Monday, 8 December 2025

Hukum bersuci dengan air panas

Apa Hukum bersuci dengan air hangat atau panas?
Bpk Joko

Jawab:
Imam al-Mawardi dalam  al-Hawi al-Kabir menjelaskan berikut ini;
وأما قوله مسخن وغير مسخن فسواء، والتطهر به جائز,  فإنما قصد بالمسخن أمرين, أحدهما: الفرق بين المسخن بالنار وبين الحامي بالشمس في أن المسخن غير مكروه والمشمس مكروه
adapun perkataanya “air yang dipanaskan dan tidak dipanaskan, maka itu sama saja, dan bersuci menggunakan air itu boleh, maka yang dimaksud dengan air “dipanaskan” ada dua pengertian, pertama; berbeda antara dipanaskan dengan api, dan dipanaskan dengan panas cahaya matahari, nah yang dipanaskan (dengan api dan sejenis) itu hukumnya tidak makruh, sedangkan yang menggunakan cahaya matahari (musyamas) itu hukumnya yang makruh ( Al Hawi Kabir)
Dalam kitab Bujairimi ‘Ala al-Khatib juga disebutkan:
فَالْجُمْلَةُ ثَمَانِيَةٌ كَمَا فِي شَرْحِ م ر. وَهِيَ الْمُشَمَّسُ وَشَدِيدُ الْحَرَارَةِ وَشَدِيدُ الْبُرُودَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ ثَمُودَ إلَّا بِئْرَ النَّاقَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ قَوْمِ لُوطٍ، وَمَاءُ بِئْرِ بَرَهُوتَ، وَمَاءُ أَرْضِ بَابِلَ، وَمَاءُ بِئْرِ ذَرْوَانَ. اهـ
“Jumlah air yang makruh digunakan ada delapan sebagaimana terdapat dalam penjelasan Muhammad Ar-Ramli yaitu air musyammas (panas karena terik matahari), air sangat panas, air sangat dingin, air kaum tsamud, air kaum Luth, air sumur Barahut, air Babilonia, dan air sumur Dzarwan.”
Kemakruhan ini berdasarkan hadits dhaif yang berbunyi
ان رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم نهى عَائِشَة رَضِي الله عَنْهَا عَن المشمس وَقَالَ إِنَّه يُورث البرص
"Bahwasannya Rasulullah shalallahu alihi wa sallam melarang Aisyah radhiyalllahu 'anha untuk menggunakan air musyammasy (air panas karena terik matahari) dan mengatakan bahwasannya air tersebut dapat mengakibatkan penyakit barash (kusta)."
Sedangkan Imam Syafii menerangkan bahwa kemakruhan air panas ini karena alasan medis, sebagaimana panjelasan beliau dalam Al Umm
ولا أكره الماء المشمس إلا من جهة الطب
“Saya tidak menilai makruh air musyammas, selain karena alasan kesehatan.” (al-Umm).
Dalam al-Fiqh al-Manhaji ’ala Madzhab as-Syafii dinyatakan,
نقل الشافعي ـ رحمه الله تعالى عن عمر – رضي الله عنه -: أنه كان يكره الاغتسال به، وقال: ولا أكره الماء المشمس إلا من جهة الطب، ثم روى: أنه يورث البرص
Imam as-Syafii mendapat riwayat dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memakruhkan orang yang mandi dengan air musyammas. Imam as-Syafii mengatakan, ’Saya tidak menilai makruh air musyammas, selain karena alasan kesehatan.’ Kemudian diriwayatkan bahwa mandi dengan air musyammas bisa menyebabkan kusta. (al-Fiqh al-Manhaji, Dr. Musthafa Bugha, 1/32).
Kemudian Dr. Musthafa Bugha menyebutkan, menyebutkan beberapa syarat di mana air musyammas bisa dihukumi makruh,
Air itu terkena terik matahari di daerah yang panas
Air itu berada di wadah terbuat dari logam selain emas dan perak
Air itu digunakan untuk badan manudia, atau binatang yang bisa terkena kusta, seperti kuda. 
(al-Fiqh al-Manhaji).
Sedangkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab mengatakan boleh hukumnya bersuci dengan air panas. Hukumnya pun tidak makruh. Pasalnya, tidak ada larangan untuk bersuci menggunakan air yang dipanaskan. Imam Nawawi berkata;
وأما  المسخن فالجمهور أنه لا كراهة فيه وحكى أصحابنا عن مجاهد كراهته: وعن أحمد  كراهة المسخن بنجاسة وليس لهم دليل فيه روح: ودليلنا النصوص المطلقة ولم  يثبت نهي
 adapun masalah air panas, maka jumhur ulama mengatakan tidak makruh bersuci dengannya, dan ada yang meriwayatkan dari kalangan sahabat kita, dari Mujahid yang menyebut makruh. Imam Ahmad pun mengatakan makruh hukumnya, jika api yang digunakan bercampur najis, akan tetapi tidak ada bagimereka dalil yang kuat. Dan dalil kami dari nash yang mutlak, dan tidak ada ketetapan larangan menggunakan air yang dipanaskan. (Al Majmu' Syarah Muhadzab)
Jadi dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa air hangat atau panas itu ada dua yaitu yang dipanaskan dengan api dan ada yang panas karena sinar matahari. Untuk air yang panas karena sinar matahari ada beberapa ulama yang memakruhkanya, sedangkan air yang panas karena dipanaskan api maka dibolehkan. Sedangkan air yang terlalu panas dimakruhkan karena bahaya yang ditimbulkan karena panasnya teraebut.
Wallahu a'lam
Ta' Rouf Yusuf

Sunday, 30 November 2025

Hukum Memakan Walang, Puthul, Ungkrung dan Uler

Di suatu daerah ada kebiasaan masyarakat mengkonsumsi serangga diantaranya adalah :
1. Walang atau Belalang 
Walang atau belalang menjadi serangga paling populer dan menjadi maskot kuliner daerah ini. Belalang yang sering dikonsumsi yaitu belalang kayu, yang digoreng kering hingga renyah dan memiliki rasa mirip udang. 
2. Puthul
Puthul sejenis kumbang tanah/Phyllophage helleri yang muncul di awal musim penghujan dan diolah menjadi camilan gurih atau bacem. 
3. Ungkrung
Ungkrung atau kepompong ulat jati juga banyak dikonsumsi masyarakat daerah ini berkat kaya akan kandungan proteinnya. 
4. Uler/Ulat 
Biasanya ulat hanya digoreng kering saja dengan bumbu garam dan bawang yang sudah dihaluskan.
Apa batasan mengkonsumsi hewan? Apa hukum mengkonsumsi hewan-hewan tersebut di atas?
Adit
Jawab :
Pada dasarnya hewan-hewan ada yang hallal dan ada yang haram dikonsumsi manusia. Awal hukumnya adalah hallal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Di dalam Al Quran Allah mengharamkan beberapa hewan. Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُوَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِوَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَاأَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ(المائدة:٣)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (Al Maidah : 3)
a. Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati bukan karena penyembelihan yang sesuai dengan syari’at seperti mati tercekik, dipukul, tertabrak dan lainnya. Termasuk bangkai adalah potongan tubuh hewan yang masih hidup. Yang dikecualikan (dihalalkan) dari bangkai adalah: bangkai belalang dan ikan/hewan air.
b. Daging babi
Termasuk lemaknya, dan seluruh bagian tubuhnya yang lain.
c. Hewan yang disembelih dengan selain nama Allah.
Hewan yang disembelih untuk selain Allah. Hewan yang disembelih atas nama berhala dan sebagainya.
Sedangkan dari Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang kami ketahui:
a. Segala hewan yang bertaring
Abu Tsa’labah Radhiyallohu ‘anhu berkata:
نَهَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang melarang memakan setiap hewan bertaring yang buas” (HR Bukhari-Muslim).
b. Segala jenis burung yang bercakar tajam/burung pemangsa
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَىرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِوَعَنْ كُلِّ ذِى مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang melarang memakan setiap hewan bertaring yang buas dan burung yang bercakar tajam” (HR. Muslim).
c. Keledai jinak
Sebagaimana dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar Radhiyallohu ‘anhuma disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ
“Bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang mengkonsumsi daging keledai jinak”(HR Bukhari-Muslim).
Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 421Sedikit menukilkan,
و يحرم من البهائم اكل الحمر الاهلية بخلاف حمر الوحش فانها حلال  المالكية قالوا فى الحمر الاهلية و الخيل و البغال قولان المشهور منهما التحريم و الثانى الكراهة فى البغال ة الحمير و الكراهة والاباحة فى الخيل
Di antara binatang pemamah biak yang diharamkan adalah himar ahliyah, bukan himar wahsyi. Himar wahsyi halal hukumnya. Ulama Malikiyah berpendapat dalam masalah himar ahliyah, kuda, keledai bahwasanya ada 2 pendapat :
1. Pendapat yang masyhur adalah haram
2. Makruh untuk bighol dan himar, dan boleh untuk kuda.
d. Jallaalah
Jallalah adalah Hewan halal yang mayoritas makanan utamanya adalah barang najis sehingga menjadi haram dimakan dan diminum susunya menurut madzhab Hanabillah, sedangkan ulama Syafiiyah, malikiyah dan Hanafiyah memakruhkanya . Ibnu Umar Radhiyallohu ‘anhuma berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليهوسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang (memakan)daging jalalah dan (meminum) susunya” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah). 
Jallaalah dapat kembali menjadi hewan halal apabila hewan jallaalah tersebut dikurung selama tiga hari dan selama waktu tersebut hewan itu diberi makanan yang bersih. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa waktu mengurung jallaalah itu bisa sampai 40 hari.
e. Tikus, kalajengking, burung gagak, burung elang/rajawali dan Anjing galak (الْكَلْبُ الْعَقُورُ) dan ular.
‘Aisyah, beliau Radhiyallahu‘anha mengatakan bahwasannya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِىالْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ،وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ (أخرجه البخاري و مسلم)
“Lima hewan fasiq (pengganggu) yang hendaknya dibunuh walaupun ditanah haram, yaitu: tikus, kalajengking, burung elang, burung gagak, dan anjing galak” (HR.Bukhori, Muslim) 
Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خَمْسٌفَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحِلِّ وَالْحَرَمِ الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُالأَبْقَعُ وَالْفَارَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا
“Lima hewan fasiq (pengganggu) yang hendaknya dibunuh baik ditempat halal (selaintanah haram) maupun ditanah haram, yaitu: ular, kalajengking, burung gagak, anjing galak, burung elang” (HR. Muslim)
Imam Syafii mengatakan," Hadits ini menjadi bukti keharaman daging fawasiqul khamsah. Seandainya, hewan fawasiqul khamsah termasuk hewan yang dilarang dibunuh ketika berihram, niscaya Rasulullah tidak akan membolehkan untuk membunuh hewan fawasiqul khamsah tersebut. (Asy-Syafi’I Muhammad bin Idris, Al-Umm )
Dan diantara hewan yang dianjurkan untuk dibunuh adalah cicak/tokek (الْوَزَغ), cicak/tokek karena termasuk “fawasiq”.
عَنْأُمِّ شَرِيكٍ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِالسَّلاَمُ »
Dari Ummu Syarik Radhiyallohu ’anha, bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan membunuh cicak/tokek dan bersabda: “Dahulu cicak ikut meniup api yang akan membakar Ibrahim ‘Alaihissalam”(HR.Bukhori)
e. Hewan yang dilarang untuk dibunuh (Semut, Lebah, Burung Hud-hud, Burung Shurad dan katak) 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : نَهَىرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَالدَّوَابِّ : النَّمْلَةِ ، وَالنَّحْلَةِ ، وَالْهُدْهُدِ ، وَالصُّرَدِ
“Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang membunuh empat hewan, yaitu; semut, lebah, burung hud-hud, burung shurad” (HR.Bukhori)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ قَالَ : ذَكَرَطَبِيبٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَوَاءً ،وَذَكَرَ الضُّفْدَعَ يُجْعَلُ فِيهِ ، فَنَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الضُّفْدَعِ (أخرجه أحمد و ابن ماجه و الدارمي
Abu Abdirrahman Bin Utsman Radhiyallahu ‘anhu berkata: “seorang dokter bercerita tentang obat dihadapan Rasulullah, dia menyebutkan bahwa bahan obat itu adalah katak, lalu Rasulullah pun melarang membunuh katak”(HR.Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Darimi). 
Para Fuqaha mengharamkan kelima hewan diatas dikarenakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk membunuhnya. Jika membunuhnya saja haram maka bagaimana dengan memakannya?
Ada beberapa hewan lagi yang diharamkan dengan dalil qiyas misal karena menjijikan, hidup di dua alam (amfibia), membahayakan untuk dikonsumsi, persilangan antara hewan hallal dan haram.
Namun untuk binatang-binatang yang ditanyakan maka hukumnya haram kecuali belalang. 
Alasanya karena keempat binatang tadi tidak dapat disembelih, sehingga ketika mati maka menjadi bangkai. Ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, menyatakan haram hukumnya memakan semua serangga, karena dianggap menjijikkan dan tidak disukai oleh tabiat yang sehat.
Sedangkan belalang adalah hallal karena termasuk bangkai yang dihalalkan secara khusus. dalam hadits Rasulullah bersabda:
أحلت لكم ميتتان ودمان، فأما الميتتان: الجراد والحوت، وأما الدمان: فالطحال والكبد
“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah, dua bangkai yaitu bangkai belalang dan ikan, sedangkan dua darah yaitu limpa dan hati.” (HR. Baihaqi)
Bahkan dalam berbagai riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah shallahu alaihi wa salla dan Para Sahabat menjalani tujuh kali peperangan dengan berbekal mengonsumsi belalang. Hal ini seperti hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa:
غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami Berperang bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallamdalam tujuh peperangan dengan mengonsumsi belalang.” (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil yang begitu jelas diatas, maka tidak diragukan lagi bahwa belalang merupakan hewan yang halal untuk dikonsumsi, bahkan hukum kehalalan mengonsumsi belalang ini sudah menjadi konsensus ulama (ijma’). Seperti yang disinggung dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra:
أجمع المسلمون على إباحة أكله 
“Umat Muslim sepakat atas kehalalan mengonsumsi belalang.” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz I, hal. 272)
Wallahu a'lam
Temanggung, 30 November 2025
Ta' Rouf Yusuf

Hukum Mengirim Pahala Bacaan Al Fatihah


Apa Hukum mengirim pahala bacaan Al Fatihah kepada Nabi, kepada orang yang sudah meninggal dan kepada orang lain yang masih hidup?

RH, Temanggung

Jawab :
Hukum mengirim Al Fatihah kepada nabi
Mengirim surat Al-Fatihah, untuk Nabi Muhammad shalallahualaihi wa sallam biasanya diniatkan sebagai tawasul. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan dengan rinci hal-hal terkait tawasul yang perlu diketahui agar tidak salah dalam memahami praktik tawasul yang kerap diamalkan di kalangan masyarakat berpaham Ahlussunah wal Jamaah sebagai berikut:
   أولا: أن التوسل هو أحد طرق الدعاء وباب من أبواب التوجه إلى الله سبحانه وتعالى، فالمقصود الأصلي الحقيقي هو الله سبحانه وتعالى، والمتوسَّل به إنما هي واسطة ووسيلة للتقرب إلى الله سبحانه وتعالى، ومن اعتقد غير ذلك فقد أشرك   
“Pertama, tawasul adalah salah satu cara doa dan salah satu pintu tawajuh kepada Allah Subhanahu wa ta'alla. Tujuan hakikinya itu adalah Allah. Sedangkan sesuatu yang dijadikan tawasul hanya bermakna jembatan dan wasilah untuk taqarrub kepada-Nya. Siapa saja yang meyakini di luar pengertian ini tentu jatuh dalam kemusyrikan,” (Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 123-124).   Adapun perihal hukum pembacaan atau pengiriman Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam, ulama berbeda pendapat, yakni diantara ulama Mazhab Maliki dan ulama Mazhab Syafi‘i. Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Syekh Ihsan M Dahlan Jampes dalam kitabnya
 هل تجوز قراءة الفاتحة للنبي صلى الله عليه وسلم أولا؟ قال الأجهوري: لا نص في هذه المسئلة عندنا: أي معاشر المالكية، والمعتمد عند الشافعية جواز ذلك فنرجع لمذهبهم فلا يحرم عندنا والكامل يقبل زيادة الكمال قاله الشيخ أحمد تركي في حاشية الخرشي   
Apakah boleh atau tidak membaca (mengirim) Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam? Al-Ajhuri mengatakan, masalah ini menurut kami (kalangan Malikiyah) tidak ada nashnya. Sementara pendapat yang muktamad di kalangan Syafi‘iyah membolehkannya (kirim Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam). Kami merujuk ke mazhab mereka sehingga hal itu tidak haram bagi kami. Orang sempurna tetap menerima peningkatan kesempurnaan sebagaimana dikatakan Syekh Ahmad Tarki dalam Hasyiyah Al-Kharasyi,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 14).

Hukum mengirim Al Fatihah kepada orang yang meninggal.
Dalam kitab Fathul Qadir di nukil hadits riwayat dari Sahabat Ali, Nabi Muhammad shalallahualaihi wa sallam bersabda:
  مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ إِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ، ثُمَّ وَهْبَ أَجْرَهُ لِلأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ الأَجْرِ بِعَدَدِ الأَمْوَاتِ 
Barangsiapa melewati pemakaman kemudian ia membaca surat al-ikhlas sebanyak sebelas kali yang pahalanya dihibahkan kepada semua orang yang sudah meninggal dunia di pemakaman itu, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak jumlah orang yang dmakamkan di pemakaman itu. 
Dalam riwayat lain Nabi bersabda
 مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَأَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي جَعَلْت ثَوَابَ مَا قَرَأْت مِنْ كَلَامِك لِأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَانُوا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى 
Barangsiapa memasuki komplek pemakaman kemudian ia membaca surat al-Fatihah, lalu surat al-ikhlas, lalu surat at-takatsur, kemudian ia mengatakan bahwa saya memberikan pahala bacaan tersebut kepada para ahli kubur dari kalangan orang mukmin laki-laki dan perempuan, maka mereka semua para ahli kubur akan mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wata'alla
Imam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Fatawa Al Kubranya, imam Ibnu Qayyim Aljauziyah di dalam kitab Al Ruh fil Kalam ala Arwahil Amwat Wal Ahya’bid Dalail Minal Kitab Was Sunnah, dan Ibnu Utsaimin dalam Fatawa  Nur Ala Darb pun mengatakan hal yang sama, yakni boleh dan sampai pahalanya kepada mayit.
Di dalam kitab Irsyadul Ibad Ila Sabilir Rasyad karya Syeikh Zainuddin ibn Abdil Aziz bin Zainuddin Almalibari pun menukil pendapatnya imam Ahmad bin Hanbal yang pernah mengatakan: Jika kalian masuk kuburan, maka bacalah fatihatul kitab, surah al ikhlas dan muawwidzatain dan jadikanlah pahala itu untuk ahlul qubur karena hal itu bisa sampai kepada mereka. Dan hendaknya seorang pembaca itu mengucapkan setelah itu ‘Allahumma Aushil Tsawaba Ma Qara’tuhu ila fulan “Ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah aku baca untuk si fulan.

Hukum mengirim bacaan fatihah untuk orang yang masih hidup.
Syeikh Dr. Ali Jum’ah berpendapat.
الأصل أن ثواب القراءة يكون لصاحبها، لكن يجوز للإنسان على سبيل الدعاء أن يقول مثلًا: “اللهم هب مثل ثواب عملي هذا أو قراءتي هذه إلى فلان أو فلانة، حيًّا كان أو ميتًا”، وهبة الثواب على جهة الدعاء مما اتفق عليه العلماء.
Pada dasarnya pahala membaca Alquran adalah milik pembacanya. Tetapi, boleh bagi manusia atas dasar doa mengatakan semisal “Allahumma Hab Mitsla Tsawabi Amali Hadza Au Qiraati Hadzihi Ila Fulan au Fulanah, Hayyan kana au Mayyitan.” Ya Allah, berikanlah semisal pahala amalku ini atau bacaanku ini untuk si fulan (laki-laki) atau fulanah (perempuan), baik dia masih hidup atau telah tiada. Pemberian hadiah pahala tersebut adalah kategori doa sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
Dapat kita simpulkan menurut syaikh ali jumah (ulama mesir saat ini) dibolehkan membaca al fatihah untuk orang yang masih hidup.

Wallahu a'lam
Temanggung,  22 November 2025
Ta' Rouf Yusuf

Friday, 15 August 2025

Untuk Apa Penggunaan Kas Masjid

Assalamu'alaikum

Ijin bertanya, Untuk apa penggunaan kas masjid?

Jawab :
Kas Masjid merupakan kotak infaq yang di letakan di masjid untuk mengumpulkan infaq dari masyarakat. Setahu penulis di masa para sahabat kas masjid seperti saat ini belum ada, dalam salah satu hadits diceritakan dari Ma’an bin Zayid  radhiyallahu ‘anhuma  menceritakan kepadanya seraya berkata,
بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَأَبِي وَجَدِّي, وَخَطَبَ عَلَيَّ فَأَنْكَحَنِي, وَخَاصَمْتُ إِلَيْهِ, وَكَانَ أَبِي يَزِيْدُ أَخْرَجَ دَنَانِيْرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ, فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا, فَأَتَيْتُهُ بِهَا, فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ. فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ : لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيْدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ
“Aku, ayahku, dan kakekku pernah membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah melamarkan untukku dan menikahkanku. Aku juga bersumpah setia (untuk mengembalikan setiap urusanku) kepada beliau. Suatu hari bapakku, Yazid mengeluarkan dinar untuk dishadaqahkan, dia meletakkannya di samping seseorang yang berada di masjid. Kemudian aku datang, aku ambil dan aku bawa kepadanya, lalu bapakku berkata, “Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju”. Lalu masalah ini aku adukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Bagimu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid, sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an”…(HR Bukhari)
Disana menunjukkan bahwa belum ada kas masjid seperti saat ini. Namun saat itu di kenal adanya Baitul Maal yang dikelola oleh negara. 
Dalam literatur yang penulis baca, di masa pemerintahan penjajah Belanda kas masjid di awasi pengelolanya oleh pemerintah Hindia Belanda. Dituliskan bahwa pengunaan kas masjid saat itu digunakan untuk pembangunan sarana-sarana umum seperti gedung pertemuan, rumah sakit dan sebagainya. Dalam literatur yang lain bahkan disebutkan bahwa modal awal salah satu bank terbesar di Indonesia di ambil dari kas masjid. Lalu apakah hal tersebut tepat penggunaanya? Namun tidak bisa di pungkiri bahwa potensi kas masjid ini sangat luar biasa jika dapat dikelola dengan baik.
Untuk dapat mengetahui hal yang tepat dalam penggunaan kas masjid, maka kita perlu mengetahui niat atau maksud dari pemberi uang. 
Terdapat tiga kemungkinan. Pertama, uang diberikan untuk pembangunan masjid. Pada kemungkinan ini, pemberi uang secara jelas menyebutkan bahwa dia ingin membantu pembangunan masjid/musholla.
Kemungkinan kedua adalah uang diberikan tanpa tujuan tertentu. Kita bisa menyebutnya “memberi secara mutlak”, dilepas begitu saja, tidak ada syarat, tidak ada alokasi yang dinyatakan secara jelas dari pemberi infaq.
Kemungkinan ketiga adalah untuk mashalih al-masjid/musholla, yakni apa pun yang berdampak positif, yang baik, yang biasa dilakukan oleh masjid/musholla.Contohnya seperti pengajian (bisyaroh narasumber dan konsumsi, misalnya), memberi honor untuk orang-orang yang merawat masjid/musholla.
Untuk kemungkinan pertama, jika memang uang itu diniatkan untuk pembangunan masjid, maka syarth al-waqif ka nash al-syari’, apa yang disyaratkan oleh orang yang berwakaf itu setara dengan nas syariat, hal ini berarti harus menjalankan sesuai dengan niat dari orang yang menginfaqan. Dan syarat ini bisa disampaikan secara langsung oleh penginfaq kepada takmir, atau penginfaq menyumbang pada kotak pembangunan masjid yang memang di khususkan untuk pembangunan. Artinya bahwa syarat ini diketahui oleh pemberi dan takmir selaku pengelola kas masjid.
Untuk kemungkinan kedua dan ketiga, yakni pemberian mutlak atau untuk mashalih al- masjid/musholla, maka penggunaannya boleh untuk selain pembangunan, yang penting mengandung kemaslahatan untuk masjid/musholla. Contohnya seperti pendanaan pengajian. Karena pengajian sejatinya juga termasuk bagian dari fungsi masjid itu sendiri, yaitu menyebarkan ilmu, tempat pengajaran. Sejak zaman Rasulullah, masjid dan musholla memanglah tempat untuk pengajian.
Sedangkan gaji untuk imam, muadzin, atau orang-orang yang merawat masjid maka hal itu juga bagian dari imaratul masjid. Bukan imarah sebagai pembagunan, tetapi sebagai wujud melestarikan masjid. Maksudnya adalah menjaga masjid tetap bersih dan nyaman. Ketika masuk waktu sholat, ada yang adzan. Saat sholat berjamaah, ada yang mengimami. Sehingga memberi gaji muadzin dan imam adalah bagian dari imaratul masjid.
Oleh karenanya, kas masjid yang tidak bersumber dari “pemberi dengan maksud pembangunan” bisa dialokasikan untuk keperluan tersebut. Kita bisa mengambilnya dari pemberi yang memutlakkan pemberian atau yang ditujukan untuk mashalih al-masjid/musholla.
Dalam kitab Bughyatul Musytarsyidin  
،ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد في المسجد من قهوة ودخون وغيرهما مما يرغب نحو المصلين ، وإن لم يعتد قبل إذا زاد على عمارته   
Diperbolehkan bahkan disunnahkan bagi takmir melakukan sesuatu yang biasa dilakukan di masjid, seperti menyediakan kopi, rokok dan sesuatu yang disukai para jama’ah walaupun hal ini tidak dibiasakan sebelumnya apabila uang kas ini sudah melebihi untuk pembangunan masjid.
Dari pernyataan tersebut intinya dibolehkan menggunakan kas masjid untuk hal-hal yang mubah untuk mengundang atau membuat jamaah nyaman di masjid. Tentunya tidak boleh menyediakan hal-hal yang dilarang agama untuk menarik jamaah. Untuk saat ini mungkin bisa di adakan AC, wifi dan fasilitas-fasilitas yang membuat jamaah nyaman. Namun jangan menyediakan hal yang tidak nyaman bagi jamaah. Khusus untuk rokok menurut penulis tentunya perlu adanya catatan khusus dikarenakan status hukum rokok itu sendiri.
Dalam Kitab Fathul Ilahil Manan juga disebutkan
الموقوف على مصالح المساجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف فيه البناء والتجصيص المحكم وفي أجرة القيم والمعلم والإمام والحصر والدهن وكذا فيما يرغب المصلين من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك الأهم فالأهم وعليه فيجوز الصرف في مسئلة السؤال لما ذكره السائل اذا فضل من عمارته ولم يكن ثم ما هو أهم منه من المصالح 
Barang yang diwakafkan untuk kemaslahatan masjid seperti yang terjadi pada pertanyaan di atas itu boleh dipergunakan untuk membangun, memperkuat masjid dan juga untuk membayar takmir, pengajar, imam, membeli karpet, minyak dan segala sesuatu yang disukai oleh para jama’ah seperti kopi dan dupa ( untuk pengharum ruangan). Dalam hal ini juga harus mempertimbangkan mana yang lebih penting.
Syaikh Abdullah Al Faqih dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah mengatakan
 فلا يجوز للشخص أن يأخذ أجرة على إمامته للناس في الصلاة، أو قراءته للقرآن، إلا إذا أعطي من بيت مال المسلمين، أو كان فقيراً محتاجاً وأخذ لذلك، وإن استعف فهو خيرٌ له. هذا ما ذهب إليه الأئمة الأربعة: أبو حنيفة ومالك والشافعي وأحمد. 
Tidak boleh bagi seseorang memgambil upah atas keimamannya kepada orang-orang dalam shalat, atau membaca Al Qur’an. Kecuali diambil dari Baitul maal kaum muslimin {Baitul Maal di masa kini bisa direpresentasikan oleh uang kas masjid yang merupakan dana untuk maslahat masjid (operasional, perawatan, gaji marbot dan imam, dana kegiatan)}, atau dia orang yang membutuhkan, atau dia fakir, dia boleh ambil itu, namun jika dia ‘iffah itu lebih baik baginya. Inilah pendapat imam empat madzhab: Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy, dan Ahmad. 
Dari pembahasan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa kas masjid yang bersyarat maka harus di laksanakan sesuai dengan syaratnya. Namun untuk kas masjid tanpa syarat dapat pula di gunakan untuk mashalih al- masjid/musholla. Hal tersebut harus disesuaikan dengan tujuan asasi di bangunya masjid.
Untuk menghindari perdebatan ada baiknya disediakan beberapa kotak kas masjid kemudian di tuliskan tujuan kas masjid pada setiap kotak. Misalkan Kas 1 untuk operasional dan pembangunan masjid, kemudian Kas 2 untuk kegiatan sosial dsb. Hal ini bisa mengacu dari program yang direncanakan takmir. Sehingga orang yang berinfaq bisa memilih untuk apa uang infaqnya sesuai dengan program masjid.
Wallahua'lam
Ta' Rouf Yusuf

Monday, 30 June 2025

Hukum Bermakmum kepada Imam yang Masih Suka berjudi

Apa hukum bermakmum kepada orang yang suka berjudi?
Jawab :
Fasiq berasal dari kata fasaqa yafsiqu/ yafsuqu fisqan yang berarti keluar dari ketaatan, kebenaran, agama dan dari keistiqamahan. Fasik pada asalnya diartikan sebagai keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lainnya dan hal itu akan mengakibatkan kerusakan. 
Dalam kitab Raddul Muhtar A’la Durril Mukhtar disebutkan bahwa fasik dalam istilah definisikan sebagai seorang yang melakukan dosa besar ataupun seringkali melakukan dosa-dosa kecil. 
Dalam fathulbari Imam Ibnu Hajar al-A’sqolani menyatakan bahwa ,"sebagian dari para Imam berkata : dosa besar yang disebabkan oleh hati lebih besar dibandingkan dosa besar yang dilakukan oleh anggota badan dikarenakan dosa tersebutlah penyebab kefasikan itu menjadi nyata dan nampak (dalam diri manusia).' Imam asy-Syaukani menukil perkataan Imam al-Qurthubi," adapun kefasikan yang umumnya digunakan dalam syariat yaitu : (perbuatan yang telah menyebabkan seseorang) keluar dari zona ketaatan kepada Allah Ta’ala. Terkadang perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran dan bisa juga dianggap sebagai kemaksiatan. Sebagaimana hadits berikut ini :
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
mencela seorang muslim adalah kefasikan sedangkan membunuhnya adalah kekafiran."
Begitupula dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala juga dinyatakan sebagai orang fasik, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. 
Ada juga kefasikan didapati dari penakwilan misalkan seorang meminum nabidz dari madu atau gandum, jika ditakwilkan kepada mazhab selain mazhab hanafiyah maka hal tersebut termasuk perbuatan yang diharamkan dikarenakan mereka menganggap nabidz madu dan gandum sebagai khamr Dan orang yang meminumnya dianggap sebagai seorang fasik. Namun jika ditakwilkan kepada mazhab Hanafiyah maka hal tersebut bukanlah perbuatan yang menjadikan pelaku sebagai seorang fasik, dikarenakan mazhab hanafiyah tidak beranggapan bahwa nabidz madu dan gandum termasuk jenis khamr. 
Jadi dapat kita simpulkan bahwa bahwa orang yang melakukan dosa besar seperti berjudi (sebagaimana di tulis imam adzahabi dalam kitab Kabair) atau orang yang masih rutin melakukan dosa kecil dinamakan orang fasik.
Lalu bagaimana hukum makmum di belakang imam yang fasik?
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Imam Ibnu Rusyd di tulis terdapat perbedaan ulama terkait dengan hal ini. Masalah ini adalah masalah ijtihadi dimana syariat tidak menjelaskannya secara gamblang dan pasti sehingga akhirnya para ulama berijtihad dengan menggunakan qiyas (analogi). Pengqiyasan yang mereka gunakan pun juga sangat kontradiktif (saling bertentangan antara satu dengan lainnya) dimana kelompok ulama yang menyatakan sahnya shalat dibelakang seorang yang yang fasik berhujjah bahwa yang dibutuhkan seorang makmum dari seorang imam hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan sahnya shalat. Sedangkan kelompok ulama yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik berargumen dengan menggunakan qiyas. Mereka mengqiyaskan imamah dalam shalat dengan persaksian di depan hakim. Mereka mennyatakan bahwa seorang yang fasik sangat memungkinkan untuk merusak shalatnya sebagaimana mereka berbohong ketika bersaksi di pengadilan.
Diantara perbedaan ulama :
A. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
1. Mazhab Maliki
Dalam mazhab maliki ada pendapat yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang mu’tamad dalam mazhab maliki.
2. Mazhab Hambali
Mazhab hambali berpendapat bahwa tidak sah bermakmum kepada imam yang fasik secara mutlak. Baik itu kefasikannya berkaitan dengan i’tiqod (keyakinan) ataupun berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Begitu pula jika kefasikannya dia tampakkan ataupun disembunyikannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik ? mereka tidaklah sama. 
Dan juga Sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :
لا تؤمن امرأة رجلا، ولا يؤم أعرابي مهاجرا، ولا فاجر مؤمنا إلا أن يقهره بسلطان يخاف سيفه وسوطه
Seorang perempuan tidak boleh mengimami seorang lelaki, begitu pula seorang a’rabi (badui) mengimami seorang muhajir dan seorang yang fajir (fasik) mengimami seorang mukmin. Kecuali (seorang mukmin) dipaksa dengan kekuasaan (yang dimiliki oleh si fasik), dimana seorang mukmin tersebut takut akan ditebas oleh pedangnya dan dicambuk.
Namun jika seorang mukmin bermakmum kepada imam yang fasik maka di haruskan untuk mengulang shalatnya Kecuali shalat jumat dikarenakan darurat ataupun udzur, dalam artian tidak ada lagi kesempatan untuk mencari imam selain si fasik tersebut. 
B. Pendapat Yang Membolehkan
1. Mazhab Hanafi
Dalam mazhab hanafi bermakmum kepada seorang yang fasik dibolehkan jika dilihat kepada keumuman dalam pengertian setiap orang yang berakal, bahkan dibolehkan juga seorang budak, orang a’rabi (badui), orang buta dan anak hasil perzinahan menjadi imam sholat walaupun disertai dengan kemakruhan. Mereka mengatakan bahwa tidak seyogyanya bermakmum kepada seorang yang fasik kecuali pada sholat jumat, dikarenakan selain sholat jumat ada kesempatan untuk memilih bermakmun dengan selainnya. Namun makruh jika di dalam satu kota ada banyak masjid yang melangsungkan sholat jumat karena dia punya kesempatan untuk memilih bermakmum dengan yang lainnya. Dalam pandangan hanafiyah sholat dibelakang orang fasik lebih utama daripada sholat sendirian serta bermakmum kepadanya akan mendapatkan keutamaan sholat berjamaah walaupun menurut mereka lebih utama sholat dibelakang orang yang bertakwa, sebagaimana hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :
من صلى خلف عالم تقي ، فكأنما صلى خلف نبي
barangsiapa yang sholat dibelakang orang alim yang bertakwa maka seolah-olah dia sedang bermakmum kepada Nabi. 
2. Mazhab Maliki
Dalam mazhab maliki dibolehkan dan sah jika bermakmum kepada seorang yang fasik dimana kefasikannya berkaitan dengan kemaksiatan anggota tubuh (seperti berzina, minum khamr) walaupun pembolehannya tersebut disertai dengan kemakruhan sebagaimana sahnya bermakmun kepada pelaku bid’ah yang pengkafiran terhadapnya terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, seperti kelompok qadariyah. Adapun jika kefasikannya berkaitan erat dengan rusaknya shalat, seperti niat dan tujuannnya yang ingin menyombongkan diri dengan menjadi imam sholat ataupun sengaja membaca al-Quran dengan memakai qira'ah (bacaan) yang syadz, yang bacaan tersebut bertentangan dengan al quran versi mushaf utsmani serta merusak shalat dengan tidak melaksanakan syarat ataupun rukun-rukunnya secara sengaja. Maka bermakmun kepadanya menjadi tidak sah. 
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab syafi’i membolehkan seorang untuk shalat di belakang imam yang fasik namun disertai kemakruhan. Kemakruhannya tersebut hanya berlaku jika makmumnya bukanlah seorang yang fasik adapun jika kefasikannya sama antara imam dan makmum maka tidak dimakruhkan selama kefasikan imam tersebut tidak lebih parah dibandingkan makmumnya.

Wallahua'lam bi shawab

Friday, 6 June 2025

Hukum amal orang Kafir jika masuk Islam


(باب بَيَانِ حُكْمِ عَمَلِ الْكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ بَعْدَه،)
Bab Penjelasan Hukum amal orang kafir jika masuk islam
فِيهِ حَدِيثُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ (أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ هَلْ لِي فِيهَا مِنْ شَيْءٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ) أَمَّا التَّحَنُّثُ فَهُوَ التَّعَبُّدُ كَمَا فَسَّرَهُ فِي الْحَدِيثِ وَفَسَّرَهُ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى بِالتَّبَرُّرِ وَهُوَ فِعْلُ الْبِرِّ وَهُوَ الطَّاعَةُ قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ أَصْلُ التَّحَنُّثِ أَنْ يَفْعَلَ فِعْلًا يَخْرُجُ بِهِ مِنَ الْحِنْثِ وَهُوَ الْإِثْمُ وَكَذَا تَأَثَّمَ وَتَحَرَّجَ وَتَهَجَّدَ أَيْ فَعَلَ فِعْلًا يَخْرُجُ بِهِ عَنِ الْإِثْمِ وَالْحَرَجِ وَالْهُجُودِ
Terdapat Hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shnllallahu Alaihi wa Sallam, "Bagaimana pendapat engkau dengan perkara-pekara yang dulu saya beribadah dengannya pada masa jahiliyah, apalah ada sesuatu untukku padanya? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepadanya, "Kamu sudah menyerahkan dari apa yang telah kamu pinjamkan dari kebaikan. "At-Tahanuts adalah At-Ta'abbud (beribadah) sebagaimana yang ditafsirkan dalam hadits, dalam riwayat lain ditafsirkan at-tabarur, perbuatan baik berupa taat, ahli bahasa berkata bahwa asal kata at-tahannuts adalah melakukan perbuatan yang keluar dari al-hints, yaitu dosa, begitu iuga dengan Ta' atstsama, Taharaja, dan Tahajada adalahm elakukan perbuatan yang keluar dari dosa, kesalahan dan tidur di waktu malam. 
 وَأَمَّا قَوْلُهُ ﷺ أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ فَاخْتُلِفَ فِي مَعْنَاهُ فَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْمَازِرِيُّ رحمه الله ظَاهِرُهُ خِلَافُ مَا تَقْتَضِيهِ الْأُصُولُ لِأَنَّ الْكَافِرَ لَا يَصِحُّ مِنْهُ التَّقَرُّبُ فَلَا يُثَابُ عَلَى طَاعَتِهِ وَيَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مُطِيعًا غَيْرَ مُتَقَرِّبٍ كَنَظِيرِهِ فِي الْإِيمَانِ فَإِنَّهُ مُطِيعٌ فِيهِ مِنْ حَيْثُ كَانَ مُوَافِقًا لِلْأَمْرِ وَالطَّاعَةُ عِنْدنَا مُوَافَقَةُ الْأَمْرِ وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ مُتَقَرِّبًا لِأَنَّ مِنْ شَرْطِ الْمُتَقَرِّبِ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِالْمُتَقَرَّبِ إِلَيْهِ وَهُوَ فِي حِينِ نَظَرِهِ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ الْعِلْمُ بِاللَّهِ تَعَالَى
Sabda beliau Slullallahu Alaihi wa Sallam, "أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ ," diperselisihkan maknanya. Al-Imam Abu Abdillah Al Maaziri Rahimnhullah berkata bahwa zhahirnya adalah perselisihan yang sampai kepada permasalahan pokok karena orang kafir tidak sah ibadahnya sehingga tidak akan dibalas atas ketaatannya, tetapi sah jika dia dinamakan orang yang taat bukan orang yang beribadah seperti perbandingannya dalam masalah iman, sesungguhnya dia dalam hal ini adalah orang yang taat karena sesuai dengan perintah dan taat menurut kami sesuai dengan perintah, tetapi dia tidak menjadi orang yang beribadah karena syarat beribadah adalah mengetahui Dzat yang ia ibadahi, dan dia pada saat merenungkannya tidak memperoleh ilmu tentang Allah Ta'ala sama sekali.
 بَعْدُ فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا عُلِمَ أَنَّ الْحَدِيثَ مُتَأَوَّلٌ وَهُوَ يَحْتَمِلُ وُجُوهًا أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ اكْتَسَبْتَ طِبَاعًا جَمِيلَةً وَأَنْتَ تَنْتَفِعُ بِتِلْكَ الطِّبَاعِ فِي الْإِسْلَامِ وَتَكُونُ تِلْكَ الْعَادَةُ تَمْهِيدًا لَكَ وَمَعُونَةً عَلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالثَّانِي مَعْنَاهُ اكْتَسَبْتَ بِذَلِكَ ثَنَاءً جَمِيلًا فَهُوَ بَاقٍ عَلَيْكَ فِي الْإِسْلَامِ والثالث أنه لا يبعد أن يزاد فِي حَسَنَاتِهِ الَّتِي يَفْعَلُهَا فِي الْإِسْلَامِ وَيَكْثُرُ أَجْرُهُ لِمَا تَقَدَّمَ لَهُ مِنَ الْأَفْعَالِ الْجَمِيلَةِ وَقَدْ قَالُوا فِي الْكَافِرِ إِذَا كَانَ يَفْعَلُ الْخَيْرَ فَإِنَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُ بِهِ فَلَا يَبْعُدُ أَنْ يُزَادَ هَذَا فِي الْأُجُورِ هَذَا آخِرُ كَلَامِ الْمَازِرِيِّ رحمه الله
Jika sudah pasti seperti ini, maka dapat diketahui bahwa hadits ini dapat ditakwil dengan memiliki beberapa kemungkinan, salah satunya adalah Anda sudah melakukan kebiasaan atau tabiat yang bagus dan dapat mengambil manfaat dari kebiasaannya tersebut dalam Islam, dan kebiasaan tersebut menjadi pembuka bagi Anda serta membantu untuk melakukan perbuatan baik, kedua maknanya adalah Anda sudah melakukan demikian dan itu mendapatkan pujian yang baik hingga akan tetap ada pada masa Islam, ketiga adalah tidak mustahil akan ditambah kebaikannya yang telah ia lakukan pada masa Islam dan akan diperbanyak pahalanya dari amal perbuatan yang sudah dilakukan, mereka berkata tentang orang kafir jika melakukan perbuatan baik sesungguhnya dapat meringankannya dan tidak mustahil untuk ditambah pahalanya. Ini adalah akhir dari perkataan Al-Maaziri Rahimahullah.
 قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رحمه الله وَقِيلَ مَعْنَاهُ بِبَرَكَةِ مَا سَبَقَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ هَدَاكَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى الْإِسْلَامِ وَأَنَّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ خَيْرٌ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى سَعَادَةِ آخِرِهِ وحسن عاقبته هذا كلام القاضي 
Al-Qadhi 'Iyadh Rahimahullah berkata dan ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah dengan barakah kebaikan yang telah kamu lakukan, maka Allah Ta'ah memberikan petunjuk kepadamu tentang Islam dan barangsiapa yang terlihat kebaikan darinya di awal perkaranya, maka ini adalah bukti atas kebahagiaan pada akhirnya dan kebaikan pada akibatnya. Ini perkataan Qadhi.
وذهب بن بَطَّالٍ وَغَيْرُهُ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ إِلَى أَنَّ الْحَدِيثَ عَلَى ظَاهِرِهِ وَأَنَّهُ إِذَا أَسْلَمَ الْكَافِرُ وَمَاتَ عَلَى الْإِسْلَامِ يُثَابُ عَلَى مَا فَعَلَهُ مِنَ الْخَيْرِ فِي حَالِ الْكُفْرِ وَاسْتَدَلُّوا بِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا أَسْلَمَ الْكَافِرُ فَحَسُنَ إِسْلَامُهُ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ كُلَّ حَسَنَةٍ زَلَفَهَا وَمَحَا عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ زَلَفَهَا وَكَانَ عَمَلُهُ بَعْدُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلَّا أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ سبحانه وتعالى ذَكَرَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي غَرِيبِ حَدِيثِ مَالِكٍ وَرَوَاهُ عَنْهُ مِنْ تِسْعِ طُرُقٍ وَثَبَتَ فِيهَا كُلِّهَا أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا حَسُنَ إِسْلَامُهُ يُكْتَبُ لَهُ فِي الْإِسْلَامِ كل حسنة عملها فى الشرك
Ibnu Baththal dan selainnya dari kalangan muhaqqiq berpendapat bahwa hadits ini sesuai dengan zhahirnya, yaitu jika orang kafir masuk Islam dan meninggal dalam keadaan Islam, maka akan dibalas atas kebaikan yang telah ia lakukan pada saat masih kafir, mereka berargumen dengan hadits Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah Shallallahul aaihi wa Sallam bersabda, "Jika orang lafir masuk lslam lalu baik lslamnya, Allah Ta'ala menulis setiap kebailan yang ia persembahkan, dan menghapus setiap kejelekan yang ia persembahkan, dan amalannya setiap kebaikan adalah sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus lali lipat, dan kejelekan ditulis satu kejelekan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengampuni kejelekannya, Ad-Daraquthni menyebutkannya dalam Gharib Hadits Malik,dan yang meriwayatkan adalah dari sembilan jalan, ketetapannya adalah bahwa orang kafir jika keislamanya baik, maka akan ditulis untuknya pada saat Islam, setiap kebaikan yang telah ia lakukan pada saat musyrik
قال بن بَطَّالٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَ ذِكْرِهِ الْحَدِيثَ وَلِلَّهِ تَعَالَى أَنْ يَتَفَضَّلَ على عباده بما يشاء لَا اعْتِرَاضَ لِأَحَدٍ عَلَيْهِ قَالَ وَهُوَ كَقَوْلِهِ ﷺ لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رضي الله عنه أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَأَمَّا قَوْلُ الْفُقَهَاءِ لَا يَصِحُّ مِنَ الْكَافِرِ عِبَادَةٌ وَلَوْ أَسْلَمَ لَمْ يُعْتَدَّ بِهَا فَمُرَادُهُمْ أَنَّهُ لَا يُعْتَدُّ لَهُ بِهَا فِي أَحْكَامِ الدُّنْيَا وَلَيْسَ فِيهِ تَعَرُّضٌ لِثَوَابِ الْآخِرَةِ فَإِنْ أَقْدَمَ قَائِلٌ عَلَى التَّصْرِيحِ بِأَنَّهُ إِذَا أَسْلَمَ لَا يُثَابُ عَلَيْهَا فِي الْآخِرَةِ رُدَّ قَوْلُهُ بِهَذِهِ السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ وَقَدْ يُعْتَدُّ بِبَعْضِ أَفْعَالِ الْكُفَّارِ فِي أَحْكَامِ الدُّنْيَا فَقَدْ قَالَ الْفُقَهَاءُ إِذَا وَجَبَ عَلَى الْكَافِرِ كَفَّارَةُ ظِهَارٍ أَوْ غَيْرُهَا فَكَفَّرَ فِي حَالِ كُفْرِهِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَإِذَا أَسْلَمَ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ إِعَادَتُهَا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ رحمه الله فِيمَا إِذَا أَجْنَبَ وَاغْتَسَلَ فِي حَالِ كُفْرِهِ ثُمَّ أَسْلَمَ هَلْ تَجِبُ عَلَيْهِ إِعَادَةُ الْغُسْلِ أَمْ لَا وَبَالَغَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَقَالَ يَصِحُّ مِنْ كُلِّ كَافِرٍ كُلُّ طَهَارَةٍ مِنْ غُسْلٍ وَوُضُوءٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِذَا أَسْلَمَ صَلَّى بِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Ibnu Baththal Rahimahullah Ta'ala berkata setelah menyebutkan hadits ini dan Allah Ta'ala memiliki keutamaan terhadap hamba-hambaNya yang Dia kehendaki, tidak ada seorangpun yang menyangkalNya. Ia berkata, dan ini seperti sabda beliau Shallallahu alaihiwa sallam kepada Hakim bin Hizam radhiyallahuanhu, "Aslamta'ala maa aslafta min khairin, " Wallahu a'lam. 
Adapun pendapat ulama fiqh adalah tidak sah ibadah dari orang kafir jika dia masuk Islam, maka amalannya tidak dianggap, maksud mereka adalah amalan baiknya tidak dianggap pada hukum-hukum dunia dan tidak bertentangan dengan pahala akhirat. Jika pembicara mengemukakan secara terang-terangan bahwa jika masuk Islam, tidak akan dibalas di akhirat, maka perkataannya tertolak dengan sunnah shahihah ini dan terkadang beberapa amal perbuatan orang kafir dianggap juga pada hukum-huk'um dunia, ulama fiqh telah mengatakan bahwa jika diwajibkan untuk orang kafir membayar kaffarah zhihnr atau selairmya lalu dia membayamya pada saat masih kafir, maka hal tersebut sudah mencukupinya. Jika masuk Islam, tidak wajib mengulangnya. Para pengikut Asy-Syafii Rahimahullah telah berselisih pendapat tentang orang kafir yang junub lalu ia mandi pada saat masih kafir kemudian ia masuk Islam, apakah wajib mengulangi mandinya atau tidak? Sebagian pengikut Asy-Syafii mengatakan sah setiap orang kafir semua thaharahah-nya, baik mandi, wudhu atau tayammum, dan jika dia masuk Islam, ia boleh shalat dengan thaharah-nya,Wallahu a'lam. 
 وَأَمَّا مَا يَتَعَلَّقُ بِلَفْظِ الْبَابِ فَقَوْلُهُ (أَعْتَقَ مِائَةَ رَقَبَةٍ وَحَمَلَ عَلَى مِائَةِ بعير) معناه تصدق بها وفيه صالح عن بن شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ وَهَؤُلَاءِ ثَلَاثَةٌ تَابِعِيُّونَ رَوَى بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ وَقَدْ قَدَّمْنَا أَمْثَالَ ذَلِكَ وَفِيهِ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ الصَّحَابِيُّ رضي الله عنه وَمِنْ مَنَاقِبِهِ أَنَّهُ وُلِدَ فِي الْكَعْبَةِ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ وَلَا يُعْرَفُ أَحَدٌ شَارَكَهُ فِي هَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ وَمِنْ طُرَفِ أَخْبَارِهِ أَنَّهُ عَاشَ سِتِّينَ سَنَةً فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَسِتِّينَ فِي الْإِسْلَامِ وَأَسْلَمَ عَامَ الْفَتْحِ وَمَاتَ بِالْمَدِينَةِ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ فَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالْإِسْلَامِ مِنْ حِينِ ظُهُورِهِ وَانْتِشَارِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Kaitannya dengan lafazh bab ini adalah perkataannya, "A'taqa bi mi'ah raqabah wa hamala 'ala mi'ah ba'iir, "Maknanya adalah bershadaqah. 
Terdapat Shalih dari Ibnu Syihab dari Urwah, mereka bertiga adalah tabi'in yang saling meriwayatkan satu dengan lainnya, kami telah kemukakan contohnya. Selain itu, terdapat Hakim bin Hizam seorang sahabat Radhiyallahu Anhu, di antara kebaikanya adalah ia lahir di Ka'bah, sebagian ulama berkata bahwa tidak diketahui seorang pun yang berserikat dengannya dalam masalah ini. Ulama berkata bahwa di antara kabar baiknya adalah dia hidup enam tahun di masa jahiliyah dan enam tahun di masa Islam, masuk Islam setelah Fathu Makkah, meninggal dunia di Madinah pada tahun 54, yang dimaksud dengan Islam adalah pada saat mulai dan menyebarya, Wallahu a'lam

شرح النووي على مسلم

Friday, 2 May 2025

Apakah jasad atau ruh yang disiksa di alam kubur?

Apakah jasad arau ruh manusia yang di siksa di alam kubur?
Jawab :
Alam kubur disebut juga dengan alam barzakh. Ulama berbeda pendapat soal ini. Sebagian menyatakan ruhnya saja yang disiksa. Sebagian lagi menyatakan yang disiksa roh dan jasadnya. Sebagian lagi menyatakan ruhnya saja namun terkadang jasadnya juga merasakannya.Pendapat yang sahih di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah menyatakan bahwa azab atau nikmat kubur itu dirasakan oleh badan dan rohnya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 17/201, menyatakan penggambaran siksa atau nikmat kubur sebagai berikut:

فان قيل : فنحن نشاهد الميت على حاله في قبره فكيف يُسأل ويُقعد ويضرب بمطارق من حديد ولا يظهر له أثر ، فالجواب : أن ذلك غير ممتنع بل له نظر في العادة وهو النائم ، فإنه يجد لذة وآلاما لا نحس نحن شيئا منها ، وكذا يجد اليقظان لذة وآلما لما يسمعه أو يفكر فيه ولا يشاهد ذلك جليسه منه ، وكذا كان جبرئيل يأتي النبي صلى الله عليه وسلم فيخبره بالوحي الكريم ولا يدركه الحاضرون ، وكل هذا ظاهر جلى .

Apabila ditanyakan: "Kami melihat keadaan mayit di kuburnya, bagaimana (mungkin) ia ditanya, didudukkan, dipukul dengan pukulan besi padahal tidak ada bekas apapun?" Jawabnya adalah: "Hal itu tidak mencegah (bukan berarti tidak terjadi). Bisa saja ia melihat dalam kebiasaan ketika ia sedang tidur di mana ia merasakan kenikmatan atau tersiksa yang tidak kita rasakan sama sekali darinya. Begitu juga orang yang sadar merasa nikmat atau sakit ketika ia mendengar atau berfikir padahal teman di sekitarnya tidak melihat hal itu. Begitu juga, malaikat Jibril datang pada Nabi menurunkan wahyu dan hal itu tidak diketahui oleh orang-orang yang hadir di sekitarnya. Ini semua sangat jelas."
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya siksa dan nikmat kubur itu terjadi pada ruh dan jasad manusia di alam barzakh (alam kubur)

Hukum bersuci dengan air panas

Apa Hukum bersuci dengan air hangat atau panas? Bpk Joko Jawab: Imam al-Mawardi dalam  al-Hawi al-Kabir menjelaskan berikut ini;...