Wednesday 12 July 2023

Bagaimana Nadzar Qurban?

Assalamu'alaikum
Izin bertanya, Bagaimana Qurban bisa menjadi nadzar? Bagaimana hukum memakan daging Qurban Nadzar? 
 Vvvvvvv
Anisa R
yJawabvv HV:
Wa'alaikumsalam j
Dalam Fathul Qarib disampaikan bavy vvvvyg tctvyhwa hukum Al-Udhhiyah  ( Qurban) hukumnya adalah sunnah kifàyah muakkadah. Sehingga, v vhvvvvvvgfketika salah satu dari penghuni suatu rumah terjaditelah ada yang melaksanakannya, maka sudah mencukupi dari semuanya. Al-Udhhiyah tidak bisa wàjib kecuali dengan nadzar.
vvrcDalam Fath Al-Qorib disebutkactgn, nadzar adalah:x
اِلْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لاَزِمَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ
“Mewajibkan suatu bentuk ketaatantcct  yang berdasarkan syariat asalnya cuxt  fycwajyvccib.”
vvgc
Dalam Kitab Tadzhib halaman 254:
... وَشَرْعًا الوَعْدُ بِالخَيْرِ خَاصَّةُ أو اِلْتِزَامُ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ بِأصْلِ الشَّرْعِ... وَالثَّانِى أنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعَلَّقٍ كَأنْ يَقُولَ للهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أو حَجٌّ أو غَيْرُ ذَلِكَ.ٌ و َجٌّ و َيْرُ َلِكَ..
Y
'Pengertian nadzar secara syara' berarti janji melakukan kebaikan tertentu atau menetapkan (mewajibkan dirinya) melakukan perkara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang perkara tersebut pada hukum asalnya tidak wajib' Yang kedua: adanya nadzar tersebut tidak diambangkan/digantungkan pada sesuatu seperti ucapan: 'Dem TTI Allah, wajib bagiku puasa atau haji  TTIPu yang lainnya.

Bagaimana nadzar bisa terjadi, tcerdapat dalam kitab Bajuriy juz 2 halaman 329:
وَأرْكَانُهُ ثَلاَثَةٌ: نَاذِرٌ وَمَنْذُورٌ وَصِيْغَةٌ ... وَفِى الصِّيغَةٍ كَونُهَا لَفْظًا يُشْعِرُ بِاللإلْتِزَامِ وَفِى مَعْنَاهُ مَا مَرَّ فِى الضَّمَانِ كَللَّهِ عَلَيَّ كَذَا وَعَلَyvيَّ كَذَا فَلاَ تَصِحُّ بِالنِيَّةِ كَسَائِرِ العُقُودِ وَلاَ بِمَا لاَيُشْعِرُ بِالإلْتِزَامِ كَأَفْعَلُ كَذَا.
Rukun-rukun nadzar ada tiga:
1. orang-rang yang nadzar 
2. perkara yang dinadzari 
3. sighat (ucapan yang menunjukkan nadzar)' Dalam masalah sighat, adalah adanya lafal (ucapan) yang menunjukkan adanya penetapan dan dalam pengertian penetapan (mewajibkan) ini adalah keterangan bab dlaman (tanggungan). Yaitu seperti kata 'Demi Allah wajib atasku perkara seperti ini atau wajib atasku perkara seperti ini. Maka sighat tidak sah hanya sekedar niat (tanpa diucapkan), sebagaimana juga tidak sah semua aqad hanya dengan niat. Juga tidak sah sighat yang tidak menunjukkan penetapan (mewajibkan) seperti ucapan: 'Saya melakukan seperti ini'.

Nadzar itu mesti diucapkan dan diniatkan, tidak cukup direncanakan di hati tapi tidak dilafazkan. Tidak cukup pula diucapkan, tapi tidak ada niat untuk nadzar. 

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وهل يصح (النذر) بالنية من غير قول ؟ الصحيح باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول , ولا تنفع النية وحدها "
Apakah sah nazar dengan niat, tapi tanpa ucapan? Yang shahih menurut kesepakatan para sahabat (Syafi’iyah), maka itu tidak sah kecuali dengan perkataan dan  niat saja tidaklah bermanfaat. (Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, 8/435)
 
Begitu pula dikatakan Imam Al Mardawi Rahimahullah:
 ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع "
Tidak sah nazar kecuali dgn diucapkan, jika dia meniatkan tapi tanpa ucapan, maka tidak sah dan ini tidak ada perbedaan pendapat. (Al Inshaf, 11/118)

Ayat-ayat dan hadits tentang nadzar menunjukkan bahwa nadzar memang diucapkan.Allah Ta'ala berfirman:
إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku,  sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Ali 'Imran, Ayat 35) 
فَكُلِي وَٱشۡرَبِي وَقَرِّي عَيۡنٗاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلۡبَشَرِ أَحَدٗا فَقُولِيٓ إِنِّي نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَٰنِ صَوۡمٗا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡيَوۡمَ إِنسِيّٗا
Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. Maryam, Ayat 26)

Dalam hadits, Umar bin Khathab Radhiallahu 'Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ
 “Wahai Rasulullah, aku pernah bernazar pada masa jahiliyah untuk beri’tikaf malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nadzarmu!” (HR. Bukhari No. 6697)

Sebaliknya, ucapan rencana atau janji tapi tanpa maksud nadzar, itu juga tidak dikatakan nadzar.  Misal, seseorang berkata: "Nanti sore saya mau ke rumah Pak Guru", ini kalimat rencana biasa. 

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 34075:
فالمتلفظ بالنذر إما أنه تلفظ به من غير قصد التلفظ به أصلاً، كأن يريد أن يقول شيئاً فسبق لسانه بلفظ النذر، فهذا لا يلزمه شيء
Orang yang melafazkan kata nazar yang pada asalnya tidak ada maksud melafazkannya, seolah lisannya itu keceplosan mengatakan nadzar, maka ini tidak ada kewajiban apa pun baginya. 

Ada beberapa ucapan-ucapan Jumhurul Ulama' (mayoritas ulama) pada keterangan di bawah ini mengenai nadzar dan qurban:

Kitab Bajuriy juz 2 halaman 310:
وَقَولُهُ مِنَ الأُضْحِيَّةِ المَنْذُورَةِ اى حَقِيْقَةً كَمَا لَو قَالَ: للهِ عَلَيَّ ان أُضْحِيَ بِهَذِهِ, فَهَذِهِ مُعَيَّنَةٌ بِالنَذْرِ إبْتِدَاءً, كَمَا لَو قَالَ للهِ عَلَيَّ أُضْحِيَّةٌ... أوْ حُكْمًا كَمَا لَوْ قَالَ هَذِه اُضْحِيَةٌ اَو جَعَلْتُ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ فَهَذِهِ وَاجِبَةٌ بِالجَعْلِ لَكِنَّهَا فِى حٌكْمِ المَنْذُرَةِ.

Yang termasuk qurban nadzar sebenarnya adalah seperti apabila seseorang berkata: 'Demi Allah wajib atasku berqurban dengan ini' maka ucapan itu jelas sebagai nadzar sejak awal. Hal ini sebagaimana apabila seseorang berkata 'Demi Allah wajib atasku qurban" atau secara hukum sebagai nadzar. Seperti bila seseorang berkata: Ini adalah hewan qurban' atau diucapkan 'Aku menjadikan ini sebagai hewan qurban'. Maka ini adalah wajib disebabkan kata 'menjadikan', akan tetapi dalam konteks hukum yang dinadzari.

Kitab Bajuriy juz II halaman 305
... مِنْ قَوْلِهِمْ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ, تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ الأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يَقْبَلُ قَولُهُمْ, أرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ وَقَالَ الشِبْرَامَلِسِى: لاَيَبْعُدُ اِغْتِفَارُ ذَلِكَ العَوَام وَهُوَ قَرِيْبٌ... نَعَمْ لاَتَجِبُ بِقَولِهِ وَقْتَ ذَبْحِهَا: اللَّهُمَّ هَذِهِ اُضْحِيَتِى فَتَقَبَّلْ مِنِّى يَاكَرِيْمُ.

'Dari perkataan orang-orang, 'Ini adalah hewan qurban,' maka hewan qurban tersebut menjadi wajib. Tersebab perkataan itu haram hukumnya memakan dagingnya. Tidak diterima alasan (atas perkataan itu) mereka 'Aku menghendakinya sebagai qurban sunah' Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama. Imam Sibromalisi berkata: '(Tetapi) bagi orang awam (orang yang belum mengetahui hukum ucapan tersebut) maka mudah untuk dimaafkan. Perkataan Imam Sibromalisi ini mudah untuk difahami (diterima)' Memang demikianlah hukumnya, namun qurban tidak menjadi wajib sebab ucapan orang waktu menyembelihnya: Ya Allah ini adalah hewan qurbanku, maka semoga Engkau menerimanya dariku, wahai Dzat Yang Maha Mulia'.

Kitab Sulaiman Kurdi juz 2 halaman 204
وَقَالَ العَلاَّمَةُ السَّيِّد عُمَرُ البَصْرِى فِى حَوَاشِ التُّحْفَةِ يَنْبَغِى أَنْيَكُونَ مَحَلُّهُ مَالَمْ يَقْتَصِدُ الأَخْبَارُ فَإنْ قَصَدَهُ اى هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِى أُرِيْدُ التَّضْحِيَةِ بِهَا فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الجَوَابُ كَذَالِكَ فِى نَازِلَةٍ وَقَعَتْ لِهَذَا الحَقِيْر وَهِيَ اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَحْصٌ آخَرَ فَقَالَ مَاهَذِهِ فَقَالَ أُضْحِيَتِى.

Al Allamah As Sayid Umar Al Bashriy berkata dalam komentar atas kitab Tuhfatul Muhtaj: Seyogyanya letak status nadzar itu ialah selagi tidak bermaksud memberi kabar. Kemudian jika memang bermaksud memberi kabar, 'Kambing ini yang saya maksudkan untuk qurban', maka tak ada penentuan dan berlakukan jawaban. Demikian pula dalam peristiwa yang terjadi pada seorang, yakni seseorang membeli kambing untuk digunakan qurban lalu bertemu dengan seseorang lain kemudian bertanya: 'Apa ini?' Maka jawab si orang tadi: 'Qurbanku'.

Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin juga disebutkan tentang Kurban wajib ini, Jika seseorang berkata : “ini adalah hewan kurbanku”. Tetapi menurut imam al-Bulqini dan imam al-Maraghi berpendapat bahwa perkataan itu saja tidak menjadikan hewan kurban menjadi nadzar yang hukumnya wajib.

Hal ini di perjelas dalam keterangan kitab Tuhfat al-Muhtaj ; jika ucapan “ini adalah hewan kurbanku” di maksudkan hanya memberikan kabar (ikhbar) maka hukumnya tidak menjadi wajib, ini yang biasanya terlaku dikalangan masyarakat awam.

Salah satu fenomena yang sering terjadi juga jika seorang pedagang atau peternak membawakan kambing untuk dijual atau lainnya, ketika ditanyakan kepada mereka,”apakah itu kambing untuk kurban”, pemilik kambing menjawab : “ya, kambing ini untuk kurban”,
Lantas apakah semata perkataan saja seperti redaksi tersebut dapat merubah menjadi kurban wajib? 

Ternyata perkataan seseorang ketika sebagai ikhbar (mengkhabarkan) saja. Seperti yang kita ketahui bahwa “khabar” merupakan sebuah ucapan yang ihtimal (kemungkinan benar dan salah). Sesuatu yang ihtimal belum bisa dijadikan sandaran hukum serta memerlukan kepada murajih (penyokong)nya.

Oleh karena itu, bisa dihukumi perkataan seseorang ketika membawa hewan kurban menjawab “ya ini hewan kurban”  menjadi  udhiyyah wajibah (kurban wajib) jika disertai dengan insya’ (keinginan). Intinya harus ada insya’ (keinginan) dari orang yang berkata tersebut bukan hanya semata lafalnya. 

Di samping itu ada juga dalam masyarakat sering terjadi ketika tercapai sebuah cita-cita atau harapannnya, maka terucaplah perkataan: “Demi Allah saya akan berkurban dengan hewan ini,” wajiblah orang tersebut berudhiyyah pada waktu itu.
Walaupun hewan yang akan dikurbankan tadi tidak memenuhi kriteria hewan kurban, namun tidak boleh diganti dengan yang lain sekalipun itu hewan udhiyah yang lebih bagus dan memenuhi kriteria. Sedangkan niat saja dalam hati itu tidak dihitung dalam pandangan syara sebagai nazar, mesti diucapkan (Nihayah Muhtaj: 8: 136, Tuhftul Muhtaj: 8: 412-413, Al-Bajuri: II: 296)

Jadi berdasar keterangan-keterangan di atas maka ucapan tanpa niat dalam hati tidak menjadikan Kurban seseorang menjadi Kurban yang wajib karena Nadzar. Namun sebagai kehati-hatian dalam shighat (ucapan) saat menyerahkan perwakilan penyembelihan (pasrah wakil). Karena sebagaimana keterangan di atas, perubahan nadzar dari sunah ke wajib itu bisa karena sebuah ucapan. Agar terhindar dari perubahan hukum kurban, maka kita dapat:
1. Menghindari kata isyarah (ini/itu/menunjuk hewan)
2. Setiap menjawab pertanyaan terkait hewan kurban, maka kita niatkan jawaban kita hanya sebatas memberi kabar (ikhbar).

Lalu pertanyaan kedua tentang memakan daging kurban wajib. Dalam kitab Fathul Qorib di jelaskan :
(ولا يأكل المضحي شيئاً من الأضحية المنذورة) 
بل يجب عليه التصدق بجميع، فلو لحمها أخره فتلفت لزمه ضمانها (ويأكل من الأضحية المتطوع بها) ثلثاً على الجديد وأما الثلثان فقيل يتصدق بهما، ورجحه النووي في تصحيح التنبيه. وقيل يهدي ثلثاً للمسلمين الأغنياء ويتصدق بثلث على الفقراء من لحمها ولم يرجح النووي في الروضة وأصلها شيئاً من هذين الوجهين

Orang yang melaksanakan kurban tidak diperkenankan memakan apapun dari kurban yang dinadzari.
Bahkan bagi dia wajib mensedekahkan semua dagingnya.
Kemudian, seandainya ia menunda untuk mensedekahkannya hingga rusak, maka wajib baginya untuk mengganti.
Ia diperkenankan memakan sepertiga dari binatang kurban yang sunnah menurut pendapat al Jadid.Sedangkan untuk dua sepertiganya, maka ada yang mengatakan harus disedekahkan, dan ini diunggulkan oleh imam an Nawawi di dalam kitab Tashhih at Tanbih. Dan ada yang mengatakan, bahwa ia menghadiahkan sepertiga dari dagingnya kepada kaum muslimin yang kaya dan mensedekahkan sepertiganya kepada kaum faqir. Di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, imam an Nawawi tidak mengunggulkan salah satu dari dua pendapat ini.

Jadi tidak boleh bagi peng kurban wajib memakan daging kurbanya. 
Wallahu a'lam

Temanggung, 13 Juli 2023
Ta' Rouf Yusuf


 

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...