Saturday 27 July 2019

Akhlak kepada Al Qur'an




Al-Quran adalah kumpulan Kalamullah yang berisi syariat Allah Subhanahu wa ta’alla terhadap para hamba-Nya. Karena ia berasal dari Zat yang Maha Suci, maka selayaknya Anda menjaga adab bersamanya, di antaranya:


1)Membacanya dalam keadaan sempurna. Berwudhulah terlebih dahulu, menghadap kiblat, kemudian duduk dengan penuh penghormatan.

Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al-Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 17: 127)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Adapun jika Al-Qur’an dibaca dalam keadaan berhadats (misal: dengan hafalan, pen.), hal itu dibolehkan berdasarkan ijma’ (kata sepakat ulama). Hadits yang mendukung hal ini pun amat banyak.” (At-Tibyan, hlm. 81)

Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab Imam Nawawi menyebutkan :

في مذاهب العلماء في قراءة الحائض القرآن . قد ذكرنا أن مذهبنا المشهور : تحريمها

Pendapat para ulama mazhab tentang hukum seorang wanita haid membaca al-Quran. Sebagaimana yang telah kami sebutkan sesuai dengan pendapat yang masyhur di mazhab kami adalah haram baginya membaca Al-Quran.

وأما خوف النسيان فنادر , فإن مدة الحيض غالبا ستة أيام أو سبعة , ولا ينسى غالبا في هذا القدر ; ولأن خوف النسيان ينتفي بإمرار القرآن على القلب , والله أعلم

Adapun kekhawatiran (seorang wanita haid) akan lupanya hapalan Al-Quran maka hal itu sangat jarang terjadi dikarenakan waktu haid biasanya 6 atau 7 hari dan dalam rentang waktu ini biasanya seorang tidak akan lupa hapalannya. Kekhawatiran akan lupanya hapalan bisa ditanggulangi dengan membacanya dalam hati. Wallahu ‘Alam. 


Adapun menurut Ibnu Taimiyah hadits yang menyebutkan,

لاَ تَقْرَأُ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبُ شَيْئاً مِنَ القُرْآنِ

“Tidak boleh membaca Al-Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.” Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada beliau lalu dinukil oleh Al-‘Aqili dalam Adh-Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana dinukil oleh anaknya dalam Al-‘Ilal (1: 49).

Tentang kelemahan hadits di atas diterangkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Hadits yang melarang tersebut adalah hadits dha’if yang disepakati kedha’ifannya (kelemahannya) oleh para ulama. … Sudah dimaklumi bahwa para wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami haidh yang sama. Namun mereka tidak dilarang untuk membaca Al-Qur’an. Sebagaimana pula mereka tidak dilarang dari dzikir dan do’a. Bahkan wanita haidh diperintahkan untuk keluar pada hari ‘ied (ke tanah lapang) dengan bertakbir sebagaimana keadaan kaum muslimin ketika itu. Begitu pula wanita haidh masih diperintah oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunaikan seluruh manasik haji kecuali thawaf keliling Ka’bah.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21: 460)



2)Bacalah dengan tartil (baik), dan janganlah Anda mengkhatamkannya lebih cepat dari tiga hari. Rasulullah Saw bersabda:

Allah memrintahkan kita agar kita membaca al-Quran dengan tartil,

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا

Dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil. (Al-Muzammil: 4)

Berikut beberapa keterangan sahabat tentang makna tartil,

Ali bin Abi Thalib menjelaskan makna tartil dalam ayat,

”Mentajwidkan huruf-hurufnya dengan mengetahui tempat-tempat berhentinya”. (Syarh Mandhumah Al-Jazariyah, hlm. 13)

Ibnu Abbas mengataan,

بينه تبييناً

Dibaca dengan jelas setiap hurufnya.

Abu Ishaq mengatakan,

والتبيين لا يتم بأن يعجل في القرآة، وإنما يتم التبيين بأن يُبيِّن جميع الحروف ويوفيها حقها من الإشباع

Membaca dengan jelas tidak mungkin bisa dilakukan jika membacanya terburu-buru. Membaca dengan jelas hanya bisa dilakukan jika dia menyebut semua huruf, dan memenuhi cara pembacaan huruf dengan benar. (Lisan al-Arab, 11/265).

Inti tartil dalam membaca adalah membacanya pelan-pelan, jelas setiap hurufnya, tanpa berlebihan. (Kitab al-Adab, as-Syalhub, hlm. 12)

Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah menyampaikan kabar gembira kepada Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضاًّ كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأَهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ

Siapa yang ingin membaca al-Quran dengan pelan sebagaimana ketika dia diturunkan, hendaknya dia membacanya sebagaimana cara membacanya Ibnu Mas’ud. (HR. Ahmad 36, dan Ibnu Hibban 7066).

Hadis ini menunjukkan keistimewaan bacaan al-Quran Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Karena bacaannya sama dengan ketika al-Quran di turunkan. Beliau membacanya dengan cara ‘ghaddan’ artinya segar yang belum berubah. Maksudnya suaranya menyentuh (as-Shaut an-Nafidz) dan memenuhi semua hak hurufnya.

Untuk itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendengar bacaan Ibnu Mas’ud, dan bahkan hingga beliau menangis.


3)Menghadirkan kekhusyuan hati ketika membacanya. Menangislah jikalau Anda mampu. Jikalau tidak, maka berpura-pura menangislah.

وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ۩

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.
(Surat Al Isra : 109)

karena al-Qur’an sangat berpengaruh bagi hati mereka dan menambah kekhusyu’an mereka. وَيَزِيدُهُمْ (dan mereka bertambah) Yakni dengan mendengar bacaan al-Qur’an. خُشُوعًا (kekhusyu’annya) Yakni kelembutan hati dan mata yang berkaca-kaca.


4)Perbaguslah suara Anda, karena Rasulullah Saw bersabda,

 Hadis dari al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Kemudian, hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

“Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Ada beberapa keteragan yang disampaikan para ulama tentang makna ‘yataghanna bil qur’an’. Diantaranya adalah memperindah bacaan al-Quran. Karena itu, dia hadis di atas dijadikan dalil anjuran memperbagus suara ketika membaca al-Quran.

Imam an-Nawawi mengatakan,

أجمع العلماء رضي الله عنهم من السلف والخلف من الصحابة والتابعين ومن بعدهم من علماء الأمصار أئمة المسلمين على استحباب تحسين الصوت بالقرآن

Para ulama salaf maupun generasi setelahnya, di kalangan para sahabat maupun tabiin, dan para ulama dari berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran. (at-Tibyan, hlm. 109).


5)Jikalau Anda takut mengganggu orang yang ada dalam Mesjid, atau khawatir akan menyebabkan riya, maka hendaklah Anda membaca Al-Quran dengan sirr (suara halus).

Rasulullah pernah menegur sekelompok orang yang mengeraskan suaranya saat membaca Al Qur’an padahal beliau sedang beri’tikaf di masjid. Melihat hal itu, Rasulullah bersabda:

أَلاَ إِنّ كُلّكُمْ مُنَاجٍ رَبّهُ، فَلاَ يُؤْذِيَنّ بَعْضُكُمْ بَعضاً. وَلاَ يَرفَعُ بَعضُكُم عَلَى بَعْضٍ في الْقِرَاءَةِ أَوْ قالَ: فِي الصّلاَةِ

Setiap dari kamu adalah orang yang sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah sebagian dari kalian menyakiti yang lain. Dan janganlah kalian mengeraskan suaramu dibandingkan yang lain saat membaca Al Qur’an atau saat shalat. (HR. Abu Dawud)


6)Hendaklah Anda membacanya dengan penuh tafakkur dan tadabbur, agar Anda bisa memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya.

قال الإمام ابن القيم رحمه الله تبارك وتعالى فلَو علم النَّاس مَا فِي قِرَاءَة الْقُرْآن بالتدبر لاشتغلوا بهَا عَن كل مَا سواهَا ، فإِذا قَرَأَهُ بتفكر حَتَّى مر بِآيَة وَهُوَ مُحْتَاجا إِلَيْهَا فِي شِفَاء قلبه كررها وَلَو مائَة مرّة وَلَو لَيْلَة ، فقراءة آيَة بتفكر وتفهم خير من قِرَاءَة ختمة بِغَيْر تدبر وتفهم وأنفع للقلب وأدعى الى حُصُول الايمان وذوق حلاوة الْقُرْآن وهَذِه كَانَت عَادَة السّلف يردد أحدهم الآية إلى الصَّباح وَقد ثَبت عَن النَّبِي أنه قَامَ بِآيَة يُرَدِّدهَا حَتَّى الصَّباح وَهِي قَوْله : ( إِن تُعَذبهُمْ فَإِنَّهُم عِبَادك وَإِن تغْفر لَهُم فَإنَّك أَنْت الْعَزِيز الْحَكِيم ) ، فقراءة الْقُرْآن بالتفكر هِيَ أصل صَلَاح الْقلب . مفتاح دار السعادة ( ١٨٧/١ )

al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : Seandainya manusia mengetahui rahasia yang terdapat dalam membaca Al-Qur’an dengan penuh tadabbur (merenungkan), niscaya mereka akan menyibukkan diri dengannya tanpa selainnya. Apabila dia membacanya dengan penuh tafakkur, ketika dia melewati sebuah ayat yang dia membutuhkan ayat itu untuk mengobati hatinya, niscaya dia akan mengulang-ulang ayat tersebut walaupun sebanyak seratus kali, walaupun semalam suntuk. Membaca satu ayat dengan penuh tafakkur dan memahaminya lebih baik dari pada membaca seluruh al-Qur’an hingga khatam (selesai) namun tanpa merenungkan dan memahaminya, dan yang demikian itu lebih bermanfaat bagi hati dan lebih kuat untuk bisa meraih keimanan dan merasakan manisnya al-Qur’an. Demikianlah kebiasaan para salaf. Ada di antara mereka yang mengulang-ulang satu ayat hingga datang waktu subuh. Telah datang dari Nabi shallahu ‘alahi wa sallam bahwa beliau mengulang-ulang sebuah ayat hingga shubuh, yaitu firman Allah Ta’ala ;

 (إِن تُعَذبهُم فَإِنَّهُم عِبَادك وَإِن تغْفر لَهُم فَإنَّك أَنْت الْعَزِيز الْحَكِيم)

“Jika Engkau mengadzab mereka maka sesungguh mereka adalah hamba-hamba-Mu. Jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lag Mah Bijaksana.” (al-Ma’idah : 118) Membaca al-Qur’an dengan penuh tafakkur merupakan pangkal kebaikan hati.” Miftaah Daar as-Sa’adah 1/187 


7)Ketika Anda membaca, maka hendaklah dengan penuh konsentrasi. Jangan sampai lalai dan disibukkan oleh urusan dunia.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ * لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat.” (Al-Hajj: 52-53)

Ibnu Al-Qayyim berkata, “Para salaf telah bersepakat bahwa kandungan ayat: 52 di atas adalah: Jika (seseorang) membaca—dalam ayat tersebut memakai kata tamanna— Kitabullah maka setan akan mengacaukan tilawahnya. Arti kata tamanna dengan talaa (membaca). ini sesuai dengan untaian syair seorang penyair (Hassan bin Tsabit) tentang Utsman bin Affan, ‘Ia membaca Kitabullah pada awal malam dan akhir malam,’

Jika hal ini dilakukan setan kepada para Nabi SAW, bagaimana dengan orang lain? Oleh karena itu, setan terkadang sengaja menyalahkan bacaan, mencampur aduk, mengacaukan lidah atau pikiran dan hati seseorang. Tetapi, jika seseorang menghadirkan hati dan kesadarannya dalam membaca Al-Qur’an, ia akan mampu konsentrasi dengannya.

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi dalam tafsir Adhwâ’ Al-Bayân menafsirkan ayat ke 53 dengan berkata, “Makna kata ‘tamanna’ dalam ayat di atas ada dua sisi penafsiran ulama, yaitu:

qara’a wa talâ (membaca). Contohnya, bait syair Hasan tentang Utsman bin Affan di atas. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Jika (seseorang) berbicara maka setan akan mengganggu pembicaraannya.”

tamanna  dalam ayat tersebut dari al-muna (harapan). Maksudnya, harapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan keislaman umatnya dan ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Setan mengganggu harapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu, berarti ia melempar bisikan dan syubhatnya untuk menghalangi apa yang diharapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Harapannya, semakin banyak manusia yang terjerumus dalam rayuannya maka semakin banyak pula temannya kelak di neraka.


8) Berkarakter dengan sifat-sifat Ahli Al-Quran.

Abdullah bin Mas’ud mengatakan:

“Selayaknya orang yang membaca Al-Quran dikenal dengan malamnya ketika orang-orang tertidur, dengan siang harinya ketika orang-orang tidak berpuasa, dengan tangisannya ketika orang-orang tertawa, dengan wara’nya ketika orang-orang bercampur-baur, dengan diamnya ketika orang-orang larut dalam pembicaraan, dengan khusyu’nya ketika orang-orang berkhianat, dan dengan kesedihannya ketika orang-orang bergembira.


Wallahu a’lam

Ta' Rouf Yusuf


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...