Sunday 27 January 2019

Penolong seorang Mukmin ( Tadabur Surah Al Baqarah : 153 )



يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS al-Baqarah [2]: 153)
Setelah Allah ta’ala selesai menyampaikan pembahasan mengenai nikmat yang hakiki berupa ketaatan kepada Allah maka yang menjadi musuh utama untuk mendapatan kenikmatan hakiki itu aalah hawa nafsu. Hawa nafsu selalu membujuk manusia untuk jauh dari ketaatan kepada Allah. Secara bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu hawa nafsu harus ditundukkan agar bisa tunduk terhadap syari’at Allâh Azza wa Jalla. Adapun secara istilah syari’at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar dari batas syari’at.
Imam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ûlûmiddîn:

السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ

“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”
Maka pada ayat ini Allah ta’ala menjelaskan cara untuk seorang mukmin selalu berada dalam kenikmatan yang hakiki dengan selalu meminta tolong kepada Allah dengan perantara kesabaran dan sholat. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa keimananlah yang menjadi akar utama aktivitas seorang muslim. Seorang hamba yang beriman adakalanya ia mendapatkan nikmat maka dia akan mensyukurinya karena ketaatan kepada Allah, atau ketika  ditimpa bencana maka dia bersabar atasnya. Sebagaiman yang dijelaskan dalamsebuah hadits dalam kitab Musnad Ahmad, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalam bersabda :
“sungguh menakjubkan perihal orang mukmin itu, Allah tidak menentukan suatu hal kecuali kebaikan baginya. Jika mendapatkan kebahagiaan,ia lalu bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan,lalu ia bersabar, maka yang demikian itu adalah baik baginya”. (HR. Ahmad)
Kesabaran itu ada tiga macam :
Pertama, sabar dalam meninggalkan berbagai hal yang diharamkan dan perbuatan dosa.
 Kedua, sabar dalam berbuat ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Jenis sabar yang kedua ini lebih besar pahalanya. Abdurahman bin Zaid bin Aslam; “sabar itu pada dua pintu, yaitu sabar dalam menjalankan sesuatu yang disukai Allah walaupun berat atas jiwa dan raga, dan sabar meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah walaupun terasa enteng dan diinginkan oleh syahwat. Ali bin Husain Zainul Abidin berkata :”apa bila Allah telah mengumpulkan manusia dari yang pertama sampai yang terahir, maka diserula oleh Sang Penyeru, “dimana orang-orang yang sabar? Suruh mereka masuk kedalam surge sebelum dihisab” dia berkata, maka berdirila beberpa orang dari manusi dan bertemu dengan para Malaikat, lalu malaikat itu bertanya kepada mereka “mau kemana kalian wahai anak adam?”, maka mereka menjawab, “kami mau ke surge”. Kemudia Malaikat bertanya lagi, “sebelum kalian dihisab?”. Mereke menjawab, “Ya”. Lalu Malaikat bertanya lagi, “siapa gerangan kalian ini”. Mereka menjawab, “kami adalah orang-orang yang sabar”. Malaikat bertanya lagi, “apa yang kalian sabar atasnya?”. Mereka menjawab, “kami sabar dalam ketaatan kepada Allah dan sabar dalam meninggalkan kemaksiatan Kepada-Nya sampai kami meninggal.” Maka Malaikat berkata kepada mereka, “kalian seperti apa yang kalian ucapkan, maka masuklah kalian ke dalam surge, itulah sebaik-baik pahala dari amalan kalian”. Berkenaan dengan Hal di atas, Ibnu katsir mempertegas dengan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az-Zumar : 10)
Ketiga, sabar dalam menghadapi berbagai cobaan dan ujian serta musibah. Sabar dalam menghadapi ujian dan musibah dari Allah adalah suatu kewajiban bagi seorang mukmin, nengingat bahwa ujian dalam kehidupan adalah sebuah kepastian baginya, sebagaimana firman-Nya :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqoroh :155-157)

Dalam hadits juga disebutkan: “bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam jika menghadapi suatu masalah, maka beliau mengerjakan sholat” (HR. Ahmad dan Nasai)
Shalat adalah ibadah untuk mencapai kesabaran. Yang terpenting adalah untuk meneguhkan keimanan, membersihkan rohani dan menyehatkan badan. Demikian pula, shalat adalah alat untuk saling mengerti dan saling bergaul dengan sesamanya dalam suatu masyarakat yang kuat. Pokoknya, shalat adalah contoh yang paling menonjol dan modal utama bagi segala bentuk ibadah serta jalan utama menuju keselamatan dalam agama dan untuk mencapai cahaya kalbu menuju kesempurnaan. Dengan Sholat Wajib dan Sunnah inilah seorang mumin akan selalu mendapatkan amunisi untuk tetap berada dalam jalan ketaatan kepada Allah.
Dalam Ayat ini Allah menyebutkan adanya Ma’iyyatullah bagi orang yang sabar. Ma’iyyatullah  memiliki dua konteks, yakni ma’iyyah ‘ammah (kebersamaan dalam arti umum), dan ma’iyyah khashah (kebersamaan dalam arti khusus).

Ma’iyyah ‘ammah bersifat mutlak mencakup seluruh makhluk ciptaan-Nya. Yaitu bahwa selalu ada muraqabatullah (pengawasan Allah) kepada semua makhluk-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Mujadilah, 58: 7).
Allah Ta’ala pun memiliki Pengawas dari kalangan malaikat yang diperintahkan oleh-Nya untuk mencatat seluruh amal perbuatan manusia termasuk seluruh ucapannya. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan keadilan-Nya di yaumul qiyamah kelak.
 “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf, 50: 18).
Disebutkan dalam Tafsir Kemenag Imam Hasan Basri dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Wahai anak-anak Adam, telah disiapkan untuk kamu sebuah daftar dan telah ditugasi untuk mencatat segala amalanmu dua malaikat, yang satu di sebelah kananmu dan yang satu lagi di sebelah kirimu. Adapun yang berada di sebelah kananmu ialah yang mencatat kebaikan-kebaikanmu dan yang satu lagi di kirimu mencatat kejahatan-kejahatanmu. Oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu mau memperkecil atau memperbesar amal dan perbuatan amal jahatmu, kamu diberi kebebasan dan bertanggung jawab terhadapnya dan nanti setelah mati, daftar itu ditutup dan digantungkan pada lehermu, masuk bersama-sama engkau ke dalam kubur sampai kamu dibangkitkan pada Hari Kiamat nanti…”
Ma’iyyah ammah, selain bermakna selalu ada muraqabatullah (pengawasan Allah), juga bermakna bahwa selalu ada Ihsanullah (kebaikan-kebaikan Allah) yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, termasuk kepada manusia secara umum, baik mu’min maupun kafir. Allah Ta’ala memberikan nikmat udara, cahaya matahari, air, makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan, dan berbagai macam kenikmatan lainnya kepada seluruh manusia tanpa kecuali.

Ma’iyyah Khashah (kebersamaan Allah dalam arti khusus) bersifat muqayyad (terbatas dan khusus mencakup orang-orang yang beriman dan beramal shalih saja). Hal ini yang dimaksud dalam ayat ini.
Ma’iyyah khashah (kebersamaan Allah secara khusus) ini bermakna bahwa senantiasa ada ta’yidullah (dukungan Allah Ta’ala) bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Keyakinan terhadap ma’iyyatullah (kebersamaan Allah) ini—baik mai’yyah ammah maupun ma’iyyah khassah—harus selalu tertanam di dalam diri kita, sehingga kita akan terbentuk menjadi pribadi muslim yang taat dan yakin terhadap ta’yidullah (dukungan/pertolongan Allah Ta’ala) dalam seluruh gerak langkah hidup kita.
Menjadi hamba Allah yang taat dan yakin dengan pertolongan-Nya, inilah yang mendapatkan kenikmatan yang hakiki sebagaimana ayat Allah :.
 “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nur, 24: 52)

Temanggung, 27 Januari 2019 M/ 21 Jumadil  Awwal 1440 H
Ta Rouf Yusuf

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...