Sunday 10 January 2016

Zaman Edan

Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya banyak ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga .

Dari pengkajian berbagai sumber dan keterangan, umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M. Catatan yang paling terkenal adalah bait berikut ini.

pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha

sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada

Konsep jaman edan ini sebagaimana di ceritakan jayabaya mirip dengan kembalinya jaman jahiliyah.

Al Quran memberikan gambaran kapan zaman dinamakan jahil atau dalam kontek ini zaman edan versi jayabaya.

1. Mengakui Allah sebagai Rabbnya tapi tidak mau menyembahNya.

( وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَسَخَّرَ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ ﴿٦١


"Dan jika engkau bertanya kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Pasti mereka akan menjawab, "Allah." Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)
(Q.S. Al Ankabut : 61)

Atau dalam bahasa lain  percayakepada Allah tapi tidak menaruh kepercayaan kepada Allah  sebagai Dzat Yang Diibadahi 
.   sombong / arogan, menolak kebenaran dan menghinakan manusia.2

إِذْ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ ٱلتَّقْوَىٰ وَكَانُوٓا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا ﴿٢٦﴾
"Ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin; dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa dan mereka lebih berhak dengan itu dan patut memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. " (Q.S.Al Fath : 26)

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mendefinisian kesombongan dengan sabdanya:


الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Sombong  ialah tidak menerima kebenaran dan menghina sesama manusia. ( HR. Muslim )

Menurut Raghib Al Asfahani Ia mengatakan, “Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri . Memandang dirinya lebih besar dari pada orang lain, Kesombongan yang paling parah  adalah sombong kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran dan  angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatanataupun mengesakan-Nya”. ( Fathul Barri )

3.  jahilyah pada diri wanita.
Wanita berperan sebagai provokator, objek sexual bukan subyek sosial , tidak betah berada di rumah (tidak bangga jadi istri & ibu ) dan suka tabaruj. Allah berfirman :

وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ ﴿٤﴾
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). " (Q.S.Al Lahab:4)

Dalam surat di atas Allah menceritakan istri Abu Lahab yang menjadi provokator keburukan dalam masyarakat jahiliyah.

Allah juga berfirman :

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِىِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ ۚ إِنِ ٱتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِٱلْقَوْلِ فَيَطْمَعَ ٱلَّذِى فِى قَلْبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ﴿٣٢﴾
"Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik."

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ﴿٣٣﴾
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
(Q.S.Al Ahzab :32-33)

4. memilih hukum selain Allah

أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(Q.S. Al Maidah : 50 )

Itulah indikator-indikator jaman jahiliyah, maka jika indikator-indikator itu sudah ada dalam jaman kita saat ini maka  itulah jaman edan.

Ingatlah pesan Jayabaya bahwa orang yang beruntung pada zaman edan adalah
beja-bejane sing lali,wong kang eling lan waspadha.

Orang yang lupa akan hakikat hidupnya sebagian akan mendapatkan keuntungan. Namun keuntungan yang di dapat adalah keuntungan yang bersifat sementara. dan orang yang paling beruntung adalah orang yang eling lan waspada, eling memiliki arti ingat atau dalam bahasa arab dzikr. kata ahlu dzikr atau ahli eling dalam al quran dikatakan sebagai ulama sebagaimana dinyatakan dalam surat berikut ini


فَاسْألُوا أهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang ahlu dzikir (ulama) jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl : 43)
Ahlu Dzikr adalah Ahlul Quran karena salah satu nama Al Quran adalah Ad Dzikr atau bisa di sebut ulama'.
Sedangkan sikap waspada adalah sikap orang bertaqwa Ad Dzikr atau al Quran hanya bisa dinikmati oleh mutaqin atau orang yang mawas diri dan waspada.
Ad Dzikr ini, hanya bisa dirasakan dan dimanfaatkan oleh orang-orang beriman dan bertaqwa saja. Sedangkan bagi orang-orang kafir, Al Qur’an ini hanya akan menambah kerugian bagi mereka. Allah swt berfirman :
<< وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَارًا >>
” Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” ( QS Al Israa’ : 82 )
Dari ayat di atas memberikan pesan kepada kita bahwa seorang muslim yang tidak bisa merasakan atau menikmati petunjuk di dalam Al Qur’an, atau tidak bisa Al Qur’an sebagai penerang dan obor di dalam menghadapi berbagai tantangan di dalam kehidupan dunia ini, maka dapat dipastikan bahwa keimanan dan ketaqwaannya berada dalam kadar yang rendah. Oleh karenanya, dia harus senantiasa memperbaharui keimanan dan ketaqwaannya, dia harus berusaha sekuat mungkin untuk merubah hatinya agar luluh dan lunak dengan ayat- ayat Al Qur’an.

Salah satu makna At Taqwa adalah apa yang diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwasanya beliau bersabda :
<< لا يبلغ العبد أن يكون من المتقين حتى يدع ما لا بأس به حذرا مما به بأس >>
” Bahwasanya seorang hamba, tidaklah akan bisa mencapai derajat ketaqwaan sehingga ia meninggalkan apa yang tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal- hal yang dilarang ” ( Hadist ini Hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi no : 2451 , Ibnu Majah no : 4215, Baihaqi : 2/ 335) .
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang Taqwa . Ubai balik bertanya : ” Apakah anda pernah melewati jalan yang banyak durinya ” ? ” Pernah ” Jawab Umar. Ubai bertanya kembali : ” Bagaimana ketika anda melewatinya ” ? Umar menjawab : ” Saya bersungguh- sungguh serta berhati- hati sekali supaya tidak kena duri ” . Ubai akhirnya mengatakan : ” Itulah arti Taqwa yang sebenar- benarnya. ”
Dari hadist an Atsar Umar ra,kita bisa menyimpulkan , bahwa hakikat taqwa adalah kesungguhan dan kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Allah swt. Orang yang bertaqwa adalah orang yang sungguh –sungguh untuk menjauhi segala larangan Allah dan berhati- hati sekali supaya tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada ketaqwaan tersebut , kadang- kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang, jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.
Dalam hal ini, seorang penyair yang bernama Ibnu Al Mu’taz pernah menulis syair-syairnya :
خل الذنوب صغيرها وكبيرهـا ذاك التقــي
واصنع كماش فوق أر ض الشوك يحذر ما يرى
لا تحقـرن صغـيرة إن الجبال من الحصـي
” Tinggalkan dosa-dosa kecil dan yang besar, dan itulah taqwa
Berbuatlah bagai orang yang melangkah di atas tanah berduri , berhati-hati dengan apa yang dilihat .
Janganlah engkau meremehkan dosa kecil, sesungguhnya gunung itu berasal dari batu kerikil. ”
Abu Darda’ sempat juga bersenandung dengan syairnya :
يريد المرء أن يؤتي مناه ويأبـي الله إلا مـا أرادا
يقول المرء فائدتي ومالي وتقوى الله أفضل ما استفدا
” Semua orang mengingankan agar keinginannya terkabulkan, padahal Allah tidaklah akan menentukan kecuali apa yang dikehendaki-Nya
Semua orang mengatakan : keuntungan-ku dan harta-ku, padahal taqwa Allah adalah keuntungan yang paling utama “
Adapun sifat- sifat orang –orang yang bertaqwa secara lebih terperinci telah disebutkan oleh Allah swt pada ayat berikutnya :
Yang pertama adalah :
<< الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ >>
” Yaitu orang- orang yang beriman kepada yang ghoib .”
MAKNA AL- IMAN
Iman di dalam Al Qur’an mempunyai beberapa arti. Kadang Al Iman berarti pembenaran. (Amana–yu’minu) yaitu membenarkan atau mempercayai, sebagaimana firman Allah swt di dalam surat Yusuf :
<< وَمَا أَنتَ بِمُؤْمِنٍ لِّنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ >>
” Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”( QS Yusuf : 17 )
Begitu juga , jika keimanan itu disertai dengan menyebutkan amal sholeh ,maka artinya adalah pembenaran , sebagaimana dalam firman Allah :
<< إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ >>
” Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. ( QS Al Tien : 6 )
Adapun Al Iman di dalam Al Qur’an , jika disebutkan sendiri secara mutlak, maka artinya adalah : ” Keyakinan di dalam hati, perkataaan yang diucapkan dengan lisan serta amal dengan anggota badan. Ini adalah pengertian Iman secara istilah menurut madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Dan pengertian seperti ini sudah menjadi kesepatan para ulama salaf.
Sebagian firqah menyelesihi pengertian Iman yang telah diterangkan di atas, seperti Firqah Murjiah. Mereka mengartikan Iman hanya sebatas keyakinan di dalam hati, tanpa harus disertai amal dengan anggota badan. Pengertian ini tidak benar dan menyesatkan.
Sebagian ulama menafsirkan Al Iman dengan amal. Dalam buku ” As Shohih’ nya, Imam Bukhari menulis sebuah bab dengan judul : ” Amal adalah sebagian dari keimaman “ . Artinya Iman itu tidak bisa dilepaskan dari amal perbuatan. Pernyataab Ini membantah pendapat Firqah Murjiah di atas .
Oleh karenanya, sebagian ulama tafsir mengartikan Beriman kepada yang ghoib dalam surat Al Baqarah ini dengan makna : ” orang- orang yang takut kepada Allah ” , ini sesuai dengan firman Allah swt :
<< إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ >>
” Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. ” ( QS Al Mulk : 12 )
<< وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى وَهَارُونَ الْفُرْقَانَ وَضِيَاء وَذِكْرًا لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ >>
” Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat ” ( QS Al Anbiya’ : 49 ) .
<< وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَن بِالْغَيْبِ وَجَاء بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ >>
” Dan didekatkanlah syurga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka).
Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya, (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat ” ( QS Qof : 31-33)
Ketiga ayat ayat di atas , menafsirkan ayat 2 dan 3 dari surat Al Baqarah tentang pengertian orang- orang yang bertaqwa. Dan juga menafsirkan makna Iman dengan takut kepada Allah swt, sebagaimana pada ayat- ayat yang digaris bawahi.
Al Khosyah yang berarti takut terhadap adzab Allah , merupakan sari atau inti dari keimanan dan keilmuan. Allah swt berfirman :
<< إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء >>
” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. ” ( Qs Fathir : 28 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa tanda dari keimanan dan keilmuan yang benar adalah rasa takut kepada Allah swt . Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa yang dimaksud dari ulama dalam surat Fathir di atas adalah ulama syare’ah dan ulama pada bidang- bidang lain, seperti ulama fisika, biologi , kedokteran dan lain-lainnya, selama ilmunya mampu mengantarkannya kepada rasa takut kepada Allah swt.
Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan : ” Hakikat ilmu bukanlah dengan banyak menghafal hadist, akan tetapi hakikat ilmu adalah banyaknya rasa takut kepada Allah swt.
Pernyataan tersebut dikuatkan juga oleh pernyataan Sufyan At Tsauri : ” Sesungguhnya ilmu itu dituntut agar dengannya bisa bertaqwa kepada Allah, dan sesungguhnya ilmu itu diutamakan dari pada yang lainnya karena dengan ilmu tersebut bisa bertaqwa kepada Allah . “
Perkataan Ibnu Masu’d ra, dan Sufyan At Tsauri di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa hakikat ilmu yang sebenarnya adalah ilmu yang mengantarkan kepada kita kepada rasa taqwa kepada Allah swt .
MAKNA AL- GHOIB
Adapun makna ghoib , mencakup semua apa yang tidak dilihat oleh manusia seperti Allah , Malaikat, Hari Akhir, Syurga, Neraka, Qadha dan Qadar , Jin dan lain-lainnya.
Sebagian ulama mengartikan ” Al- Ghoib ” dengan hati .
Menurut pengertian ini, maka makna : ” beriman dengan ghoib ” yaitu beriman kepada Allah dengan hati dan keikhlasan, karena hati dan keikhlasan tersebut termasuk sesuatu yang ghoib dan tidak nampak di hadapan manusia. Oleh karenanya, orang- orang munafik tidak termasuk golongan orang- orang yang beriman dengan al ghoib, karena mereka mengaku beriman dengan lisannya saja, tetapi hatinya mengingkari dan mengkafirinya.
KEUTAMAAN BERIMAN KEPADA YANG GHOIB
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa beliau pernah berkata : “ Tidak ada yang lebih utama bagi seseorang yang beriman dari keimanannya kepada yang ghoib. ” , kemudian beliau membaca ayat 1- 5 dari surat Al Baqarah di atas .
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah Al Anshori, salah satu sahabat Rosulullah saw, bahwasanya ia berkata : ” Pada suatu ketika, kita makan siang bersama Rosulullah saw , pada waktu itu terdapat juga Abu Ubaidah bin Jarrah, beliau bertanya kepada Rosulullah saw : ” Wahai Rosulullah saw, apakah ada generasi yang lebih baik dari generasi kita ? Kita beriman kepada-mu dan berjihad bersama-mu . Rosulullah saw bersabda : “ Benar ada, yaitu generasi yang datang sesudah kalian, mereka beriman kepada-ku, sedang mereka belum pernah melihat-ku .” ( HR Ahmad, Thobari Abu Ya’la , Ad Darimi no : 2744 ) , Thohawi dalam ” Musykil ” : 4/ 175 , Al Hakim : 4/ 84 )
Hadist di atas menunjukkan keutamaan beiman kepada yang ghoib. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa generasi sesudah sahabat lebih utama dari ada generasi sahabat. Karena Rosulullah saw sendiri pernah bersabda : << خير القرون قرني ثم الذي يلونهم ثم الذي يلونهم >>
” Sebaik- baik generasi adalah generasi yang hidup pada masa-ku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya ”
Hadist ini menunjukkan bahwa generasi yang paling baik dan yang paling utama adalah generasi sahabat Rosulullah saw, kemudian generasi sesudahnya (yaitu tabi’in) , kemudian generasi sesudahnya ( yaitu tabi’i tabi’in ).
Kedua hadist di atas kelihatannya bertentangan, namun kalau kita pahami dengan baik, niscaya tidak ada pertentangan. Bagaimana cara menjama’ atau menggabungkannya ? Kita katakan : bahwa hadits pertama menunjukkan salah satu keutamaan generasi sesudah sahabat yaitu beriman kepada Rosulullah saw secara ghoib, karena mereka tidak melihatnya. Tetapi keutamaan generasi sahabat jauh lebih besar dan lebih banyak, karena mereka pertama kali yang beriman kepada Rosulullah saw, mereka adalah orang- orang yang langsung berinteraksi dengan wahyu dan mereka adalah orang- orang yang berjasa besar di dalam mempertahankan dan menyebarkan ajaran Islam ini kepada generasi sesudahnya hingga akhir zaman.
maka beruntunglah wong kang eling lan waspada. Demikian tafsir sederhana terhadap karya sastra yang indah ini..

Hukum menyentuh&membaca Al Qur’an bagi orang berhadats.


Menyentuh mushaf
Ada 2 pendapat dalam masalah bolehkah seseorang yang berhadats menyentuh mushaf.
Tidak boleh(haram), ini adalah pendapat  madzhab yang empat, mereka berdalil dengan surat yang dikirim rasulullah kepada Amr bin Hazm yang berbunyi,”tidak menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (HR Malik dalam al muwaththa’, dengan drajat hasan ligairihi) hal ini menunjukkan keharaman menyentuh mushaf ketika berhadats.
Boleh, ini adalah pendapat madzhab Zhahiri. Ibnu Hazm berkata ,”Membaca Al Qur’an,sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir diperbolehkan baik dalam berwudhu ataupun tidak dan boleh dilakukan oleh orang yang sedang junub dan haid.” Pendalilannya adalah bahwasanya membaca al qur’an dan dzikir adalah perkara mustahab, berpahala bagi yang melakukan maka bagi yang melarangnya harus mendatangkan dalil dari al qur’an atau hadits larangannya. Adapun menurut beliau dalil tentang larangan menyentuh mushaf tidak ada yang shahih sedangkan hadits di atas memang diterima akan tetapi kata thaahir/orang yang suci adalah kata mustarak( memiliki beberapa makna yang sama kuat) thaahir bisa berarti suci dari hadats besar/ hadats kecil, bisa juga berarti seorang mukmin (bukan kafir, karena kekafiran adalah kekotoran) atau suci dari najis. Untuk menentukan  salah satu makna maka di butuhkan dalil.
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang mengharamkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats, alasannya.
Pertama:  hadits di atas menunjukkan haramnya menyentuh mushaf, dan tidak bisa disangkal dengan alasan ‘mustarak’nya kata thaahir. Sebab tidak ada salahnya jika hadits tersebut di pahami untuk seluruh makna. Dengan demikian orang musyrik, orang berhadats besar & kecil haram menyentuh mushaf. Demikian juga tangan yang bernajis.
Ibnu taimiyah berkata,” boleh menetapkan hukum untuk semua makna yang terkandung dalam kata mustarak. Hal ini di bolehkan oleh mayoritas ahli fiqih dan ahli kalam.”
Kedua:  hal ini diamalkan para sahabat dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat dan tabi’in tentang haramnya menyentuh mushaf bagi orang berhadats.(lihat kitab muhtashar ulama,al mughni, syarah umdatul ahkam ibnu taimiyah)
Ketiga: berdasarkan firman Allah:

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ ﴿٧٩﴾

" tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Waqiah:79)
Benar memang maksud ayat ini adalah lauhul mahfudz yang ada di langit. Akan tetapi ayat ini sama dengan yang ada dalam surat ‘abasa
sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,. Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan,yang ditinggikan lagi disucikan. di tangan Para penulis (malaikat),. yang mulia lagi berbakti. (‘Abasa:11-16)

Bahwa al qur’an yang berada di lauhul mahfudz sama seperti al qur’an yang ada di lembaran-lambaran kertas, batu kayu, kulit kain dll. Jika yang di lauhul mahfudz tidak boleh di sentuh kecuali oleh orang orang yang suci maka demikian juga dengan al qur’an yang ada d bumi, karena kemuliaan al qur’an itu sama baik di bumi atau di langit.
Orang yang berhadats  disini diperbolehkan menyentuh setelah bersuci dari hadats.
Lalu bagaimana menyentuh mushaf al qur’an dengan pembatas. Maka terdapat perselisihan di antara ulama.ada ulamayang mebolehkan dan ada yang tidak. Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh  mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf.Seperti yang digunakan pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.
Sedang hukum membawa mushaf al qur’an ketika berhadats tanpa menyentuhnya, misalnya di dalam tasnya maka pendapat yang tepat dalam hal ini adalah dibolehkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyentuh secara langsung, inilah pendapat hasan bashri, atho’, assya’bi , al qosim al hakam dan hammad.
Boleh Menyentuh kitab-kitab tafsir dalam keadaan berhadats baik kecil maupun besar, dalilnya adalah surat yang dikirimkan kepada heraklius yang terdapat ayat al qur’an yang diriwayatkan dalm shahih bukhari dan muslim. Padahal ketika Rasulullah mengirim surat itu, pasti dia yakin surat itu akan di sentuh oleh orang kafir yang tak pernah bersuci dari hadats.
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak al qur’annya daripada kajian tafsirnya, begitu pula jika isinya sama banyaknya, menurut pendapat yang kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsirnya maka di bolehkan untuk menyentuhnya. An Nawawi dalam al majmu’  syarah muhadzab mengatakan,” jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat al qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Hal tersebut juga dibolehkan untuk kitab hadits dan fiqih yang terdapat tulisan ayat al qur’an. Begitu juga hukum menyentuh Al qur’an terjemah, karena al qur’an terjemah dihukumi sama dengan kitab tafsir yang memiliki tafsir lebih banyak daripada al qurannya. Karena terjemah dalam bahasa selain arab, kadang satu kata dalam bahasa arab harus diterjemahkan dalam beberapa kata,belum lagi catatan kaki dan keterangan-keterangan lain. Maka hukum menyentuh al qur’an terjemah sama dengan menyentuh kitab tafsir.


Hukum membaca Al Qur’an bagi orang berhadats.
Telah sepakat seluruh ulama akan kebolehan membaca al qur’an tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil. Akan tetapi ada perbedaan pendapat hukumnya untuk orang haid,nifas&junub. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang melarang dengan beberapa syarat dan ada yang membolehkan.
, Drs. H. Sholahudin Al-aiyub, M.Sc dalam situs MUI menerangkan  “orang yang sedang haidh atau nifas adalah termasuk orang yang sedang menanggung hadats, oleh karenanya tidak boleh membaca al-Quran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi.
Yang perlu diperhatikan bahwa pengertian “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat al-Quran melalui mulut, baik dengan melihat mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Sedangkan apabila orang yang sedang haidh/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Quran kemudian membacanya dalam hati, maka yang demikian itu dibolehkan.
Memang, ada pendapat dalam mazhab Malikiyah yang membolehkan bagi orang haidh untuk membaca al-Quran, dengan alasan bahwa Sayyidatina Aisyah R.A. pernah membaca al-Quran dalam keadaan sedang haidh. Namun pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar (jumhur) ulama, dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh sayyidatina Aisyah RA tersebut (jika riwayatnya dianggap shahih) bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca al-Quran bagi orang yang sedang haidh, karena bertentangan dengan sabda Nabi di atas.”
Menurut kami, pendapat yang kuat adalah yang membolehkan membaca tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil, haid, nifas dan tidak boleh bagi orang junub. Sedangkan orang junub tidak bisa di samakan dengan orang haid dan nifas karena waktunya yang singkat dan bisa segera bersuci dari hadats dengan mandi, atau tayamum. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan ali bin abi thalib, beliau berkata,” Rasulullah biasa membacakan al qur’an kepada kami dalam keadaan apapun selama beliau tidak junub.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud,Ibnu Majah, An Nasa’i dan Ahmad, menurut At Tirmidzi hadits ini hasan shahih, sedangkan menurut ibnu sakan, Abdul Haq dan Al Baghawi hadits ini shahih)
juga dalam lafadz lain .,”tidak ada yang menghalangi beliau (Rasulullah)membaca  Al Qur’an selain Junub.”( HR Ahmad dalam al musnad dan dinilai shahih oleh Ahmad Syakir)
Wallahua’lam
(diambil dari berbagai sumber,Ta’ Rauf Yusuf)



Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...