إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ
مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ
شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi'ar Allah[. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara
keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan
hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha mengetahui. (Al Baqarah 158 )
Bukit Shafa dan Marwah adalah dua buah bukit yang terletak dekat dengan
Ka'bah (Baitullah). Bukit Shafa dan Marwah ini memiliki sejarah yang sangat
penting dalam dunia Islam, khususnya dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah.
Bukit Shafa dan Marwah yang berjarak sekitar 450 meter itu, menjadi salah satu
dari rukun haji dan umrah, yakni melaksanakan Sa'i.
Ibadah Sa'i adalah berjalan kaki dan berlari-lari kecil di antara kedua
bukit tersebut, sebanyak tujuh kali (bolak-balik) dari Bukit Shafa ke Bukit
Marwah dan sebaliknya. Dan, ketika melintasi Bathnul Waadi, yaitu kawasan yang
terletak di antara Bukit Shafa dan Marwah (saat ini ditandai dengan lampu neon
berwarna hijau), para jamaah pria disunahkan untuk berlari-lari kecil,
sedangkan untuk jamaah wanita berjalan cepat. Ibadah Sa'i boleh dilakukan dalam
keadaan tidak berwudhu dan oleh wanita yang datang haid atau nifas.
Keutamaan Sa’i Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berkata kepada
orang-orang Anshar yang bertanya tentang pahala sa’i antara Shafa dan Marwah, “
Adapun sa’imu antara Shafa dan Marwah ialah seperti membebaskan 70 budak ”. (HR
Bazzar dan Thabrani).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Urwah,
bahwa ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha,
"Beritahukanlah kepadaku firman Allah Ta'ala, "Innash shafa wal
marwata…dst. sampai ay yaththawwafa bihimaa." Demi Allah,
(yang demikian menunjukkan) tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa'i
antara Shafa dan Marwah." Aisyah menjawab, "Buruk sekali apa yang
kamu katakan, wahai putera saudariku! Sesungguhnya ayat ini jika seperti apa
yang kamu tafsirkan, maka berarti tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa'i
antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi, ayat ini turun berkenaan dengan
orang-orang Anshar, di mana mereka sebelum masuk Islam berihlal (bertalbiyah)
untuk berhala Manat yang mereka sembah di Musyallal. Di antara orang yang
berihlal itu merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah. Ketika mereka
telah masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang hal itu. Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
kami merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah," maka Allah menurunkan
ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst." Aisyah
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan
bersa'i antara Shafa dan Marwah, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang pun
meninggalkan bersa'i antara Shafa dan Marwah." Kemudian Aisyah
memberitahukan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman, lalu Abu Bakar berkata,
"Sesungguhnya ilmu ini belum pernah aku dengar. Bahkan aku mendengar
beberapa orang ahli ilmu menyebutkan, bahwa orang-orang –selain yang disebutkan
Aisyah yang berihlal dengan Manat- mereka bersa'i di Shafa dan Marwah. Karena
Allah Ta'ala hanya menyebutkan thawaf di Baitullah, dan tidak menyebutkan
bersa'i antara Shafa dan Marwah dalam Al Qur'an, mereka
berkata, "Wahai Rasulullah, kami bersa'i antara Shafa dan Marwah,
padahal yang Allah turunkan (dalam kitab-Nya) adalah berthawaf di Baitullah dan
tidak menyebutkan Shafa dan Marwah. Oleh karena itu, apakah kami berdosa jika
kami bersa'i di Shafa dan Marwah?" Maka Allah menurunkan ayat,
"Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst." Abu Bakar
berkata, "Dengarkanlah ayat ini, ia turun berkenaan kedua pihak itu;
tentang orang-orang yang merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah di
zaman Jahiliyyah dan orang-orang yang berthawaf (di Baitullah) kemudian mereka merasa
berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah karena Allah Ta'ala hanya memerintahkan
thawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan bersa'i di Shafa sehingga bersa'i
disebutkan setelah diterangkan thawaf di Baitullah."
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa ia pernah ditanya
tentang (bersa'i) antara Shafa dan Marwah, lalu ia menjawab, "Kami
memandang, bahwa (bersa'i) antara Shafa dan Marwah termasuk perkara Jahiliyyah.
Ketika Islam datang, kami pun menahan diri (tidak melakukannya), maka Allah menurunkan
ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst."
Namun demikian, tidak ada yang bahwa ayat tersebut turun berkenaan kedua
pihak itu.
Bukit Shafa dan Marwa ini
menjadi tempat dimana salah satu saksi kisah indah dimana Hajar mencari air untuk anaknya di atas dua bukit namun
kehendak Allah memberikan rizki bukan di bukit shafa atau marwa namun justru
berada di lembah dekat kakbah. Ini menunjukkan bahwa yang penting bagi
kita adalah berusaha kemudian untuk hasilya Allahlah yang menentukan.
Di lokasi ini pula, Siti Hajar mendengar suara malaikat Jibril dan berkata
kepadanya, "Jangan khawatir, di sini Baitullah (rumah Allah) dan anak ini
(Ismail) serta ayahnya akan mendirikan rumah itu nanti. Allah tidak akan
menyia-nyiakan hamba-Nya."
Syi'ar Allah adalah tanda-tanda agama yang nampak atau tempat beribadah
kepada Allah. Karena sebagai syi'ar-Nya, maka kita diperintahkan untuk
memuliakannya, wa may yu'azzhim sya'aairallah fa innahaa min taqwal quluub (dan
barangsiapa yang memuliakan syi'ar-syi'ar Allah, maka hal itu timbul dari
ketakwaan yang ada di dalam hati).
Allah mengungkapkan dengan perkataan "tidak ada dosa" (padahal
hukumnya wajib) sebab sebagian sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat
berhala. dan di masa jahiliyah pun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i.
Untuk menghilangkan rasa keberatan itu, Allah menurunkan ayat ini.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ
السَّعْيَ (وروى الدارقطني ، البيهقي حديث حسن)
Rasulallah shalallahualaihi
wa sallam bersabda: “Wahai manusia bersa’ilah kamu, sesungguhnya Allah
telah memwajibkan sa’i atas kamu” (HR Ad-Dar qutni, Al-Baihaqi, hadits hasan)
Barang siapa yang melakukan pekerjaan yang disyari'atkan Allah, seperti
shalat, puasa, hajji, umrah, thawaf . Dengan ikhlas karena Allah. Ada pula yang
mengartikan "mengerjakan amalan yang tidak wajib baginya". Maka Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala
terhadap amal-amal hamba-Nya, jika sedikit dibalas-Nya dengan balasan yang banyak,
Dia tidak menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya, dan tidak mengurangi meskipun
seberat dzarrat (debu). Jika seorang hamba mengerjakan perintah-Nya Dia akan
membantu, memujinya dan akan memberikan balasan berupa cahaya, iman dan
kelapangan di hatinya, pada badannya akan diberikan kekuatan dan semangat dan
pada semua keadaannya akan diberikan keberkahan dan tambahan, sedangkan pada
amalnya akan ditambah lagi dengan taufiq-Nya. Pada hari kiamat, pahala yang
diperoleh seorang hamba tersebut akan dipenuhkan dan tidak akan dikurangi. Di
antara syukur-Nya kepada hamba-Nya adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan
sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sejengkal, maka Allah akan mendekat
kepadanya sehasta, barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sehasta, maka Dia akan
mendekat kepada orang itu sedepa dan barangsiapa yang mendekat kepada-Nya
sambil berjalan, maka Dia akan mendekat kepadanya sambil berlari.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga mengetahui siapa yang berhak memperoleh
pahala yang sempurna sesuai niat, iman dan ketakwaannya, Dia mengetahui
amalan-amalan yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, oleh karenanya Dia tidak akan
menyia-nyiakannya, bahkan hamba-hamba-Nya akan memperoleh balasan yang lebih
banyak dari apa yang mereka kerjakan sesuai niat mereka yang diketahui oleh
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Wallahu A’lam
Temanggung, 25 Februari 2019 M/
19 Jumadil Akhir 1440 H
Ta’ Rouf Yusuf
No comments:
Post a Comment