يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ
الصَّابِرِيْن
“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS
al-Baqarah [2]: 153)
Setelah Allah ta’ala selesai
menyampaikan pembahasan mengenai nikmat yang hakiki berupa ketaatan kepada
Allah maka yang menjadi musuh utama untuk mendapatan kenikmatan hakiki itu
aalah hawa nafsu. Hawa nafsu selalu membujuk manusia untuk jauh dari ketaatan
kepada Allah. Secara bahasa, hawa nafsu
adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya.
Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allâh Azza
wa Jalla . Oleh karena itu hawa nafsu harus ditundukkan agar bisa tunduk
terhadap syari’at Allâh Azza wa Jalla. Adapun secara istilah syari’at, hawa
nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar
dari batas syari’at.
Imam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihyâ’
‘Ûlûmiddîn:
السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ
وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ
“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai
nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”
Maka pada ayat ini Allah ta’ala
menjelaskan cara untuk seorang mukmin selalu berada dalam kenikmatan yang
hakiki dengan selalu meminta tolong kepada Allah dengan perantara kesabaran dan
sholat. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa keimananlah yang menjadi akar
utama aktivitas seorang muslim. Seorang hamba yang beriman adakalanya ia
mendapatkan nikmat maka dia akan mensyukurinya karena ketaatan kepada Allah,
atau ketika ditimpa bencana maka dia
bersabar atasnya. Sebagaiman yang dijelaskan dalamsebuah hadits dalam kitab
Musnad Ahmad, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalam bersabda :
“sungguh menakjubkan perihal
orang mukmin itu, Allah tidak menentukan suatu hal kecuali kebaikan baginya.
Jika mendapatkan kebahagiaan,ia lalu bersyukur, maka yang demikian itu adalah
baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan,lalu ia bersabar, maka yang
demikian itu adalah baik baginya”. (HR. Ahmad)
Kesabaran itu ada tiga macam :
Pertama, sabar dalam meninggalkan
berbagai hal yang diharamkan dan perbuatan dosa.
Kedua, sabar dalam berbuat ketaatan dan
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Jenis sabar yang kedua ini lebih besar
pahalanya. Abdurahman bin Zaid bin Aslam; “sabar itu pada dua pintu, yaitu
sabar dalam menjalankan sesuatu yang disukai Allah walaupun berat atas jiwa dan
raga, dan sabar meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah walaupun terasa enteng
dan diinginkan oleh syahwat. Ali bin Husain Zainul Abidin berkata :”apa bila
Allah telah mengumpulkan manusia dari yang pertama sampai yang terahir, maka
diserula oleh Sang Penyeru, “dimana orang-orang yang sabar? Suruh mereka masuk
kedalam surge sebelum dihisab” dia berkata, maka berdirila beberpa orang dari
manusi dan bertemu dengan para Malaikat, lalu malaikat itu bertanya kepada
mereka “mau kemana kalian wahai anak adam?”, maka mereka menjawab, “kami mau ke
surge”. Kemudia Malaikat bertanya lagi, “sebelum kalian dihisab?”. Mereke
menjawab, “Ya”. Lalu Malaikat bertanya lagi, “siapa gerangan kalian ini”.
Mereka menjawab, “kami adalah orang-orang yang sabar”. Malaikat bertanya lagi,
“apa yang kalian sabar atasnya?”. Mereka menjawab, “kami sabar dalam ketaatan
kepada Allah dan sabar dalam meninggalkan kemaksiatan Kepada-Nya sampai kami
meninggal.” Maka Malaikat berkata kepada mereka, “kalian seperti apa yang
kalian ucapkan, maka masuklah kalian ke dalam surge, itulah sebaik-baik pahala
dari amalan kalian”. Berkenaan dengan Hal di atas, Ibnu katsir mempertegas
dengan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah
Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az-Zumar : 10)
Ketiga, sabar dalam menghadapi
berbagai cobaan dan ujian serta musibah. Sabar dalam menghadapi ujian dan
musibah dari Allah adalah suatu kewajiban bagi seorang mukmin, nengingat bahwa
ujian dalam kehidupan adalah sebuah kepastian baginya, sebagaimana firman-Nya :
“Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqoroh :155-157)
Dalam hadits juga disebutkan: “bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam jika menghadapi suatu masalah, maka beliau mengerjakan sholat” (HR. Ahmad dan Nasai)
Dalam hadits juga disebutkan: “bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam jika menghadapi suatu masalah, maka beliau mengerjakan sholat” (HR. Ahmad dan Nasai)
Shalat adalah ibadah untuk
mencapai kesabaran. Yang terpenting adalah untuk meneguhkan keimanan,
membersihkan rohani dan menyehatkan badan. Demikian pula, shalat adalah alat
untuk saling mengerti dan saling bergaul dengan sesamanya dalam suatu
masyarakat yang kuat. Pokoknya, shalat adalah contoh yang paling menonjol dan
modal utama bagi segala bentuk ibadah serta jalan utama menuju keselamatan
dalam agama dan untuk mencapai cahaya kalbu menuju kesempurnaan. Dengan Sholat
Wajib dan Sunnah inilah seorang mumin akan selalu mendapatkan amunisi untuk
tetap berada dalam jalan ketaatan kepada Allah.
Dalam Ayat ini Allah menyebutkan
adanya Ma’iyyatullah bagi orang yang sabar. Ma’iyyatullah memiliki dua konteks, yakni ma’iyyah
‘ammah (kebersamaan dalam arti umum), dan ma’iyyah khashah (kebersamaan
dalam arti khusus).
Ma’iyyah ‘ammah bersifat
mutlak mencakup seluruh makhluk ciptaan-Nya. Yaitu bahwa selalu ada muraqabatullah
(pengawasan Allah) kepada semua makhluk-Nya, sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi?
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.
Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya.
Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih
banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian
Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka
kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al
Mujadilah, 58: 7).
Allah Ta’ala pun memiliki
Pengawas dari kalangan malaikat yang diperintahkan oleh-Nya untuk mencatat
seluruh amal perbuatan manusia termasuk seluruh ucapannya. Hal ini dilakukan
untuk menunjukkan keadilan-Nya di yaumul qiyamah kelak.
“Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS.
Qaf, 50: 18).
Disebutkan dalam Tafsir Kemenag Imam
Hasan Basri dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Wahai anak-anak Adam, telah
disiapkan untuk kamu sebuah daftar dan telah ditugasi untuk mencatat segala
amalanmu dua malaikat, yang satu di sebelah kananmu dan yang satu lagi di
sebelah kirimu. Adapun yang berada di sebelah kananmu ialah yang mencatat
kebaikan-kebaikanmu dan yang satu lagi di kirimu mencatat
kejahatan-kejahatanmu. Oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu mau
memperkecil atau memperbesar amal dan perbuatan amal jahatmu, kamu diberi
kebebasan dan bertanggung jawab terhadapnya dan nanti setelah mati, daftar itu
ditutup dan digantungkan pada lehermu, masuk bersama-sama engkau ke dalam kubur
sampai kamu dibangkitkan pada Hari Kiamat nanti…”
Ma’iyyah
ammah, selain bermakna selalu ada muraqabatullah (pengawasan
Allah), juga bermakna bahwa selalu ada Ihsanullah (kebaikan-kebaikan
Allah) yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, termasuk kepada manusia
secara umum, baik mu’min maupun kafir. Allah Ta’ala memberikan
nikmat udara, cahaya matahari, air, makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
atau hewan, dan berbagai macam kenikmatan lainnya kepada seluruh manusia tanpa
kecuali.
Ma’iyyah Khashah (kebersamaan Allah dalam arti khusus) bersifat muqayyad (terbatas dan khusus mencakup orang-orang yang beriman dan beramal shalih saja). Hal ini yang dimaksud dalam ayat ini.
Ma’iyyah khashah (kebersamaan
Allah secara khusus) ini bermakna bahwa senantiasa ada ta’yidullah (dukungan
Allah Ta’ala) bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Keyakinan terhadap ma’iyyatullah (kebersamaan
Allah) ini—baik mai’yyah ammah maupun ma’iyyah khassah—harus selalu tertanam di
dalam diri kita, sehingga kita akan terbentuk menjadi pribadi muslim yang taat
dan yakin terhadap ta’yidullah (dukungan/pertolongan Allah Ta’ala) dalam
seluruh gerak langkah hidup kita.
Menjadi hamba Allah yang taat dan
yakin dengan pertolongan-Nya, inilah yang mendapatkan kenikmatan yang hakiki
sebagaimana ayat Allah :.
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan
rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah
orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nur, 24: 52)
Temanggung, 27 Januari 2019 M/ 21 Jumadil Awwal 1440 H
Ta Rouf Yusuf