Sunday, 27 January 2019

Penolong seorang Mukmin ( Tadabur Surah Al Baqarah : 153 )



يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS al-Baqarah [2]: 153)
Setelah Allah ta’ala selesai menyampaikan pembahasan mengenai nikmat yang hakiki berupa ketaatan kepada Allah maka yang menjadi musuh utama untuk mendapatan kenikmatan hakiki itu aalah hawa nafsu. Hawa nafsu selalu membujuk manusia untuk jauh dari ketaatan kepada Allah. Secara bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu hawa nafsu harus ditundukkan agar bisa tunduk terhadap syari’at Allâh Azza wa Jalla. Adapun secara istilah syari’at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar dari batas syari’at.
Imam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ûlûmiddîn:

السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ

“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”
Maka pada ayat ini Allah ta’ala menjelaskan cara untuk seorang mukmin selalu berada dalam kenikmatan yang hakiki dengan selalu meminta tolong kepada Allah dengan perantara kesabaran dan sholat. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa keimananlah yang menjadi akar utama aktivitas seorang muslim. Seorang hamba yang beriman adakalanya ia mendapatkan nikmat maka dia akan mensyukurinya karena ketaatan kepada Allah, atau ketika  ditimpa bencana maka dia bersabar atasnya. Sebagaiman yang dijelaskan dalamsebuah hadits dalam kitab Musnad Ahmad, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalam bersabda :
“sungguh menakjubkan perihal orang mukmin itu, Allah tidak menentukan suatu hal kecuali kebaikan baginya. Jika mendapatkan kebahagiaan,ia lalu bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan,lalu ia bersabar, maka yang demikian itu adalah baik baginya”. (HR. Ahmad)
Kesabaran itu ada tiga macam :
Pertama, sabar dalam meninggalkan berbagai hal yang diharamkan dan perbuatan dosa.
 Kedua, sabar dalam berbuat ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Jenis sabar yang kedua ini lebih besar pahalanya. Abdurahman bin Zaid bin Aslam; “sabar itu pada dua pintu, yaitu sabar dalam menjalankan sesuatu yang disukai Allah walaupun berat atas jiwa dan raga, dan sabar meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah walaupun terasa enteng dan diinginkan oleh syahwat. Ali bin Husain Zainul Abidin berkata :”apa bila Allah telah mengumpulkan manusia dari yang pertama sampai yang terahir, maka diserula oleh Sang Penyeru, “dimana orang-orang yang sabar? Suruh mereka masuk kedalam surge sebelum dihisab” dia berkata, maka berdirila beberpa orang dari manusi dan bertemu dengan para Malaikat, lalu malaikat itu bertanya kepada mereka “mau kemana kalian wahai anak adam?”, maka mereka menjawab, “kami mau ke surge”. Kemudia Malaikat bertanya lagi, “sebelum kalian dihisab?”. Mereke menjawab, “Ya”. Lalu Malaikat bertanya lagi, “siapa gerangan kalian ini”. Mereka menjawab, “kami adalah orang-orang yang sabar”. Malaikat bertanya lagi, “apa yang kalian sabar atasnya?”. Mereka menjawab, “kami sabar dalam ketaatan kepada Allah dan sabar dalam meninggalkan kemaksiatan Kepada-Nya sampai kami meninggal.” Maka Malaikat berkata kepada mereka, “kalian seperti apa yang kalian ucapkan, maka masuklah kalian ke dalam surge, itulah sebaik-baik pahala dari amalan kalian”. Berkenaan dengan Hal di atas, Ibnu katsir mempertegas dengan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az-Zumar : 10)
Ketiga, sabar dalam menghadapi berbagai cobaan dan ujian serta musibah. Sabar dalam menghadapi ujian dan musibah dari Allah adalah suatu kewajiban bagi seorang mukmin, nengingat bahwa ujian dalam kehidupan adalah sebuah kepastian baginya, sebagaimana firman-Nya :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqoroh :155-157)

Dalam hadits juga disebutkan: “bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam jika menghadapi suatu masalah, maka beliau mengerjakan sholat” (HR. Ahmad dan Nasai)
Shalat adalah ibadah untuk mencapai kesabaran. Yang terpenting adalah untuk meneguhkan keimanan, membersihkan rohani dan menyehatkan badan. Demikian pula, shalat adalah alat untuk saling mengerti dan saling bergaul dengan sesamanya dalam suatu masyarakat yang kuat. Pokoknya, shalat adalah contoh yang paling menonjol dan modal utama bagi segala bentuk ibadah serta jalan utama menuju keselamatan dalam agama dan untuk mencapai cahaya kalbu menuju kesempurnaan. Dengan Sholat Wajib dan Sunnah inilah seorang mumin akan selalu mendapatkan amunisi untuk tetap berada dalam jalan ketaatan kepada Allah.
Dalam Ayat ini Allah menyebutkan adanya Ma’iyyatullah bagi orang yang sabar. Ma’iyyatullah  memiliki dua konteks, yakni ma’iyyah ‘ammah (kebersamaan dalam arti umum), dan ma’iyyah khashah (kebersamaan dalam arti khusus).

Ma’iyyah ‘ammah bersifat mutlak mencakup seluruh makhluk ciptaan-Nya. Yaitu bahwa selalu ada muraqabatullah (pengawasan Allah) kepada semua makhluk-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Mujadilah, 58: 7).
Allah Ta’ala pun memiliki Pengawas dari kalangan malaikat yang diperintahkan oleh-Nya untuk mencatat seluruh amal perbuatan manusia termasuk seluruh ucapannya. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan keadilan-Nya di yaumul qiyamah kelak.
 “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf, 50: 18).
Disebutkan dalam Tafsir Kemenag Imam Hasan Basri dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Wahai anak-anak Adam, telah disiapkan untuk kamu sebuah daftar dan telah ditugasi untuk mencatat segala amalanmu dua malaikat, yang satu di sebelah kananmu dan yang satu lagi di sebelah kirimu. Adapun yang berada di sebelah kananmu ialah yang mencatat kebaikan-kebaikanmu dan yang satu lagi di kirimu mencatat kejahatan-kejahatanmu. Oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu mau memperkecil atau memperbesar amal dan perbuatan amal jahatmu, kamu diberi kebebasan dan bertanggung jawab terhadapnya dan nanti setelah mati, daftar itu ditutup dan digantungkan pada lehermu, masuk bersama-sama engkau ke dalam kubur sampai kamu dibangkitkan pada Hari Kiamat nanti…”
Ma’iyyah ammah, selain bermakna selalu ada muraqabatullah (pengawasan Allah), juga bermakna bahwa selalu ada Ihsanullah (kebaikan-kebaikan Allah) yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, termasuk kepada manusia secara umum, baik mu’min maupun kafir. Allah Ta’ala memberikan nikmat udara, cahaya matahari, air, makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan, dan berbagai macam kenikmatan lainnya kepada seluruh manusia tanpa kecuali.

Ma’iyyah Khashah (kebersamaan Allah dalam arti khusus) bersifat muqayyad (terbatas dan khusus mencakup orang-orang yang beriman dan beramal shalih saja). Hal ini yang dimaksud dalam ayat ini.
Ma’iyyah khashah (kebersamaan Allah secara khusus) ini bermakna bahwa senantiasa ada ta’yidullah (dukungan Allah Ta’ala) bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Keyakinan terhadap ma’iyyatullah (kebersamaan Allah) ini—baik mai’yyah ammah maupun ma’iyyah khassah—harus selalu tertanam di dalam diri kita, sehingga kita akan terbentuk menjadi pribadi muslim yang taat dan yakin terhadap ta’yidullah (dukungan/pertolongan Allah Ta’ala) dalam seluruh gerak langkah hidup kita.
Menjadi hamba Allah yang taat dan yakin dengan pertolongan-Nya, inilah yang mendapatkan kenikmatan yang hakiki sebagaimana ayat Allah :.
 “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nur, 24: 52)

Temanggung, 27 Januari 2019 M/ 21 Jumadil  Awwal 1440 H
Ta Rouf Yusuf

Saturday, 19 January 2019

Nikmat Yang Hakiki ( Tadabur Surat Al Baqarah 151-152 )


 

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

 فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
Sebagai mana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat-Ku).  (Al Baqarah 151-152 )
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ketika menafsirkan surat Al Maidah "Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar terhadap umat ini. Yaitu dengan Dia menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain itu dan juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka, semoga shalawat dan salam terlimpahkan untuk mereka. Karena itu Alalh menjadikannya (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) sebagai akhir para nabi dan diutus untuk jin dan manusia. Tidak ada yang halal kecuali apa yang dia halalkan, tidak ada yang haram kecuali apa yang dia haramkan, tidak ada agama kecuali apa yang dia ajarkan. Semuanya telah dia sampaikan. Beliau adalah orang yang benar dan jujur, tidak ada dusta dan penipuan padanya. Sebagaiman firman Allah Ta'ala,
"Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil." (QS. Al-An'am: 115)
Maksudnya adalah benar dalam penyampaiannya dan adil dalam perkara perintah dan larangan. Ketika agama telah disempurkan bagi mereka, maka berarti nikmat telah disempurnakan kepada mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/26)
Maka dapat kita simpulkan di antara nkmat Allah yang paling besar adalah nikmat Iman dan taufiq untuk menjalankan syariatnya. Syariat Islam meberikan solusi setiap permasalahan dalam kehidupan manusia, di samping itu syariat ini adalah syariat yang di janjikan Allah jika kita mengkutinya maka akan mengantarkan keselamatan di akhirat kelak.Lalu nikmat apa yang lebih besar dari pada nikmat yang mampu memberi solusi bagi permasalahan manusia yang terbesar yaitu masuk Neraka.   
Hal ini disandingkan pula dengan nikmat yang disebutkan sebelumnya yaitu menghadap ke arah kakbah di dalam sholat. Kabah adalah tempatibadah yang sebenarnya di bangun sejak awal bahan sebelum manusia di ciptakan. Allah mengabarkan dalam Al-Quran: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia . (QS. Ali Imran : 96).
Konon di zaman Nabi Nuh as, ka’bah ini pernah tenggelam dan runtuh bangunannya hingga datang masa Nabi Ibrahim as bersama anak dan istrinya ke lembah gersang tanpa air yang ternyata disitulah pondasi Ka’bah dan bangunannya pernah berdiri. Lalu Allah swt memerintahkan keduanya untuk mendirikan kembali ka’bah di atas bekas pondasinya dahulu. Dan dijadikan Ka’bah itu sebagai tempat ibadah bapak tiga agama dunia. Dan ketika Kami menjadikan rumah itu (ka’bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS. ). Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. Al-Hajj : 27).
Maka dua nikmat ini menjadi Nikmat yang agung yang di berikan secara sempurna kepada umat Nabi muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Dimana Agama yang di berikan adalah penyempurna semua agama sebelumnya kiblatnyapun adalah  tempat ibadah pertama yang di buat untuk beribadah kepada Allah.
Penyebab sempurnanya nikmat ini adalah di utusnya Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Di mana Rasulullah membacakan dan mengaplikasikan syariat paripurna ini. Dan juga menjalananya, dan mengajak para sahabat untu menjalankan syariat ini. Dimana dengan menjalankan syariat ini dengan benar, maka akan membersihkan manusia dari kekotoran-kekotoran baik yang bersifat ruhiyah maupun jasadiyah. Maka dua tugas inilah yang mengantarkan manusia pada puncak paripurnanya sebuah peradaban. Dimana seluruh aspek manusia termanajemen dengan manajemen terbaik sehingga akan didapatkan hasil yang terbaik pula.
Maka satu kunci seseorang mendapatkan kenikmatan yang hakiki ketika seorang menjalankan dengan sempurna syariat Allah ini. Maka kita kemudian di perintahkan untuk banyak mengingat sang pemberi nikmat yang membuahkan ma’rifatullah kemudian bersyukur kepadaNya.
Syukur secara bahasa,

الثناء على المحسِن بما أَوْلاكَهُ من المعروف

“Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih.
Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:


الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة

“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala, dimana kekufuran ini akan mengantarkan ke Neraka.
Wallahu a’lam

Temanggung, 19 Januari 2019 M / 13 Jumadil Awwal 140 H
Ta’ Rouf Yusuf

Friday, 11 January 2019

Hakikat Kiblat Seorang Muslim


Hasil gambar untuk sujud di depan ka'bah
Kata kiblat yang berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata muqabalah yang berarti muwajahah, artinya menghadap. Sehingga kata qiblah sendiri artinya hadapan, yaitu suatu keadaan (tempat) dimana orang-orang pada menghadap kepadanya. Secara harfiah, qiblat berarti al-Jihah yakni arah atau disebut syathrah.
Pada hakikatnya, kiblat yang bermakna arah dan tempat, makna tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga jika menyebut kata kiblat pasti kedua makna tersebut sudah terkandung di dalamnya, atau dalam bahasa nahwunya “al-Lafdzu al-Mufrad wa Muraduhu al-Jam'u"

Setelah pada ayat sebelumnya Allah memerintahan menghadap kabah sebagai kiblat dan keingkaran ahlu kitab Allah menyatakan bahwa pada hakikat dari penghadapan kiblat.
وَلِكُلٍّ۬ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيہَا‌ۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٲتِ‌ۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًا‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬ (١٤٨)

Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlombalombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (148)
Masing-masing umat memiliki kiblat sendiri dalam ibadahnya. Menghadap kiblat tertentu termasuk syari'at yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi serta zamannya, ia bisa dimasuki oleh naskh dan mengalami perubahan dari arah tertentu kepada arah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah menta'ati perintah Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan menjauhi larangan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya, inilah tanda kebahagiaan dan tanda keberuntungan.
Perintah berlomba-lomba dalam kebaikan lebih dalam daripada sebatas perintah mengerjakan kebaikan. Dalam perintah ini mengandung perintah mengerjakannya, menyempurnakannya, melakukannya sebaik mungkin dan bersegera kepadanya. Barangsiapa yang bersegera kepada kebaikan ketika di dunia, maka dia adalah orang yang lebih dulu ke surganya. Oleh karena itu, mereka yang berlomba-lomba dalam kebaikan adalah orang yang paling tinggi derajatnya. Dan kata "kebaikan" di sini mencakup semua amalan fardhu maupun sunat, baik berupa shalat, puasa, zakat, hajji, Umrah, jihad, manfa'at bagi orang lain maupun sebatas untuk diri sendiri.Karena pendorong yang paling kuat agar seseorang dapat bersegera kepada kebaikan dan bersemangat kepadanya adalah pahala yang dijanjikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka Dia berfirman seperti yang disebutkan di atas; yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan mengumpulkan kita semuanya di mana saja kita berada dengan kekuasaan-Nya, dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal, jika amalnya buruk, maka Dia akan membalas sesuai amal yang dikerjakannya dan jika baik, maka Dia akan membalas dengan berlipat ganda dan memberikan balasan yang terbaik (surga). Ayat yang mulia ini juga mengandung perintah untuk segera melaksanakan kewajiban seperti shalat di awal waktu, segera membayar hutang puasa dan segera berhajji serta anjuran untuk melaksanakan amalan-amalan sunat.

 وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ‌ۖ وَإِنَّهُ ۥ لَلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ‌ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ (١٤٩)

Dan dari mana saja kamu keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (149)

Darimana saja seseorang Keluar dari rumahnya yakni keluar bersafar atau keperluan lainnya, kemudian hendak mendirikan shalat. Maka diperintahkan untuk menghadap masjidil haram.  Pada ayat di atas menggunakan dua penguat, huruf "inna" dan "lam" (sesungguhnya dan benar-benar) agar tidak perlu lagi ragu dan agar tidak timbul perkiraan bahwa perintah menghadap ke Ka'bah itu hanyalah karena lebih enak, bahkan ia merupakan perintah yang sesungguhnya.
Ayat ini di akhiri dengan ungkapan, bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan melihat kita. Hal ini menunjukan agar kita tetap menjaga perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ‌ۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَڪُمۡ شَطۡرَهُ ۥ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيۡكُمۡ حُجَّةٌ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡہُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِى وَلِأُتِمَّ نِعۡمَتِى عَلَيۡكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ (١٥٠)

Dan dari mana saja kamu (keluar), maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, dan agar Aku-sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk ( 150 )

Perintah menghadap ke kiblat adalah agar ahli kitab dan kaum musyrikin tidak memiliki alasan lagi untuk menentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu, karena jika tetap menghadap ke Baitul Maqdis tentu orang-orang ahli kitab akan menegakkan hujjah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka adalah bahwa kiblat yang tetap bagi Beliau adalah Ka'bah Baitullah al haram.
Sedangkan hujjah bagi orang-orang musyrikin ketika Beliau tetap menghadap ke Baitul
Maqdis adalah perkataan yang akan timbul dari mereka, "Bagaimana Beliau berada di atas agama Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan termasuk keturunannya, padahal Beliau tidak menghadap ke kiblatnya?!". Dengan demikian, setelah diadakan pemindahan kiblat, maka orang-orang ahli kitab dan kaum musyrikin sudah tidak memiliki hujjah lagi untuk menentang Beliau.
Akhirnya hanya orang-orang yang zalim saja yang masih mencoba-coba berhujjah, namun hujjah mereka tidak bersandar selain kepada hawa nafsu sehingga tidak perlu diladeni, karena tidak ada manfa'atnya berdebat dengan orang yang zalim.
Allah menyatakan tidak perlu takut kepada mereka karena hujjah mereka batil, dan kita diperintahkan untuk takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja, karena takut kepada-Nya merupakan asas semua kebaikan. Oleh karena itu, orang yang tidak takut kepada Allah Azza wa Jalla, ia tidak akan berhenti bermaksiat dan tetap tidak mau mengikuti perintah-Nya.
Perlu diketahui, bahwa pemindahan arah kiblat merupakan fitnah yang besar. Fitnah itu diangkat-angkat oleh ahli kitab, kaum munafik dan kaum musyrikin, mereka banyak membicarakan masalah itu dan menyampaikan berbagai syubhat. Oleh karena itu, pada beberapa ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkannya secara gamblang dan meyakinkan rasul-Nya serta memperkuat kebenaran itu dengan berbagai penguat sebagaimana yang disebutkan di beberapa ayat atas, misalnya:
- Diulangi-Nya perintah menghadap kiblat berkali-kali
- Perintah itu tidak hanya ditujukan kepada Rasul saja, meskipun biasanya perintah kepada rasul sebagai perintah kepada umatnya, tetapi diperkuat lagi dengan perintah kepada umatnya
sebagaimana firman-Nya "fa walluu wujuuhakum syathrah".
- Pada ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala membantah semua alasan batil yang dilemparkan oleh mereka yang zalim.
- Menghilangkan harapan bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti kiblat ahli kitab.
- Penguatan dengan berita yang disampaikan-Nya bahwa sesungguhnya hal itu benar-benar hak dari sisi Allah.
- Pemindahan kiblat tersebut disebutkan dalam kitab-kitab mereka (ahli kitab), namun mereka
menyembunyikannya.
Dan takutlahk kepada Allah degan tetap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan kelak Allah akan meyempurnakan syari'at yang merupakan nikmat yang besar. Dasar nikmat adalah memperoleh hidayah untuk mengikuti agama-Nya, setelah itu nikmat-nikmat yang lain yang melengkapi dasar tersebut, dimulai dari sejak diutusnya Beliau sampai wafat hingga syari'at pun sempurna.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menjelaskan hidayah itu sejelas-jelasnya, sampai-sampai ditetapkan untuk yang hak itu ada para penentangnya agar yang hak itu semakin jelas dan nampak serta yang batil semakin jelas kebatilannya. Hal itu, karena jika tidak ada kebatilan sebagai lawan yang hak tentu kebenaran itu akan samar bagi kebanyakan orang. Dengan ada
lawannya maka segala sesuatu itu semakin jelas. Jika tidak ada malam tentu tidak akan diketahui kelebihan siang, jika tidak ada keburukan tentu tidak akan diketahui kelebihan yang baik, jika tidak ada kegelapan tentu tidak akan diketahui manfa'at cahaya, dan jika tidak ada kebatilan tentu kebenaran tidak akan jelas dan nampak, maka sehgala puji bagi Allah terhadap semua itu.
Dari pembahasan ayat ini maka bisa kita ambil pelajaran :
1.      Pada hakikatnya orientasi arah berfikir dan aktivitas manusia seharusnya dilakuan hanyalah untuk mematuhi perintah Allah dengan mengingkari setiap keinginan yang tida sesuai dengan perintahnya.
2.      Kualitas amal harus di utamaan, seorang mukmin sejati adalah orang yang ikhsan dalam beramal, yang paling profesional dalam beramal. Maka etos kerja seorang mukminadalah menghadirkan inerjaterbaik di setiap level peranya.
3.      Argumentasi tentang kebenaran tidak boleh dilandaskan pada hawa nafsu saja. Orang yang mendahuluan hawa nafsu dan keinginanya mendahului perintah Allah dan nalar logikanya, maka orang inilah orang yang zalim. Dan kezaliman dalam berfikir ini menyebaban seseorang tidak aan pernah mendapati kebenaran yang hakiki.

Temanggung, 5 Jumadil Awal 1440 H/11 Januari 2019
Ta’ Rouf Yusuf

Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...