Kata
kiblat yang berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata muqabalah yang berarti muwajahah,
artinya menghadap. Sehingga kata qiblah sendiri artinya hadapan, yaitu suatu
keadaan (tempat) dimana orang-orang pada menghadap kepadanya. Secara harfiah,
qiblat berarti al-Jihah yakni arah
atau disebut syathrah.
Pada
hakikatnya, kiblat yang bermakna arah dan tempat, makna tersebut ibarat dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga jika menyebut kata kiblat
pasti kedua makna tersebut sudah terkandung di dalamnya, atau dalam bahasa
nahwunya “al-Lafdzu al-Mufrad wa Muraduhu
al-Jam'u"
Setelah
pada ayat sebelumnya Allah memerintahan menghadap kabah sebagai kiblat dan
keingkaran ahlu kitab Allah menyatakan bahwa pada hakikat dari penghadapan
kiblat.
وَلِكُلٍّ۬ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيہَاۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٲتِۚ أَيۡنَ
مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ
شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬ (١٤٨)
Dan setiap umat mempunyai kiblat
yang dia menghadap kepadanya. Maka berlombalombalah kamu dalam kebaikan. Di
mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (148)
Masing-masing
umat memiliki kiblat sendiri dalam ibadahnya. Menghadap kiblat tertentu termasuk
syari'at yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi serta zamannya, ia
bisa dimasuki oleh naskh dan mengalami perubahan dari arah tertentu kepada arah
yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah menta'ati
perintah Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan menjauhi larangan-Nya serta mendekatkan
diri kepada-Nya, inilah tanda kebahagiaan dan tanda keberuntungan.
Perintah
berlomba-lomba dalam kebaikan lebih dalam daripada sebatas perintah mengerjakan
kebaikan. Dalam perintah ini mengandung perintah mengerjakannya,
menyempurnakannya, melakukannya sebaik mungkin dan bersegera kepadanya.
Barangsiapa yang bersegera kepada kebaikan ketika di dunia, maka dia adalah
orang yang lebih dulu ke surganya. Oleh karena itu, mereka yang berlomba-lomba
dalam kebaikan adalah orang yang paling tinggi derajatnya. Dan kata
"kebaikan" di sini mencakup semua amalan fardhu maupun sunat, baik
berupa shalat, puasa, zakat, hajji, Umrah, jihad, manfa'at bagi orang lain
maupun sebatas untuk diri sendiri.Karena pendorong yang paling kuat agar
seseorang dapat bersegera kepada kebaikan dan bersemangat kepadanya adalah
pahala yang dijanjikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka Dia berfirman seperti
yang disebutkan di atas; yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan mengumpulkan
kita semuanya di mana saja kita berada dengan kekuasaan-Nya, dan Dia akan
memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal, jika amalnya buruk, maka
Dia akan membalas sesuai amal yang dikerjakannya dan jika baik, maka Dia akan membalas
dengan berlipat ganda dan memberikan balasan yang terbaik (surga). Ayat yang
mulia ini juga mengandung perintah untuk segera melaksanakan kewajiban seperti
shalat di awal waktu, segera membayar hutang puasa dan segera berhajji serta
anjuran untuk melaksanakan amalan-amalan sunat.
وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ
وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۖ وَإِنَّهُ ۥ لَلۡحَقُّ مِن
رَّبِّكَۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ (١٤٩)
Dan dari mana saja kamu keluar,
hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang kamu kerjakan (149)
Darimana
saja seseorang Keluar dari rumahnya yakni keluar bersafar atau keperluan
lainnya, kemudian hendak mendirikan shalat. Maka diperintahkan untuk menghadap
masjidil haram. Pada ayat di atas
menggunakan dua penguat, huruf "inna" dan "lam"
(sesungguhnya dan benar-benar) agar tidak perlu lagi ragu dan agar tidak timbul
perkiraan bahwa perintah menghadap ke Ka'bah itu hanyalah karena lebih enak,
bahkan ia merupakan perintah yang sesungguhnya.
Ayat
ini di akhiri dengan ungkapan, bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan melihat
kita. Hal ini menunjukan agar kita tetap menjaga perintahnya dan menjauhi
larangan-Nya.
وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ
وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَڪُمۡ شَطۡرَهُ ۥ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ
عَلَيۡكُمۡ حُجَّةٌ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡہُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ
وَٱخۡشَوۡنِى وَلِأُتِمَّ نِعۡمَتِى عَلَيۡكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ (١٥٠)
Dan dari mana saja kamu (keluar),
maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
(sekalian) berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi
manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah
kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, dan agar Aku-sempurnakan nikmat-Ku
kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk ( 150 )
Perintah
menghadap ke kiblat adalah agar ahli kitab dan kaum musyrikin tidak memiliki
alasan lagi untuk menentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu,
karena jika tetap menghadap ke Baitul Maqdis tentu orang-orang ahli kitab akan
menegakkan hujjah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena yang
disebutkan dalam kitab-kitab mereka adalah bahwa kiblat yang tetap bagi Beliau
adalah Ka'bah Baitullah al haram.
Sedangkan
hujjah bagi orang-orang musyrikin ketika Beliau tetap menghadap ke Baitul
Maqdis
adalah perkataan yang akan timbul dari mereka, "Bagaimana Beliau berada di
atas agama Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan termasuk keturunannya, padahal
Beliau tidak menghadap ke kiblatnya?!". Dengan demikian, setelah diadakan
pemindahan kiblat, maka orang-orang ahli kitab dan kaum musyrikin sudah tidak memiliki
hujjah lagi untuk menentang Beliau.
Akhirnya
hanya orang-orang yang zalim saja yang masih mencoba-coba berhujjah, namun hujjah
mereka tidak bersandar selain kepada hawa nafsu sehingga tidak perlu diladeni,
karena tidak ada manfa'atnya berdebat dengan orang yang zalim.
Allah
menyatakan tidak perlu takut kepada mereka karena hujjah mereka batil, dan kita
diperintahkan untuk takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja, karena takut
kepada-Nya merupakan asas semua kebaikan. Oleh karena itu, orang yang tidak
takut kepada Allah Azza wa Jalla, ia tidak akan berhenti bermaksiat dan tetap tidak
mau mengikuti perintah-Nya.
Perlu
diketahui, bahwa pemindahan arah kiblat merupakan fitnah yang besar. Fitnah itu
diangkat-angkat oleh ahli kitab, kaum munafik dan kaum musyrikin, mereka banyak
membicarakan masalah itu dan menyampaikan berbagai syubhat. Oleh karena itu,
pada beberapa ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkannya secara
gamblang dan meyakinkan rasul-Nya serta memperkuat kebenaran itu dengan berbagai
penguat sebagaimana yang disebutkan di beberapa ayat atas, misalnya:
-
Diulangi-Nya perintah menghadap kiblat berkali-kali
-
Perintah itu tidak hanya ditujukan kepada Rasul saja, meskipun biasanya
perintah kepada rasul sebagai perintah kepada umatnya, tetapi diperkuat lagi
dengan perintah kepada umatnya
sebagaimana
firman-Nya "fa walluu wujuuhakum syathrah".
-
Pada ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala membantah semua alasan batil
yang dilemparkan oleh mereka yang zalim.
-
Menghilangkan harapan bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
mengikuti kiblat ahli kitab.
-
Penguatan dengan berita yang disampaikan-Nya bahwa sesungguhnya hal itu
benar-benar hak dari sisi Allah.
-
Pemindahan kiblat tersebut disebutkan dalam kitab-kitab mereka (ahli kitab),
namun mereka
menyembunyikannya.
Dan
takutlahk kepada Allah degan tetap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dan kelak Allah akan meyempurnakan syari'at yang merupakan nikmat
yang besar. Dasar nikmat adalah memperoleh hidayah untuk mengikuti agama-Nya,
setelah itu nikmat-nikmat yang lain yang melengkapi dasar tersebut, dimulai
dari sejak diutusnya Beliau sampai wafat hingga syari'at pun sempurna.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala juga menjelaskan hidayah itu sejelas-jelasnya,
sampai-sampai ditetapkan untuk yang hak itu ada para penentangnya agar yang hak
itu semakin jelas dan nampak serta yang batil semakin jelas kebatilannya. Hal
itu, karena jika tidak ada kebatilan sebagai lawan yang hak tentu kebenaran itu
akan samar bagi kebanyakan orang. Dengan ada
lawannya
maka segala sesuatu itu semakin jelas. Jika tidak ada malam tentu tidak akan
diketahui kelebihan siang, jika tidak ada keburukan tentu tidak akan diketahui
kelebihan yang baik, jika tidak ada kegelapan tentu tidak akan diketahui
manfa'at cahaya, dan jika tidak ada kebatilan tentu kebenaran tidak akan jelas
dan nampak, maka sehgala puji bagi Allah terhadap semua itu.
Dari
pembahasan ayat ini maka bisa kita ambil pelajaran :
1. Pada
hakikatnya orientasi arah berfikir dan aktivitas manusia seharusnya dilakuan
hanyalah untuk mematuhi perintah Allah dengan mengingkari setiap keinginan yang
tida sesuai dengan perintahnya.
2. Kualitas
amal harus di utamaan, seorang mukmin sejati adalah orang yang ikhsan dalam
beramal, yang paling profesional dalam beramal. Maka etos kerja seorang
mukminadalah menghadirkan inerjaterbaik di setiap level peranya.
3. Argumentasi
tentang kebenaran tidak boleh dilandaskan pada hawa nafsu saja. Orang yang
mendahuluan hawa nafsu dan keinginanya mendahului perintah Allah dan nalar
logikanya, maka orang inilah orang yang zalim. Dan kezaliman dalam berfikir ini
menyebaban seseorang tidak aan pernah mendapati kebenaran yang hakiki.
Temanggung, 5 Jumadil
Awal 1440 H/11 Januari 2019
Ta’ Rouf Yusuf
No comments:
Post a Comment