Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya banyak ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga .
Dari pengkajian berbagai sumber dan keterangan, umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M. Catatan yang paling terkenal adalah bait berikut ini.
Konsep jaman edan ini sebagaimana di ceritakan jayabaya mirip dengan kembalinya jaman jahiliyah.
Al Quran memberikan gambaran kapan zaman dinamakan jahil atau dalam kontek ini zaman edan versi jayabaya.
1. Mengakui Allah sebagai Rabbnya tapi tidak mau menyembahNya.
( وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَسَخَّرَ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ ﴿٦١
"Dan jika engkau bertanya kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Pasti mereka akan menjawab, "Allah." Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)
(Q.S. Al Ankabut : 61)
Atau dalam bahasa lain percayakepada Allah tapi tidak menaruh kepercayaan kepada Allah sebagai Dzat Yang Diibadahi
.
sombong / arogan, menolak kebenaran dan menghinakan manusia.2
إِذْ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ ٱلتَّقْوَىٰ وَكَانُوٓا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا ﴿٢٦﴾
"Ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin; dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa dan mereka lebih berhak dengan itu dan patut memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. " (Q.S.Al Fath : 26)
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mendefinisian kesombongan dengan sabdanya:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). " (Q.S.Al Lahab:4)
Dalam surat di atas Allah menceritakan istri Abu Lahab yang menjadi provokator keburukan dalam masyarakat jahiliyah.
Allah juga berfirman :
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِىِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ ۚ إِنِ ٱتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِٱلْقَوْلِ فَيَطْمَعَ ٱلَّذِى فِى قَلْبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ﴿٣٢﴾
"Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik."
وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ﴿٣٣﴾
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
(Q.S.Al Ahzab :32-33)
4. memilih hukum selain Allah
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(Q.S. Al Maidah : 50 )
Itulah indikator-indikator jaman jahiliyah, maka jika indikator-indikator itu sudah ada dalam jaman kita saat ini maka itulah jaman edan.
Ingatlah pesan Jayabaya bahwa orang yang beruntung pada zaman edan adalah
beja-bejane sing lali,wong kang eling lan waspadha.
Orang yang lupa akan hakikat hidupnya sebagian akan mendapatkan keuntungan. Namun keuntungan yang di dapat adalah keuntungan yang bersifat sementara. dan orang yang paling beruntung adalah orang yang eling lan waspada, eling memiliki arti ingat atau dalam bahasa arab dzikr. kata ahlu dzikr atau ahli eling dalam al quran dikatakan sebagai ulama sebagaimana dinyatakan dalam surat berikut ini
فَاسْألُوا أهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang ahlu dzikir (ulama) jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl : 43)
Ahlu Dzikr adalah Ahlul Quran karena salah satu nama Al Quran adalah Ad Dzikr atau bisa di sebut ulama'.
Sedangkan sikap waspada adalah sikap orang bertaqwa Ad Dzikr atau al Quran hanya bisa dinikmati oleh mutaqin atau orang yang mawas diri dan waspada.
Ad Dzikr ini, hanya bisa dirasakan dan
dimanfaatkan oleh orang-orang beriman dan bertaqwa saja. Sedangkan bagi
orang-orang kafir, Al Qur’an ini hanya akan menambah kerugian bagi
mereka. Allah swt berfirman :
<< وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا
هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ
إَلاَّ خَسَارًا >>
” Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu
yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al
Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian.” ( QS Al Israa’ : 82 )
Dari ayat di atas memberikan pesan
kepada kita bahwa seorang muslim yang tidak bisa merasakan atau
menikmati petunjuk di dalam Al Qur’an, atau tidak bisa Al Qur’an sebagai
penerang dan obor di dalam menghadapi berbagai tantangan di dalam
kehidupan dunia ini, maka dapat dipastikan bahwa keimanan dan
ketaqwaannya berada dalam kadar yang rendah. Oleh karenanya, dia harus
senantiasa memperbaharui keimanan dan ketaqwaannya, dia harus berusaha
sekuat mungkin untuk merubah hatinya agar luluh dan lunak dengan ayat-
ayat Al Qur’an.
Salah satu makna At Taqwa adalah apa yang diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwasanya beliau bersabda :
<< لا يبلغ العبد أن يكون من المتقين حتى يدع ما لا بأس به حذرا مما به بأس >>
” Bahwasanya seorang hamba, tidaklah
akan bisa mencapai derajat ketaqwaan sehingga ia meninggalkan apa yang
tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal- hal yang dilarang ” (
Hadist ini Hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi no : 2451 , Ibnu Majah no :
4215, Baihaqi : 2/ 335) .
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu
ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang Taqwa .
Ubai balik bertanya : ” Apakah anda pernah melewati jalan yang banyak
durinya ” ? ” Pernah ” Jawab Umar. Ubai bertanya kembali : ” Bagaimana
ketika anda melewatinya ” ? Umar menjawab : ” Saya bersungguh- sungguh
serta berhati- hati sekali supaya tidak kena duri ” . Ubai akhirnya
mengatakan : ” Itulah arti Taqwa yang sebenar- benarnya. ”
Dari hadist an Atsar Umar ra,kita bisa
menyimpulkan , bahwa hakikat taqwa adalah kesungguhan dan kehati-hatian
terhadap apa yang dilarang Allah swt. Orang yang bertaqwa adalah orang
yang sungguh –sungguh untuk menjauhi segala larangan Allah dan berhati-
hati sekali supaya tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju
kepada ketaqwaan tersebut , kadang- kadang ia harus meninggalkan apa
yang tidak dilarang, jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang
dilarang.
Dalam hal ini, seorang penyair yang bernama Ibnu Al Mu’taz pernah menulis syair-syairnya :
خل الذنوب صغيرها وكبيرهـا ذاك التقــي
واصنع كماش فوق أر ض الشوك يحذر ما يرى
لا تحقـرن صغـيرة إن الجبال من الحصـي
” Tinggalkan dosa-dosa kecil dan yang besar, dan itulah taqwa
Berbuatlah bagai orang yang melangkah di atas tanah berduri , berhati-hati dengan apa yang dilihat .
Janganlah engkau meremehkan dosa kecil, sesungguhnya gunung itu berasal dari batu kerikil. ”
Abu Darda’ sempat juga bersenandung dengan syairnya :
يريد المرء أن يؤتي مناه ويأبـي الله إلا مـا أرادا
يقول المرء فائدتي ومالي وتقوى الله أفضل ما استفدا
” Semua orang mengingankan agar
keinginannya terkabulkan, padahal Allah tidaklah akan menentukan kecuali
apa yang dikehendaki-Nya
Semua orang mengatakan : keuntungan-ku dan harta-ku, padahal taqwa Allah adalah keuntungan yang paling utama “
Adapun sifat- sifat orang –orang yang bertaqwa secara lebih terperinci telah disebutkan oleh Allah swt pada ayat berikutnya :
Yang pertama adalah :
<< الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ >>
” Yaitu orang- orang yang beriman kepada yang ghoib .”
MAKNA AL- IMAN
Iman di dalam Al Qur’an mempunyai
beberapa arti. Kadang Al Iman berarti pembenaran. (Amana–yu’minu) yaitu
membenarkan atau mempercayai, sebagaimana firman Allah swt di dalam
surat Yusuf :
<< وَمَا أَنتَ بِمُؤْمِنٍ لِّنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ >>
” Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”( QS Yusuf : 17 )
Begitu juga , jika keimanan itu disertai
dengan menyebutkan amal sholeh ,maka artinya adalah pembenaran ,
sebagaimana dalam firman Allah :
<< إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ >>
” Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya. ( QS Al Tien : 6 )
Adapun Al Iman di dalam Al Qur’an , jika
disebutkan sendiri secara mutlak, maka artinya adalah : ” Keyakinan di
dalam hati, perkataaan yang diucapkan dengan lisan serta amal dengan
anggota badan. Ini adalah pengertian Iman secara istilah menurut madzhab
Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Dan pengertian seperti ini sudah menjadi
kesepatan para ulama salaf.
Sebagian firqah menyelesihi pengertian
Iman yang telah diterangkan di atas, seperti Firqah Murjiah. Mereka
mengartikan Iman hanya sebatas keyakinan di dalam hati, tanpa harus
disertai amal dengan anggota badan. Pengertian ini tidak benar dan
menyesatkan.
Sebagian ulama menafsirkan Al Iman
dengan amal. Dalam buku ” As Shohih’ nya, Imam Bukhari menulis sebuah
bab dengan judul : ” Amal adalah sebagian dari keimaman “ . Artinya Iman
itu tidak bisa dilepaskan dari amal perbuatan. Pernyataab Ini membantah
pendapat Firqah Murjiah di atas .
Oleh karenanya, sebagian ulama tafsir
mengartikan Beriman kepada yang ghoib dalam surat Al Baqarah ini dengan
makna : ” orang- orang yang takut kepada Allah ” , ini sesuai dengan
firman Allah swt :
<< إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ >>
” Sesungguhnya orang-orang yang takut
kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh
ampunan dan pahala yang besar. ” ( QS Al Mulk : 12 )
<< وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى
وَهَارُونَ الْفُرْقَانَ وَضِيَاء وَذِكْرًا لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ
يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ
>>
” Dan sesungguhnya telah Kami berikan
kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi
orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan
mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan
(tibanya) hari kiamat ” ( QS Al Anbiya’ : 49 ) .
<< وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ
لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ
حَفِيظٍ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَن بِالْغَيْبِ وَجَاء بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ
>>
” Dan didekatkanlah syurga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka).
Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu)
kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara
(semua peraturan-peraturan-Nya, (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan
Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang
dengan hati yang bertaubat ” ( QS Qof : 31-33)
Ketiga ayat ayat di atas , menafsirkan
ayat 2 dan 3 dari surat Al Baqarah tentang pengertian orang- orang yang
bertaqwa. Dan juga menafsirkan makna Iman dengan takut kepada Allah swt,
sebagaimana pada ayat- ayat yang digaris bawahi.
Al Khosyah yang berarti takut terhadap adzab Allah , merupakan sari atau inti dari keimanan dan keilmuan. Allah swt berfirman :
<< إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء >>
” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. ” ( Qs Fathir : 28 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa tanda
dari keimanan dan keilmuan yang benar adalah rasa takut kepada Allah swt
. Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa yang dimaksud dari ulama dalam
surat Fathir di atas adalah ulama syare’ah dan ulama pada bidang- bidang
lain, seperti ulama fisika, biologi , kedokteran dan lain-lainnya,
selama ilmunya mampu mengantarkannya kepada rasa takut kepada Allah swt.
Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan : ”
Hakikat ilmu bukanlah dengan banyak menghafal hadist, akan tetapi
hakikat ilmu adalah banyaknya rasa takut kepada Allah swt.
Pernyataan tersebut dikuatkan juga oleh
pernyataan Sufyan At Tsauri : ” Sesungguhnya ilmu itu dituntut agar
dengannya bisa bertaqwa kepada Allah, dan sesungguhnya ilmu itu
diutamakan dari pada yang lainnya karena dengan ilmu tersebut bisa
bertaqwa kepada Allah . “
Perkataan Ibnu Masu’d ra, dan Sufyan At
Tsauri di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa hakikat ilmu yang
sebenarnya adalah ilmu yang mengantarkan kepada kita kepada rasa taqwa
kepada Allah swt .
MAKNA AL- GHOIB
Adapun makna ghoib , mencakup semua apa
yang tidak dilihat oleh manusia seperti Allah , Malaikat, Hari Akhir,
Syurga, Neraka, Qadha dan Qadar , Jin dan lain-lainnya.
Sebagian ulama mengartikan ” Al- Ghoib ” dengan hati .
Menurut pengertian ini, maka makna : ”
beriman dengan ghoib ” yaitu beriman kepada Allah dengan hati dan
keikhlasan, karena hati dan keikhlasan tersebut termasuk sesuatu yang
ghoib dan tidak nampak di hadapan manusia. Oleh karenanya, orang- orang
munafik tidak termasuk golongan orang- orang yang beriman dengan al
ghoib, karena mereka mengaku beriman dengan lisannya saja, tetapi
hatinya mengingkari dan mengkafirinya.
KEUTAMAAN BERIMAN KEPADA YANG GHOIB
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud
bahwa beliau pernah berkata : “ Tidak ada yang lebih utama bagi
seseorang yang beriman dari keimanannya kepada yang ghoib. ” , kemudian
beliau membaca ayat 1- 5 dari surat Al Baqarah di atas .
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah Al Anshori,
salah satu sahabat Rosulullah saw, bahwasanya ia berkata : ” Pada suatu
ketika, kita makan siang bersama Rosulullah saw , pada waktu itu
terdapat juga Abu Ubaidah bin Jarrah, beliau bertanya kepada Rosulullah
saw : ” Wahai Rosulullah saw, apakah ada generasi yang lebih baik dari
generasi kita ? Kita beriman kepada-mu dan berjihad bersama-mu .
Rosulullah saw bersabda : “ Benar ada, yaitu generasi yang datang
sesudah kalian, mereka beriman kepada-ku, sedang mereka belum pernah
melihat-ku .” ( HR Ahmad, Thobari Abu Ya’la , Ad Darimi no : 2744 ) ,
Thohawi dalam ” Musykil ” : 4/ 175 , Al Hakim : 4/ 84 )
Hadist di atas menunjukkan keutamaan
beiman kepada yang ghoib. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa
generasi sesudah sahabat lebih utama dari ada generasi sahabat. Karena
Rosulullah saw sendiri pernah bersabda : << خير القرون قرني ثم
الذي يلونهم ثم الذي يلونهم >>
” Sebaik- baik generasi adalah generasi yang hidup pada masa-ku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya ”
Hadist ini menunjukkan bahwa generasi
yang paling baik dan yang paling utama adalah generasi sahabat
Rosulullah saw, kemudian generasi sesudahnya (yaitu tabi’in) , kemudian
generasi sesudahnya ( yaitu tabi’i tabi’in ).
Kedua hadist di atas kelihatannya
bertentangan, namun kalau kita pahami dengan baik, niscaya tidak ada
pertentangan. Bagaimana cara menjama’ atau menggabungkannya ? Kita
katakan : bahwa hadits pertama menunjukkan salah satu keutamaan generasi
sesudah sahabat yaitu beriman kepada Rosulullah saw secara ghoib,
karena mereka tidak melihatnya. Tetapi keutamaan generasi sahabat jauh
lebih besar dan lebih banyak, karena mereka pertama kali yang beriman
kepada Rosulullah saw, mereka adalah orang- orang yang langsung
berinteraksi dengan wahyu dan mereka adalah orang- orang yang berjasa
besar di dalam mempertahankan dan menyebarkan ajaran Islam ini kepada
generasi sesudahnya hingga akhir zaman.
maka beruntunglah wong kang eling lan waspada. Demikian tafsir sederhana terhadap karya sastra yang indah ini..