Definisi
Puasa Dan Hukumnya
Puasa dalam
bahasa Arab disebut
As Shiyam, menurut
bahasa berarti: Menahan ( Al Imsak) .Sedangkan menurut
istilah, puasa adalah:
Ibadah kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan sesuatu yang membatalkan
sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.Menahan makan dan minum untuk
tujuan lain selain ibadah, seperti pengobatan atau semacamnya, tidak dapat
dinamakan puasa, meskipun
istilah puasa biasa
dipakai untuk hal-hal semacam itu.
Puasa Ramadan
merupakan salah satu
rukun Islam yang diwajibkan atas
setiap muslim yang baligh, berakal, mampu melakukannya dan menetap (tidak
sedang safar). Allah Ta’ala berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam
dibangun di atas lima perkara: (di
antaranya disebutkan) puasa Ramadhan.”
(Muttafaq alaih)
Keutamaan
Bulan Ramadan dan Puasa
1. Al-Quran
diturunkan di bulan Ramadan
Firman Allah
Ta’ala: “Bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya
diturunkan (permulaan)
Al-Quran." (QS. Al-Baqarah : 185)
2. Di
dalamnya terdapat Lailatul Qadar
Lailatul
Qadar adalah malam yang nilainya lebih utama di sisi Allah Ta’ala dari seribu
bulan. Allah Ta'ala befirman, “Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadar: 1-3)
3. Doa orang
yang puasa mustajabah (terkabul) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ada tiga doa
yang dikabulkan: Doa orang yang
puasa, doa orang yang safar, dan doa orang yang
dizalimi.” (HR. Baihaqi)
4. Setan
diikat, pintu surga
dibuka dan pintu
neraka ditutup Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika datang
Ramadhan, pintu surga dibuka, pintu
neraka ditutup dan setan-setan diikat.” (Muttafaq alaih)
5. Puasa melindungi kesucian diri (Iffah)
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para
pemuda; siapa di
antara kalian yang
sudah mampu, maka
menikahlah, karena menikah
dapat menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu
(menikah), maka hendaklah dia puasa, karena puasa merupakan pelindung.”
(Muttafaq alaih)
6. Puasa
sebagai tameng dari Neraka
Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasa adalah
tameng, orang yang
sedang puasa berlindung dengannya dari api neraka.” (HR.
Ahmad)
7. Puasa
Tidak Ada Tandingannya
Dari Umamah
radiallahu anhu dia
berkata, "Aku
berkata, 'Ya Rasulullah
tunjukkanlah kepadaku perbuatan
yang dapat memasukkan aku ke dalam surga.’
Maka beliau
bersabda, “Hendaklah kamu
puasa, tidak ada
yang sebanding lengannya” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
8. Puasa dan
Al-Quran Memberi syafaat
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Puasa dan Al-Quran menjadi syafaat kepada
seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata, 'Ya Rabb, aku telah
mencegahnya dari makanan
dan syahwat, jadikanlah aku
syafaat baginya.' Dan
Al-Quran berkata, “Ya
Rabb, aku telah
mencegahnya dari tidur
di waktu malam,
jadikanlah aku syafaat baginya.” Dia
berkata: “Keduanya dapat
memberi syafaat.”(HR. Ahmad)
9. Pintu
Ar-Rayyan bagi yang puasa
Rasulullah
Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, di
surga terdapat pintu
bernama: Ar-Rayyan.
Mereka yang
puasa akan memasukinya
pada hari kiamat.
Tidak ada seorang pun
yang masuk melaluinya
selain mereka. Jika mereka
telah masuk, maka
pintu itu pun
ditutup dan tidak ada seorang pun yang memasukinya.” (Muttafaq alaih)
10. Ganjaran
yang tidak terbatas
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Rabb kalian berfirman, "Setiap kebaikan akan dibalas sepuluh
kebaikan hingga tujuh
ratus kali lipat.
Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya.” (HR. Tirmizi)
Karena puasa
sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Dan
orang sabar, Allah
nyatakan dalam Al-Quran
akan dibalas tanpa batas. "Sesungguhnya, hanya
orang-orang yang bersabarlah
yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)
11. Puasa
khusus untuk Allah Ta’ala
Allah Ta’ala
berfirman (hadits qudsi): “Puasa untuk-Ku
dan Akulah yang
akan
membalasnya. Dia meninggalkan syahwat
dan makan-minumnya karena-Ku.” (HR. Muslim)
12. Bau
mulut orang puasa
lebih harum dari
wangi minyak kesturi
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bau
mulut orang yang
puasa lebih harum
di sisi Allah
dari wangi
minyak
kesturi.” (HR. Bukhari)
13. Ampunan
atas dosa yang telah lalu
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang
puasa pada bulan
Ramadhan dengan iman
dan harapan mendapatkan pahala
maka akan diampuni
dosadosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Pembagian
Manusia Di Bulan Ramadan
1. Muslim,
balig, berakal dan
menetap: Wajib baginya berpuasa, jika mampu dan tidak
memiliki halangan.
2. Anak kecil yang belum balig: Tidak diwajibkan berpuasa. Namun walinya agar melatihnya berpuasa.
3. Tidak mampu puasa karena sebab yang tetap:
Seperti orang tua renta dan
orang sakit yang tidak ada
harapan sembuh. Dia boleh
berbuka, dan setiap
hari yang puasanya dia
tinggalkan, diganti dengan memberi makan seorang miskin.
4. Orang
sakit yang ada
harapan sembuh: Jika
berat baginya berpuasa dia
dapat berbuka, namun
harus menggantinya (qadha) setelah sembuh.
5. Wanita
haid dan Nifas:
Tidak boleh baginya
berpuasa, namun dia
wajib mengganti puasa
yang ditinggalkan .
6. Wanita
hamil atau menyusui:
Jika berat baginya berpuasa karena
hamil atau menyusui
atau khawatir akan kondisi
anaknya, dia dapat
berbuka dan menggantinya tatkala keadaannya sudah pulih
dan kekhawatirannya telah hilang.
7. Musafir
(orang yang pergi jauh): Dia boleh
berpuasa atau berbuka sesuai keinginannya. Akan tetapi jika berat
dan lelah maka
berbuka lebih utama.
Bahkan jika membahayakan dirinya,
dia wajib berbuka.
Jika tidak berpuasa, dia harus
menggantinya, baik safarnya bersifat sementara seperti umrah atau bersifat
tetap seperti sopir angkutan luar kota evaluasi
sejauh mana seseorang
telah melaksanakan agenda
kebaikannya sesuai target
yang telah dicanangkan.
3. Berdoa
Seseorang diperintahkan
untuk mengusahakan agar dirinya selalu berada dalam ibadah
kepada Allah. Namun pada akhirnya, taufiq
dari Allah yang
paling menentukan. Maka hendaknya
dia berdoa semoga
Allah memberinya kemudahan
dalam berpuasa dan
beribadah di dalamnya lebih baik
dari bulan-bulan sebelumnya, serta
melakukan setiap perbuatan
yang diridhai-Nya dan dijauhkan
dari segala sesuatu
yang dapat merusak puasanya, atau
mengurangi pahalanya.
Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan
satu riwayat yang menunjukkan semangat para sahabat dalam menyambut
Ramadhan. Ibnu Rajab menyebutkan
keterangan Mu’alla bin Al-Fadhl ulama tabi’ tabiin yang mengatakan, “Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang
Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan.
Kemudian, selama enam bulan sesudah ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima
amal mereka selama bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif)
Satu harapan yang luar biasa.
Karena mereka menilai, Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Sehingga
mereka tidak akan menjadikannya kesempatan yang sia-sia. Kemudian Al-Hafidz Ibnu Rajab
menyebutkan salah satu contoh doa yang mereka lantunkan. Diriwayatkan dari
Yahya bin Abi Katsir seorang ulama
tabi’in , bahwa beliau mengatakan, Diantara doa sebagian sahabat
ketika datang Ramadhan,
اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى
رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai
Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan
Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)
Kedua, ada satu doa yang
dianjurkan untuk dibaca ketika masuk ramadhan. Doa itu adalah doa melihat
hilal. Akan tetapi sejatinya doa ini adalah doa umum, berlaku untuk semua awal
bulan, ketika seseorang melihat hilal dan tidak khusus untuk bulan ramadhan. Teks doa itu,
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ
أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ،
وَالتَّوْفِيقِ لِمَا نُحِبُّ وَتَرْضَى، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ
Allahu akbar, ya Allah jadikanlah
hilal itu bagi kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan
islam, dan membawa taufiq yang membimbing kami menuju apa yang Engkau cintai
dan Engkau ridhai. Tuhan kami dan Tuhan kamu (wahai bulan), adalah Allah.” (HR. Ahmad).
Penentuan
Awal Dan Akhir Ramadan
Penetapan awal
dan akhir Ramadan berdasarkan petunjuk
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam, terdapat dua cara secara berurutan. Cara pertama
harus digunakan dahulu.
Jika terhalang, baru kemudian
menggunakan cara kedua.
Kedua urutan
tersebut adalah;
1. Ru'yatul Hilal.
Ru'yatul hilal
adalah terlihatnya hilal
(bulan sabit di awal
bulan) tepatnya di
awal malam setelah
maghribtanggal 29 bulan hijriah.
2. Menyempurnakan bilangan
bulan hijriah menjadi
30 hari.
Langkah kedua
ini diambil apabila langkah pertama, ru'yatul hilal
terhalang. Seperti karena
mendung, kabut, dsb. Penentuan 30
hari, karena jumlah hari dalam bulan bulan hijriah maksimal hanya 30 hari.
Ketentuan ini
berdasarkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda ,"Berpuasalah kalian
(menetapkan awal Ramadan)
setelah melihat (hilal) dan
berbukalah kalian (menetapkan
akhir Ramadan) setelah melihat
hilal. Jika kalian
terhalang mendung, maka
sempurnakan (bilangan) Sya'ban
30 hari.”(Muttafaq alaih)
Berbagai
riwayat lainnya seputar masalah ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, semasa hidupnya
menetapkan awal Ramadan
dan mengumumkannya setelah menerima laporan ada yang melihat hilal (ru'yatul hilal).
Karenanya, jumhur ulama berpendapat demikian.
Hanya saja,
yang perlu ditekankan
di sini adalah bahwa masalah penetapan awal dan akhir
Ramadan dan mengumumkannya, bukanlah
wewenang individu atau kelompok dalam sebuah
negeri Islam. Tetapi
dia adalah wewenang penguasa
jika mereka telah berusaha menetapkannya
sesuai dengan kaidah-kaidah
syar'i. Agar masyarakat terhindar
dari kesimpangsiuran informasi
dan
kekacauan.
Maka sebagai
masyarakat, hendaknya mengikuti
keputusan pemerintah yang telah berupaya
menetapkan awal dan akhir
Ramadan berdasarkan ketentuan
syari. Apalagi jika pemerintah
telah membentuk kepanitiaan khusus untuk
itu. Walaupun keputusannya
berbeda
dengan
negeri-negeri Islam lainnya.
Pandangan
seperti ini dikenal dengan istilah ikhtilaful mathali (perbedaan
tempat terbit hilal).
Yaitu bahwa setiap negeri boleh
menentukan awal dan akhir Ramadan sesuai
terbitnya hilal di
negerinya, walaupun berbeda dengan negeri Islam lainnya.
Adapun pandangan
lainnya dikenal dengan
istilah wihdatul mathali'
(kesatuan mathla') maksudnya penyeragaman ketetapan.
Yaitu, jika ada
satu negeri yang
telah melihat hilal dan
diumumkan, maka negeri-negeri
lain hendaknya
mengikutinya tanpa
memperdulikan apakah hilal di
negerinya terlihat atau tidak. Pendapat
ini cukup kuat pula dalil dan argumentasinya.
Namun,
pendapat yang dikuatkan sebagian ulama dan kini dipraktekkan di negeri-negeri
Islam adalah ikhtilaful mathali'. Di
samping hal ini lebih mendatangkan kesatuan. dan keutuhan di tengah masyarakat,
juga sesuai dengan sabda Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam, "Puasa
adalah di hari
kalian berpuasa, dan
berbuka (berlebaran) adalah di
hari kalian berbuka, dan berkurban adalah di hari kalian berkurban." (HR.
Tirmizi)
Juga terdapat
dalam riwayat bahwa
pada masa Mu'awiyah, kaum
muslimin yang berada
di Syam berbeda awal Ramadannya dengan yang berada di
Madinah. Ibnu Abbas berkomentar tentang hal tersebut, "Demikianlah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita." (HR. Muslim)
Hal ini
juga berlaku bagi
pendatang yang tinggal
di negara-negara tersebut. Hendaknya
awal dan akhir Ramadan
mengikuti pengumuman negara
tempat dia tinggal saat itu,
bukan negara asalnya.
Adapun bagi mereka yang tinggal di negeri non
muslim yang pemerintahnya
tidak memperdulikan masalah ru'yatul hilal,
maka mereka dapat
berpedoman pada
lembaga-lembaga
Islam yang dipercaya dalam menetapkan
awal dan akhir
Ramadan dengan ketentuan
syar'i.
Atau jika
tidak ada, mereka
dapat berpedoman dengan negeri-negeri Islam yang mereka
percaya pengamalannya
terhadap ajara
Islam atau penetapan
awal dan akhir bulannya ditentukan berdasarkan
petunjuk syariat.
Larangan Berpuasa
Sehari Dua Hari
Sebelum
Ramadan Dan
Pada Hari Yang Meragukan
Terdapat
larangan berpuasa pada sehari atau dua hari sebelum Ramadan, berdasarkan hadits
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, "Jangan kalian mendahulukan
Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua
hari (sebelumnya). Kecuali
seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan
puasanya pada hari itu. Maka
hendaklah ia berpuasa." (Muttafaq alaih)
Larangan ini
berlaku bagi orang
yang melakukan puasa dengan
niat hati-hati kalau
hari-hari tersebut termasuk Ramadan.
Sebab, yang diperintahkan
adalah memastikan datangnya bulan
Ramadan dengan terlihatnya hilal Ramadan. Kalau hilal tidak
terlihat, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi tiga puluh hari berdasarkan
riwayat shahih yang telah disebutkan di atas.
Adapun jika
hari itu bertepatan
dengan hari-hari sunnah berpuasa
yang biasa dia
lakukan (seperti Senen dan
Kamis), atau dia
berpuasa pada hari
itu karena hendak membayar qadha puasanya, atau nazar
atau kaffarat, maka dibolehkan.
Hikmah pelarangan ini adalah agar
ada pemisah antara puasa Ramadan yang fardhu dengan puasa-puasasunah sebelum dan
sesudahnya. Disamping menunjukkan
bahwa waktu
ibadah bulan Ramadan sudah tetap awal dan akhirnya, tidak dapat
ditambah atau dikurang. Maka, dilarang puasa sehari atau dua hari
sebelumnya
dan dilarang pula puasa sehari
sesudahnya, yaitu pada hari Idul Fitri. Adapula larangan berpuasa pada
hari yang dikenal
dengan istilah Yaumusy-Syak . Yaitu,
jika pada sore tanggal 29 Sya'ban hilal Ramadan tidak
terlihat karena mendung atau terhalang oleh
sebab lainnya, maka
keesokan harinya dianggap sebagai
tanggal 30 Sya'ban. Dikatakan hari meragukan, karena pada hari
tersebut tidak jelas
apakah malam sebelumnya hilal
telah terbit , namun tidak terlihat, atau hilal memang
benar-benar belum terbit. Pada hari tersebut, menurut jumhur ulama, seseorang dilarang berpuasa jika tujuannya sekedar
ingin hati-hati agar tidak ada hari yang
tertinggal dari bulan Ramadan. Berdasarkan hadits, "Siapa yang berpuasa pada
hari yang diragukan padanya, maka sungguh dia telah bermaksiat
kepada Abu Qasim (Rasulullah) ." (HR. Abu
Daud, Tirmizi dan Nasa'i, Redaksi berasal dari riwayat Nasa'i)
Syarat dan Rukun Puasa
Syarat Wajib Puasa
Ibadah puasa diwajibkan bagi
seseorang yang memiliki kriteria berikut;
1. Muslim
Syarat dasar
ibadah adalah keimanan. Tanpa keimanan, maka ibadah apapun tidak
akan diterima.Apalagi ayat tentang perintah puasa secara khusus Allah
Ta'ala menyeru kepada orang
beriman,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS.
Al-Baqarah: 183)
Maka, orang kafir tidak diwajibkan
berpuasa dan tidak sah puasanya
kalaupun mereka melakukannya. Akan tetapi mereka
tidak boleh memperlihatkan perbuatannya
yang tidak
berpuasa di tengah masyarakat muslim yang berpuasa.
2. Baligh
Anak kecil yang belum berusia
baligh tidak terkena kewajiban puasa. Akan tetapi kedua orang tuanya hendaknya melatih mereka sedikit demi
sedikit untuk berpuasa. Sehingga saat mereka telah masuk usia baligh
dan telah terkena kewajiban puasa, dirinya telah siap melakukannya.
3. Berakal
Orang gila tidak diwajibkan
berpuasa hingga sembuh.
Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, "Pena diangkat (kewajiban tidak
dibebankan) terhadap tiga (golongan); Orang yang tertidur
hingga dia bangun, anak kecil hingga dia mimpi (baligh)
dan orang gila hingga dia berakal." (HR. Abu Daud dan
Ibnu Majah)
Uzur Tidak Berpuasa
Adapula orang-orang yang disebut Ashabul
A'zaar (pemilik uzur) untuk tidak berpuasa. Yaitu mereka yang telah memiliki syarat wajib, namun
memiliki alasan untuk tidak berpuasa. Karenanya, walaupun dibolehkan tidak berpuasa, mereka tetap
diharuskan mengqadhanya atau membayar fidyah di hari yang lain sesuai
jenis uzurnya.
Beberapa uzur tersebut adalah;
1. Sakit
yang ada harapan sembuh
Orang sakit, jika khawatir dengan
bepuasa akan semakin lama sembuhnya atau semakin bertambah
sakitnya atau dirinya merasa
sangat berat menjalaninya, maka dia memiliki uzur untuk tidak
berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di kemudian
hari, jika sakit yag dideritanya termasuk sakit
yang ada kemungkinan sembuh.
2. Safar
Orang yang melakukan safar dalam
jarak yang membolehkannya untuk melakukan qashar shalat, maka dia juga memiliki uzur untuk
tidak berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di
kemudian hari.
Kedua uzur di atas dilandasi oleh
firman Allah Ta'ala, "Maka, siapa di antara kalian ada yang sakit atau
safar (lalu berbuka), maka wajib baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)
3. Orang tua renta dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh
Orang yang sanga tua renta sehingga
sulit baginya berpuasa, begitu pula orang sakit
yang diperkirakan tidak dapat sembuh berdasarkan informasi terpercaya
dan
dengan sakit tersebut sulit
baginya berpuasa, maka kedua jenis orang ini juga memiliki uzur untuk
tidak berpuasa dan tidak diwajibkan mengqadha puasa Ramadan yang ditinggalkan.
Sebagai gantinya adalah membayar
fidyah,
yaitu mengeluarkan setengah sha' {(Satu Sha' sama dengan 4 mud, dan
1 mud sama dengan 675 Gram. Jadi 1 Sha 'sama dengan 2700 Gram (2,7 kg). Demikian menurut
madzhab Maliki. Sedangkan menurut Imam al-Rafi’i dan madzhab Syafi’i, 1 sha’
sama dengan 693 1/3 dirham Jika dikonversi satuan gram, sama dengan 2751 gram
(2,75 kg). (Kitab Al-Fiq al Islami Wa Adilatuhu Juz II hal, 911)} makanan pokok (beras atau gandum, dll) untuk setiap
hari puasa Ramadan yang ditinggalkan
dan diberikan kepada orang miskin. Inilah kesimpulan yang dtetapkan
shahabat dan para ulama
berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan wajib bagi orang yang
berat menjalankannya (jika dia tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu), memberi makan seorang miskin." (QS.
Al-Baqarah: 184)
4. Haid dan nifas
Wanita yang haid dan nifas tidak
wajib berpuasa,bahkan mereka dilarang berpuasa. Sabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam , "Bukankah jika dia (wanita) sedang haid, dia tidak
shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangannya
dalam agama." (HR.
Bukhari)
Wanita
tersebut diwajibkan mengqadha puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan.
Sebagaimana ucapan Aisyah, Kami mengalami haid pada masa
Rasulullah . Kemudian kami suci. Maka
Rasulullah memerintahkan kami untuk mengqadha puasa dan beliau tidak
memerintahkan kami untuk mengqadha shalat." (HR.
Tirmizi dan Nasa'i)
Wanita Hamil dan Menyusui
Para ulama
menyebutkan bahwa wanita hamil dan menyusui, jika berat baginya untuk
berpuasa, baik kekhawatirannya bersumber terhadap dirinya atau janinnya, maka dia termasuk orang
yang memiliki uzuruntuk tidak berpuasa. Para ulama umumnya mengaitkan kondisi
mereka dengan orang sakit yang tidak kuatberpuasa. Maka konsekwensinya, jika mereka tidak berpuasa adalah mengqadhanya di hari lainnya.
Di dalam
kitab Kifayatul Akhyar, disebutkan bahwa masalah wanita hamil dan menyusui
dikembalikan kepada motivasi atau niatnya. Kalau tidak puasa karena mengkhawatirkan
kesehatan dirinya, maka dianggap dirinya seperti orang sakit. Maka menggantinya
dengan cara seperti mengganti orang sakit, yaitu dengan berpuasa di hari lain. Sebaliknya,
kalau mengkhawatirkan bayinya, maka dianggap seperti orang tua yang tidak punya
kemampuan, maka cara menggantinya selain dengan puasa, juga dengan cara seperti
orang tua, yaitu dengan membayar fidyah. Sehingga membayarnya dua-duanya.
Namun menurut
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, wanita yang hamil atau menyusui
cukup membayar fidyah saja tanpa harus berpuasa. Karena keduanya tidak berpuasa
bukan karena sakit, melainkan karena keadaan yang membuatnya tidak mampu puasa.
Kasusnya lebih dekat dengan orang
tua yang tidak mampu puasa.
Dan pendapat kedua shahabat ini
mungkin tepat bila untuk menjawab kasus para ibu yang setiap tahun hamil atau
menyusui, di mana mereka nyaris tidak bisa berpuasa selama beberapa kali
ramadhan, lantaran kalau bukan sedang hamil, maka sedang menyusui.
Rukun Puasa
Rukun puasa secara garis besar ada
2, yaitu; Niat dan menahan diri dari segala sesuatu yang
membatalkan sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.
A. Niat
Niat diharuskan dalam setiap
ibadah. Secara khusus, Rasulullah menyatakan keharusan niat di malam hari sebelum masuk waktu fajar bagi
orang yang berpuasa.Beliau bersabda,"Siapa yang tidak niat untuk berpuasa
sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya."
(HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Para ulama berpendapat bahwa
perkara ini berlaku dalam puasa wajib. Adapun puasa sunah,
seseorang boleh memulai
niat setelah fajar selama dia belum makan
dan minum.
Niat
dilakukan di dalam hati. Tidak ada redaksi khusus untuk melafazkannya. Selama
seseorang telah memantapkan niat di dalam hatinya
bahwa dia besok akan berpuasa Ramadan, maka hal itu sudah cukup.
Namun
diperbolehkan jika hendak melafadzkan untuk menghadirkan niat di dalam hati.
Ada beberapa pandangan ulama terkait melafadzkan niat, di antaranya adalah :
1. Mazhab Imam Abu Hanifah. Para
ulama pengikut mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafadzkan niat
sunnah hukumnya untuk membantu kesempurnaan niat di dalam hati. Silakan
cek di (Al-Bada'i al-Shana'iy fi Tartib al-Syara'i Jilid I/hal.127, al-durru
al-Mukhtar Jilid I/hal.406, al-Lubab Jilid I/hal.66)
2. Mazhab Imam Malik bin Anas
(Maliky). Niat shalat adalah syarat sah di dalam shalat, sebaiknya niat tidak
dilafadzkan kecuali ragu. Karena itu menjadi sunnah melafadzkan niat shalat
untuk menghilangkan keraguan. silakan lihat di (al-Syarh al-Shaghir wa
hasyiyatu al-Shawi Jilid I/hal.303 dan 305)
3. Mazhab Syafi'i, Sunnah melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram dan wajib menentukan jenis shalat yang dilakukan (Lihat Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252)
4. Mazhab Hanbali, sunnah melafadzkan niat dengan lisan. Lihat al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370).
3. Mazhab Syafi'i, Sunnah melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram dan wajib menentukan jenis shalat yang dilakukan (Lihat Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252)
4. Mazhab Hanbali, sunnah melafadzkan niat dengan lisan. Lihat al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370).
Niat
dilakukan setiap malam. Ada sebagian ulama yang membolehkan niat sekaligus
untuk satu bulan Ramadan.
B.
Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga matahari
terbenam.
Perkara-perkara yang membatalkan
puasa telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunah. Ada yang yang telah disepakati oleh para ulama, ada
pula yang diperselisihkan.
Ada dua perkara yang penting
diperhatikan dalam masalah ini. Pertama adalah perkara yang
membatalkan puasa. Dan kedua terkait dengan waktu pelaksanaanya
yang berawal dari sejak terbit fajar dan berakhir hingga
terbenam matahari. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai datang malam." (QS. Al-Baqarah: 187)
Juga
berdasarkan ucapan dan pengamalan Rasulullah dalam berapa riwayat terkait. Maka, tidak
dibenarkan menambah atau mengurangi waktu puasa yang ditentukan berdasarkan syariat.
*Perkara Yang Membatalkan Puasa
1. Jimak (bersetubuh)
Berdasarkan firman Allah Ta'ala,
"Dihalalkan bagi kamu pada
malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu." (QS. Al-Baqarah: 187)
Juga berdasarkan riwayat tentang
kisah seseorang yang mengaku berjimak di bulan Ramadan.
Kemudian Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam perintahkan dia untuk mem-bayar kaffarat yang berat akibat perbuatannya, berupa
memerdekakan budak, jika tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu memberi makan
60 orang miskin. (Muttafaq alaih)
Para ulama sepakat bahwa berjimak
membatalkan puasa. Bahkan, orang yang sengaja berjimak di siang hari bulan Ramadan dikenakan kaffarat
yang berat sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat di atas. Ketentuan ini berlaku bagi suami
isteri jika keduanya melakukan secara suka rela. Adapun jika suami
memaksa isteri untuk melakukan hal
tersebut, maka ketentuan
kaffarat tidak berlaku bagi
isteri.
2. Makan dan minum dengan sengaja.
"Dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar." (QS. Al-Baqarah: 187)
Adapun makan dan minum karena
lupa, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana sabda Raslullah Shalallahu’alaihi
wa sallam, "Siapa
yang lupa saat berpuasa, kemudian dia makan atau minum, maka hendaknya dia
menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah
memberinya makan dan minum." (Muttafaq
alaih)
Termasuk
dianggap yang membatalkan adalah semua tindakan yang dianggap menggantikan
fungsi makan dan minum atau memasukkan sesuatu partikel ke dalam saluran pencernaan.
Seperti suntik atau infus untuk mengganti zat makanan dan
menghisap rokok.
3. Haid dan Nifas
Disepakati pula bahwa wanita yang
kedatangan haid atau nifas saat puasa, maka puasanya batal.
Bahkan tidak dibolehkan dia berpuasa. Berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, di
antaranya, “Bukankah jika dia (wanita) sedang haid, dia
tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangannya
dalam agama." (HR. Bukhari)
4. Muntah dengan sengaja
Jumhur ulama berpendapat bahwa
muntah tanpa sengaja tidak membatalkan puasa. Adapun sengaja agar muntah, membatalkan puasa. Ada
sebagian pendapat yang mengatakan bahwa muntah secara mutlak,
disengaja atau tidak, tidak membatalkan puasa. Namun yang dikuatkan adalah pendapat jumhur
ulama. Berdasarkan
hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam, "Siapa
keluar muntah (tanpa sengaja) saat dia berpuasa,maka tidak diwajibkan baginya
qadha. Dan siapa yang
sengaja muntah, maka dia harus
qadha." (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dll)
4. Bekam
Para ulama berbeda pendapat apakah
bekam membatalkan puasa atau tidak. Jumhur ulama berpendapat
bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa bekam membatalkan puasa. Jumhur berdalil dengan ucapan Ibnu
Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari,
"Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu’alaihiwa
sallam melakukan bekam saat dia sedang ihram dan saat dia sedang
puasa." (HR.Bukhari)
Juga terdapat beberapa riwayat
lainnya yang menguatkan pendapat jumhur ulama.
Adapun Imam Ahmad berdalil dengan
hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam yang
berkata saat melihat ada orang yang berbekam di siang hari bulan
Ramadan,
"Orang yang melakukan bekam
dan yang dibekam telahberbuka (batal puasanya)." (HR. Abu Daud)
Turunan dalam masalah ini adalah
melakukan donor darah karena dianggap sama-sama mengeluarkan
darah cukup besar dari dalam tubuh. Jika
mengikuti pendapat jumhur ulama, maka donor darah tidak
membatalkan puasa. Tapi jika berpedoman dengan pendapat Imam
Ahmad, maka donor darah tidak
membatalkan puasa. Yang lebih hati-hati adalah menunda
pelaksanaan hal tersebut hingga malam hari, jika
memungkinkan. Karena pendapat Imam Ahmad dan argumentasinya cukup
kuat. Wallahua'lam.
5. Keluar mani secara sengaja
Misalnya dengan bercumbu, onani,
atau sengaja melihat dan membaca sesuatu yang membangkitkan
syahwat. Para ulama sepakat bahwa keluar
mani karena bercumbu
dan semacamnya membatalkan puasa.
Akan tetapi orang tersebut tidak
diharuskan membayar kaffarat seperti orang yang berjimak. Dia hanya
diwajibkan meneruskan puasanya dan diwajibkan mengqadha puasa hari tersebut di kemudian hari.
Disamping dia harus
bertaubat atas dosa sengaja
melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasanya. Adapun jika
bercumbu namun tidak keluar mani, maka
tidak membatalkan puasa.
Apakah bermesraan dengan isteri dibolehkan ketika berpuasa? Jumhur ulama mengatakan
bahwa jika seseorang dapat mengendalikan syahwatnya, maka hal itu dibolehkan, akan tetapi jika dia
khawatir tidak dapat mengendalikan syahwatnya, seperti khawatir
akan keluar
mani atau akan mendorongnya berbuat
jimak, maka hal tersebut diharamkan. Berdasarkan riwayat Aisyah
radhiallahu anha, "Sesungguhnya Nabi saw mencium dan
mencumbu isterinya
saat beliau sedang puasa. Dan
beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan
keinginannya di antara kalian." (Muttafaq
alaih)
*Perkara Yang
Tidak Membatalkan Puasa
1. Periksa
darah dan suntik yang tujuannya tidak untuk memasukkan zat makanan. Seperti untuk berobat, tes darah, vaksin, atau kepeluan
lainnya.
2.Mencicipi masakan jika dibutuhkan,
dengan syarat: tidak sampai masuk ke dalam kerongkongan.
3. Menggunakan celak mata atau tetes
mata atau semacamnya yang dimasukkan ke dalam mata.
4. Menuangkan air dingin di atas
kepala atau mandi dengannya.
5. Menelan ludah, namun jika berupa
lendir hendaklah dikeluarkan.
6. Menggunakan minyak wangi dan
menciumnya.
7. Bermimpi hingga keluar mani.
8. Junub sebelum terbit fajar dan
belum mandi janabah hingga terbit fajar sementara dia sudah niat
puasa.
9. Boleh menghirup sesuatu yang tidak
bersifat partikel untuk melegakan hidung tersumbat, atau
melegakan dada bagi orang yang sesak nafas.
10. Sikat gigi dengan pasta gigi
dengan syarat tidak ada partikel yang ditelan.
11. Bersiwak di siang hari, walaupun
setelah matahari tergeincir.
12. Keluar mazi atau madi.
13. Menelan debu tanpa sengaja.
Yang Harus Dijauhi Saat Berpuasa
1.Berdusta
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
bersabda,”Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta
dan perbuatan buruk, maka tidak ada bagi Allah
Ta’ala nilainya dia meninggalkan makanan dan minumannya.”
(HR. Bukhari)
2. Lalai dan berkata kotor
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
bersabda,”Puasa bukan hanya (menahan) makan dan minum
saja,
akan tetapi puasa juga (menahan)
dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor." (HR. Hakim)
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
juga bersabda,“Betapa banyak orang yang puasa tidak
mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan
dahaga.” (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah)
Catatan: Orang yang melakukan
perbuatan seperti ini, status puasanya secara hukum tidak batal. Akan
tetapi pahalnya gugur, bahkan berdosa
karenanya. Namun, jika dia bertaubat saat itu juga dan mohon ampun
kepada Allah, maka dia dapat meneruskan
puasanya tanpa keharusan mengqadhanya.
Syarat-Syarat Batal Puasa
1. Mengerti. Jika seseorang
melakukan perkara yang membatalkan puasa karena ketidaktahuannya
makatidaklah membatalkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi yang (ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. Al-Ahzab : 5)
2. Sadar. Jika seseorang lupa
ketika melakukan perbuatan yang membatalkan, seperti lupa makan dan
minum, maka puasanya sah selama dia
tinggalkan langsung ketika ingat, dan dia tidak wajib meng-qadha-nya.
3. Kehendak
sendiri. Jika seseorang dipaksa (untuk berbuka) maka puasanya sah dan tidak
meng-qadha, sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam “Sesungguhnya
Allah melampaui (mengampuni) ummatkuyang melakukan kesalahan, kelupaan dan yang
terpaksa” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Perbuatan Yang Dianjurkan
1. Tilawatul Quran
Ramadan adalah bulan diturunkannya
Al-Quran. Seorang muslim hendaknya semakin dekat dengan Al Quran di bulan ini dengan membaca
dan mempelajarinya. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata,
"Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam adalah orang yang paling dermawan.
Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan, ketika Jibril menemuinya. Jibril menemuinya
setiap malam di bulan Ramadan untuk mengulang bacaan
Al-Quran." (HR. Bukhari)
2. Qiyamullail dan Taraweh
3. Banyak Bersadaqah
Berdasarkan isyarat hadits di
atas, Ramadan adalah sarana kita untuk meningkatkan sadaqah
dibanding waktu lainnya. Karena rahmat dan ampunan Allah
sedang dilimpahkan di bulan mulia ini.
3. Banyak Bedoa
Ramadan adalah waktu mustajabah
untuk berdoa. Isyarat tersebut dapat ditangkap dalam pembahasan tentang Ramadan dan puasa dalam
Al-Quran surat Al- Baqarah ayat 183 dan seterusnya. Di
tengah-tenah pembahasan, Allah menyelipkan ayat tentang anjuran
berdoa,
yaitu pada surat Al-Baqarah, ayat
186.
"Dan apabila hamba-hamba-Ku,
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-
Ku. Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran." (QS. Al-Baqarah: 186)
4. Umrah
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
berkata kepada seorang wanita Anshar, "Jika datang bulan Ramadan,
lakukanlah umrah. Karena umrah di dalamnya sebanding dengan
haji." (Muttafaq alaih)
5. Menghadirkan sifat-sifat utama Ibadah di bulan ini menyediakan
sifat-sifat mulia
yang harus kita serap dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti zuhud terhadap dunia, cinta fakir
miskin, gemar beribadah, sabar, syukur, tawakal, dll.
6. Disunahkan sahur dan mengakhirkannya.
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
memerintahkan sahur untuk membedakan
antara puasa kita dengan puasa
ahli kitab. Beliau Shalallahu’alaihi wa
sallam bersabda:
“Yang membedakan antara puasa kita
dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur." (HR. Muslim)
Terdapat riwayat dari Zaid, dia
berkata, “Kami sahur bersama Nabi Shalallahu’alaihi
wa sallam,
lalu beliau bangkit untuk melaksanakan shalat”. Dia (Zaid)
ditanya, ”Berapa lama jarak
antara azan dan sahur?” Dia
menjawab, “sekedar (membaca) lima puluh ayat.” (Muttafaq alaih)
Disunahkan memakan korma saat
melakukan sahur.
7. Sunah mempercepat Ifthar (berbuka
puasa). Ifthar hendaknya dilakukan saat matahari
terbenam. Mempercepat ifthar merupakan sunah Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam,
karena beliau bersabda “Umatku selalu berada dalam
sunnahku selama dia tidak
menunggu bintang-bintang (waktu
malam) untuk berbuka.” (HR. Ibnu
Hibban)
8. Memberi
makan berbuka kepada orang yang puasa.
Hendaknya
setiap orang berupaya untuk memberi makan bagi orang yang berbuka, karena di
dalamnya terdapat pahala yang besar dan kebaikan yang banyak. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang memberi
makan orang yang puasa maka baginya (pahala puasa) orang itu, tanpa mengurangi
pahala orang yang puasa tersebut.” (HR. Ahmad dan Tirmizi)
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
biasanya berbuka dengan ruthab (korma
muda) sebelum shalat. Jika tidak
ada, maka dengan beberapa tamr (korma masak). Jika
tidak ada, dia cukup meminum beberapa teguk air.” (HR. Ahmad)
Jika berbuka beliau Shalallahu’alaihi
wa sallam membaca:
ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ
العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
"Telah hilang dahaga dan
urat-urat telah basah dan pahalatelah tetap Insya Allah." (HR. Abu Daud dan Nasa'i)
Ketika ifthar, disunahkan
berdoa. Karena bagi orang yang puasa -pada saat itu- doanya mustajabah
(terkabul). Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam bersabda ,“Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak: Orang yang
puasa saat dia ifthar (berbuka), Imam (pemimpin) yang adil, dan doa orang yang
dizalimi.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
9. I'tikaf,
khususnya pada sepuluh hari terakhir
ZAKAT FITRAH
Arti Zakat
Fitrah (Fitr ) artinya berbuka,
maksudnya adalah
bulan Ramadhan telah usai, dan kita
boleh kembali tidak berpuasa. Zakat Fitrah adalah zakat yang
dikeluarkan karena berakhirnya bulan Ramadan. Dalil dan Hikmahnya Zakat Fitrah disyariatkan
berdasarkan umumnya nash Al-Quran, hadits shahih dan ijmak kaum
muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri." (QS. Al-A'la: 14)
Lebih dari satu orang dari
kalangan salaf yang menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah Zakat Fitrah. Hal tersebut diriwayatkan
secara marfu’ dari Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam,
dari Ibnu Khuzaimah dan lainnya. Terdapat
riwayat dalam Ash-Shahihain dari Abdullah bin Umar, beliau berkata,“Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah.” (Muttafaq alaih)
Istilah asalnya adalah Zakatul
Fithr. Namun di tengah masyarakat lebih dikenal dengan istilah Zakat
Fitrah. Kaum muslimin sejak dahulu hingga
sekarang sepakat (ijmak) tentang kewajiban zakat fitrah. Zakat fitrah disyariatkan sebagai pensuci jiwa dari segala kotoran,
sifat bakhil dan akhlak yang buruk lainnya, penyempurna pahala, juga sebagai
pensuci puasa yang mungkin berkurang pahalanya karena ucapan atau prilaku yang
tak baik atau lainnya. Dia juga berfungsi untuk menghibur dan member kecukupan kepada fakir miskin di
hari Id sehingga menumbuhkan rasa cinta di antara sesama. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ,“Rasulullah telah mewajibkan zakat
fitrah sebagai pensuci bagi yang berpuasa dari tindakan dan ucapan buruk serta memberi
makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud, Hakim dan yang lainnya)
Siapa Yang Diwajibkan?
Zakat fitrah adalah untuk
mensucikan diri. Maka diwajibkan bagi setiap muslim, baik laki-laki
maupun wanita, merdeka ataupun budak,
penduduk kota ataupun desa, berdasarkan ijmak. Juga diwajibkan
mengeluarkan zakat untuk orang-orang yang wajib diberikan nafkah. Misalnya, seorang bapak wajib
mengeluarkan zakat untuk istri dan anak-anaknya, walaupun mereka
masih
kecil. Ibnu Umar radiallahuanhuma berkata,“Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ korma,atau satu sha’ gandum,
baik kepada budak atau orang merdeka,laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun
orangdewasa dari kalangan muslimin. Beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya
manusia untuk shalat (Id)." (Muttafaq
alaih) Kekayaan dengan nishab tertentu bukan syarat diwajibkannya zakat fitrah
sebagaimana pada zakat mal (harta). Siapa
saja yang memiliki makanan pokok bagi diri dan keluarganya serta mereka yang
wajib dinafkahinya pada hari dan malam Id, maka dia terkena kewajiban zakat
fitrah. Jenis Makanan Yang Dikeluarkan Terdapat riwayat dari Abu Sa’id
Al-Khudry radhiallahu anhu, dia berkata, “Dahulu, kami
mengeluarkannya Zakat Fitrah dalam bentuk
satu sha’ makanan, atau satu sha’
gandum, atau satu korma atau satu sha’ aqith (keju kering)
atau satu sha' zabib (korma kering)." (Muttafaq alaih)
Dalam riwayat lain beliau ,“Dahulu makanan kami adalah
gandum, zabib, susu kering
dan korma.” (HR. Bukhari)
Sebaiknya dikeluarkan jenis yang
paling baik dan paling bermanfaat bagi orang miskin.
Allah Ta’ala berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai." (QS. Ali-Imran: 92)
Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan
Terdapat riwayat dari hadits
shahih, bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa
sallam "Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’…”
Yang dimaksud adalah satu sha’
Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam yaitu sebanyak empat mud. Sedang satu mud adalah
sepenuh dua telapak tangan orang dewasa berukuran sedang. Satu Sha'
sama dengan empat mud, dan satu mud sama dengan 675 Gram Jadi satu Sha
'sama dengan 2700 Gram (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki. Sedangkan menurut al-Rafi’i dan madzhab
Syafi’i, sama dengan 693 1/3 dirham .Jika dikonversi satuan gram, sama dengan
2751 gram (2,75 kg) .Dari kalangan Hanbali berpendapat, satu sha' juga sama
dengan 2751 gram (2,75 kg) Imam Hanafi ukuran satu sha menurut madzhab ini.
lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg.
Jika lebih dari ukuran wajib di atas maka hal tersebut dihitung sebagai shadaqah.
Jumhur ulama mengharuskan zakat
fitrah dikeluarkandalam bentuk makanan pokok. Namun Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan Zakat
Fitrah dalam bentuk uang senilai makanan yang wajib dikeluarkan.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Waktu mengeluarkan zakat fitrah
terbagi dua:
1. Waktu utama:
Dimulai sejak matahari terbenam
pada malam Id hingga shalat Id. Lebih utama antara shalat Fajar
dan shalat Id.
Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,“Beliau
(Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam) memerintahkan agar (zakat
fitrah) ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat
(Id)."
(Mutafaq alaih)
Telah dijelaskan sebelumnya,
tafsir kalangan salaf atas firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya beruntunglah orang
yang membersihkan dirinya (dengan beriman). dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (QS. Al-A’la : 14-15)
Bahwa yang dimaksud ayat ini
adalah seseorang yang menyerahkan zakatnya pada hari Idul Fitri
sesaat sebelum shalat.
2. Waktu yang dibolehkan
Yaitu, sehari atau dua hari
sebelum Id. sebagaimana terdapat dalam shahih Bukhari: “Mereka
(para shahabat) biasanya memberikan (zakat fitrah) kepada orang-orang miskin sehari
atau dua hari sebelum Idul fitri.” (HR. Bukhari)
Maka hal tersebut merupakan ijmak
para shahabat. Namun Imam Syafi’i berpendapat boleh menunaikan
zakat fithri sejak awal bulan Ramadhan sebab adanya zakat fithri adalah karena
puasa dan perayaan Idul Fithri. Jika salah satu sebab ini ditemukan, maka
sah-sah saja jika zakat fithri disegerakan sebagaimana pula zakat maal boleh
ditunaikan setelah kepemilikan nishob.
Jika seseorang menunda pelaksanaannya hingga
selesai shalat Id, maka dia wajib meng-qhada-nya, karenam kewajiban
tersebut tidak berarti gugur hanya karena habis waktunya. Namun -menurut para ulama- dia
tetapberdosa jika menunda pelaksanaannya dengan sengaja.
Kepada Siapa Zakat Fitrah
Diberikan?
Dalam hadits Ibnu Abbas radiallahuanhuma,
beliauberkata:
“Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai
pensuci bagi
orang yang berpuasa dari perkataan
dan perbuatan buruk dan (juga berfungsi sebagai)
pemberi makan orang miskin.” (HR. Abu Daud, Hakim dan yang
lainnya)
Dalam hadits tersebut dinyatakan
bahwa zakat fitrah diserahkan kepada orang-orang miskin saja.
Zakat fitrah hendaknya tidak
digunakan untuk untuk hal-hal yang bersifat pembangunan materi,
seperti pembangunan masjid atau sekolah, tetapi langsung
diberikan kepada fakir miskin.
Beberapa Permasalahan Terkait
Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat badan,
bukan zakat maal (harta), tujuannya mensucikan badan. Karenanya
kewajibannya tidak terkait nisab dan haul. Cukup seseorang memiliki kelebihan persediaan
makan untuk dirinya dan keluarganya hari itu, dia sudah wajib
mengeluarkan
zakat fitrah. Bahkan diwajibkan
pula memberikan zakat kepada orang yang menjadi tanggungannya,
seperti isteri dan anak kecil. Para ulama juga menyatakan sunnah mengeluarkan zakat fitrah bagi
janin yang masih dalam kandungan, berdasarkan perbuatan Utsman bin
Affan
radhiallahu'anhu yang melakukan
hal tersebut.
Karena zakat fitrah adalah zakat
badan, maka hendaknya dia dikeluarkan di tempat seseorang berada
dengan standar yang berlaku di negeri
tersebut. Jika kemudian, berdasarkan pertimbangan manfaat sebaiknya
disalurkan ke daerah lain, hal tersebut tidak mengapa, sebab dibolehkan menyalurkan zakat
fitrah ke daerah atau negeri lain, jika dipertimbangkan bahwa
negeri lain sangat membutukkan dibanding negeri tempat dia
berada.
Jika kita mengetahui langsung ada
orang yang benar-benar berhak menerima zakat, lalu kita
berikan secara langsung, itu tidak mengapa. Namun menyalurkan zakat fitrah ke lembaga-lembaga penyalur zakat
terpercaya lebih baik, lebih terarah dan relative lebih merata,
apalagi
jika kita tidak tahu siapa yang
paling berhak menerima zakat di sekitar kita.
Orang yang berhak menerima zakat
fithrah, hanyalah fakir miskin. Ada sebagian ulama yang
membolehkan penyalurannya ke delapan ashnaf (golongan) yang dikenal dalam zakat maal (harta). Namun
berdasarkan hadits-hadits yang ada, serta maqashid
syari'ah (tujuan syari'ah)
dalam ibadah ini, maka pendapat
yang mengkhususkan penyalurannya kepada fakir miskin lebih kuat.
Sebagian orang menyalurkan zakat fitrah kepada orang yang disebut sebagai amil, padahal dia
kaya, hal ini tidak tepat. Wallahua'lam.
Mengeluarkan zakat fitrah, tidak
menggugurkan kewajiban seseorang mengeluarkan zakat harta jika dia telah memiliki kriteria sebagai
orang yang wajib zakatharta.
SHALAT TARAWEH
Arti Taraweh
Taraweh dalam bahasa Arab adalah
kata jamak dari tarwiihah ,
artinya beristirahat atau
santai sejenak. Kalimat ini pada mulanya bermakna
'duduk' secara umum. Kemudian dikenal sebagai 'duduk' yang dilakukan setelah melakukan shalat empat
rakaat di malam bulan Ramadhan”.
Karena pada saat itu, mereka yang
shalat beristirahat sebentar dari shalatnya, mengingat panjangnya
shalat yang mereka lakukan. Akhirnya
istilah tersebut dilekatkan kepada nama shalat itu sendiri.
1) Shalat Taraweh Zaman Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam dan Khulufaur Rasyidin
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu
anha, bahwa saat masuk bulan Ramadhan, Rasulullah J shalat di
masjid (Nabawi), lalu diikuti oleh
beberapa orang. Kemudian beliau shalat lagi pada hari keduanya, yang
mengikutinya semakin banyak. Lalu pada malam ketiga atau keempat
para shahabat sudah berkumpul
(untuk shalat bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam),
namun beliau Shalallahu’alaihi wa sallam tak kunjung muncul. Di pagi harinya Rasulullah J
bersabda kepada mereka: Lihat al-Mu’jamul al-Wasith,
1/380, al-Mulakhash al-Fiqhi, 1/167
“Saya melihat apa yang kalian lakukan (tadi
malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar
(untuk shalat) bersama kalian, hanya saja saya khawatir
(shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian.” (Muttafaq alaih)
Kesimpulannya, pada awalnya shalat
taraweh zaman Rasulullah Shalallahu’alaihi wa
sallam
dilaksanakan secara berjamaah. Kemudian tidak dilakukan secara berjamaah,
karena Rasulullah J
khawatir, jika shalat tersebut
dilaksanakan secara berjamaah terus menerus, akan turun ayat yang
mewajibkannya kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak mampu melakukannya. Begitulah seterusnya hal tersebut berlanjut.
Shalat
taraweh dilakukan sendiri atau berkelompok hingga Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam wafat, dan seterusnya juga
berlangsung di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq .
Baru kemudian
pada zaman khalifah Umar bin Khattab , pelaksanaannya dikembalikan seperti
semula, yaitu dengan berjamaah.
Abdurrahman bin Abdun Al-Qory
meriwayatkan,“Aku keluar bersama Umar bin Khattab di
(malam) bulan Ramadhan menuju mesjid. Di
sana orang-orang melakukan shalat terpisah-pisah; Ada yang
shalat seorang diri, ada yang shalat
mengimami beberapa orang. Menyaksikan hal
tersebut Umar berkata,“Saya berpendapat, akan lebih baik jika mereka
dikumpulkan dengan satu imam,” Maka beliau segera wujudkan keinginannya
dengan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi orang yang shalat
Taraweh. Kemudian di malam berikutnya saya keluar (menuju mesjid) dan menyaksikan
orang-orang yang shalat (taraweh) dipimpin oleh seorang imam. Maka
saat itu Umar berkata “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (HR. Bukhari)
Maka sejak zaman itu hingga kini,
pelaksanaan shalat taraweh dilakukan secara berjamaah di
masjid-masjid dan telah menjadi sunnah yang diterima dan dilaksanakan kaum muslimin di seluruh dunia.|
Hukum Dan
Keutamaannya
Shalat
taraweh sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah). Pelaksanannya pada awal
malam selama bulan Ramadhan, sesudah shalat Isya. Shalat Taraweh juga
digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail). Karena itu, keutamaan
shalat taraweh dapat dinilai dari keutamaan
shalat malam yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Mereka sedikit sekali tidur di
waktu malam. Dan di akhirakhir malam mereka memohon ampun (kepada
Allah).” (QS. Adz-Dzariat: 17-18)
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
bersabda: “Shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah
shalat malam.” (HR. Muslim)
Maka, jika shalat malam secara
umum memiliki keutamaan yang besar, apalagi jika shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; bulan yang
paling utama dari bulan-bulan yang ada.
Hal tersebut semakin dikuatkan
dengan kenyataan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya dikenal
sebagai
syahrush-shiyam
(bulan puasa), tetapi juga dikenal
sebagai syahrul-qiyam (bulan ibadah shalat).
Maka hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
yang menerangkan tentang keutamaan puasa di bulan Ramadhan sepadan
dengan keutamaan shalat malam di bulan
tersebut. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa
sallam
bersabda,“Siapa yang puasa (di bulan) Ramadhan dengan
iman dan penuh harap pahala, maka akan
diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Beliau juga bersabda:
“Siapa yang beribadah (shalat) (di
bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka
akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Sering terjadi pertentangan
tentang jumlah rakaat shalat taraweh. Tidak jarang hal tersebut berakibat
pada perpecahan di tengah masyarakat
muslim. Sesuatu yang sangat ironis.
Mengingat shalat taraweh hukumnya sunah, sedangkan ukhuwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak
diragukan lagi kewajibannya. Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar),
yang wajib justru diabaikan .
Hal tersebut terjadi karena
permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. tanpa
meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan
menyeluruh serta perkataan
para ulama tentang hal tersebut. Padahal para salafusshaleh melihat
perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan
luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang
untuk membid’ahkan atau menyatakan
seseorang bukan golongannya.
Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai
shalat malam (qiyamullail), maka
hukum yang terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku
pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya. Sejumlah ulama berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat malam adalah dua
rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari
rakaat yang boleh dikerjakan. Sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam ,“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di
antara kalian khawatir (datang) waktu shubuh, makahendaklah dia shalat (witir)
satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan.” (Muttafaq alaih)
Hadits ini Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam sampaikan ketika menjawab pertanyaan seseorang tentang
pelaksanaan shalat malam.
Maka dari jawaban tersebut ada dua
hal yang dapat disimpulkan:
1. Shalat malam hendaklah
dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat
melakukan salam.
2. Shalat malam tidak ada batasan
maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam sampaikan masalahnya, mengingat
pertanyaan orang tersebut bersifat umum tentang shalat malam,
baik tata caranya maupun jumlah rakaatnya.
Adapun hadits Aisyah radhiallahu
anha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal
dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhari
dan Muslim, Aisyah radiallahuanha berkata, “Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih
dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya
bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat
rakaat, jangan Tanya tentang bagusnya dan panjangnya,
kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq alaih)
Dalam hadits ini, dengan gamblang
Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, baik di bulan Ramadhan
ataupun di luar bulan Ramadhan,
yaitu: 11 rakaat.
Namun yang patut diperhatikan
adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak
berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat taraweh) maksimal
sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari
itu dianggap menyalahi sunnah Rasul. Karena
dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikianlah shalat
malam yang Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam lakukan. Sehingga para ulama berkesimpulan bahwa apa yang
disampaikan Aisyah radhiallahuanha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam dalam
bilangan rakaat shalat malam dan
tidak ada petunjuk bahwa beliau melarang pelaksanaan shalat malam lebih dari itu. Yang menguatkan pendapat
tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan
bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan Aisyah
radhialluanha termasuk
yang meriwayatkan Dari Aisyah radhiallahuanha,
dia berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam shalat pada malam hari sepuluh
rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat.” (HR. Abu Daud)
Dari Abu Salamah dia berkata,
"Aku bertanya tentang shalat Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam. Maka
dia berkata, “Beliau shalat tiga belas rakaat; Shalat
delapan rakaat, kemudian shalat witir. Kemudian
shalat dua rakaat dalam keadaan duduk, jika hendak ruku'
beliau bangkit, lalu ruku'. Kemudian beliau shalat dua rakaat
antara azan dan iqamah shalat Shubuh.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya, yang utama shalat
Taraweh dilakukan 11 rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu
anha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut
tidaklah mengapa.
Bagi makmum, yang perlu diketahui
adalah hendaklah dia melakukan shalat taraweh bersama imam
hingga selesai (apakah imam melakukannya
11 atau 20 rakaat), berdasarkan hadits,“Seseorang, jika dia shalat
bersama imam hingga selesai,maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail.” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)
Disamping hal tersebut lebih dekat
kepada kesatuan dan persatuan. Jika terjadi perbedaan pendapat
dalam suatu masjid masalah ini, sebaiknya diatasi dengan
semangat ukhuwah
islamiyah dan memperjelas permasalahannya.
|
Beberapa Hukum Terkait Dengan Shalat
Taraweh
1. Hendaknya shalat Taraweh dilakukan
dengan tenang dan khusyu. Memperhatikan thuma’ninah, syarat dann rukunnya, serta tidak
tergesa-gesa. Semakin lama shalatnya, maka semakin baik nilainya. Karena sesungguhnya nilai shalat
ini terletak pada lamanya dia dilakukan. Karena itu pada zaman
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam mereka beristirahat di
pertengahannya untuk menghilangkan letih. Namun penting juga dalam hal ini
memperhatikan kondisi orang yang tua renta atau mereka yang lemah.
2. Betapapun besarnya kedudukan
shalat Taraweh, tetap saja shalat Fardhu lebih utama kedudukannya.
Karena itu, sebesar apapun perhatian
seseorang untuk shalat Taraweh, tidak boleh mengalahkan perhatian
dia dalam melaksanakan shalat Fardhu.
3. Tidak ada surat-surat khusus yang
dibaca setelah membaca surat al-Fatihah. Bahkan para ulama menganjurkan agar imam membaca seluruh Al-Quran
sejak awal hingga akhir Ramadhan, agar makmum
mendengarkan semua isi al-Quran. Namun tidak mengapa jika dia
membaca semampunya. Dibolehkan bagi imam, jika dia tidak hafal Al-Quran, memegang
mushaf saat shalat. Namun bagi ma’mum selayaknya hal tersebut
tidak dilakukan.
4. Jika seseorang datang ke mesjid,
sedangkan pelaksanaan shalat Taraweh telah dimulai dan dia belum
melaksanakan shalat Isya. Maka dia harus melakukan shalat Isya terlebih dahulu sebelum
shalat Taraweh.
5. Jika seseorang terhalang melakukan
shalat Taraweh secara berjamaah, maka hal tersebut tidak menghalanginya untuk shalat taraweh seorang diri
di tempatnya.
6. Pada malam sepuluh hari terakhir (Al-Asyrul
Awakhir) dianjurkan meningkatkan ibadah, khususnya shalat malam. Pelaksanaannya dapat
dilakukan secara berjamaah pada akhir malam.
Aisyah radhiallahuanha berkata
,“Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam biasanya jika telah memasuki sepuluh (hari terakhir bulan Ramadhan), beliau
menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya,
bersungguh-sungguh dan mengencangkan kainnya (tidak menggauli
isterinya).” (Muttafaq alaih)
Aisyah radhiallahuanha juga
berkata:
“Adalah Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhir melebihi kesungguhan pada
selainnya.” (HR. Muslim)
Kitapun disunnahkan pada sepuluh
hari terakhir ini untuk melakukan i’tikaf, yaitu tinggal dan
diam di mesjid dengan niat ibadah, agar lebih total beribadah kepada Allah dan tidak terganggu dengan
kesibukan dunia. Perkara ini hendaknya mendapat perhatian
serius, karena yang sering terjadi di
tengah masyarakat justru sebaliknya. Yaitu semakin berkurangnya
aktifitas ibadah
di hari-hari terakhir bulan
Ramadhan dan berganti dengan kesibukan duniawi yang terkait dengan
penyambutan Idul Fitri.
SHALAT WITIR
Arti dan Kedudukannya
Witir berarti ganjil. Maka shalat ini dinamakan Witir karena jumlah rakaatnya
bersifat ganjil.
Shalat witir bukan shalat yang
khusus dilaksanakan pada bulan Ramadan saja, tetapi dia adalah
shalat sunnah yang sangat dianjurkan (Sunah Mu’akkadah) untuk
dilakukan seorang muslim setiap malam.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Witir merupakan tuntutan terhadap
setiap muslim. Siapa yang ingin melakukan witir
sebanyak tiga rakaat, maka lakukanlah, dan siapa yang ingin
melaksanakan witir satu rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu
Majah)
Waktu sholat
Witirn dapat dilakukan
setelah shalat Isya hingga masuk waktu Subuh.
Rasulullah bersabda,“Sesungguhnya Allah telah
menambahkan untuk kalian sebuah shalat yang lebih baik bagi
kalian dari onta merah. Yaitu Witir, hendaklah kalian
melakukannya sejak selesai shalat Isya hingga terbit Fajar.” (HR. Ahmad)
Shalat Witir hendaknya dijadikan
sebagai penutup shalat di malam hari. Berdasarkan sabda
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, “Akhirilah shalat kalian di waktu
malam dengan Witir.” (Muttafaq alaih)
Jika seseorang tidak yakin dapat
bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia melakukan Witir
sebelum tidur. Adapun jika dia yakin dapat
bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia witir di akhir malam dan menutup shalat malamnya
dengan witir.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam, "Siapa yang khawatir tidak
dapat bangun malam, hendaknya dia shalat Witir pada awalnya.
Siapa yang semangat untuk bangun di akhir malam, maka dia
shalat Witir di akhirnya. Karena shalat di akhir malam
dihadiri (malaikat) dan itu lebih utama." (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
Namun jika dia sudah melakukan
Witir sebelum tidur, kemudian dia dapat bangun lagi sebelum Subuh,
dia tetap boleh melakukan shalat
malam, sedangkan witirnya cukup dengan yang sudah dilakukan sebelum
tidur. Hal tersebut dibolehkan karena terdapat riwayat bahwa Raslullah Shalallahu’alaihi
wa sallam kadang masih melakukan shalat setelah shalat Witir. Adapun pesan
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam agar kita menjadikan witir sebagai akhir
shalat di malam hari, adalah bersifat anjuran, bukan keharusan.
Yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan shalat witir lagi pada malam yang sama, karena Rasululah Shalallahu’alaihi
wa sallam bersabda
“Tidak ada dua Witir dalam satu
malam” (HR.
Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)
Jumlah Rakaat dan Sunahnya
Jumlah rakaat witir minimal satu rakaat, selebihnya dapat dilakukan tiga rakaat hingga
sebelas rakaat. Yang penting bilangannya ganjil.
Jika dilakukan tiga rakaat, ada
dua cara yang dapat dilakukan;
- Dilakukan tiga rakaat langsung,
lalu duduk tahiyat pada rakaat terakhir dan salam.
- Dilakukan dua rakaat terlebih
dahulu, lalu tahiyat pada rakaat kedua kemudian salam.
Kemudian lakukan shalat satu rakaat lagi, lalu tahiyat,
kemudian salam.
Jika menjadi imam, hendaknya
memperhatikan kebiasaan jamaah dalam melakukan shalat Witir agar
tidak terjadi kebingungan, atau
memberitahunya sebelum shalat. Tidak melakukan shalat Witir
seperti shalat Maghrib (melakukannya sebanyak tiga rakaat dengan dua tasyahud. Sebab ada riwayat yang melarang
untuk menyamakan shalat Witir dengan shalat Maghrib.
Disunnahkan setelah membaca surat
al-Fatihah- pada rakaat pertama membaca surat Al-A’la.
Sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas. Kemudian
dilanjutkan dzikir setelah witir :
سُبْحَانَ
الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Subhaanal malikil qudduus –dibaca 3x- [artinya:
Maha Suci Engkau yang Maha Merajai lagi Maha Suci dari berbagai kekurangan]”
(HR. Abu Daud no. 1430, An-Nasai no. 1735, dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatkaan bahwa sanad hadits ini shahih)
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ
عَلَى نَفْسِكَ
“Allahumma inni a’udzu bi ridhaoka min sakhotik wa bi
mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik,
anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” -dibaca 1x- [artinya: Ya Allah, aku
berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu
dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu
menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang
Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no.
3566, An-Nasa’i no. 1748 dan Ibnu Majah no. 1179. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
فَإِذَا فَرَغَ
قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ
فِي آخِرِهِنَّ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah selesai dari witirnya, beliau membaca ‘subhaanal malikil qudduus
(sebanyak tiga kali)’, beliau memanjangkan di akhirnya.” (HR. An-Nasa’i no.
1700, Ibnu Majah no. 1182. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu ‘Abdirrahman bin Abza, dari bapaknya, ia
berkata,
وَكَانَ
يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَيَرْفَعُ
صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
“Jika mengucapkan salam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca, ‘Subhaanal malikil qudduus’ sebanyak tiga kali lalu
beliau mengeraskan suaranya pada ucapan yang ketiga.” (HR. An-Nasa’i no. 1733
dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Cara membacanyaadalah mengeraskan bacaan terakhir berbeda dengan bacaan “subhaanal
malikil qudduus” di pertama dan kedua, memanjangkan bacaan “qudduus” dengan empat atau
enam harakat.
Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
فَإِذَا
سَلَّمَ قَالَ :« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ
بِهَا صَوْتَهُ فِى الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ »
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkan salam, beliau mengucapkan, ‘Subhaanal malikil qudduus’
sebanyak tiga kali dan di suara ketiga, beliau memanjangkan suaranya. Lalu
beliau mengucapkan, ‘Rabbil malaikati war ruuh.’ ” (HR. As-Sunan
Al-Kubra Al-Baihaqi 3: 40 dan Sunan Ad-Daruquthni 4: 371. Tambahan ‘rabbil
malaikati war ruuh’ adalah tambahan maqbulah yang diterima).
Sehingga doa setelah witir bisa pula dengan ‘subhaanal
malikil quddus’ sebanyak 3 kali lalu bacaan terakhir dikeraskan atau
dipanjangkan lalu ditambahkan dengan rabbil malaikati war ruuh.
Disunnahkan melakukan qunut pada
rakaat terakhir dalam shalat Witir, baik sebelum ruku ataupun
sesudah ruku. Qunut ini disunahkan dalam
shalat Witir, baik di bulan Ramadan atau di luar bulan Ramadan. Sebagian ulama menyatakan bahwa qunut dilakukan dalam rakaat terakhir
shalat Witir sejak pertengahan akhir di bulan Ramadan.Qunut dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruku’. qunut sebelum
ruku’ diriwayatkan dalam hadits Ubay bin
Ka’ab:”bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam qunut dalam shalat
witir sebelum ruku’.( HR Abu Dawud, Ibnu Majah)
LAILATUL
QADAR
Lailatul
Qadar adalah malam yang sangat mulia,
malam yang lebih baik dari seribu bulan, malam diturunkannya al-Quranul-Karim
ke Lauhil Mahfuz. Malam ini adalah malam yang penuh barokah, karena banyaknya
kebaikan dan keutamaan di dalamnya.
Malam ini juga malam yang mustajabah
karena setiap doa yang dipanjatkan akan dikabulkannya oleh
Allah Ta’ala. Pada malam itu
malaikat-malaikat akan turun ke bumi membawa segala keberkahan dan karunia
dari Allah Ta’ala.
Maka seorang muslim yang beribadah
pada malam ini dengan ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai ajaran Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, dosa-dosanya akan diampuni
oleh-Nya.
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
bersabda ,“Siapa yang beribadah pada malam Lailatul
Qadr dengan iman dan penuh harap pahala dari
Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaq alaih)
Tidak ada petunjuk persis kapan Lailatul
Qadar datang. Yang jelas dia datang pada malam bulan
Ramadhan. Hikmahnya adalah agar kaum muslimin
menghidupkan semua malam di bulan Ramadhan dengan ibadah dan ketakwaan kepada
Allah Ta’ala, jangan sampai ada satu malam pun yang dia lewatkan tanpa ibadah, harapan dapat bertemu dan mendapatkan
kemuliaan dari
Lailatul Qadar.
Namun demikian, Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
telah memberikan perkiraan kepada kita tentang kemungkinan
datangnya malam tersebut.
Kemungkinan pertama adalah bahwa
dia datang pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam
bersabda“Carilah Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.” (Muttafaq alaih)
Oleh karena itu pada hari-hari ini
kita dianjurkan untuk meningkatkan ibadah kita kepada Allah
Ta’ala. Selanjutnya dari sepuluh hari
terakhir tersebut, kemungkinanyang lebih dekat adalah pada malam-malam ganjil. Sebagai-mana sabda
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam,
“Carilah Lailatul Qadr pada
malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Rama-dhan.” (HR. Bukhari)
Dari malam-malam ganjil tersebut,
kemungkinan yang paling dekat adalah malam-malam ganjil pada
tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat bahwa sejumlah shahabat ada yang bermimpi melihat Lailatul
Qadr pada malam tujuh hari terakhir, dan hal tersebut
disetujui Rasulullah
Shalallahu’alaihi
wa sallam,
sehingga beliau bersabda,“Siapa yang ingin mendapatkannya,
hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir (bulan
Ramadhan).” (Muttafaq alaih)
Dan dari tujuh hari terakhir
tersebut, yang paling dekat adalah pada malam kedua puluh tujuh
Ramadhan, sebagai-mana perkataan Ubay bin Ka’ab ,“Demi Allah, saya mengetahui kapan
malam tersebut (Lailatul Qadar) yang kita diperintahkan
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam untuk beribadah di dalamnya, dia adalah malam
kedua puluh tujuh (Ramadhan).” (HR. Muslim)
Namun, yang paling utama adalah
jika semua malam-malam Ramadan kita isi dengan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik berupa shalat,
tilawah Al-Quran, berzikir, i’tikaf, khususnya pada sepuluh malam
terakhir. Jika kita bertemu dengan malam Lai-latul Qadar,
kita dianjurkan membaca:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ
لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِى اللَّهُمَّ
إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Dari
‘Aisyah –radhiyallahu
‘anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu
bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti
kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berdo’alah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa
fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang
yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku (HR.Tirmizi,
Ibnu Majah dan Ahmad)
I'TIKAF
I’tikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam
sesuatu. Sedang pengertian i’tikaf menurut istilah dikalangan para ulama
terdapat perbedaan. Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat i’tikaf adalah
berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah,
dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i) i’tikaf artinya berdiam diri di
masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah.
Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan I’tikaf
adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan
melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha
Allah.
Landasan Hukum Syariat I'tikaf dinyatakan dalam
Alquran, hadits dan perbuatan Rasulullah J serta para sahabat. Dalam surat Albaqarah ayat 125
Allah Ta'ala berfirman,
"…Bersihkan rumah-Ku untuk
orang-orang yang thawaf, yang
I'tikaf, yang ruku' dan yang
sujud." (QS. Albaqarah: 125)
Aisyah radhiallahu anha berkata,
"Sesungguhnya Nabi Shalallahu’alaihi
wa sallam melakukan I'tikaf pada sepuluh
hari
terakhir Ramadan hingga beliau
wafat. Kemudian para isterinya melakukan I'tikaf
sesudahnya." (Muttafaq alaih)
Para ulama sepakat bahwa I'tikaf
adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita.
Kecuali jika seseorang bernazar untuk I'tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya.
Sedangkan
menurut pendapat yang kuat tentang lama i'tikaf dan waktunya bahwa lama I'tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat
dari Umar bin Khattab, bahwa beliau menyampaikan kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bahwa dirinya di masa jahiliah pernah
bernazar untuk I'tikaf di Masjidilharam selama satu malam, maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikan
nazarmu." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Ada pula pendapat yang mengatakan
bahwa I'tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di masjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak
ada landasan dalilnya, juga tidak sesuai dengan makna I'tikaf yang
menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam waktu yang lama.
Bahkan Imam Nawawi yang bermadzhab Syafiiyah berpendapat bahwa I'tikaf boleh dilakukan
walau sesaat tetap menganjurkan agar I'tikaf dilakukan tidak
kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam dan para shahabat bahwa mereka
melakukan I'tikaf kurang dari sehari.
Sedangkan lama maksimal I'tikaf
tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidk melalaikan
kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya
atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam di tahun wafatnya pernah melakukan I'tikaf selama
dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Adapun waktu I'tikaf, berdasarkan
jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam pernah melakukan I'tikaf di bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga
diriwayatkan pernah I'tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadan
(HR.Muslim). Namun waktu I'tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir
di bulan Ramadan.
Masjid yang disyaratkan sebagai
tempat i'tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat
berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga
digunakan untuk shalat Jum'at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama;
Masjidilharam, Masjid Nabawi
dan Masjidil Aqsha.
Terdapat atsar dari Ali bin Thalib
dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa I'tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di
dalamnya shalat berjamaah (Mushannaf Abdurrazzaq,). Disamping, jika I'tikaf dilakukan di masjid yang
tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i'tikaf akan dihadapkan dua
perkara negatif; Dia tidak dapat shalat
berjamaah, atau akan sering keluar tempat I'tikafnya untuk shalat
berjamaah di masjid lain.
Yang dimaksud masjid sebagai
tempat I'tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan
semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan
barang, atau kantor di dalam masjid. Lebih baik lagi jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan
peserta I'tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat
tidur dan menyimpan barang bawaan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa
I'tikaf dimulai sejak sebelum terbenam matahari malam 21 Ramadan. Berdasarkan kenyataan bahwa malam
21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan
termasuk malam ganjil yang diharapkan turun
Lailatul Qadar. Ada juga yang berpendapat bahwa awal I'tikaf
dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadan. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallah
‘anha bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam jika hendak I'tikaf, beliau shalat Fajar, setelah itu beliau
masuk ke tempat I'tikafnya (HR. Muslim).
Adapun waktu berakhirnya, sebagian
ulama berpendapat bahwa I'tikaf berakhir ketika dia akan keluar
untuk melakukan shalat Id, namun tidak
terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama
lainnya berpendapat bahwa waktu I'tikaf
berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan.
Wanita dibolehkan melakukan
I'tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang
telah disebutkan bahwa isteri-isteri
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam melakukan I'tikaf. Terdapat juga riwayat
bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan
I'tikaf (HR. Bukhari)
Namun para ulama umumnya
memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I'tikaf,
yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak
menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak
sedang dalam haidh dan nifas.
Orang yang sedang I'tikaf tidak
boleh keluar dari masjid. Kecuali jika
ada kebutuhan pribadi
mendesak yang membuatnya harus
keluar dari masjid. Aisyah radhillahu
anha berkata, "Adalah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan
dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali
jika ada
kebutuhan jika sedang
i'tikaf." (Muttafaq alaih)
Perkara-perkara yang dianggap
kebutuhan mendesak sehingga seorang yang I'tikaf boleh keluar masjid adalah; buang hajat, bersuci, makan,
minum, shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu
tidak dapat dilakukan atau tidak
tersedia sarananya dalam area
masjid.
Keluar dari masjid karena
melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I'tikaf. Dia dapat pulang
ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian
meneruskan kembali I'tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang
mengalami haid atau nifas di tengah i'tikaf. Akan tetapi jika seseorang keluar
dari area masjid
tanpa kebutuhan mendesak, seperti
berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka I'tikafnya batal. Jika
dia ingin kembali, maka niat I'tikaf lagi dari awal. Bahkan, orang yang sedang i'tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk
menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana
perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Daud).
Berdasarkan ayat yang telah
disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I'tikaf adalah
berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan
I'tikaf.. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan
bahwa hal tersebut membatalkan jika
diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi
syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.
Termasuk yang dianggap membatalkan
adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan
jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I'tikaf,
walaupun dia masih berdiam di masjid.
Seseorang dibolehkan membatalkan
I'tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal
tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya
diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya. Yang dianjurkan, dibolehkan dan
dilarang. Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam
ibadah,
khususnya shalat fardhu, dan
memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul quran , berdoa,
berzikir, muhasabah, talabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan
berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama
kegiatan
i'tikaf, sebagaimana diriwayatkan
bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dikunjungi Safhiah binti Huyay, isterinya,
saat beliau I'tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat.
Dilarang saat I'tikaf menyibukkan
diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram
seperti ghibah, namimah atau memandang
pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya. Hindari perkara-perkara yang
berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.
IDUL FITRI
Idul Fitri merupakan hari raya
umat Islam sekaligus menjadi syi’arnya. Kaum muslimin hendaknya
gembira menyambut kedatangannya, namun
tetap dengan adab-adab yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Adab-adab Yang Disyariatkan
1. Bersyukur atas nikmat dirinya
dapat melalui bulan Ramadhan hingga akhir dan dapat menunaikan
ibadah di dalamnya.
2. Disyariatkan takbir sejak
matahari terbenam dimalam Idul Fitri, hingga dilaksanakan shalat Id.
Disunnahkan bagi orang laki untuk mengeraskan bacaannya.
3. Mandi dan mengenakan wewangian
serta memakai pakaian yang paling bagus, namun tidak berlebih-lebihan dan tidak melanggar syariat,
seperti membuka aurat dan semacamnya.
4. Makan korma dengan ganjil
sebelum berangkat shalat.
5. Ikut shalat dan mendengarkan
khutbah bersama kaum muslimin. Bahkan wanita haidh juga
diperintahkan untuk hadir bersama meskipun tidak shalat dan dijauhkan dari tempat shalat.
6. Disunnahkan menempuh jalan yang
berbeda antara pergi dan pulang shalat id.
7. Dibolehkan untuk mengucapkan
selamat lebaran satu sama lain. Misalnya dengan mengucapkan :
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima amal kita semua.”
8. Diharamkan berpuasa pada hari
itu (hari pertama bulan Syawal)
Perkara Yang Tidak Sesuai Dengan
Ajaran Islam Pada Hari Id
1. Berlebih-lebihan dalam hal
pakaian dan makanan. Apalagi jika disertai menyombongkan diri.
2. Mengendurkan ibadah dengan
drastis, seperti melalaikan shalat dan tidak berjamaah bagi kaum
laki-laki.
3. Menyepelekan perkara-perkara
maksiat dengan alasan Idul Fitri.
Sebagai pelengkap ibadah Ramadan,
maka disunahkan berpuasa pada bulan Syawal selama enam hari. Yang paling utama dilakukan secara
berurutan pada hari kedua dan seterusnya di bulan Syawal. Akan tetapi tidak mengapa jika dilakukan
secara acak selama bulan Syawal. Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda’“Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian
diikuti dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (nilainya) bagaikan puasa
setahun.” (HR. Muslim)
Namun jika seseorang memiliki
kewajiban untuk meng-qadha puasa Ramadhan, maka
hendaknya dia meng-qadha puasanya terlebih dahulu, baru setelah
itu dia dapat puasa sunah Syawal. Akan
tetapi, jika qadhanya terlalu banyak, sehingga sulit baginya untuk menyelesaikannya di bulan Syawal,
maka sebagian ulama membolehkan baginya untuk puasa Syawal
terlebih dahulu baru setelah itu puasa
qadha. Karena pada dasarnya, qadha puasa Ramadan bersifat luas,
tidak diharuskan dilakukan pada bulan
Syawal. Wallahua’lam.
Referensi:
1. Tafsir Al-Quranul Azhim, Ibnu
Katsir.
2. Shahih Bukhari
3. Shahih Muslim
4. Sunan Abu Daud
5. Sunan Tirmizi
6. Sunan Ibnu Majah
7. Sunan An-Nasai
8. Musnad Ahmad.
9. Fathul Bari, Al-Hafiz Ibnu
Hajar Al-Asqalani.
10. Syarah Shahih Muslim, Imam
An-Nawawi.
11. Tuhfatul Ahwazi, Syarah Jami
Tirmizi, Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri.
12. Subulus-Salam Syarah Bulughul
Maram, Imam Ash-Shan'ani.
13. Al-Mughni, Ibnu Qudamah.
14. Al-Majmu, Syarah Muhazab, Imam
An-Nawawi.
15. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiah, Wazarah Al-Auqaf Wasy-Syu'uun Al-Islamiyah, Kuwait.
16. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah,
Ar-Ri'asah Al-Ammah Lil-Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta, Arab Saudi.
17. Fiqhus-Sunnah, Sayyid Sabiq.
18. Majmu Fatawa Syaikhul Islam
Ibnu Taimiah.
19. Majmu Fatawa Ibn Baz.
20. Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu
Utsaimin.
21. Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, Syekh
Soleh bin Fauzan.
22. Al-Ilmam Bi Syai'in Min
Ahkamisshiyam, Syekh Abdul Aziz Ar- Rajihi.
23. Syarah Bulughul Maram, Syekh
'Athiah bin Muhammad Salim.
24. Al-Jami Li Ahkamish-Shiyam,
Mahmud bin Abdullatif Al-Uwaidhah.
25. Tazkiratush-Shuwwaam, Abdullah
bin Shaleh Al-Qushair.
26. Hiwar fil I'tikaf Ma'a
Samahatissyekh Al-Allamah Abdullah bin
Jibrin, rahimahullah,
27. Fiqhul I'tikaf, Dr. Khalid bin
Ali Al-Musyaiqih.
28. Al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380,
29. Duruus Ramadhaniah, Waqafaat
Li as-Sho’imin, Salman bin Fahd al-Audah
30. Shalatul-Mu’min, DR.
Sa’id Ali bin Wahf al- Qahthani, hal. 326
31. Fiqh Nawazil Ash-Shiyam,
DR. Abdullah bin Sakakir.
33. Fiqhul Islam wa Adhilatuhu, DR Wahbah Az Zuhaili
34. Kifayatul Akhyar, Al-Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-Husaini.