.
26. Hiwar fil I'tikaf Ma'a Samahatissyekh Al-Allamah Abdullah bin
Jibrin, rahimahullah,
27. Fiqhul I'tikaf, Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih.
28. Al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380,
29. Duruus Ramadhaniah, Waqafaat Li as-Sho’imin, Salman bin Fahd al-Audah
30. Shalatul-Mu’min, DR. Sa’id Ali bin Wahf al- Qahthani, hal. 326
31. Fiqh Nawazil Ash-Shiyam, DR. Abdullah bin Sakakir.
33. Fiqhul Islam wa Adhilatuhu, DR  Wahbah Az Zuhaili 
34. Kifayatul Akhyar, Al-Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-Husaini.

Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...