Wednesday 24 June 2015

Islam di Jawa ( dari walisonggo sampai perpecahan Mataram )


http://4.bp.blogspot.com/-S_hFodrkJIQ/TzuRfB4SebI/AAAAAAAAAG8/ji9Q-00LqaA/s1600/Fetih+4.jpg

Dalam kitab Kanzul ‘Ulum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, pada tahun 1404 M (808 H) kakek sultan Muhammad Al Fatih ini mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara ini sering di kenal dengan Walisonggo . Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina.
Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem), masjid yang beliau dirikanpun bernama Al Aqsha yang sekarang menjadi masjid agung kudus.

Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Wali songgo periode pertama adalah seperti kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.
Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit.
Sebelumnya sudah juga terjadi kontak dari Raja Sriwijaya Jambi pada tahun 100 H (718 M) yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.

http://www.konfrontasi.com/sites/default/files/styles/article_big/public/article/2015/05/islam-nusantara.jpg?itok=HoWWzG7c
Prof . Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam “ mengungkapkan pada tahun 674-675 M, duta dari orang-orang Tha shih (arab) untuk China yang tak lain adalah sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Maka bisa dikatakan bahwa Islam telah merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan Hijriah.
Jika demikikan , tidak heran apabila tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar pada masa-masa berikutnya, dengan Kesultanan Giri, Demak, pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kesultanan Islam di Jawa tidak bisa dipisahkan, jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat, dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk Kesultanan. Kesultanan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal adalah Kesultanan Demak. Namun keberadaan Kesultanan Giri juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kekuasaan Islam di tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, membangun wilayah tersenddri di daerah Giri, Gresik jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kekuasaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelak dikirim ke kawasan Nusa Tenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.
Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Buya Hamka menyebutkan , sedemikian besar pengaruh kekuatan agama dihasilkan Giri, membuat Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tidak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kesultanan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram. Dukungan daerah-daerah yang juga merupakan jalur perdagangan yang kuat ini sangat berpengaruh bagi pendirian Demak sebagai kerajaan Islam yang merdeka dari Majapahit. Demak sebelumnya merupakan daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit.Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) raja Majapahit. Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi). Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.
Kesultanan Demak atau Kesultanan Demak Bintara adalah kesultananIslam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan.Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara, saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca “Prawoto”).
Slamet Muljana menjelaskan bahwa “Bintara” berasal dari kata “abhyantara” dalam bahasa Jawa Kuno sebagai terdapat dalam Kakawin Ramayana atau pun Kakawin Negarakertagama. Ia mengartikan abhyantara dengan interior (dalam) atau halaman dalam istana atau istana itu sendiri. Perubahan arti dari istana menjadi negara kiranya mudah pula dipahami, karena istana raja biasanya ada di atau menjadi ibu kota suatu negara. Jadi pembukaan Hutan Glagah Wangi yang dalam kisah Babad Tanah Jawi diubah menjadi Bintara seharusnya diartikan sebagai pembukaan Hutan Glagah Wangi untuk kemudian diubah menjadi kota atau negara. Namun rupanya penulis Babad Tanah Jawi kuarang memahami bahasa Jawa Kuno, sehingga kata abhyantara yang kemudian berubah menjadi bintara dianggap sebagai perubahan nama dari Glagah Wangi menjadi bintara. Setelah Glagah Wangi menjadi kota atau negara kemudian kedudukannya diakui dan dianugerahkan oleh Prabu Brawijaya kepada Raden Patah dengan kedudukan sebagai adipati. Peristiwa historis dan yuridis ini dapat ditelusuri dari etimologi toponim Demak dalam kaitannya dengan kata bintara. Kata Demak berasal dari kata Jawa Kuno asli Demak yang berarti anugerah atau pemberian. Kata Demak yang artinya anugerah atau pemberian ini dapat diketemukan dalam Kakawin Ramayana VI/8 dan Bhomakawya XI/5. Kakawin Ramayana misalnya, mencatat peristiwa pemberian anugerah oleh Rama kepada prajurit kera masing-masing sesuai dengan jasanya dengan kata-kata: “Wineh demak kapwa yatha kramanya”. Dalam hubungan ini maka pemberian nama Demak kepada kota atau negara baru di Glagah Wangi itu mengandung arti sebagai penganugerahan dan sekaligus pengukuhan Glagah Wangi sebagai kadipaten Majapahit. Demak berarti tanah yang dianugerahkan.
Dalam sejarah Jawa dari zaman Mataram Kuno sampai zaman Majapahit biasanya penganugerahan tanah semacam Demak itu disertai dengan suatu prasasti. Sebagian besar prasasti yang ditemukan di Jawa adalah prasasti penganugerahan tanah.Maka jika benar Raden Patah pernah menerima anugerah tanah Bintara dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya, mestinya pemberian anugerah tanah itu disertai juga dengan prasasti sebagai pikukuh.Namun sampai sekarang prasasti pemberian anugerah tanah oleh Prabu Brawijaya kepada Raden Patah itu belum diketemukan. Boleh jadi prasasti itu telah hilang dan belum diketemukan kembali.Demikianlah penelusuran etimologi toponim kedua kata “Bintara” dan “Demak” telah memperkuat penjelasan Babad Tanah Jawi mengenai sejarah dan perkembangan kedudukan yuridis Kerajaan Demak. Legitimasi genealogis dengan jelas dinyatakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa Raden Patah adalah putra sendiri Prabu Brawijaya dari selir putri Cina yang dihadiahkannya (tetriman) kepada Arya Damar, Adipati Palembang.Sesuai dengan pola umum historiografi dalam babad kontinuitas genealogis ini diperlukan agar dengan demikian peralihan kekuasaan dapat disahkan. Legitimasi genealogis ini bagi kerajaan Demak memiliki makna tersendiri, sebab peralihan kekuasaan tersebut tidak saja dalam politik namun menyangkut pula masalah agama.Kerajaan Demak yang telah menganut agama Baru Islam tetap dipandang sebagai pengganti dan penerus yang sah Kerajaan Majapahit. Peristiwa penganugerahan tanah Bintara dan pengangkatan Raden Patah sebagai Adipati Bintara serta penganugerahan nama baru Demak bagi negara baru itu dipandang sebagai saat berdirinya Kerajaan Islam Demak, Babad Demak memperingati berdirinya Kerajaan Demak itu dengan candrasengkala: “Geni mati siniraming janmi” atau 1403 Saka (1481 M). Sumber-sumber Portugis seperti Lopez de Castanheda, Joao de Barros dan Tome Pires tidak pernah menyinggung-nyinggung tahun berdirinya kerajaan Demak.Ini rupanya karena ketika Portugis datang ke Indonesia, Kerajaan Demak telah lama berdiri. Pada waktu Tome Pires berkunjung ke Jawa pada 1513 Raden Patah telah lama menjadi Raja Demak dan telah tampil sebagai tokoh yang cukup terkenal. Tome Pires menyebut Raden Patah dengan nama Rodin Senior, karena pada waktu itu Raden Patah telah mempunyai putra yang dicatatnya sebagai Rodin Junior. Boleh jadi yang disebutnya Rodin Junior itu adalah Raden Trenggana. Rupanya sebutan Rodin berasal dari Raden singkatan dari Raden Patah, yang dikira oleh Tome Pires sebagai nama diri atau nama pribadi. Demikianlah kiranya sumber-sumber Portugis tidak mengetahui bahwa Raden Patah sebagai pendiri Kerajaan Demak yang sebelumnya berupa hutan yang penuh rawa-rawa yang bernama Glagah Wangi. Dua puluh tahun kemudian, sekitar 1500-an, Raden Patah dengan terang-terangan memutuskan segala tali ikatannya dengan Majapahit yang sudah semakin tidak berdaya.Dengan bantuan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik.Raden Patah berhasil merobohkan Majapahit dan kemudian memindahkan semua benda upacara kerajaan dan pusaka-pusaka Majapahit ke Demak.Lagi-lagi hal ini dipergunakan untuk memberikan legalisasi kepada kerajaan Demak sebagai kelanjutan Kerajaan Majapahit tetapi dalam bentuk baru sebagai kerajaan Islam.Setelah Demak merdeka dan sebagai Kerajaan Islam merupakan satu-satunya penguasa di Jawa, maka Sunan Ampel menabalkan Raden Patah sebagai Sultan dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah. Dari gelar inilah kiranya maka raja pertama Demak ini dalam berbagai babad dikenal sebagai Raden Patah. Babad Tanah Jawi sendiri mencatat gelar Raden Patah sebagai Senapati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.Sedang Serat Kandha mencatat gelar itu dengan lebih singkat ialah Panembahan Jimbun.
Adapun para sultan yang pernah meminpin kerajaan Demak adalah Raden Patah (1478-1518 M), Adipati Unus (1518-1521 M), Sultan Trenggana (1521-1546 M) dan Sunan Prawoto (1546). Meski demikian, dalam Babad Tanah Jawi yang dikutip Purwadi menyatakan bahwa Sunan Prawoto tidak hanya berkuasa selama setahun akan tetapi tiga tahun terhitung sejak Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546 sampai Sunan Prawoto wafat pada tahun 1561 M. Berikut akan dijelaskan satu persatu:
  1. Raden Patah
Raden Patah lahir di Palembang pada tahun 1455 M dan wafat di Demak pada tahun 1518 M. Beliau adalah putra raja Majapahit, Brawijaya V (1468-1478 M) dan ibunya adalah seorang putri cina yang bernama Dewi Ni Endang Sasmitapuri. Menurut Babad Tanah Jawi, putri cina itu adalah putri dari Kiai Batong (Tan Go Hwat).
Ketika Raden Patah dalam kandungan, Bapaknya menitipkannya kepada Gubernur Palembang, di sanalah Raden Patah lahir. Proses penitipan itu terjadi karena Brawijaya ingin menobatkan putri Cina itu sebagai permaisuri, akan tetapi permaisuri Brawijaya yaitu ratu Dwarawati tidak menginginkan hal itu, sehingga Brawijaya meminta anaknya yang berada di Palembang yaitu Raden Arya Damar untuk membawa putri Cina tersebut. Dari putri Cina itulah Raden Patah lahir yang kelak menjadi Sultan pertama kerajaan Demak dan beliau wafat pada tahun 1518 M. Setelah kelahiran Raden Patah, Arya Damar menikahi putri cina itu dan dikarunia putra yang bernama Raden Kusein.
Kedua anak itu (Raden Patah dan Raden Kusein) kemudian disuru pergi ke pulau Jawa. Raden Patah disuru belajar ilmu keagamaan kepada Sunan Ampel sedangkan Kusein disuru mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Alhasil, setelah keduanya sampai di Ampel, Kusein mengajak Patah untuk mengabdi kepada Majapahit, namun Patah tidak mau karena Raja Majapahit masih beragama Hindu dan lebih memilih tinggal di Ampel menjadi santri Sunan Ampel. Sebelum menjadi Sultan didaerah Glagahwangi yang kelak menjadi Demak, Raden Patah ditugasi untuk membuka pesantren di sana. Galgahwangi terletak di tepian sungai tuntang yang sangat luas sehinga bisa dilayari oleh kapal yang biasa berlayar di lautan. Tak lama kemudian, daerah itu berkembang dengan jumlah penduduk sekitar 10.000 jiwa.
Perkembangan itu akhirnya diketahui oleh Prabu Brawijaya V, dan menanyakan kepada Adipati Terung Pecattondho yang nama kecilnya adalah Kusein, kemudian Kusein mengatakan bahwa yang berkuasa di daerah Glagahwangi itu adalah putra Prabu Brawijaya. Akhirnya Raden Patah diangkat untuk menjadi Adipati di daerah Glagahwangi yang akhirnya dikenal dengan Demak.
Selain nyantri di Sunan Ampel, Raden patah juga adalah salah satu muridnya Sunan Kudus yang ulung. Setelah memimpin kerajaan Demak, Raden Patah selalu didampingi Sunan Kudus. Raden Patah memang sungguh-sungguh ingin mengembangkan Islam sesuai dengan cita-cita guru-gurunya. Beliau sangat menginginkan agar agama Islam menjadi agama yang unggul di antara agama-agama yang lain. Usaha untuk mengembangkan Islam, bisa dibuktikan dengan pembangunan masjid Demak yang pada akhirnya dijadikan pusat pendidikan kerajaan Demak. Selain dalam bidang keagamaan, Raden Patah juga membangun sistem pemerintahan Demak yang bagus, hal ini bisa dilihat dari kelengkapan alat negara terus disusun. Alat upacara kenegaraan mengambil dari kerajaan Majapahit, sedangkan dalam bidang pertahanan, beliau telah membentuk angkatan perang.
Pada kepemimpinan Raden Patah, Demak sudah mencapai kesuksesan dan kejayaan. Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara. Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia menaklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu, Raden Patah juga mengadakan perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu Demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Setelah Raden Patah wafat, kepemimpinan Demak dilanjutkan oleh putranya yang bernama Pati Unus
  1. Adipati Unus
Setelah Raden Patah wafat, tahta kerajaan Demak dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Pati Unus dengan gelar Sultan Demak Syah Alam Akbar II. Pati Unus dikenal dengan Pengeran Sabrang Lor, beliau seorang raja yang tegas dalam mengambil keputusan dan seorang kesatria, bangsawan. Beliau memimpin kerajaan Demak selama 3 tahun yaitu dari tahun 1518-1521 M.
Semangat perang Pati Unus telah tampak sejak Demak dipimpin oleh bapaknya, sehingga ia pernah ditugasi untuk memimpin tentara Demak untuk menyerang Portugis, meski akhirnya mengalami kekalahan akibat ombak yang yang sangat besar dan kuatnya pasukan Portugis.
Tak lama setelah menjabat Sultan kerajaan Demak, ia merencanakan serangan terhadap Malaka yang saat itu sudah dikuasi oleh Portugis. Pada tahun 1512 Demak mengirimkan armada perangnya menuju Malaka. Namun setalah armada sampai dipantai Malaka, armada pangeran sabrang lor dihujani meriam oleh pasukan Portugis yang dibantu oleh menantu sultan Mahmud, yaitu Sultan Abdullah raja dari Kampar. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran sabrang lor atau Adipati Unus, tetapi kembali gagal.
Selain itu, dia berhasil mengadakan perluasan wilayah kerajaan. Dia menghilangkan kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, yang pada saat itu sebagian wilayahnya menjalin kerja sama dengan orang-orang Portugis. Adipati Unus wafat pada tahun 938 H/1521 M. Kemudian kepemimpinan Demak digantikan oleh Sultan Trenggana.
  1. Sultan Trenggana
Setelah Pati Unus wafat pada tahun 1521 M, pemerintahan kerajaan Demak dilanjutkan oleh saudaranya yang bernama Sultan Trenggana. Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah barat yaitu sampai daerah Banten dan ke timur sampai ke kota Malang. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah-daerah yang berhasil dikuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis dan kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai hari jadi kota Jakarta.
Dalam usaha memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan Trenggana memimpin sendiri pasukannya. Satu persatu daerah Jawa Timur berhasil di kuasai, seperti Maduin, Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana gugur. Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana berkuasa selama 42 tahun.
Sepeninggalan Sultan Trenggana, keluarganya mengalami perpecahan terkait dengan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan Demak. Kemudian, adik dari Sultan Trenggana menaiki tahta kerajaan Demak pada tahun 1546 M. Karena banyak keluarganya tidak setuju atas kepemimpnan Prawoto, maka Adipati Jipang (Bojonegoro), Arya Penangsang, membunuh Prawoto pada tahun 1546 M. Dari perpecahan itulah timbul pembunuhan yang pada akhirnya kerajaan Demak berakhir pada saat itu. Bahkan dikabarkan, kerajaan hancur karena pertempuran keluarga tersebut.
  1. Sunan Prawoto
Setelah Sultan Trenggana meninggal, maka timbullah perpecahan di antara keluarga keratin. Mereka berselisih dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin penerus Trenggana. Adiknya Trenggana (Pangeran Seda ing Lepen) merasa paling pantas untuk meneruskan pemerintahan Demak. Di sisi lain, banyak orang yang menganggap bahwa anaknya Sultan Trenggana (Pangeran Prawoto) yang berhak meneruskan. Dari perselisihan tersebut, adiknya Trenggana melawan Prawoto yang mengakibatkan Pangeran Seda ing Lepen terbunuh. Mulai saat itulah Pangeran Prawoto menaiki tahta Kerajaan Demak. Akan tetapi tak lama kemudian, Sunan Prawoto juga dibunuh oleh anaknya Pangeran Seda ing Lepen. Mulai saat itulah kerajaan Demak mulai hancur yang pada akhirnya diambil alih oleh Jaka Tingkir sebagai Raja Kerajaan Pajang. Kepemimpinan Pangeran Prawoto berakhir tidak sampi satu tahun. Prawoto meninggal pada tahun 1546 M. Akan tetapi dalam bukunya Purwadi mengatakan bahwa Prawoto berkuasa sejak tahun 1546-1561 M.
Demak berkuasa kurang lebih setengan abad, keberhasilan yang telah dicapai bahkan keberhasilan itu masih bisa dirasakan hingga sekarang antara lain sebagai berikut:
  1. Sultan Raden Patah pernah menyusun kitab undang-undang dan peraturan bidang hukum. Namanya adalah Salokantara. Di Dalamnya menerangkan tentang kepemimpinan keagamaan yang pernah menjadi hakim, mereka disebut dharmadhyaksa dan kertopatti.
  2. Gelar penghulu (kepala) juga sudah dipakai oleh imam masjid Demak.
  3. Bertambahnya bangunan militir di Demak dan ibu kota lainnya di pulau Jawa.
  4. Masjid Demak menjadi pusat peribadatan kerajaan Demak.
  5. Munculnya kesenian seperti wayang orang, topeng, gamelan, tembang macapat dan perkembangan sastra lainnya.
 Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kerajaan penerus Demak. Setelah kerajaan Demak mengalami kekacauan akibat perebutan tahta kepemimpinan Demak. Sepeninggal Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik tahta, namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang (Bojonegoro). Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal. Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris tahta Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang. Jaka Tingkir adalah menantu dari Sultan Trenggana. Penyerangan terhadap Arya Penangsang itu, Jaka Tingkir dibantu oleh Ki Ageng Pamanahan. Atas jasa Ki Ageng tersebut, Jaka Tingkir memberikan hutan kepada Ki Ageng Pemanahan tepatnya di hutan Mentoak yang kelak menjadi Mataram.
Pengesahan Jaka Tingkir sebagai sultan Kerajaan Pajang (Boyolali) disahkan oleh Sunan Giri dan segera mendapat pengakuan dari seluruh kadipaten di Jawa tengah dan Jawa Timur Sementara Demak dijadikan Kadipaten dengan adipatinya Arya Pengiri putra Sunan Prawoto. Kalau kerajaan Demak berada dipesisir akan tetapi kerajaan Pajang diletakkan di pedalaman yaitu Pajang. Peletakan Kerajaan itu, menuai kritik dari Sunan Kudus karena menurutnya di daerah pedalaman telah menganut kepercayaan Islam yang berbeda dengan kepercayaan Islam pesisir. Sunan Kudus menduga aliran kepercayaan Islam yang berbeda diprakarsai oleh Syekh Siti Jenar. Namun harapan Sunan Kudus agar tidak memindahkan ibu kota kerajaan ke pedalaman itu tidak dihiraukan, maka terjadilah pemindahan ibu kota kerajaan Demak ke Pajang dan lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajang.
Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Pajang adalah Jaka Tingkir, Arya Pengiri, Pangeran Benawa. Lebih lanjut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
  1. Jaka Tingkir
Jaka Tingkir nama aslinya adalah Mas Karebet. Ia memimpin Pajang dari tahun 1568-1587 M. Ia adalah menantu dari Sultan Trenggana yang pada awalnya diberi tugas sebagai Adipati di Kadipaten Pajang. Sepeninggal Sultan Trenggana, kerajaan Demak mengalami kekacauan karena perebutan pemimpin. Kekacauan itulah yang dimanfaat oleh Jaka Tingkir untuk menggalang dukungan kepada seluruh kadipaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari usaha itulah, seluruh Kadipaten menyetujui agar Jaka Tingkir menjadi Pemimpin penerus pemimpin Demak. Mulai saat itulah seluruh kebesaran kerajaan Demak dipindah ke Pajang dan jadilah Kerajaan Pajang. Jaka Tinggkir adalah pemimpin yang sangat berpengaruh di pulau Jawa, karena kegigihannya dalam memimpin, kemudian ia mendapat gelar Sultan Hadiwijaya.
Selama Jaka Tingkir memimpin Pajang, kesusastraan dan kesenian keraton sudah maju diperadaban Demak mulai dikenal dipedalaman Jawa Tengah. Pada saat kepemimpinannya pula, kesusastraan mengalami kemajuan, hal ini bisa dibuktikan dengan sajak monolistik “Niti Sruti” yang dikarang oleh Pangeran Karang Gayam.
Selain kemajuan kesusastraan, pada masa pemerintahan Hadiwijaya juga berhasil mengepakkan sayap kekuasaannya ke daerah timur tepatnya Madiun, Blora dan Kediri. Pada tahun 1581 M, ia mendapat pengakuan sebagai Sultan Islam bagi kerajaan-kerajaan penting di Jawa Timur.
Jaka Tingkir meninggal pada tahun 1587 M. dan dikuburkan di barat Taman Kerajaan Pajang. Setelah itu, kepemimpinan Pajang digantikan oleh Arya Pengiri yang sebelumnya menjabat Adipati di Kadipaten Demak.
  1. Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara. Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583-1586 M dan bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Arya Pangiri melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram. Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa. Dari itulah banyak warga yang tidak suka terhadap Arya Pangiri.
  1. Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah putra Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
Sejak kepemimpinan Arya Pangiri, masyarakat Pajang sudah mulai tidak suka, akhirnya keadaan itu dimanfaat oleh Pangeran Benawa untuk merebut kembali kekuasaan Pajang. Arya Pangiri kalah dan dikembalikan kepada kadipaten Demak pada tahun 1586 M. Sejak saat itulah Pangeran Benawa memimpin Kerajaan Pajang. Namun baru satu tahun memimpin Pajang, Pangeran Benawa meninggal pada tahun 1587. Pada saat itu kerajaan Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang Mataram, dan pada akhirnya menjadi bagian dari kerjaan Mataram. Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Pangeran Benawa tidak meninggal tetapi melarikan diri. Penyebab pelarian itu tidak lain karena Kerajaan Mataram menyerang Pajang sehingga para pemimpin Pajang melarikan diri ke Giri dan Surabaya. Mulai saat itulah pajang berada dalam kekuasaan Mataram.
 Kerajaan Mataram
Kemenangan Jaka Tingkir raja Pajang atas Arya Panangsang karena mendapat bantuan Ki Ageng Pemanahan beserta adiknya yaitu Danang Sutawijaya. Karena jasanya tersebut Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir memberikan hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan berupa daerah yaitu alas Mentaok. Dalam Babad Tanah Jawidiceritakan bahwa Ki Ageng Pemanahan menyulap alas (hutan) Mentaok menjadi sebuah kadipaten, yaitu kadipaten Mataram pada tahun 1573 M.
Ki Ageng Pemanahan itu sebagai perintis kerajaan Mataram. Dengan demikian ia lebih dikenal dengan Ki Ageng Gede Mataram. Akan tetapi, tidak sampai menikmati usahanya untuk menjadikan sebuah kerajaan yang lebih besar, ia wafat pada tahun 1575 M. Setelah itu, kepemimpinan Mataram dilanjutkan oleh putranya yaitu Sultan Sutawijaya yang dikenal dengan sebutan senopati. Sutawijaya sosok yang cerdas dan gigih dalam strategi perang. Atas kemampuan itulah ia dikenal dengan sebutan Senopati ing Alaga (Panglima Perang) bahkan juga mendapat julukan Sayidin Panata Agama (tuan penata agama).
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Beliau diganti oleh putranya yaitu Mas Jolang. Mas Jolang menerima kerajaan Mataram pada tahun 1613. Mataram terus melakukan perluasan wilayah. Daerah yang berhasil ditaklukkan antara lain, Ponorogo, Kertosono, Kediri, dan Wirosobo (Mojoagung). Sebelum perluasan wilayah berhasil, Mas Jolang gugur. Beliau gugur di wilayah Krapyak. Ia dikenal dengan sebutan Panembahan Seda ing Krapyak. Selanjutnya Mataram dipimpin oleh Mas Rangsang sebagai raja Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alaga Ngabdurrahman Kalifullah. Dikenal dengan sebutan Sultan Agung Anyakra Kusumo. Beliau memerintah pada tahun 1613 – 1645.
Pada Mas Rangsang atau Sultan Agung adalah Raja Mataram (Islam) (kesultanan Mataram) yang ketiga. Beliau memerintah dari dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Gelarnya Sultan Agung Hanyokrokusumo tapi lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Beliau merupakan cucu dari Panembahan Senopati yang merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam.
Menurut Ricklefs Pada tahun 1630-an, saat yang menentukan dalam sejarah sosio-budaya Jawa. Sebelum itu, Sultan Agung sudah berhasil menaklukan lawan- lawannya di Jawa Tengah dan Timur, terutama di negara-negara pesisir utara. Yang paling penting dan kuat adalah kota Surabaya, yang menyerah pada tahun 1625. Peperangan yang berdarah itu mengakibatkan banyak sekali korban dan kerugian, baik orang maupun harta benda. Tokoh yang berdiri di atas negara baru itu, sang raja yang berjaya, ternyata harus diakui orang sebagai raja yang tak bisa dikalahkan, yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan gaib, yang merupakan wawayanging Allah, bayangan Tuhan di dunia ini.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah.
Sebelumnya masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalanberdasarkan pergerakan matahari. Penanggalan matahari ini dikenal sebagai SakaHindu Jawa, meski konsep tahun Saka bermula dari India. Pergantian konsep dasar sistem penanggalan matahari (syamsiyah) menjadi sistem bulan (komariyah) itu berlaku untuk seluruh Pulau Madura, kecuali Banten, Batavia,dan Banyuwangi (Blambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasukwilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang, yang mendapatkanpengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan SultanAgung ini.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena adanya campur tangan VOC sejak zaman pemerintahan Sunan Amangkurat 1 (Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama) yang meliputi hal politik untuk melawan Trunajaya.
            Akibatnya muncul pemberontakan Trunajaya (Madura) yang dibantu oleh Pangeran Kajoran dan para pejabat dan masyarakat yang sudah sangat tertekan. Tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Istana Plered berhasil direbut kembali oleh Pangeran Puger (Kanjeng Susuhunan ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panata Gama) yang menyerang dari Jenar. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Sepeninggal Amangkurat I dia digantikan oleh Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680)
            Setelah Amangkurat II meninggal diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan Amangkurat III karena dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan perpecahan Internal, Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah dan ditangkap di Batavia lalu diasingkan di Ceylon, Srilanka dan meninggal tahun 1734.
            Kekacauan politik dari masa kemasa akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana III  setelah wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Suarakarta  tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti , perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang dibuat oleh pihak VOC, pihak Mataram( diwakili oleh Pakubuwana III) dan kelompok pangeran Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian tersebut ( ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten , Desa Jantiharjo) ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai berakhirnya kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.

            Berdasarkan perjanjian ini wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan kepada  Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta.
            .
Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta,Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...