Menyentuh mushaf
Ada 2 pendapat dalam masalah bolehkah seseorang yang berhadats menyentuh mushaf.
Tidak boleh(haram), ini adalah pendapat madzhab yang empat, mereka berdalil dengan surat yang dikirim rasulullah kepada Amr bin Hazm yang berbunyi,”tidak menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (HR Malik dalam al muwaththa’, dengan drajat hasan ligairihi) hal ini menunjukkan keharaman menyentuh mushaf ketika berhadats.
Boleh, ini adalah pendapat madzhab Zhahiri. Ibnu Hazm berkata ,”Membaca Al Qur’an,sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir diperbolehkan baik dalam berwudhu ataupun tidak dan boleh dilakukan oleh orang yang sedang junub dan haid.” Pendalilannya adalah bahwasanya membaca al qur’an dan dzikir adalah perkara mustahab, berpahala bagi yang melakukan maka bagi yang melarangnya harus mendatangkan dalil dari al qur’an atau hadits larangannya. Adapun menurut beliau dalil tentang larangan menyentuh mushaf tidak ada yang shahih sedangkan hadits di atas memang diterima akan tetapi kata thaahir/orang yang suci adalah kata mustarak( memiliki beberapa makna yang sama kuat) thaahir bisa berarti suci dari hadats besar/ hadats kecil, bisa juga berarti seorang mukmin (bukan kafir, karena kekafiran adalah kekotoran) atau suci dari najis. Untuk menentukan salah satu makna maka di butuhkan dalil.
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang mengharamkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats, alasannya.
Pertama: hadits di atas menunjukkan haramnya menyentuh mushaf, dan tidak bisa disangkal dengan alasan ‘mustarak’nya kata thaahir. Sebab tidak ada salahnya jika hadits tersebut di pahami untuk seluruh makna. Dengan demikian orang musyrik, orang berhadats besar & kecil haram menyentuh mushaf. Demikian juga tangan yang bernajis.
Ibnu taimiyah berkata,” boleh menetapkan hukum untuk semua makna yang terkandung dalam kata mustarak. Hal ini di bolehkan oleh mayoritas ahli fiqih dan ahli kalam.”
Kedua: hal ini diamalkan para sahabat dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat dan tabi’in tentang haramnya menyentuh mushaf bagi orang berhadats.(lihat kitab muhtashar ulama,al mughni, syarah umdatul ahkam ibnu taimiyah)
Ketiga: berdasarkan firman Allah:
لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ ﴿٧٩﴾
" tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Waqiah:79)
Benar memang maksud ayat ini adalah lauhul mahfudz yang ada di langit. Akan tetapi ayat ini sama dengan yang ada dalam surat ‘abasa
sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,. Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan,yang ditinggikan lagi disucikan. di tangan Para penulis (malaikat),. yang mulia lagi berbakti. (‘Abasa:11-16)
Bahwa al qur’an yang berada di lauhul mahfudz sama seperti al qur’an yang ada di lembaran-lambaran kertas, batu kayu, kulit kain dll. Jika yang di lauhul mahfudz tidak boleh di sentuh kecuali oleh orang orang yang suci maka demikian juga dengan al qur’an yang ada d bumi, karena kemuliaan al qur’an itu sama baik di bumi atau di langit.
Orang yang berhadats disini diperbolehkan menyentuh setelah bersuci dari hadats.
Lalu bagaimana menyentuh mushaf al qur’an dengan pembatas. Maka terdapat perselisihan di antara ulama.ada ulamayang mebolehkan dan ada yang tidak. Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf.Seperti yang digunakan pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.
Sedang hukum membawa mushaf al qur’an ketika berhadats tanpa menyentuhnya, misalnya di dalam tasnya maka pendapat yang tepat dalam hal ini adalah dibolehkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyentuh secara langsung, inilah pendapat hasan bashri, atho’, assya’bi , al qosim al hakam dan hammad.
Boleh Menyentuh kitab-kitab tafsir dalam keadaan berhadats baik kecil maupun besar, dalilnya adalah surat yang dikirimkan kepada heraklius yang terdapat ayat al qur’an yang diriwayatkan dalm shahih bukhari dan muslim. Padahal ketika Rasulullah mengirim surat itu, pasti dia yakin surat itu akan di sentuh oleh orang kafir yang tak pernah bersuci dari hadats.
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak al qur’annya daripada kajian tafsirnya, begitu pula jika isinya sama banyaknya, menurut pendapat yang kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsirnya maka di bolehkan untuk menyentuhnya. An Nawawi dalam al majmu’ syarah muhadzab mengatakan,” jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat al qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Hal tersebut juga dibolehkan untuk kitab hadits dan fiqih yang terdapat tulisan ayat al qur’an. Begitu juga hukum menyentuh Al qur’an terjemah, karena al qur’an terjemah dihukumi sama dengan kitab tafsir yang memiliki tafsir lebih banyak daripada al qurannya. Karena terjemah dalam bahasa selain arab, kadang satu kata dalam bahasa arab harus diterjemahkan dalam beberapa kata,belum lagi catatan kaki dan keterangan-keterangan lain. Maka hukum menyentuh al qur’an terjemah sama dengan menyentuh kitab tafsir.
Hukum membaca Al Qur’an bagi orang berhadats.
Telah sepakat seluruh ulama akan kebolehan membaca al qur’an tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil. Akan tetapi ada perbedaan pendapat hukumnya untuk orang haid,nifas&junub. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang melarang dengan beberapa syarat dan ada yang membolehkan.
, Drs. H. Sholahudin Al-aiyub, M.Sc dalam situs MUI menerangkan “orang yang sedang haidh atau nifas adalah termasuk orang yang sedang menanggung hadats, oleh karenanya tidak boleh membaca al-Quran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi.
Yang perlu diperhatikan bahwa pengertian “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat al-Quran melalui mulut, baik dengan melihat mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Sedangkan apabila orang yang sedang haidh/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Quran kemudian membacanya dalam hati, maka yang demikian itu dibolehkan.
Memang, ada pendapat dalam mazhab Malikiyah yang membolehkan bagi orang haidh untuk membaca al-Quran, dengan alasan bahwa Sayyidatina Aisyah R.A. pernah membaca al-Quran dalam keadaan sedang haidh. Namun pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar (jumhur) ulama, dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh sayyidatina Aisyah RA tersebut (jika riwayatnya dianggap shahih) bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca al-Quran bagi orang yang sedang haidh, karena bertentangan dengan sabda Nabi di atas.”
Menurut kami, pendapat yang kuat adalah yang membolehkan membaca tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil, haid, nifas dan tidak boleh bagi orang junub. Sedangkan orang junub tidak bisa di samakan dengan orang haid dan nifas karena waktunya yang singkat dan bisa segera bersuci dari hadats dengan mandi, atau tayamum. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan ali bin abi thalib, beliau berkata,” Rasulullah biasa membacakan al qur’an kepada kami dalam keadaan apapun selama beliau tidak junub.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud,Ibnu Majah, An Nasa’i dan Ahmad, menurut At Tirmidzi hadits ini hasan shahih, sedangkan menurut ibnu sakan, Abdul Haq dan Al Baghawi hadits ini shahih)
juga dalam lafadz lain .,”tidak ada yang menghalangi beliau (Rasulullah)membaca Al Qur’an selain Junub.”( HR Ahmad dalam al musnad dan dinilai shahih oleh Ahmad Syakir)
Wallahua’lam
(diambil dari berbagai sumber,Ta’ Rauf Yusuf)
No comments:
Post a Comment