Wednesday, 18 October 2023

Terjemah Aqidah Thahawiyah


1. Muqoddimah

قَالَ الإِمَامُ أَبُو جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ:

هَذَا ذِكْرُ بَيَانِ اعْتِقَادِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ عَلَىٰ مَذْهَبِ فُقَهَاءِ المِّلَّةِ: أَبِي حَنِيفَةَ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الكُوفِيِّ، وَأَبِي يُوسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الأَنْصَارِيِّ، وَأَبِي عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ الحَسَنِ الشَّيْبَانِيِّ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ، وَمَا يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ، وَيَدِينُونَ بِهِ رَبَّ العَالَمِينَ: 

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata:

Inilah penjelasan tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab ahli fiqih agama ini, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dan Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani semoga Allah merahmati mereka semuanya dan apa yang mereka yakini tentang dasar-dasar agama yang dengannya mereka beragama kepada Rabb Semesta Alam:

2. Tentang Allah

[1] نَقُولُ في تَوحِيدِ اللهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوفِيقِ اللهِ: إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ.

[1] Kami meyakini tentang mentauhidkan Allah, dengan taufik dari Allahbahwa: Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya.

[2] وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ.

[2] Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

[3] وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ.

[3] Tidak ada sesuatu pun yang bisa melemahkan-Nya.

[4] وَلَا إِلٰهَ غَيْرُهُ.

[4] Tidak ada yang berhak disembah selain-Nya.

[5] قَدِيمٌ بِلاَ ابتِدَاءٍ، دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ.

[5] Maha Terdahulu tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir.

[6] لَا يَفْنَى وَلَا يَبِيْدُ.

[6] Dia tidak akan fana dan tidak akan binasa.

[7] وَلاَ يَكُونُ إِلَّا مَا يُرِيدُ.

[7] Tidak ada yang terjadi kecuali apa yang Dia kehendaki.

[8] لَا تَبلُغُهُ الأَوْهَامُ، وَلَا تُدْرِكُهُ الأَفْهَامُ.

[8] Allah tidak bisa dijangkau oleh perenungan dan tidak bisa dijangkau nalar pikiran.

[9] وَلَا يُشْبِهُ الأنَامَ.

[9] Dia tidak menyerupai makhluk.

[10] حَيٌّ لَا يَمُوتُ، قَيُّومٌ لَا يَنَامُ.

[10] Dia Maha Hidup tidak akan mati, Maha Berdiri (mengurus makhluk-Nya terus-menerus) tidak pernah tidur.

[11] خَاِلقٌ بِلاَ حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلاَ مُؤْنَةٍ.

[11] Dia Maha Pencipta tanpa membutuhkan (ciptaan-Nya), Maha Pemberi rezeki tanpa berkurang (kerajaan-Nya).

[12] مُمِيتٌ بِلَا مَخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلاَ مَشَقَّةٍ.

[12] Dia Maha Mematikan tanpa takut, Maha Membangkitkan tanpa rasa berat.

[13] مَا زَالَ بِصِفَاتِهِ قَدِيمًا قَبْلَ خَلْقِهِ، لَمْ يَزْدَدْ بِكَوْنِهِم شَيْئًا لَمْ يَكُنْ قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ، وَكَمَا كَانَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِيًّا؛ كَذَلِكَ لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّا.

[13] Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum ada makhluk-Nya. Dengan terciptanya para makhluk yang sebelumnya tidak ada, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Sebagaimana sifat-sifat-Nya azali (ada sebelum selainnya ada), begitu pula Dia abadi selama-lamanya.

[14] لَيْسَ مُنْذُ خَلَقَ الخَلْقَ اسْتَفَادَ اسْمَ «الخَالِقِ»، وَلاَ بِإِحْدَاثِهِ البَرِيَّةَ اسْتَفَادَ اسْمَ «البَارِي».

[14] Bukan semenjak Dia menciptakan para makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Khaliq (Pencipta), dan bukan pula karena baru menciptakan makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Bari (Pencipta).

[15] لَهُ مَعْنَى الرُّبُوبِيَّةِ وَلَا مَرْبُوبٍ، وَمَعْنَى الخَالِقِ وَلَا مَخْلُوقٍ.

[15] Dia memiliki sifat Rububiyah (Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemberi rezeki) bukan marbub (dicipta, dimiliki, diatur), dan juga memiliki sifat al-Khaliq bukan makhluk.

[16] وَكَمَا أَنَّهُ مُحْيِ المَوْتَى بَعْدَمَا أَحْيَا، اسْتَحَقَّ هَذَا الِاسْمَ قَبْلَ إِحْيَائِهم؛ كَذلِكَ اسْتَحَقَّ اسْمَ الخَالِق قَبْلَ إنْشَائِهِمْ.

[16] Sebagaimana Dia yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi) setelah sebelumnya menghidupkannya, Dia-pun berhak atas sebutan itu sebelum menghidupkan mereka, demikian juga Dia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.

[17] ذَلِكَ بِأَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَيهِ فَقِيرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ يَسِيرٌ، لاَ يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ، {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [الشورى: 11].

[17] Hal itu karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu sangat butuh kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah dan Dia tidak membutuhkan sesuatu. “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

[18] خَلَقَ الخَلْقَ بِعِلْمِهِ.

[18] Dia menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya.

[19] وَقَدَّرَ لَهُمْ أَقْدَارًا.

[19] Dan menentukan takdir-takdir mereka.

[20] وَضَرَبَ لَهُمْ آجَالًا.

[20] Dan menentukan ajal-ajal mereka.

[21] لَمْ يَخْفَ عَلَيهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِهِمْ قَبْلَ أَنْ خَلَقَهُمْ، وَعَلِمَ مَا هُمْ عَامِلُونَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَهُمْ.

[21] Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, sebelum menciptakan mereka.

[22] وَأَمَرَهُمْ بِطَاعَتِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَتِهِ.

[22] Dia memerintahkan mereka mentaati-Nya dan melarang mereka bermaksiat kepada-Nya.

[23] وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِتَقْدِيرِهِ ومَشِيئَتِهِ، وَمَشِيئَتُهُ تَنْفُذُ، لاَ مَشِيئَةَ لِلْعِبَادِ إِلَّا مَا شَاءَ لَهُمْ، فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ.

[23] Dan segala sesuatu berjalan dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendaknya pasti terjadi. Tidak ada kehendak bagi para hamba kecuali apa yang Dia kehendaki bagi mereka. Maka, apa yang Dia kehendaki bagi mereka akan terjadi dan apa yang tidak Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.

[24] يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ، وَيَعْصِمُ ويُعَافِي فَضْلًا، ويُضِلُّ مَنْ يَشاءُ، ويَخْذَلُ وَيَبْتَلِي عَدْلًا.

[24] Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, juga melindungi dan menjaganya dengan keutamaan-Nya. Dia membiarkan sesat siapa yang Dia kehendaki, membiarkannya hina, dan mengujinya berdasarkan keadilan-Nya.

[25] وَكُلُّهُم يَتَقَلَّبُونَ فِي مَشِيئَتِهِ بَيْنَ فَضْلِهِ وَعَدْلِهِ.

[25] Seluruh makhluk berada di bawah kendali kehendak-Nya di antara karunia dan keadilan-Nya.

[26] [وَهُوَ مُتَعَالٍ عَنِ الأَضْدَادِ وَالأَنْدَادِ].

[26] [Dia mengalahkan semua musuh dan tandingan].

[27] لَا رَادَّ لِقَضَائِهِ، وَلَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ، وَلاَ غَالِبَ لِأَمْرِهِ.

[27] Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau mengungguli urusan-Nya.

[28] آمَنَّا بِذَلِكَ كُلِّهِ، وأَيْقَنَّا أَنَّ كُلًا مِنْ عِنْدِهِ.

[28] Kita mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang dari-Nya (terjadi karena takdir-Nya).

3. Tentang Rasulullah

[29] وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ المُصْطَفَى، وَنَبِيُّهُ المُجْتَبَى، وَرَسُولُهُ المُرْتَضَى.

[29] Sesungguhnya Muhammad  adalah hamba-Nya yang terpilihNabi-Nya yang terpilih, dan Rasul-Nya yang diridhai.

[30] وَأَنَّهُ خَاتَمُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِمَامُ الأَتْقِيَاءِ، [وَسَيِّدُ المُرْسَلِينَ، وَحَبِيبُ رَبِّ العَالَمِينَ].

[30] Sesungguhnya beliau adalah penutup para Nabi, imam orang-orang bertakwa, [penghulu para rasul, dan kekasih Rabb semesta alam].

[31] وَكُلُّ دَعْوَى النُّبُوَّةِ بَعْدَهُ فَغَيٌّ وَهَوًى.

[31] Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.

[32] وَهُوَ المَبْعُوثُ إِلَى عَامَّةِ الجِنِّ وَكَافَّةِ الوَرَى بِالحَقِّ وَالهُدَى، [وَبِالنُّورِ وَالضِّيَاءِ].

[32] Beliau diutus kepada seluruh jin dan seluruh manusia dengan membawa kebenaran dan petunjuk, [cahaya dan kemilau].

4. Tentang Kalamullah

[33] وَإِنَّ القُرْآنَ كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى، مِنْهُ بَدَأَ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ قَوْلًا، وَأَنْزَلَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَحْيًا، وَصَدَّقَهُ المُؤْمِنُونَ عَلَىٰ ذَلِكَ حَقًّا، وأَيْقَنُوا أَنَّهُ كَلاَمُ اللهِ تَعَالَىٰ بِالحَقِيقَةِ، لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ كَكَلاَمِ البَرِيَّةِ، فَمَنْ سَمِعَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ كَلاَمُ البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، وَقَدْ ذَمَّهُ اللهُ تَعَالَى وَعَابَهُ وَأَوْعَدَهُ بِسَقَرٍ، حَيْثُ قَالَ تَعَالَىٰ: {سَأُصْلِيهِ سَقَرَ} [المدثر: 26]. فَلَمَّا أَوْعَدَ اللهُ بِسَقَرٍ لِمَنْ قَالَ: {إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ} [المدثر: 25]؛ عَلِمْنَا وأَيْقَنَّا أَنَّهُ قَوْلُ خَالِقِ البَشرِ، وَلَا يُشْبِهُ قَوْلَ البَشَرِ.

[33] Dan sesungguhnya al-Qur’an adalah Kalamullah. Dari-Nya ia bermula tanpa mempertanyakan bagaimana hakikatnya. Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu, dan orang-orang Mukmin membenarkannya dengan sebenarnya dan mereka menyakini bahwa itu adalah Kalamullah secara hakikat, bukan makhluk seperti ucapan makhluk. Barangsiapa yang mendengarnya lalu menyangka bahwa itu adalah ucapan makhluk, maka sungguh dia telah kafir. Sungguh Allah telah mencela, mengecam, dan mengancam orang tersebut dengan Neraka Saqar, yaitu firman-Nya, Kelak Aku akan memasukkannya ke Neraka Saqar.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 26)

Ketika Allah  mengancam dengan Neraka Saqar seseorang yang mengatakanAl-Qur`an ini tidak lain adalah ucapan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 25Maka kami mengetahui dan meyakini bahwa al-Qur`an adalah ucapan Pencipta makhluk dan tidak ada ucapan makhluk yang serupa dengannya.

[34] وَمَنْ وَصَفَ اللهَ تَعَالَى بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، فَمَنْ أَبْصَرَ هَذَا اعْتَبَرَ، وَعَنْ مِثْلِ قَوْلِ الكُفَّارِ انْزَجَرَ، وَعَلِمَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى بِصِفَاتِهِ لَيسَ كَالبَشَرِ.

[34] Dan barangsiapa yang mensifati Allah dengan makna sifat makhluk, maka dia telah kafir. Maka, siapa yang memperhatikan ini akan mengerti, dan ia akan menahan diri dari menyerupai ucapan orang kafir. Dan dia mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk.

5. Tentang Rukyatullah

[35] وَالرُّؤْيَةُ حَقٌّ لِأَهْلِ الجَنَّةِ، بِغَيْرِ إحَاطَةٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ رَبِّنَا: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [القيامة: 22، 23]، وتَفْسِيرُهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَهُ اللهُ تَعَالَىٰ وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ الرَّسُولِ  فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا، وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ مَا يَسلَمُ فِي دِيْنِهِ إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ ، وَرَدَّ عِلْمَ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إِلَى عَالِمِهِ.

[35] Ar-Ru`yah (melihat Allah di Surga) benar adanya bagi penduduk Surga, tanpa meliputi dan membagaimanakan (difahami apa adanya), sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Kitab Rabb kita“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabblah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23Tafsirnya adalah sebagaimana yang Allah kehendaki dan ketahui. Setiap hadits shahih dari Rasulullah  tentang hal itu adalah sebagaimana yang beliau sabdakan dan maknanya sebagaimana yang beliau kehendaki. Kita tidak boleh masuk ke dalam permasalahan itu dengan mentakwilnya menggunakan akal-akal kita dan tidak pula mereka-reka menggunakan hawa nafsu kita. Sebab, sesungguhnya tidak ada yang selamat dalam agamanya kecuali orang yang pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya  dan mengembalikan ilmu yang belum jelas baginya kepada yang mengetahuinya.

[36] وَلَا تَثْبُتُ قَدَمُ الإِسْلَامِ إِلَّا عَلَىٰ ظَهْرِ التَّسْلِيمِ وَالِاسْتِسْلَامِ،  فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ عِلْمُهُ، وَلَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيمِ فَهْمُهُ، حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ خَالِصِ التَّوْحِيدِ، وَصَافِي المَعْرِفَةِ، وَصَحِيحِ الإِيمَانِ، فَيَتَذَبْذَبُ بَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيمَانِ، وَالتَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ، وَالإِقْرَارِ وَالإِنْكَارِ، مُوَسْوِسًا تَائِهًا، شَاكًّا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَلَا جَاحِدًا مُكَذِّبًا.

[36] Pijakan Islam seseorang tidak akan kokoh kecuali di atas taslim (pasrah) dan istislam (tunduk). Siapa yang menerka suatu ilmu yang ilmu tersebut tersembunyi baginya dan pemahamannya tidak merasa puas dengan taslim, maka terkaannya itu akan menghalanginya dari kemurnian Tauhid, kejernihan makrifat (mengenal Allah), dan kebenaran iman. Ia akan terkena keraguan antara kafir dan iman, membenarkan dan mendustakan, menetapkan dan mengingkari, selalu was-was, ragu, menyimpang, bukan mukmin yang membenarkan juga bukan penentang yang mendustakan.

[37] وَلَا يَصِحُّ الإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ لِأَهْلِ دَارِ السَّلَامِ لِمَنِ اعْتَبَرَهَا مِنْهُمْ بِوَهْمٍ، أَوْ تَأَوَّلَهَا بِفَهْمٍ، إِذْ كَانَ تَأْوِيلُ الرُّؤْيَةِ وَتَأْوِيلُ كُلِّ مَعْنًى يُضَافُ إِلَى الرُّبُوبِيَّةِ؛ بِتَرْكِ التَّأْوِيلِ، وَلُزُومِ التَّسْلِيمِ، وَعَلَيْهِ دِينُ المُسْلِمِينَ، وَمَنْ لَمْ يَتَوَقَّ النَّفْيَ وَالتَّشْبِيهَ؛ زَلَّ وَلَمْ يُصِبِ التَّنْزِيهَ، فَإِنَّ رَبَّنَا جَلَّ وَعَلَا مَوْصُوفٌ بِصِفَاتِ الوَحْدَانِيَّةِ، مَنْعُوتٌ بِنُعُوتِ الفَرْدَانِيَّةِ، لَيْسَ فِي مَعْنَاهُ أَحَدٌ مِنَ البَرِيَّةِ.

[37] Tidak sah keimanan rukyah ‘melihat Allah’ —bagi penghuni Darus Salam (Surga)— bagi yang suka membayangkan-Nya dengan keraguan atau mentakwilnya dengan akal. Karena penafsiran rukyah dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb adalah dengan tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah agama kaum Muslimin. Barangsiapa yang tidak menghindari penafian dan tasybih (menyerupakan-Nya dengan makhluk), dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri. Sebab, Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.

[38] وَتَعَالَىٰ عَنِ الحُدُودِ وَالغَايَاتِ، وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ المُبْتَدَعَاتِ.

[38] Maha tinggi diri-Nya (Allah terbebas) dari batas-batas (seperti timur dan barat), arah-arah (seperti bawah dan atas), anggota tubuh (seperti tangan dan wajah), organ (seperti saraf dan urat), dan perangkat-perangkat (seperti tongkat untuk memukul). Dia tidak dikelilingi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya.

6. Tentang Isra dan Mi’roj

[39] وَالمِعْرَاجُ حَقٌّ، وَقَدْ أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ  وَعُرِجَ بِشَخْصِهِ فِي اليَقْظَةِ، إِلَى السَّمَاءِ، ثُمَّ إِلَى حَيْثُ شَاءَ اللهُ مِنَ العُلَا، وَأَكْرَمَهُ اللهُ بِمَا شَاءَ، وَأَوْحَى إِلَيْهِ مَا أَوْحَى، [مَا كَذَبَ الفُؤَادُ مَا رَأَى، فَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ وَالأُولَى].

[39] Mi’raj (naiknya Nabi ke  Sidratul Muntaha—tempat tertinggi di langit) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan di malam hari dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh jasmani dalam keadaan sadar, dan juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di langit. Allah memuliakan beliau sesuai kehendak-Nya dan mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di Akhirat.

7. Tentang Telaga

[40] وَالحَوْضُ الَّذِي أَكْرَمَهُ اللهُ تَعَالَىٰ بِهِ غِيَاثًا لِأُمَّتِهِ حَقٌّ.

[40] Haudh (telaga) yang dijadikan Allah kemuliaan baginya sebagai  minuman bagi umatnya benar adanya.

8. Tentang Syafaat

[41] وَالشَّفَاعَةُ الَّتِي ادَّخَرَهَا لَهُمْ حَقٌّ، كَمَا رُوِيَ فِي الأَخْبَارِ.

[41] Syafa’at yang disimpan beliau untuk mereka adalah benar adanya sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.

9. Tentang Persaksian Tauhid dari Keturunan Adam

[42] وَالمِيثَاقُ الَّذِي أَخَذَهُ اللهُ تَعَالَىٰ مِنْ آدَمَ وَذُرِّيَّتِهِ حَقٌّ.

[42] Perjanjian yang diambil Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka dilahirkanbenar adanya.

[43] وَقَدْ عَلِمَ اللهُ فِيمَا لَمْ يَزَلْ عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ الجَنَّةَ، وَعَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ النَّارَ، جُمْلَةً وَاحِدَةً، فَلَا يُزَادُ فِي ذَلِكَ العَدَدِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ.

[43] Semenjak zaman azali, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan masuk Surga dan jumlah yang akan masuk Neraka secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan ditambah dan dikurangi.

[44] وَكَذَلِكَ أَفْعَالُهُمْ فِيمَا عَلِمَ مِنْهُمْ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، وَالأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ، وَالسَّعِيدُ مَنْ سَعِدَ بِقَضَاءِ اللهِ، والشَّقِيُّ مَنْ شَقِيَ بِقَضَاءِ اللهِ.

[44] Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah). Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi takdirnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang bahagia karena ketetapan Allah dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara karena ketetapan Allah.

[45] وَأَصْلُ القَدَرِ سِرُّ اللهِ فِي خَلْقِهِ، لَمْ يَطَّلِعْ عَلَىٰ ذَلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ، وَالتَّعَمُّقُ وَالنَّظَرُ فِي ذَلِكَ ذَرِيعَةُ الخِذْلَانِ، وسُلَّمُ الحِرْمَانِ، وَدَرَجَةُ الطُّغْيَانِ، فَالحَذَرَ كُلَّ الحَذَرِ مِنْ ذَلِكَ نَظَرًا وَفِكْرًا وَوَسْوَسَةً، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ طَوَى عِلْمَ القَدَرِ عَنْ أَنَامِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23]، فَمَنْ سَأَلَ: لِمَ فَعَلَ؟ فَقَدْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ، وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ؛ كَانَ مِنَ الكَافِرِينَ.

[45] Asal dari takdir adalah rahasia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki baik oleh malaikat yang dekat  dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Hati-hatilah dengan kesungguhan dari seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang takdir tersebut karena Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya tetapi manusialah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya).” (QS. Al-Anbiya [21]: 23) Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikan?” berarti ia menolak hukum al-Qur`an. Barangsiapa menolak hukum al-Qur`an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

[46] فَهَذَا جُمْلَةُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مَنْ هُوَ مُنَوَّرٌ قَلْبُهُ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ تَعَالَىٰ، وَهِيَ دَرَجَةُ الرَّاسِخِينَ فِي العِلْمِ؛ لِأَنَّ العِلْمَ عِلْمَانِ: عِلْمٌ فِي الخَلْقِ مَوْجُودٌ، وَعِلْمٌ فِي الخَلْقِ مَفْقُودٌ، فَإِنْكَارُ العِلْمِ المَوْجُودِ كُفْرٌ، وَادِّعَاءُ العِلْمِ المَفْقُودِ كُفْرٌ، وَلَا يَثْبُتُ الإِيمَانُ إِلَّا بِقَبُولِ العِلْمِ المَوْجُودِ، وَتَرْكِ طَلَبِ العِلْمِ المَفْقُودِ.

[46] Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terang hatinya dari kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Sebab, ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu maujud/wahyu) dan ilmu yang tersembunyi baginya (ilmu mafqud/ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama adalah kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan tidak akan sempurna kecuali dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang tersembunyi.

10. Tentang Lauhul Mahfuzh dan Pena

[47] وَنُؤْمِنُ بِاللَّوْحِ وَالقَلَمِ، وَجَمِيعُ مَا فِيهِ قَدْ رُقِمَ،  فَلَوِ اجْتَمَعَ الخَلْقُ كُلُّهُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَىٰ أَنَّهُ كَائِنٌ، لِيَجْعَلُوهُ غَيْرَ كَائِنٍ؛ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. وَلَوِ اجْتَمَعُوا كُلُّهُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَىٰ فِيهِ أَنَّهُ غَيْرُ كَائِنٍ، لِيَجْعَلُوهُ كَائِنًا؛ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. جَفَّ القَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَا أَخْطَأَ العَبْدَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ، وَمَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ.

[47] Kita juga mengimani adanya  al-Lauh al-Mahfudz (lembaran takdir), al-Qalam (pena), dan segala yang tercatat di dalamnya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan akan terjadi untuk dibatalkannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan tidak akan terjadi untuk direalisasikannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Pena untuk mencatat apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat telah kering. Apa yang tidak menjadi takdir seorang hamba, tidak akan menimpanya dan apa yang menjadi takdirnya, tidak akan meleset darinya.

[48] وَعَلَىٰ العَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ سَبَقَ عِلْمُهُ فِي كُلِّ كَائِنٍ مِنْ خَلْقِهِ، فَقَدَّرَ ذَلِكَ بِمَشِيئَتِهِ تَقْدِيرًا مُحْكَمًا مُبْرَمًا، لَيْسَ فِيهِ نَاقِضٌ، وَلَا مُعَقِّبٌ وَلَا مُزِيلٌ وَلَا مُغَيِّرٌ وَلَامُحَوِّلٌ، وَلَا زَائِدٌ وَلَا نَاقِصٌ مِنْ خَلْقِهِ فِي سَمَاوَاتِهِ وَأَرْضِهِ. وَذَلِكَ مِنْ عَقْدِ الإِيمَانِ وَأُصُولِ المَعْرِفَةِ وَالِاعْتِرَافِ بِتَوْحِيدِ اللهِ تَعَالَىٰ وَرُبُوبِيَّتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا} [الفرقان: 2]، وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} [الأحزاب: 38]، فَوَيْلٌ لِمَنْ صَارَ لِلَّهِ فِي القَدَرِ خَمِيصًا، وأَحْضَرَ لِلنَّظَرِ فِيِهِ قَلْبًا سَقِيمًا، لَقَدِ الْتَمَسَ بِوَهْمِهِ فِي فَحْصِ الغَيْبِ سِرًّا كَتِيمًا، وَعَادَ بِمَا قَالَ فِيهِ أَفَّاكًا أَثِيْمًا.

[48] Wajib bagi setiap hamba mengetahui bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang dapat membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, mengurangi, ataupun menambahnya.

Itulah ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dan rububiyyah-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur`an:  “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2Dan firman-Nya: “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 38) Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya. Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi. Akhirnya, karena perkataannya tentang takdir itu, ia kembali dengan membawa kedustaan dan dosa.

11. Tentang Arsy dan Kursi

[49] وَالعَرْشُ وَالكُرْسِيُّ حَقٌّ، كَمَا بَيَّنَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ.

[49] ‘Arsy dan Kursi-Nya adalah benar adanya, sebagaimana yang Allah kabarkan dalam Al-Quran.

 [50] وَهُوَ جَلَّ جَلَالُهُ مُسْتَغْنٍ عَنِ العَرْشِ وَمَا دُوْنَهُ.

[50] Dia tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan apa yang ada di bawahnya.

[51] مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وفَوْقَهُ، وَقَدْ أَعْجَزَ عَنِ الإِحَاطَةِ خَلْقَهُ.

[51] Dia menguasai segala sesuatu dan apa-apa yang ada di atasnya. Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala sesuatu.

12. Tentang Al-Khalil Ibrahim dan Kalimullah Musa

[52] وَنَقُولُ: إِنَّ اللهَ اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا، إِيمَانًا وَتَصْدِيقًا وَتَسْلِيمًا.

[52] Kita juga meyakini bahwa Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi Musa ‘alaihis salam untuk berbicara dengan sebenar-benarnya ucapan.

13. Tentang Rukun Iman

[53] وَنُؤْمِنُ بِالمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ، وَالكُتُبِ المُنْزَلَةِ عَلَىٰ المُرْسَلِينَ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَىٰ الحَقِّ المُبِينِ.

[53] Kita mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.

[54] وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ  مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ.

[54] Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum Muslimin dan kaum Mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah  dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.

14. Tentang Larangan Debat Kusir

[55] وَلَا نَخُوضُ فِي اللهِ، وَلَا نُمَارِي فِي الدِّينِ.

[55] Kita tidak mengolok Allah dan tidak membantah (debat kusirdalam masalah agama Allah.

[56] وَلَا نُجَادِلُ فِي القُرْآنِ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ العَالَمِينَ، نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ، فَعَلَّمَهُ سَيِّدَ المُرْسَلِينَ مُحَمَّدًا ، كَلَامُ اللهِ تَعَالَىٰ لَا يُسَاوِيهِ شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ المَخْلُوقِينَ، وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ، وَلَا نُخَالِفُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ.

[56] Kita tidak menyanggah Al-Qur’an, dan kita bersaksi bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin, diturunkan lewat Ruhul Amin (Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu para Nabi yaitu Muhammad . Ia adalah Kalamullah yang tak akan dapat disamakan dengan ucapan makhluk-makhluk-Nya. Kita pun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) kita tidak akan menyelisihi Jama’ah kaum Muslimin.

15. Tentang Mengkafirkan

[57] وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ بِذَنْبٍ، مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ.

[57] Kita tidak mengkafirkan Ahli Kiblat (kaum Muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya halal.

[58] وَلَا نَقُولُ لَا يَضُرُّ مَعَ الإِيمَانِ ذَنْبٌ لِمَنْ عَمِلَهُ.

[58] Namun kita juga tidak mengatakabahwa dosa bersama iman, sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya.

[59] وَنَرْجُو لِلْمُحْسِنِينَ مِنَ المُؤْمِنِينَ [أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَيُدْخِلَهُمُ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ]، وَلَا نَأْمَنُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نَشْهَدُ لَهُمْ بِالجَنَّةِ، وَنَسْتَغْفِرُ لِمُسِيئِهِمْ، وَنَخَافُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نُقَنِّطُهُمْ.

[59] Kita berharap orang-orang baik dari kaum Mukminin [diampuni dan dimasukkan Surga dengan rahmat-Nya], tidak menganggap mereka aman dan memvonis mereka dengan Surga. Kita juga berharap orang-orang yang berbuat fajir (kemaksiatan) dari kalangan Mukminin diampuni dosa-dosa mereka, mengkhawatirkan mereka, dan tidak menjadikan mereka berputus asa (dari rahmat Allah).

[60] وَالأَمْنُ وَالإِيَاسُ يَنْقُلَانِ عَنْ مِلَّةِ الإِسْلَامِ، وَسَبِيلُ الحَقِّ بَيْنَهُمَا لِأَهْلِ القِبْلَةِ.

[60] Merasa aman (dari siksa) dan putus asa (dari ampunan Allah), keduanya dapat mengeluarkan dari Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya.

[61] وَلَا نُخْرِجُ العَبْدَ مِنَ الإِيمَانِ إِلَّا بِجُحُودِ مَا أَدْخَلَهُ فِيهِ.

[61] Seorang hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia imani.

16. Tentang Definisi Iman

[62] وَالإِيمَانُ: هُوَ الإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالجَنَانِ.

[62] Iman adalah pengakuan dengan lisan, dan pembenaran dengan hati.

[63] وَإِنَّ جَمِيعَ مَا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِي القُرْآنِ وَجَمِيعَ مَا صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ  مِنَ الشَّرْعِ وَالبَيَانِ كُلُّهُ حَقٌّ.

[63] Seluruh yang Allah turunkan dalam Al-Quran dan seluruh diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah  berupa syari’at dan bayan (ilmu) adalah benar adanya.

[64] وَالإِيمَانُ وَاحِدٌ، وَأَهْلُهُ فِي أَصْلِهِ سَوَاءٌ، وَالتَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالتَّقْوَى، وَمُخَالِفَةِ الهَوَى.

[64] Iman itu satu. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya adalah samaKeutamaan di antara mereka diukur dengan ketakwaan, menghindari hawa nafsu.

[65] وَالمُؤْمِنُونَ كُلُّهُمْ أَوْلِيَاءُ الرَّحْمٰنِ، وَأَكْرَمُهُمْ عِنْدَ الله أَطْوَعُهُمْ وَأَتْبَعُهُمْ لِلْقُرْآنِ.

[65] Kaum Mukminin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman. Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat dan paling mengikuti ajaran Al-Qur’an.

[66] وَالإِيمَانُ: هُوَ الإِيمَانُ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِه، وَكُتُبِه، وَرُسُلِه، وَاليَوْمِ الآخِرِ، وَالقَدَرِ، خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَحُلْوِهِ وَمُرِّهِ، مِنَ اللهِ تَعَالَىٰ.

[66] Iman adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir: baik maupun buruk, manis maupun pahit, semuanya berasal dari Allah.

[67] وَنَحْنُ مُؤْمِنُونَ بِذَلِكَ كُلِّهِ، لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ، وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَىٰ مَا جَاءُوا بِهِ.

[67] Kita mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.

17. Tentang Dosa Besar

[68] وَأَهْلُ الكَبَائِرِ فِي النَّارِ لَا يُخَلَّدُونَ؛ إِذَا مَاتُوا وَهُمْ مُوَحِّدُونَ، وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا تَائِبِينَ بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللهَ عَارِفِينَ. وَهُمْ فِي مَشِيئَتِهِ وَحُكْمِهِ: إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ وَعَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِهِ، كَمَا ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ: {وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ} [النساء: 48]، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ فِي النَّارِ بِعَدْلِهِ، ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِهِ وَشَفَاعَةِ الشَّافِعِينَ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِهِ، ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَىٰ جَنَّتِهِ، وَذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَىٰ مَوْلَى أَهْلَ مَعْرِفَتِهِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُمْ فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نُكْرَتِهِ، الَّذِينَ خَابُوا مِنْ هِدَايَتِهِ، وَلَمْ يَنَالُوا مِنْ وَلَايَتِهِ. اللَّهُمَّ يَا وَلِيَ الإِسْلَامِ وَأَهْلِه، مَسِّكْنَا بِالإِسْلَامِ حَتَّى نَلْقَاكَ بِهِ.

[68] Para pelaku dosa besar, jika masuk Neraka, mereka tak akan kekal di dalamnya, asal mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun pula, mereka belum bertaubat, tetapi mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah azza wa jalla: “Dia mengampuni dosa (yang tingkatannya) di bawah (dosa) syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48 & 116). Dan jika Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di Neraka dengan keadilan-Nya, lalu Allah akan mengeluarkan mereka darinya dengan rahmat-Nya atau dikeluarkaan dengan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke Surga-Nya. Hal itu karena Allah adalah pelindung bagi siapa yang mengenal-Nya. Dia pun tidak menjadikan keadaan mereka (beriman) di dunia dan di Akhirat sama dengan mereka yang tidak mengenal-Nya. Yaitu mereka yang luput, tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak dapat memperoleh hak perlindungan-Nya. Wahai Dzat yang menjadi pelindung bagi Islam dan pemeluknya, teguhkanlah kami di atas Islam sampai bertemu dengan-Mu.

18. Tentang Shalat di Belakang Fajir

[69] وَنَرَى الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ، وَعَلَىٰ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ.

[69] Kami menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang imam (pemimpin) yang shalih maupun yang fasik dari kalangan Ahli Kiblat dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.

[70] وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَلَا نَارًا، وَلَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلَا بِشِرْكٍ وَلَا بِنِفَاقٍ؛ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَىٰ.

[70] Kita tak boleh memastikan mereka masuk Surga atau Neraka. Kita juga tidak boleh bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik, atau munafik, selama semua itu tidak tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah Ta’ala.

19. Tentang Memberontak dan Membunuh

[71] وَلَا نَرَى السَّيْفَ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ  إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ.

[71] Kita tidak boleh memerangi seorang pun dari ummat Muhammad , kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.

[72] وَلَا نَرَى الخُرُوجَ عَلَىٰ أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا، وَإِنْ جَارُوا، وَلَا نَدْعُو عَلَيْهِمْ، وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَة اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَةً، مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَة، وَنَدْعُوا لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالمُعَافَاةِ.

[72] Kita tidak boleh memberontak para pemimpin dan penguasa kita, meskipun mereka berbuat zhalim. Kita tidak mendoakan keburukan bagi mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka berupa kebaikan jiwa dan kesehatan.

[73] وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالخِلَافَ وَالفُرْقَةَ.

[73] Kita tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari kesendirian, perselisihandan perpecahan.

[74] وَنُحِبُّ أَهْلَ العَدْلِ وَالأَمَانَةِ، ونَبْغَضُ أَهْلَ الجَوْرِ وَالخِيَانَةِ.

[74] Kita mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan khianat.

20. Tentang Ucapan Allahu A’lam

[75] وَنَقُولُ: اللهُ أَعْلَمُ، فِيمَا اشْتَبَهَ عَلَيْنَا عِلْمُهُ.

[75] Kita mengucapkan Allahu A’lam terhadap sesuatu yang masih samar ilmunya bagi kita.

21. Tentang Mengusap Khufain

[76] وَنَرَى المَسْحَ عَلى الخُفَّيْنِ، فِي السَّفَرِ وَالحَضَرِ، كَما جَاءَ فِي الأَثَرِ.

[76] Kita berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu/kaos kaki) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian), sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.

22. Tentang Haji dan Jihad Bersama Pemimpin

[77] وَالحَجُّ وَالجِهَادُ فَرْضَانِ مَاضِيَانِ مَعَ أُولِي الأَمْرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ، إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ، لَا يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلَا يَنْقُضُهُمَا.

[77] Jihad dan ibadah haji dilakukan bersama Ulul ‘Amri dari kaum Muslimin, baik yang shalih maupun yang fasik, hingga hari Kiamat. Keduanya tak dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.

23. Tentang Malaikat Pencatat

[78] وَنُؤْمِنُ بِالكِرَامِ الكَاتِبِينَ، وَأَنَّ اللهَ قَدْ جَعَلَهُمْ عَلَيْنَا حَافِظِينَ.

[78] Kita mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.

24. Tentang Malaikat Maut

[79] وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ المَوْتِ المُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ العَالَمِينَ.

[79] Kita juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.

25. Tentang Adzab Kubur

[80] وَبِعَذَابِ القَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلًا، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ فِي قَبْرِه عَنْ رَبِّهِ وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ، عَلَىٰ مَا جَاءَتْ بِهِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللهِ ، وَعَنِ الصَّحَابَة رَضِيَ اللهُ عَنهُمْ أَجْمَعِينَ.

[80] Kita pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kuburnya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Rasul-Nya berdasarkan riwayat-riwayat dari Rasulullah  serta para sahabat  rodhiyallahu ‘anhum ajmain.

[81] وَالقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجنَّةِ، أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النِّيرَانِ.

[81] Alam kubur adalah taman-taman Surga atau jurang-jurang Neraka.

26. Tentang Hari Kebangkitan

[82] وَنُؤْمِنُ بِالبَعْثِ وَجَزَاءِ الأَعْمَالِ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَالعَرْضِ وَالحِسَابِ، وَقِرَاءَةِ الكِتَابِ، وَالثَّوَابِ وَالعِقَابِ، وَالصِّرَاطِ وَالمِيزَانِ.

[82] Kita juga mengimani Hari Kebangkitan dan balasan amal perbuatan pada hari Kiamat, kita juga mengimani ‘ard (ditampakkannya amal perbuatan) dan hisab, pembacaan catatan amal, pahala dan siksa, shirat (jembatan yang membentang di punggung Neraka menuju Surga), dan al-mizan (timbangan).

27. Tentang Kekekalan Surga dan Neraka

[83] وَالجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ، لَا تَفْنَيَانِ أَبَدًا وَلَا تَبِيدَانِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ خَلَقَ الجَنَّةَ وَالنَّارَ قَبْلَ الخَلْقِ، وَخَلَقَ لَهُمَا أَهْلًا، فَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى الجَنَّةِ فَضْلًا مِنْهُ، وَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى النَّارِ عَدْلًا مِنْهُ، وَكُلٌّ يَعْمَلُ لِمَا قَدْ فُرِغَ لَهُ، وَصَائِرٌ إِلَى مَا خُلِقَ لَهُ.

[83] Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang tidak akan lenyap selamanya dan tidak akan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Surga dan Neraka sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun sudah menentukan penghuni bagi keduanya. Siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Surga maka itu karunia dari-Nya dan siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Neraka maka itu keadilan dari-Nya. Masing-masing manusia beramal sesuai takdirnya dan menjadi sesuai untuk apa penciptaannya.

28. Tentang Takdir Baik dan Buruk

[84] وَالخَيْرُ وَالشَّرُّ مُقَدَّرَانِ عَلَىٰ العِبَادِ.

[84] Kebaikan dan keburukan seluruhnya telah ditakdirkan atas para hamba.

[85] وَالِاسْتِطَاعَةُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا الِاسْتِطَاعَةُ الَّتِي يَجِبُ بِهَا الفِعْلُ - مِنْ نَحْوِ التَّوْفِيقِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُوصَفُ المَخْلُوقُ بِهِ -: فَهِيَ مَعَ الفِعْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِطَاعَةُ مِنْ جِهَةِ الصِّحَّةِ وَالوُسْعِ، وَالتَّمْكِينِ وَسَلَامَةِ الآلَاتِ: فَهِيَ قَبْلَ الفِعْلِ، وَبِهَا يَتَعَلَّقُ الخِطَابُ، وَهُوَ كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286].

[85] Kemampuan itu ada dua: (pertama) kemampuan yang menyebabkan terjadi perbuatan —semacam taufik yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk— ia terjadi menyertai perbuatan. (Kedua) adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, ia terjadi sebelum melakukan amalan. Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah: Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 286)

[86] وَأَفْعَالُ العِبَادِ خَلْقُ اللهِ، وَكَسْبٌ مِنَ العِبَادِ.

[86] Perbuatan-perbuatan para hamba adalah makhluk Allah, sementara usaha dari para hamba.

[87] وَلَمْ يُكَلِّفْهُمُ اللهُ تَعَالَىٰ إِلَّا مَا يُطِيقُونَ، وَلَا يُطِيقُونَ إِلَّا مَا كَلَّفَهُمْ، وَهُوَ تَفْسِيرُ«لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»، نَقُولُ: لَا حِيلَةَ لِأَحَدٍ وَلَا تَحَوُّلَ لِأَحَدٍ وَلَا حَرَكَةَ لِأَحَدٍ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛ إِلَّا بِمَعُونَةِ اللهِ، وَلَا قُوَّةَ لِأَحَدٍ عَلَىٰ إِقَامَةِ طَاعَةِ اللهِ وَالثَّبَاتِ عَلَيْهَا؛ إِلَّا بِتَوْفِيقِ اللهِ.

[87] Allah hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Mereka pun memang tidak akan mampu melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah pengertian kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tidak ada upaya bagi seorang pun, dan tidak ada gerakan bagi seorang pun, juga tidak ada daya bagi seorang pun dari (menjauhi) maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Tidak ada kekuatan bagi seorang pun untuk melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah melainkan dengan taufik (pertolongan) Allah.

[88] وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِمَشِيئَةِ اللهِ تَعَالَىٰ وَعِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ، غَلَبَتْ مَشيئتُهُ المَشِيئَاتِ كُلَّهَا، وَغَلَبَ قَضَاؤُهُ الحِيَلَ كُلَّهَا، يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ، وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ أَبَدًا، [تَقَدَّسَ عَنْ كُلِّ سُوْءٍ وَحِينٍ، وتَنَـزَّهَ عَنْ كُلِّ عَيْبٍ وَشَيْنٍ]: {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23].

[88] Segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, ilmu-Nya, keputusan-Nya, dan takdir-Nya. Kehendak-Nya mengalahkan seluruh kehendak. Takdirnya mengalahkan seluruh upaya. Dia berbuat sekehendak-Nya tanpa zhalim selama-lamanya. Dia tersucikan dari semua keburukan dan kejahatan, dan tersucikan dari segala aib dan kekurangan. “Tidaklah Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka perbuat).” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 23)

29. Tentang Doa dan Sedekah untuk Si Mayit

[89] وَفِي دُعَاءِ الأَحْياءِ وَصَدَقَاتِهم مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَات.

[89] Do’a dan sedekah orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit.

[90] وَاللَّهُ تَعَالَىٰ يَسْتَجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَقْضِي الحَاجَاتِ.

[90] Allah Ta’ala mengabulkan segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya.

[91] وَيَمْلِكُ كُلَّ شَيْءٍ، وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ، وَلَا غِنَى عَنِ اللهِ تَعَالَىٰ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنِ اللهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ؛ فَقَدْ كَفَرَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الحَيْنِ.

[91] Dia memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejap pun (hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejap pun, dia telah kafir dan termasuk orang yang binasa.

30. Tentang Allah Benci dan Ridha

[91] وَاللَّهُ يَغْضَبُ وَيَرْضَى، لاَ كَأَحَدٍ مِنَ الوَرَى.

[92] Allah benci dan ridha, tetapi sifat tersebut tidak mirip sama sekali dengan sifat makhluk.

31. Tentang Sahabat

[93] وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ، وَلَا نُفْرِطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ، وَبِغَيْرِ الخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ، وَلَا نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. وَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ.

[93] Kita mencintai para sahabat Nabi , namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya. Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka. Kita membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa yang menyebutkan mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan, dan ihsansementara membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.

[94] وَنُثْبِتُ الخِلَافَةَ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ  أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، تَفْضِيلًا لَهُ وَتَقْدِيمًا عَلَىٰ جَمِيعِ الأُمَّةِ، ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ ، ثُم لِعُثْمَانَ ، ثُمَّ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، وَهُمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشدُونَ وَالأَئِمَّةُ المَهْدِيُّونَ.

[94] Kita mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah . Yang pertama adalah Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu karena keutamaannya dan keterdahuluannya atas semua umat Islam. Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Merekalah yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.

[95] وَإِنَّ العَشَرَةَ الَّذِينَ سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللهِ  وَبَشَّرَهُمْ بِالجَنَّةِ، نَشْهَدُ لَهُمْ بِالجَنَّةِ، عَلَىٰ مَا شَهِدَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ ، وَقَوْلُهُ الحَقُّ، وَهُمْ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَطَلْحَةُ، وَالزُّبَيْرُ، وَسَعْدٌ، وَسَعِيدٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ، وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.

[95] Sepuluh orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni Surga, kita akui sebagai penghuni Surga berdasarkan persaksian Nabi , dan perkataan beliau adalah benar. Mereka adalah: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubair [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah sebagai orang terpercaya umat ini radhiyallahu ‘anhum.

[96] وَمَنْ أَحْسَنَ القَوْلَ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ، وَأَزْوَاجِهِ [الطَّاهِرَاتِ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ]، وَذُرِّيَّاتِهِ [المُقَدَّسِينَ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ]؛ فَقَدَ بَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ.

[96] Barangsiapa yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi  dan istri-istri beliau [yang bersih dari segala noda] serta anak cucu beliau [yang suci dari segala najis], maka orang itu telah selamat dari kemunafikan.

32. Tentang Tabiin

[97] وَعُلَمَاءُ السَّلَفِ مِنَ السَّابِقِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ - أَهْلِ الخَيْرِ وَالأَثَرِ، وَأَهْلِ الفِقْهِ وَالنَّظَرِ - لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالجَمِيلِ، وَمَنْ ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَىٰ غَيْرِ السَّبِيلِ.

[97] Para ‘ulama As-Salaf terdahulu (para sahabat) dan yang sesudah mereka dari kalangan Tabi’in —baik ahli kebaikan, ahli hadits, ahli fiqih, maupun ahli ushul mereka semuanya harus disebut dengan baik. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di atas jalan yang benar.

33. Tentang Wali Allah

[98] وَلَا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الأَوْلِيَاءِ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ [عَلَيْهِمُ السَّلَامُ]، وَنَقُولُ: نَبِيٌّ وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيعِ الأَوْلِيَاءِ.

[98] Kita tidak mengutamakan salah seorang pun di antara para wali Allah di atas seorang dari para Nabi ‘Alaihimus Sallam. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama dibanding seluruh para wali.

[99] وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِم، وَصَحَّ عَنِ الثِّقَاتِ مِنْ رِوَايَاتِهِم.

[99] Kita mengimani adanya karomah-karomah mereka dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari para perawi yang tepercaya.

34. Tentang Tanda Kiamat

[100] وَنُؤْمِنُ بِـ[أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: مِنْ] خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى بْنِ مَرْيَمَ [عَلَيْهِ السَّلامُ] مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأَرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا.

[100] Kita juga mengimani adanya [tanda-tanda hari Kiamat berupa] keluarnya Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis Sallam dari langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Dabbah (binatang yang dapat berbicara seperti manusiadari kediamannya.

35. Tentang Dukun dan Tukang Ramal

[101] وَلاَ نُصَدِّقُ كَاهِنًا وَلاَ عَرَّافًا، وَلاَ مَنْ يَدَّعِي شَيْئًا يُخَالِفُ الكِتَابَ والسُّنَّةَ وإجْمَاعَ الأُمَّةِ.

[101] Kita tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum Muslimin.

36. Tentang Jamaah dan Perpecahan

[102] وَنَرَى الجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا، والفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا.

[102] Kita meyakini bahwa Al-Jama’ah adalah haq dan kebenaran, sementara pepecahan adalah penyimpangan dan siksaan.

37. Tentang Agama Para Nabi

[103] وَدِينُ اللهِ فِي الأَرْضِ وَالسَّمَاءِ وَاحِدٌ، وَهُوَ دِينُ الإِسْلَامِ، قَالَ اللهُ تَعَالَىٰ: {إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلَامُ} [آل عمران: 19]، وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3].

[103] Agama Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu agama Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) Dia juga berfirman: “Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

[104] وَهُو بَيْنَ الغُلُوِّ والتَّقْصِيرِ، وَبَيْنَ التَّشْبِيهِ والتَّعْطِيلِ، وَبَيْنَ الجَبْرِ وَالقَدَرِ، وَبَيْنَ الأَمْنِ وَالإِيَاسِ.

[104] Islam itu berada di antara sikap berlebih-lebihan (guluwdan sikap meremehkan (taqshir), antara tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan ta’thil (menafikkan/meniadakan makna/lafazh sifat-sifat itu), antara Jabariyah (kaum yang beranggapan manusia dipaksa takdir) dan Al-Qadariyah (kaum yang beranggapan keburukan bukan takdir), dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus asa dari rahmat Allah.

[105] فَهَذَا دِينُنَا وَاعْتِقَادُنَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَنَحْنُ بُرَآءُ إِلَى اللهِ مِنْ كُلِّ مَنْ خَالَفَ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ وَبَيَّنَّاهُ، وَنَسْأَلُ اللهَ تَعَالَىٰ أَنْ يُثَبِّتَنَا عَلَىٰ الإِيمَانِ، وَيَخْتِمَ لَنَا بِهِ، وَيَعْصِمَنَا مِنَ الأَهْوَاءِ المُخْتَلِفَةِ، وَالآرَاءِ المُتَفَرِّقَةِ، وَالمَذَاهِبِ الرَّدِيَّةِ، مِثْلِ المُشَبِّهَةِ، [وَالمُعْتَزِلَةِ]، وَالجَهْمِيَّةِ، وَالجَبَرِيَّةِ، وَالقَدَرِيَّةِ، وَغَيْرِهِا، مِنَ الَّذِينَ خَالَفُوا [السُّنَّةَ وَ]الجَمَاعَةَ، وَحَالَفُوا الضَّلَالَةَ، وَنَحْنُ مِنْهُمْ بُرَآءُ، وَهُمْ عِنْدَنَا ضُلَّالٌ وَأَرْدِيَاءُ.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ، وَإِلَيْهِ المَرْجِعُ وَالمَآبُ.

[105] Inilah agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri dengan kembali kepada Allah dari setiap yang menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita memohon kepada Allah untuk menetapkan diri kita di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam, dan dari pendapat-pendapat yang beraneka ragam, dan madzhab-madzhab yang jelek, seperti: Musyabbiah, [Mu’tazilah,] Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah, Al-Qadariyyah, dan lain-lain, dari kalangan mereka yang menyelisihi Al-Jama’ah (Jamaah Sahabat) dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan mereka menurut kami adalah orang-orang sesat dan jahat.

Allah lebih tahu kebenarannya, dan hanya kepada-Nya tempat kembali dan berkumpul.

Tuesday, 5 September 2023

Sayyid Syaikh Nahrowi Muhtarom Al-Banyumasi Dari Jawa


Syaikh Nahrowi Al-Makki Adalah Satu di antara beberapa Kyai asal Indoneaia yang bermukim di Makkah Al-Mukarromah.

Syekh Nahrowi kecil lahir di Purbalingga Banyumas pada tahun 1800 M dengan Nama Lengkap: Ahmad Nahrowi Mukhtarom Putra pasangan KH. Hardja Muhammad dan Nyai Salamah yang merupakan generasi ketiga Imam Masjid Darussalam (Masjid Kauman Purbalingga).

Dari Kedua orang tuanya Tersebut Syekh Nahrowi mendapatkan pendidikan Agama. Setelah beranjak usia dewasa akhirnya Syekh Nahrowi ditemani kakak kandungnya (Abu Ammar) hijrah ke Makkah untuk menimba ilmu kepada Ulama' besar tanah Arab. Seperti :

1. Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki.

2. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah.

3. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan. Mufti madzab Syafi’iyah di Makkah.

4. Syaikh Ahmad An-Nahrawi al-Mishri al-Makki.

5. Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi dll.

Setelah bertahun² mondok di jazirah Arab akhirnya kakak Beliau (Abu Ammar) pulang ke tanah jawa. Namun, Syaikh Nahrowi masih berkeinginan untuk menetap. Bahkan oleh Pemerintah Saudi Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru yang mengajar santri dari berbagai Negara. Dari sinilah Syekh Nahrowi memiliki banyak santri dan pengikut.

Bahkan oleh Pemerintah Saudi Beliau di angkat menjadi ( Mufti ) hakim agung di Arab Saudi.

Bahkan, Tak satupun Ulama' haromain (Makkah- Madinah ) kala itu yang tidak mentashihkan kitab Karangannya kepada Beliau.

Beliau Syekh Nahrowi selain menjadi Ulama' dan Mufti, Beliau juga merupakan Mursyid ( Guru ) Thoriqoh Syadziliah. Sebuah Thoriqoh Mu'tabaroh di Indonesia yang secara besar besaran muncul pada abad ke 19 dan dibawa pulang oleh santri² Beliau seperti :

1. K.H. Muhammad Nahrowi Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang.

2. Kyai Siroj, Payaman, Magelang.

3. K.H. Achmad Ngadirejo, Klaten.

4. Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal.

5. Syaikh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas.

Dan Tentu bukan hanya mereka Para murid Syekh Nahrowi yang membawa pulang kemursyidan Tersebut.

Kyai Idris jemsaren Solo salah satunya. Beliau Kyai Idris mengambil sanad kemursyidan melalui Beliau Syekh Muhammad ashalih yang juga merupakan guru dari Syekh Nahrowi Al-Makki. Sedang Beliau Syekh Nahrowi Al-Makki Mengambil sanad Kemursyidan dari Beliau Sayyid Ali bin Thohir Al-Madani.

Salah satu ulama yang menjadi Guru Para Ulama' di Mekkah adalah Sayyid Syaikh Nahrowi Mutharom Al-Banyumasi Al-Jawi Tsumal Makki. Beliau adalah Ulama' kelahiran Purbalingga. 

Syaikh Nahrowi lahir di pusat Kabupaten Purbalingga pada tahun 1860. Beliau putra dari KH. Hardja Muhammad dan Salamah. Kyai Harja adalah Imam Masjid Kauman Purbalingga, sekarang Masjid Agung Darussalam.

Syaikh Nahrowi memiliki kakak bernama KH. Abu ‘Ammar. Keduanya mendapatkan ilmu Islam dari ayahnya. Di usia 10 tahun, Nahrowi kecil dan kakaknya berangkat ke Makkah untuk menimba ilmu. Keduanya berguru pada ulama-ulama mumpuni di Haramain (Makkah dan Madinah).

Seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, Syaikh MuhammadShalih Al-Mufti Al-Hanafi, dll.

Setelah mengenyam ilmu yang dirasa cukup, kakaknya, KH. Abu 'Amar pulang ke Purbalingga dan menjadi Imam Masjid Agung Purbalingga. Sedangkan Syeikh Nahrowi tetap tinggal di Makkah dan menjadi Guru di situ.

Menurut KH. Muzahid Danun, cucu Syeikh Nahrowi yang tinggal di Den Haag Belanda, sebenarnya kakeknya itu ingin pulang ke Purbalingga.

Namun saat naik ke kapal Belanda, kapten kapal selalu beralasan bahwa mesin kapal tidak bisa dinyalakan kalau dinaiki Syeikh Nahrowi. Hal itu terjadi hingga tiga kali dan Syeikh Nahrowi akhirnya dikenal memiliki kesaktian." Namun bukan itu alasannya. Itu politik Belanda. Belanda khawatir, kalau Syeikh Nahrowi pulang ke Indonesia, akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Purbalingga dan sekitarnya melawan Belanda". Katanya saat dihubungi oleh Penulis.

Di Masjidil Haram, Syaikh Nahrowi Muhtarom diangkat oleh Pemerintah Saudi menjadi Guru di Masjidil Haram. Bahkan, dengan tingkat keilmuannya, Syeikh Nahrowi diangkat menjadi hakim agung di Arab Saudi.

Luasnya ilmu yang dimilikinya, namun tawadhu' dan tidak mau menonjolkan ilmunya, banyak ulama dari belahan dunia menjadi muridnya. Beliau juga menjadi Mursyid Thariqah Syadziliyah yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah.

Dari Nusantara, beberapa ulama besar pernah berguru padanya. Antara lain:

1. Syaikh Nawawi Al Bantani.

2. Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi.

3. Syaikh Mahfudz Al Tremasi.

4. Syaikh Soleh Darat.

5. Syaikh Cholil Al-Bangkalani.

6. Syaikh Junaid Al-Batawi.

7. KH. Muhammad Dalhar Watucongol Muntilan.

8. Kyai Siroj Payaman Magelang.

9. KH Ahmad Ngadirejo Klaten.

10. Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib Kaliwungu Kendal.

11. Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaahfi III). 

12. Sumolangu Kebumen.

13. Syaikh Abdul Malik Kedungparuk Kembaran Purwokerto.

Tiada hari dihabiskan oleh Syaikh Nahrowi untuk mengajarkan ilmunya.

KH. Muzahid Danun, cucunya menceritakan, kakeknya mengajar di Kampung Falaq, sekitar 700 meter dari Masjidil Haram sejak pagi hingga menjelang Mahgrib. Saat hendak shalat, Beliau lalu berjalan kaki dari tempat mengajar hingga Masjidil Haram.

"Sepanjang jalan, setiap orang selalu mencium tangan beliau hingga masuk Masjidil Haram," tambahnya. 

Selain mengajar, Syaikh Nahrowi juga menjadi pentahsih kitab Para Ulama'. Menurut Habib Luthfi bin Yahya, yang juga murid Syaikh Abdul Malik Kedungparuk Purwokerto, tidak ada satu pun pengarang kitab di Haramain (Mekkah dan Madinah), terutama dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Syaikh Nahrowi Muharom.

Syaikh Nahrawi Muhtarom Al-Banyumasi Al-Jawi Tsumal Makki wafat pada tahun 1926 . Beliau dimakamkan di Ma'la bersebelahan dengan makam salah satu muridnya, Syaikh Nawawi Al Bantani.

والله اعلم بالصواب


https://www.hwmi.or.id/2023/07/ulama-makkah-sayyid-syaikh-nahrowi.html?m=1

Thursday, 20 July 2023

Puasa Muharam

Bulan Muharram adalah bulan yang paling utama setelah bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
وَأَفْضَلُ الْأَشْهُرِ شَهْرُ اللهِ الَّذِي تَدْعُونَهُ الْمُحَرَّمَ
Bulan yang paling utama adalah bulannya Allah, yang kalian sebut dengan Muharram. (HR. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra no. 4202)
Imam Ibnu Rajab menjelaskan:
واطلاقه في هذا الحديث "أفضل الأشهر" محمول على ما بعد رمضان
Secara umum, makna “bulan yang paling utama” dalam hadits ini adalah bulan yang paling utama setelah Ramadhan. (Lathaif al-Ma’arif, hal. 34)
Hikmah puasa Muharram sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan dijelaskan oleh Imam As Suyuthi, beliau berkata:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ إِنَّمَا كَانَ صَوْم الْمحرم أفضل الصّيام من أجل أَنه أول السّنة المستأنفة فَكَانَ استفتاحها بِالصَّوْمِ الَّذِي هُوَ أفضل الْأَعْمَال
“Berkata Al Qurthubi, sesungguhnya dijadikannya Muharram sebagai puasa yang paling utama krn ini muharram adalah pembuka tahun, maka membuka tahun dengan melakukan puasa merupakan sebaik-baiknya amal." (Syarh As Suyuthi 'ala Muslim, jilid. 3, hal. 252)

Puasa di bulan Muharram secara umum -tanggal berapa pun- adalah puasa yang terbaik setelah puasa Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل
“Puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharam.” (HR. Muslim No. 1163)
Hadits ini tidak mengkhususkan tanggalnya, oleh karena itu Imam Ali Al Qari berkata:
وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ أَفْضَلِيَّتُهُ لِمَا فِيهِ مِنْ يَوْمِ عَاشُورَاءَ لَكِنَّ الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُرَادَ جَمِيعُ شَهْرِ الْمُحَرَّمِ ... قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: قَالَ أَئِمَّتُنَا: أَفْضَلُ الْأَشْهُرِ لِصَوْمِ التَّطَوُّعِ الْمُحَرَّمُ، ثُمَّ بَقِيَّةُ الْحُرُمِ: رَجَبٍ وَذِي الْحِجَّةِ وَذِي الْقِعْدَةِ
Kemungkinan keutamaan yang ada di dalamnya adalah puasa hari Asyura, namun yang benar maksudnya adalah di semua (hari) bulan Muharram. .... Imam Ibnu Hajar berkata: "Para imam kami berkata, bahwa bulan yang utama untuk puasa sunnah adalah Muharram, lalu bulan haram sisanya: yaitu Rajab, Dzulhijjah, dan Dzulqa'dah. (Mirqah Al Mafatih, 4/1411)
Maka, seseorang bisa saja berpuasa di tanggal awal, tengah, atau akhir di bulan Muharram. Semua itu masuk keumuman cakupan makna “puasa Muharram”
Secara khusus disunnahkan puasa Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram). 
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada tentang Puasa Muharram- tentang tingkatan puasa Asyura:

وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب : أدناها أن يصام وحده ، وفوقه أن يصام التاسع معه ، وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم .

  “Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan: 
1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10)
2. Puasa hari ke-9 dan ke-10.
3. Paling tinggi   puasa hari ke-9, 10, dan ke-11. Wallahu A’lam” 
(Fathul Bari,  6/280)


Wednesday, 12 July 2023

Bagaimana Nadzar Qurban?

Assalamu'alaikum
Izin bertanya, Bagaimana Qurban bisa menjadi nadzar? Bagaimana hukum memakan daging Qurban Nadzar? 
 Vvvvvvv
Anisa R
yJawabvv HV:
Wa'alaikumsalam j
Dalam Fathul Qarib disampaikan bavy vvvvyg tctvyhwa hukum Al-Udhhiyah  ( Qurban) hukumnya adalah sunnah kifàyah muakkadah. Sehingga, v vhvvvvvvgfketika salah satu dari penghuni suatu rumah terjaditelah ada yang melaksanakannya, maka sudah mencukupi dari semuanya. Al-Udhhiyah tidak bisa wàjib kecuali dengan nadzar.
vvrcDalam Fath Al-Qorib disebutkactgn, nadzar adalah:x
اِلْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لاَزِمَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ
“Mewajibkan suatu bentuk ketaatantcct  yang berdasarkan syariat asalnya cuxt  fycwajyvccib.”
vvgc
Dalam Kitab Tadzhib halaman 254:
... وَشَرْعًا الوَعْدُ بِالخَيْرِ خَاصَّةُ أو اِلْتِزَامُ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ بِأصْلِ الشَّرْعِ... وَالثَّانِى أنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعَلَّقٍ كَأنْ يَقُولَ للهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أو حَجٌّ أو غَيْرُ ذَلِكَ.ٌ و َجٌّ و َيْرُ َلِكَ..
Y
'Pengertian nadzar secara syara' berarti janji melakukan kebaikan tertentu atau menetapkan (mewajibkan dirinya) melakukan perkara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang perkara tersebut pada hukum asalnya tidak wajib' Yang kedua: adanya nadzar tersebut tidak diambangkan/digantungkan pada sesuatu seperti ucapan: 'Dem TTI Allah, wajib bagiku puasa atau haji  TTIPu yang lainnya.

Bagaimana nadzar bisa terjadi, tcerdapat dalam kitab Bajuriy juz 2 halaman 329:
وَأرْكَانُهُ ثَلاَثَةٌ: نَاذِرٌ وَمَنْذُورٌ وَصِيْغَةٌ ... وَفِى الصِّيغَةٍ كَونُهَا لَفْظًا يُشْعِرُ بِاللإلْتِزَامِ وَفِى مَعْنَاهُ مَا مَرَّ فِى الضَّمَانِ كَللَّهِ عَلَيَّ كَذَا وَعَلَyvيَّ كَذَا فَلاَ تَصِحُّ بِالنِيَّةِ كَسَائِرِ العُقُودِ وَلاَ بِمَا لاَيُشْعِرُ بِالإلْتِزَامِ كَأَفْعَلُ كَذَا.
Rukun-rukun nadzar ada tiga:
1. orang-rang yang nadzar 
2. perkara yang dinadzari 
3. sighat (ucapan yang menunjukkan nadzar)' Dalam masalah sighat, adalah adanya lafal (ucapan) yang menunjukkan adanya penetapan dan dalam pengertian penetapan (mewajibkan) ini adalah keterangan bab dlaman (tanggungan). Yaitu seperti kata 'Demi Allah wajib atasku perkara seperti ini atau wajib atasku perkara seperti ini. Maka sighat tidak sah hanya sekedar niat (tanpa diucapkan), sebagaimana juga tidak sah semua aqad hanya dengan niat. Juga tidak sah sighat yang tidak menunjukkan penetapan (mewajibkan) seperti ucapan: 'Saya melakukan seperti ini'.

Nadzar itu mesti diucapkan dan diniatkan, tidak cukup direncanakan di hati tapi tidak dilafazkan. Tidak cukup pula diucapkan, tapi tidak ada niat untuk nadzar. 

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وهل يصح (النذر) بالنية من غير قول ؟ الصحيح باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول , ولا تنفع النية وحدها "
Apakah sah nazar dengan niat, tapi tanpa ucapan? Yang shahih menurut kesepakatan para sahabat (Syafi’iyah), maka itu tidak sah kecuali dengan perkataan dan  niat saja tidaklah bermanfaat. (Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, 8/435)
 
Begitu pula dikatakan Imam Al Mardawi Rahimahullah:
 ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع "
Tidak sah nazar kecuali dgn diucapkan, jika dia meniatkan tapi tanpa ucapan, maka tidak sah dan ini tidak ada perbedaan pendapat. (Al Inshaf, 11/118)

Ayat-ayat dan hadits tentang nadzar menunjukkan bahwa nadzar memang diucapkan.Allah Ta'ala berfirman:
إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku,  sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Ali 'Imran, Ayat 35) 
فَكُلِي وَٱشۡرَبِي وَقَرِّي عَيۡنٗاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلۡبَشَرِ أَحَدٗا فَقُولِيٓ إِنِّي نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَٰنِ صَوۡمٗا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡيَوۡمَ إِنسِيّٗا
Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. Maryam, Ayat 26)

Dalam hadits, Umar bin Khathab Radhiallahu 'Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ
 “Wahai Rasulullah, aku pernah bernazar pada masa jahiliyah untuk beri’tikaf malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nadzarmu!” (HR. Bukhari No. 6697)

Sebaliknya, ucapan rencana atau janji tapi tanpa maksud nadzar, itu juga tidak dikatakan nadzar.  Misal, seseorang berkata: "Nanti sore saya mau ke rumah Pak Guru", ini kalimat rencana biasa. 

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 34075:
فالمتلفظ بالنذر إما أنه تلفظ به من غير قصد التلفظ به أصلاً، كأن يريد أن يقول شيئاً فسبق لسانه بلفظ النذر، فهذا لا يلزمه شيء
Orang yang melafazkan kata nazar yang pada asalnya tidak ada maksud melafazkannya, seolah lisannya itu keceplosan mengatakan nadzar, maka ini tidak ada kewajiban apa pun baginya. 

Ada beberapa ucapan-ucapan Jumhurul Ulama' (mayoritas ulama) pada keterangan di bawah ini mengenai nadzar dan qurban:

Kitab Bajuriy juz 2 halaman 310:
وَقَولُهُ مِنَ الأُضْحِيَّةِ المَنْذُورَةِ اى حَقِيْقَةً كَمَا لَو قَالَ: للهِ عَلَيَّ ان أُضْحِيَ بِهَذِهِ, فَهَذِهِ مُعَيَّنَةٌ بِالنَذْرِ إبْتِدَاءً, كَمَا لَو قَالَ للهِ عَلَيَّ أُضْحِيَّةٌ... أوْ حُكْمًا كَمَا لَوْ قَالَ هَذِه اُضْحِيَةٌ اَو جَعَلْتُ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ فَهَذِهِ وَاجِبَةٌ بِالجَعْلِ لَكِنَّهَا فِى حٌكْمِ المَنْذُرَةِ.

Yang termasuk qurban nadzar sebenarnya adalah seperti apabila seseorang berkata: 'Demi Allah wajib atasku berqurban dengan ini' maka ucapan itu jelas sebagai nadzar sejak awal. Hal ini sebagaimana apabila seseorang berkata 'Demi Allah wajib atasku qurban" atau secara hukum sebagai nadzar. Seperti bila seseorang berkata: Ini adalah hewan qurban' atau diucapkan 'Aku menjadikan ini sebagai hewan qurban'. Maka ini adalah wajib disebabkan kata 'menjadikan', akan tetapi dalam konteks hukum yang dinadzari.

Kitab Bajuriy juz II halaman 305
... مِنْ قَوْلِهِمْ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ, تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ الأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يَقْبَلُ قَولُهُمْ, أرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ وَقَالَ الشِبْرَامَلِسِى: لاَيَبْعُدُ اِغْتِفَارُ ذَلِكَ العَوَام وَهُوَ قَرِيْبٌ... نَعَمْ لاَتَجِبُ بِقَولِهِ وَقْتَ ذَبْحِهَا: اللَّهُمَّ هَذِهِ اُضْحِيَتِى فَتَقَبَّلْ مِنِّى يَاكَرِيْمُ.

'Dari perkataan orang-orang, 'Ini adalah hewan qurban,' maka hewan qurban tersebut menjadi wajib. Tersebab perkataan itu haram hukumnya memakan dagingnya. Tidak diterima alasan (atas perkataan itu) mereka 'Aku menghendakinya sebagai qurban sunah' Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama. Imam Sibromalisi berkata: '(Tetapi) bagi orang awam (orang yang belum mengetahui hukum ucapan tersebut) maka mudah untuk dimaafkan. Perkataan Imam Sibromalisi ini mudah untuk difahami (diterima)' Memang demikianlah hukumnya, namun qurban tidak menjadi wajib sebab ucapan orang waktu menyembelihnya: Ya Allah ini adalah hewan qurbanku, maka semoga Engkau menerimanya dariku, wahai Dzat Yang Maha Mulia'.

Kitab Sulaiman Kurdi juz 2 halaman 204
وَقَالَ العَلاَّمَةُ السَّيِّد عُمَرُ البَصْرِى فِى حَوَاشِ التُّحْفَةِ يَنْبَغِى أَنْيَكُونَ مَحَلُّهُ مَالَمْ يَقْتَصِدُ الأَخْبَارُ فَإنْ قَصَدَهُ اى هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِى أُرِيْدُ التَّضْحِيَةِ بِهَا فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الجَوَابُ كَذَالِكَ فِى نَازِلَةٍ وَقَعَتْ لِهَذَا الحَقِيْر وَهِيَ اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَحْصٌ آخَرَ فَقَالَ مَاهَذِهِ فَقَالَ أُضْحِيَتِى.

Al Allamah As Sayid Umar Al Bashriy berkata dalam komentar atas kitab Tuhfatul Muhtaj: Seyogyanya letak status nadzar itu ialah selagi tidak bermaksud memberi kabar. Kemudian jika memang bermaksud memberi kabar, 'Kambing ini yang saya maksudkan untuk qurban', maka tak ada penentuan dan berlakukan jawaban. Demikian pula dalam peristiwa yang terjadi pada seorang, yakni seseorang membeli kambing untuk digunakan qurban lalu bertemu dengan seseorang lain kemudian bertanya: 'Apa ini?' Maka jawab si orang tadi: 'Qurbanku'.

Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin juga disebutkan tentang Kurban wajib ini, Jika seseorang berkata : “ini adalah hewan kurbanku”. Tetapi menurut imam al-Bulqini dan imam al-Maraghi berpendapat bahwa perkataan itu saja tidak menjadikan hewan kurban menjadi nadzar yang hukumnya wajib.

Hal ini di perjelas dalam keterangan kitab Tuhfat al-Muhtaj ; jika ucapan “ini adalah hewan kurbanku” di maksudkan hanya memberikan kabar (ikhbar) maka hukumnya tidak menjadi wajib, ini yang biasanya terlaku dikalangan masyarakat awam.

Salah satu fenomena yang sering terjadi juga jika seorang pedagang atau peternak membawakan kambing untuk dijual atau lainnya, ketika ditanyakan kepada mereka,”apakah itu kambing untuk kurban”, pemilik kambing menjawab : “ya, kambing ini untuk kurban”,
Lantas apakah semata perkataan saja seperti redaksi tersebut dapat merubah menjadi kurban wajib? 

Ternyata perkataan seseorang ketika sebagai ikhbar (mengkhabarkan) saja. Seperti yang kita ketahui bahwa “khabar” merupakan sebuah ucapan yang ihtimal (kemungkinan benar dan salah). Sesuatu yang ihtimal belum bisa dijadikan sandaran hukum serta memerlukan kepada murajih (penyokong)nya.

Oleh karena itu, bisa dihukumi perkataan seseorang ketika membawa hewan kurban menjawab “ya ini hewan kurban”  menjadi  udhiyyah wajibah (kurban wajib) jika disertai dengan insya’ (keinginan). Intinya harus ada insya’ (keinginan) dari orang yang berkata tersebut bukan hanya semata lafalnya. 

Di samping itu ada juga dalam masyarakat sering terjadi ketika tercapai sebuah cita-cita atau harapannnya, maka terucaplah perkataan: “Demi Allah saya akan berkurban dengan hewan ini,” wajiblah orang tersebut berudhiyyah pada waktu itu.
Walaupun hewan yang akan dikurbankan tadi tidak memenuhi kriteria hewan kurban, namun tidak boleh diganti dengan yang lain sekalipun itu hewan udhiyah yang lebih bagus dan memenuhi kriteria. Sedangkan niat saja dalam hati itu tidak dihitung dalam pandangan syara sebagai nazar, mesti diucapkan (Nihayah Muhtaj: 8: 136, Tuhftul Muhtaj: 8: 412-413, Al-Bajuri: II: 296)

Jadi berdasar keterangan-keterangan di atas maka ucapan tanpa niat dalam hati tidak menjadikan Kurban seseorang menjadi Kurban yang wajib karena Nadzar. Namun sebagai kehati-hatian dalam shighat (ucapan) saat menyerahkan perwakilan penyembelihan (pasrah wakil). Karena sebagaimana keterangan di atas, perubahan nadzar dari sunah ke wajib itu bisa karena sebuah ucapan. Agar terhindar dari perubahan hukum kurban, maka kita dapat:
1. Menghindari kata isyarah (ini/itu/menunjuk hewan)
2. Setiap menjawab pertanyaan terkait hewan kurban, maka kita niatkan jawaban kita hanya sebatas memberi kabar (ikhbar).

Lalu pertanyaan kedua tentang memakan daging kurban wajib. Dalam kitab Fathul Qorib di jelaskan :
(ولا يأكل المضحي شيئاً من الأضحية المنذورة) 
بل يجب عليه التصدق بجميع، فلو لحمها أخره فتلفت لزمه ضمانها (ويأكل من الأضحية المتطوع بها) ثلثاً على الجديد وأما الثلثان فقيل يتصدق بهما، ورجحه النووي في تصحيح التنبيه. وقيل يهدي ثلثاً للمسلمين الأغنياء ويتصدق بثلث على الفقراء من لحمها ولم يرجح النووي في الروضة وأصلها شيئاً من هذين الوجهين

Orang yang melaksanakan kurban tidak diperkenankan memakan apapun dari kurban yang dinadzari.
Bahkan bagi dia wajib mensedekahkan semua dagingnya.
Kemudian, seandainya ia menunda untuk mensedekahkannya hingga rusak, maka wajib baginya untuk mengganti.
Ia diperkenankan memakan sepertiga dari binatang kurban yang sunnah menurut pendapat al Jadid.Sedangkan untuk dua sepertiganya, maka ada yang mengatakan harus disedekahkan, dan ini diunggulkan oleh imam an Nawawi di dalam kitab Tashhih at Tanbih. Dan ada yang mengatakan, bahwa ia menghadiahkan sepertiga dari dagingnya kepada kaum muslimin yang kaya dan mensedekahkan sepertiganya kepada kaum faqir. Di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, imam an Nawawi tidak mengunggulkan salah satu dari dua pendapat ini.

Jadi tidak boleh bagi peng kurban wajib memakan daging kurbanya. 
Wallahu a'lam

Temanggung, 13 Juli 2023
Ta' Rouf Yusuf


 

Al Fatihah Bagian 2

Al Fatihah Bagian 2 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. ٱلْحَمْدُ Dalam Tafsir At Thabari di k...