Pertanyaan :
Assalamualaikum
1. Saya memiliki tanah yang saya beli dan saya gunakan untuk usaha ternak, kemudian tanah itu di beli orang, apakah saya harus mengeluarkan zakat?
2. Siapakah orang2 yang bisa menerima zakat?
NN
Jawab :
Bismillah
1. Apakah ada zakat untuk tanah yang dijual?
Dalam fiqih zakat ada barang yang wajib zakat dan barang yang tidak wajib zakat. Zakat hanya di syariat kan untuk barang-barang yang wajib zakat. Sedangkan barang tidak wajib zakat tidak terkena hukum zakat.
Dalam matan Abu Syuja di katakan
تجب الزكاة في خمسة أشياء وهي المواشي والأثمان والزروع والثمار وعروض التجارة
“Zakat itu wajib atas 5 perkara, yaitu: (1) ternak, (2) barang berharga (emas dan perak), (3) hasil tanaman (sawah) atau perkebunan, (4) buah-buahan, dan (5) harta modal dagang” (Kitab Matan Ghayatu al-Taqrib: 16)
Sedangkan dalam Al fiqih Al manhaji 'ala Al madzhab Al Imam Asy Syafi'i, disampaikan , "Harta yang dikenakan kewajiban zakat adalah harta yang sifatnya dapat bertumbuh kembang, artinya setiap harta yang dapat bertumbuh dan berkembang maka harta itu dikenai kewajiban zakat. Adapun setiap harta yang tidak dapat tumbuh dan berkembang yaitu harta yang sifatnya Al awal jamidah ( الاموال الجامدة ) 'harta statis' maka harta itu tidak dikenal kewajiban zakat." Dalam kitab tersebut penulis mengelompokkan beberapa barang yang wajib zakat diantaranya : Uang ( emas dan perak), binatang ternak, tanaman dan buah-buahan, barang perniagaan serta barang tambang (ma'din) dan harta terpendam (rikaz).
Jadi tidak ada zakat untuk properti seperti tanah rumah atau toko. Properti (العقار) adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa tanah dan bangunan yang berada di atasnya seperti rumah, istana, gedung, apartemen, toko, SPBU, wisma, dan semacamnya.
Jika seseorang ingin menjualnya maka tidak ada zakat. Sebagaimana penjelasan Syekh As-Samarqandi
rahimahullah di dalam
Uyun Al-Masail,
وقَالَ هشام سألت محمداً : عن رجل اشترى خادماً للخدمة وهو ينوي إن أصاب ربحاً باع ، هل فيها الزكاة؟ قَالَ: لا، هكذا شِرَى الناس إذا أصابوا ربحاً باعوه
“Hisyam berkata, “Aku bertanya kepada Muhammad (yakni Ibnu Hasan as-Syaibani) tentang seseorang yang membeli hamba sahaya untuk dijadikan pembantu, dan dia berniat jika ada keuntungan, akan dijual. Apakah ada zakatnya?” Muhammad bin Hasan menjawab, “Tidak ada zakat. Seperti itu pula ketika ada orang beli, lalu jika nanti menguntungkan akan dijual.” (‘Uyun Al-Masail fi Furu’ Al-Hanafiyah, as-Samarqandi, hlm. 33)
Hal ini berbeda jika seseorang memang menjadikan properti tersebut sebagai barang perniagaan. Yang dimaksud dengan Perniagaan adalah proses pertukaran harta dengan tujuan mencari keuntungan. Perniagaan tidak terbatas pada barang tertentu saja. Artinya asalkan barang tersebut diperdagangkan maka ia di sebut sebagai barang perniagaan.
Menurut mayoritas ulama, zakat diberlakukan atas properti yang dimiliki dengan niat untuk diperdagangkan. Pengertian “niat untuk diperdagangkan” adalah seseorang berniat memiliki properti tersebut untuk memperoleh keuntungan.
Al-Mawardi rahimahullah mengatakan,
مَعْنَى ” نِيَّةِ التِّجَارَةِ : أَنْ يَقْصِدَ التَّكَسُّبَ بِهِ بِالِاعْتِيَاضِ عَنْهُ
“Arti dari ‘niat untuk diperdagangkan’ adalah seseorang bermaksud mengambil untung dengan menjadikannya sebagai kompensasi (diperdagangkan).” (al-Inshaf, 3: 154)
Adapun semata-mata berniat untuk dijual tidak otomatis menjadikan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan karena motivasi menjual suatu barang bisa bermacam-macam seperti ingin “membuang” barang, tidak berkeinginan lagi untuk dimiliki, adanya kesulitan ekonomi, atau yang semisal.
Jika seseorang memang melakukan usaha jual beli properti. Dalam kitab fiqih manhaji disebutkan ada dua syarat suatu benda menjadi barang perniagaan :
1. Pemiliknya mendapatkan barang tersebut melalui akad transaksi yang ada gantinya, seperti dengan jual beli, sewa, mahar ( bagi wanita) dan lain sebagainya. Artinya jika barang tersebut di dapat dengan jalan semisal warisan, wasiat atau hibah maka barang tersebut tidak tergolong pada jenis barang perniagaan.
2. Ketika seseorang memilikinya, ia memang berniat menggunakan barang itu untuk perniagaan dan ia melangsungkan niatnya tersebut. Jika pemilik barang tidak berniat memperdagangkan barang itu setelah ia miliki maka barang tersebut tidak tergolong jenis barang dagangan, walaupun di kemudian hari dia berniat memperdagangkanya. Begitu pula jika awalnya ia berniat memperdagangkan barang tersebut namun kemudian setelah dia miliki, ia tidak jadi memperdagangkanya, atau ia simpan saja, maka barang tersebut tidak termasuk jenis barang perniagaan, karenanya tidak wajib di zakat.
Jadi dapat kita simpulkan dari penjelasan diatas jika Bapak tidak menjadikan tanah itu sebagai barang perniagaan maka tidak di sebut sebagai barang perniagaan sehingga tidak dikenai kewajiban zakat.
B. Penerima Zakat
Asnaf yang menerima manfaat zakat berdasarkan surat At-Taubah ayat 60:
1. Fakir; Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
2. Miskin; Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
3. Amil; Mereka yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
4. Mu'allaf; Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menguatkan dalam tauhid dan syariah.
5. Hamba sahaya; Budak yang ingin memerdekakan dirinya.
6. Gharimin; Mereka yang berhutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzahnya
7. Fisabilillah; Mereka yang berjuang di jalan Allah dalam bentuk kegiatan dakwah, jihad dan sebagainya
8. Ibnus Sabil; Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah.
Wallahu A'lam
Temanggung, 21 Januari 2023
No comments:
Post a Comment