Friday 11 January 2019

Hakikat Kiblat Seorang Muslim


Hasil gambar untuk sujud di depan ka'bah
Kata kiblat yang berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata muqabalah yang berarti muwajahah, artinya menghadap. Sehingga kata qiblah sendiri artinya hadapan, yaitu suatu keadaan (tempat) dimana orang-orang pada menghadap kepadanya. Secara harfiah, qiblat berarti al-Jihah yakni arah atau disebut syathrah.
Pada hakikatnya, kiblat yang bermakna arah dan tempat, makna tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga jika menyebut kata kiblat pasti kedua makna tersebut sudah terkandung di dalamnya, atau dalam bahasa nahwunya “al-Lafdzu al-Mufrad wa Muraduhu al-Jam'u"

Setelah pada ayat sebelumnya Allah memerintahan menghadap kabah sebagai kiblat dan keingkaran ahlu kitab Allah menyatakan bahwa pada hakikat dari penghadapan kiblat.
وَلِكُلٍّ۬ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيہَا‌ۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٲتِ‌ۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًا‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬ (١٤٨)

Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlombalombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (148)
Masing-masing umat memiliki kiblat sendiri dalam ibadahnya. Menghadap kiblat tertentu termasuk syari'at yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi serta zamannya, ia bisa dimasuki oleh naskh dan mengalami perubahan dari arah tertentu kepada arah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah menta'ati perintah Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan menjauhi larangan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya, inilah tanda kebahagiaan dan tanda keberuntungan.
Perintah berlomba-lomba dalam kebaikan lebih dalam daripada sebatas perintah mengerjakan kebaikan. Dalam perintah ini mengandung perintah mengerjakannya, menyempurnakannya, melakukannya sebaik mungkin dan bersegera kepadanya. Barangsiapa yang bersegera kepada kebaikan ketika di dunia, maka dia adalah orang yang lebih dulu ke surganya. Oleh karena itu, mereka yang berlomba-lomba dalam kebaikan adalah orang yang paling tinggi derajatnya. Dan kata "kebaikan" di sini mencakup semua amalan fardhu maupun sunat, baik berupa shalat, puasa, zakat, hajji, Umrah, jihad, manfa'at bagi orang lain maupun sebatas untuk diri sendiri.Karena pendorong yang paling kuat agar seseorang dapat bersegera kepada kebaikan dan bersemangat kepadanya adalah pahala yang dijanjikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka Dia berfirman seperti yang disebutkan di atas; yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan mengumpulkan kita semuanya di mana saja kita berada dengan kekuasaan-Nya, dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal, jika amalnya buruk, maka Dia akan membalas sesuai amal yang dikerjakannya dan jika baik, maka Dia akan membalas dengan berlipat ganda dan memberikan balasan yang terbaik (surga). Ayat yang mulia ini juga mengandung perintah untuk segera melaksanakan kewajiban seperti shalat di awal waktu, segera membayar hutang puasa dan segera berhajji serta anjuran untuk melaksanakan amalan-amalan sunat.

 وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ‌ۖ وَإِنَّهُ ۥ لَلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ‌ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ (١٤٩)

Dan dari mana saja kamu keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (149)

Darimana saja seseorang Keluar dari rumahnya yakni keluar bersafar atau keperluan lainnya, kemudian hendak mendirikan shalat. Maka diperintahkan untuk menghadap masjidil haram.  Pada ayat di atas menggunakan dua penguat, huruf "inna" dan "lam" (sesungguhnya dan benar-benar) agar tidak perlu lagi ragu dan agar tidak timbul perkiraan bahwa perintah menghadap ke Ka'bah itu hanyalah karena lebih enak, bahkan ia merupakan perintah yang sesungguhnya.
Ayat ini di akhiri dengan ungkapan, bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan melihat kita. Hal ini menunjukan agar kita tetap menjaga perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ‌ۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَڪُمۡ شَطۡرَهُ ۥ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيۡكُمۡ حُجَّةٌ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡہُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِى وَلِأُتِمَّ نِعۡمَتِى عَلَيۡكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ (١٥٠)

Dan dari mana saja kamu (keluar), maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, dan agar Aku-sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk ( 150 )

Perintah menghadap ke kiblat adalah agar ahli kitab dan kaum musyrikin tidak memiliki alasan lagi untuk menentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu, karena jika tetap menghadap ke Baitul Maqdis tentu orang-orang ahli kitab akan menegakkan hujjah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka adalah bahwa kiblat yang tetap bagi Beliau adalah Ka'bah Baitullah al haram.
Sedangkan hujjah bagi orang-orang musyrikin ketika Beliau tetap menghadap ke Baitul
Maqdis adalah perkataan yang akan timbul dari mereka, "Bagaimana Beliau berada di atas agama Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan termasuk keturunannya, padahal Beliau tidak menghadap ke kiblatnya?!". Dengan demikian, setelah diadakan pemindahan kiblat, maka orang-orang ahli kitab dan kaum musyrikin sudah tidak memiliki hujjah lagi untuk menentang Beliau.
Akhirnya hanya orang-orang yang zalim saja yang masih mencoba-coba berhujjah, namun hujjah mereka tidak bersandar selain kepada hawa nafsu sehingga tidak perlu diladeni, karena tidak ada manfa'atnya berdebat dengan orang yang zalim.
Allah menyatakan tidak perlu takut kepada mereka karena hujjah mereka batil, dan kita diperintahkan untuk takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja, karena takut kepada-Nya merupakan asas semua kebaikan. Oleh karena itu, orang yang tidak takut kepada Allah Azza wa Jalla, ia tidak akan berhenti bermaksiat dan tetap tidak mau mengikuti perintah-Nya.
Perlu diketahui, bahwa pemindahan arah kiblat merupakan fitnah yang besar. Fitnah itu diangkat-angkat oleh ahli kitab, kaum munafik dan kaum musyrikin, mereka banyak membicarakan masalah itu dan menyampaikan berbagai syubhat. Oleh karena itu, pada beberapa ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkannya secara gamblang dan meyakinkan rasul-Nya serta memperkuat kebenaran itu dengan berbagai penguat sebagaimana yang disebutkan di beberapa ayat atas, misalnya:
- Diulangi-Nya perintah menghadap kiblat berkali-kali
- Perintah itu tidak hanya ditujukan kepada Rasul saja, meskipun biasanya perintah kepada rasul sebagai perintah kepada umatnya, tetapi diperkuat lagi dengan perintah kepada umatnya
sebagaimana firman-Nya "fa walluu wujuuhakum syathrah".
- Pada ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala membantah semua alasan batil yang dilemparkan oleh mereka yang zalim.
- Menghilangkan harapan bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti kiblat ahli kitab.
- Penguatan dengan berita yang disampaikan-Nya bahwa sesungguhnya hal itu benar-benar hak dari sisi Allah.
- Pemindahan kiblat tersebut disebutkan dalam kitab-kitab mereka (ahli kitab), namun mereka
menyembunyikannya.
Dan takutlahk kepada Allah degan tetap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan kelak Allah akan meyempurnakan syari'at yang merupakan nikmat yang besar. Dasar nikmat adalah memperoleh hidayah untuk mengikuti agama-Nya, setelah itu nikmat-nikmat yang lain yang melengkapi dasar tersebut, dimulai dari sejak diutusnya Beliau sampai wafat hingga syari'at pun sempurna.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menjelaskan hidayah itu sejelas-jelasnya, sampai-sampai ditetapkan untuk yang hak itu ada para penentangnya agar yang hak itu semakin jelas dan nampak serta yang batil semakin jelas kebatilannya. Hal itu, karena jika tidak ada kebatilan sebagai lawan yang hak tentu kebenaran itu akan samar bagi kebanyakan orang. Dengan ada
lawannya maka segala sesuatu itu semakin jelas. Jika tidak ada malam tentu tidak akan diketahui kelebihan siang, jika tidak ada keburukan tentu tidak akan diketahui kelebihan yang baik, jika tidak ada kegelapan tentu tidak akan diketahui manfa'at cahaya, dan jika tidak ada kebatilan tentu kebenaran tidak akan jelas dan nampak, maka sehgala puji bagi Allah terhadap semua itu.
Dari pembahasan ayat ini maka bisa kita ambil pelajaran :
1.      Pada hakikatnya orientasi arah berfikir dan aktivitas manusia seharusnya dilakuan hanyalah untuk mematuhi perintah Allah dengan mengingkari setiap keinginan yang tida sesuai dengan perintahnya.
2.      Kualitas amal harus di utamaan, seorang mukmin sejati adalah orang yang ikhsan dalam beramal, yang paling profesional dalam beramal. Maka etos kerja seorang mukminadalah menghadirkan inerjaterbaik di setiap level peranya.
3.      Argumentasi tentang kebenaran tidak boleh dilandaskan pada hawa nafsu saja. Orang yang mendahuluan hawa nafsu dan keinginanya mendahului perintah Allah dan nalar logikanya, maka orang inilah orang yang zalim. Dan kezaliman dalam berfikir ini menyebaban seseorang tidak aan pernah mendapati kebenaran yang hakiki.

Temanggung, 5 Jumadil Awal 1440 H/11 Januari 2019
Ta’ Rouf Yusuf

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...