Wednesday 8 October 2014

Waktu Seperti Pedang



" al-waqt ka as-shaif"  waktu itu seperti pedang  memiliki 2 sisi mata jika kita mampu memanfaatkanya maka akan menjadi senjata bagi kita namun jika kita tidak mampu menggunakanya maka bisa jadi malah akan menjadi alat untuk membunuh diri kita. Ini kenyataan yang tak bisa lagi dipungkiri. Namun sayangnya walaupun kita tahu betapa pentingnya nilai waktu tapi hanya sedikit dari kita yang bisa memanfaatkannya. Terkadang kita tidak ingin menyia-nyiakan waktu tapi tetap saja dalam praktek sehari-hari kita kalah, dan lebih senang dengan kekosangan.

Hampir semua orang sukses adalah mereka yang pandai memanfaatkan waktu.
Ada beberapa kisah bagaimana ulama umat Islam memanfaatkan waktunya.

Sahl at-Tusturi RA makanannya dalam setahun hanya menghabiskan 3 dirham, 3 dirham tersebut dipergunakan untuk membeli tepung, garam dan minyak. setelah diolah ketiga bahan tadi maka beliau bulatkan 360 bulatan kecil-kecil. setiap satu hari beliau makan satu butir. dan beliau itu memakannya tidak mengunyah tapi langsung ditelan. Ketika ditanyakan kenapa beliau lakukan demikian, beliau menjawab agar tidak menghabiskan waktu percuma, karena dengan mengunyah akan menghabiskan waktu dan perlu lagi membersihkan sisa-sisanya diatara gigi. MasyaAllah.

Dawud at-Tha'i adalah minum roti yang diremukkan dalam air dan ia tidak makan roti, lalu ditanyakan kepadanya tentang demikan, maka Dawud at-Tha'i menjawab: "diantara mengunyah roti dan minum roti yang diremukkan dalam air itu bacaan lima ayat."
Subhanallah, begitu tingginya beliau menilai kadar waktu.

Masruq. Istri Masruq berkata: "Tidaklah masruq dijumpai melainkan kedua betisnya bengkak karena lama berdirinya shalat." dan istri masruq berkata: "Demi Allah, saya duduk di belakangnya lalu saya menangis karena kasihan kepadanya".

sahabat, itu hanya sebagian dari kisah mereka yang luar biasa dan istiqamah dalam menjaga waktu. masih banyak lagi kisah yang tak terhingga, namun cukuplah itu saja menjadi contoh bagi kita. supaya kita tahu untuk mencapai kesuksesan tidak lah semudah membalikkan telapak tangan.

Allah ta’ala berfirman dalam surah al ‘Ashr :
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499]            .
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Al Ashr adalah salah satu nama waktu dimana tenaga manusia sudah terperas habis pada siang harinya sehingga waktu siang hampir memasuki malam. Hal ini juga bisa berarti masa senja dimana orang sudah tua renta, biasanya baru menyadari untuk apa saja waktunya digunakan.
Iman yang Dilandasi dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa  membuat dirinya mampu menegakkan agama.”  [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala  berfirman,
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,  seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
Berdakwah kepada Allah
Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
 “Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam Dakwah
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.



Thursday 8 May 2014

Kemenangan Yang Nyata (Tafsir Surat Al Fath 1-3)

Allah berfirman “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).” (QS. Al Fath : 1 – 3) Ibnu Katsir mengatakan bahwa surat yang mulia ini turun ketika Rasulullah saw kembali dari Hudaibiyah di bulan dzulqaidah tahun ke-6 H yang pada saat itu dihalang-halangi oleh kaum musyrikin untuk memasuki Masjidil Haram dalam menunaikan umroh. Kaum musyrikin cenderung untuk mengadakan perjanjian dan gencatan senjata serta meminta Rasulullah saw pulang pada tahun ini dan kembali lagi pada tahun berikutnya. Tawaran ini disambut oleh Rasulullah saw meskipun tampak kekurangsukaan diwajah sebagian sahabat, diantaranya Umar bin Khottob ra. Setelah mereka menyembelih hewan-hewan kurbanya dan pada saat pulang kemudian Allah swt menurunkan surat ini yang menceritakan tentang apa yang terjadi diantara Rasulullah saw dengan mereka—orang-orang Quraisy—dan menyatakan bahwa perjanjian tersebut adalah kemenangan dikarenakan berbagai maslahat yang ada didalamnya. (Tafsir Ibnu Katsir juz VII hal 325)
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (QS. Al Fath : 1)
Terjadi perbedaan pendapat tentang maksud dari kata fath (kemenangan) didalam ayat itu. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah Futuh Mekah, berbagai kemenangan yang didapat oleh Rasulullah saw, kemenangan orang-orang Romawi, ataupun baiat Ridwan pada hari-hari Hudaibiyah, namun banyak yang menyebutkan bahwa kemengan itu adalah perjanjian Hudaibiyah.
Az Zuhri mengatakan bahwa tidak ada kemenangan yang lebih besar dari perjanjian Hudaibiyah, dimana orang-orang musyrik bercampur dengan kaum muslimin mendengarkan perkataan mereka, mulai bersemayamnya islam di hati mereka sehingga dalam kurun waktu tiga tahun banyak manusia yang masuk kedalam agama islam . (Fathul Qodir juz V hal 44)

Artinya : “supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).” (QS. Al Fath : 2 – 3)
Ibnul Anbari mengatakan bahwa kata fathan mubina (kemenangan yang nyata) belum sempurna karena perkataan,”supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu” masih berkaitan dengan kemenangan tersebut, seakan-akan Dia mengatakan,”Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata agar Allah swt mengumpulkan buatmu dengan kemenangan ini ampunan dan mengumpulkan bagimu dengannya berbagai hal yang menyenangkan pandanganmu di dunia dan akherat.
Sayyid Qutb mengatakan bahwa kemenangan Hudaibiyah ini pun diikuti oleh berbagai kemenangan lainnya, seperti :
1. Kemenangan dalam Da’wah.
Ibnu Ishaq mengatakan bukti kebenaran perkataan az Zuhri—diatas—adalah bahwa Rasulullah saw tatkala berangkat menuju Hudaibiyah bersama dengan 1400 orang, menurut penuturan Jabir bin Abdullah dan dua tahun kemudian beliau saw berangkat lagi pada saat Futuh Mekah bersama 10.000 orang.
2. Kemenangan di bumi.
Kaum muslimin saat itu merasa aman dari kejahatan orang-orang Quraisy, untuk itu Rasulullah saw mengarahkan da’wahnya dalam rangka pembebasan jazirah dari sisa-sisa kejahatan orang-orang Yahudi—setelah membebaskannya dari Yahudi Bani Qoinuqo, Bani Nadhir dan Bani Quraizhoh—dan kejahatan itu tergambar pada kekokohan benteng Khaibar yang menakutkan dijalan menuju Syam. Kemudian Allah swt menundukkannya bagi kaum muslimin dan mereka mendapatkan ghonimah yang banyak dan Rasulullah saw mengkhusukan ghonimah tersebut untuk orang-orang yang telah ikut serta dalam peristiwa Hudaibiyah.
3. Kemenangan pada sikap diantara kaum muslimin di Madinah, Quraisy di Mekah dan seluruh kaum musyrikin yang berada di sekitar mereka… Orang-orang Quraisy mengakui ketangguhan dan eksistensi Nabi dan kaum muslimin, dan menganggap bahwa Nabi dan kaum muslimin adalah musuh mereka akan tetapi mereka menghalangi Nabi dan para sahabatnya dengan cara yang paling baik pada waktu dimana mereka telah memerangi Madinah dalam dua tahun dengan dua kali peperangan dan peperangan terakhir adalah satu tahun sebelum Hudaibiyah ini…. kaum muslimin juga tampak begitu kuat di mata kabilah-kabilah, orang-orang Arab pun banyak yang mundur dari memeranginya, dan semakin tidak terdengar lagi suara-suara orang-orang munafiq..
Rasulullah saw begitu gembira dengan surat ini. Hatinya gembira dengan karunia Allah yang besar yang diberikan kepadanya dan orang-orang beriman yang bersamanya. Bergembira dengan kemenangan yang nyata, ampunan yang menyeluruh, kenikmatan yang sempurna, petunjuk kepada jalan Allah yang lurus, pertolongan yang kuat dan dengan keredhoan Allah swt kepada orang-orang beriman yang telah mensifatkan mereka dengan penyifatan yang mulia. (Fii Zhilali Qur’an juz VI hal 3316 – 3317)
Jalan Menuju Kemenangan
Surat ini memberikan penjelasan bahwa kemenangan yang diperoleh kaum mukminin tidak selamanya harus melalui suatu kontak senjata dengan orang-orang kafir atau musuh-musuhnya namun kemenangan juga bisa diperoleh melalui suatu perjanjian atau perdamaian dengan mereka selama hal itu memang memberikan kemaslahatan bagi da’wah islam dan kaum muslimin.
Kondisi realita umat islam saat ini yang terus menerus menjadi ‘mangsa’ orang-orang kafir tidaklah bisa dikatakan kontradiksi dengan surat al Fath ini yang menceritakan tentang kemenangan yang diperoleh kaum mukminin.
Perintah Allah swt kepada Rasul-Nya dan juga orang-orang beriman untuk pergi berumroh yang kemudian dihalang-halangi untuk memasuki Masjidil Haram oleh orang-orang Quraisy dan pada akhirnya menghasilkan perjanjian Hudaibiyah ini terjadi pada tahun ke-6 H.
Perjanjian yang dikatakan oleh Allah swt sebagai kemenangan yang nyata ini tidaklah terjadi secara tiba-tiba atau tanpa sebab. Allah swt tidak memberikan kemenangan ini diawal-awal da’wahnya ketika di Mekah ataupun ketika mereka baru tiba hijrah di Madinah. Akan tetapi Allah swt memberikan kemenangan ini setelah 13 tahun da’wah islam ini muncul dan dibawa oleh Rasulullah saw di Mekah dan 6 tahun da’wah ini mewarnai masyarakat muslim di Madinah.
Selama masa itu Rasulullah saw mempersiapkan suatu generasi yang kuat, kokoh, sabar dan tahan akan berbagai ujian yang menerpa mereka sebagai satu konsekuensi dari perjalan da’wah di jalan Allah swt untuk menyongsong kemenangan yang dijanjikan Allah swt, termasuk Hudaibiyah ini.
Selama masa itu berbagai ujian dan peristiwa-peristiwa besar mewarnai perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya, diantaranya :
Pada fase Mekah terjadi berbagai penyiksaan dan intimidasi yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, pemboikotan selama tiga tahun, penolakan masyarakat Thaif terhadap da’wah. Yang pada akhirnya fase ini ditutup dengan hijrahnya kaum muslimin dan Rasulullah saw ke Madinah.
Pada fase Madinah sebelum terjadi perjanjian Hudaibiyah berbagai upaya dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mengokohkan masyarakat muslim pertama tersebut, seperti pembangunan masjid dan mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor dan setelah itu Allah swt mengizinkan mereka untuk berperang melawan orang-orang yang menentang da’wah sehingga terjadilah berbagai peperangan, seperti Badar, Uhud, dan Ahzab disamping peperangan melawan orang-orang Yahudi.
Dari perjalanan da’wah generasi muslim pertama tersebut maka kondisi umat islam saat ini merupakan salah satu proses untuk meraih kemenangan yang dijanjikan Allah swt.
Meskipun kesewenang-wenangan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin begitu melampaui batas terlebih lagi didukung dengan berbagai sarana yang dimilikinya namun hingga saat ini mereka belum mampu menguasai kaum muslimin. Uni Sovyet takluk di Afghanistan, Amerika diusir dari Somalia dan hingga saat ini mereka masih kewalahan menghadapi para mujahidin Iraq, dan yang baru-baru ini kaum Yahudi Zionis yang pada awalnya begitu sombong akan menaklukan Gaza hanya dalam hitungan hari ternyata Allah swt takdirkan hal itu tidak terjadi dan justru kemenangan berada di pihak mujahidin Gaza bahkan mereka mendapatkan simpati dari seluruh masyarakat dunia.
Berbagai kezhaliman yang dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap kaum muslimin di bumi mereka tidak akan pernah sanggup memusnahkan islam dan kaum muslimin dan tidak akan pernah meredupkan cahaya Allah yang akan senantiasa menyinari bumi ini. Justru itu semua akan semakin menyadarkan kaum muslimin bahwa pertentangan antara haq dan batil akan terus berlangsung hingga hari kiamat dan juga akan menyadarkan mereka untuk kembali kepada Allah swt, berkomitmen dengan nilai-nilai robbani, dan mengokohkan ukhuwah islamiyah sebagai modal meraih kemenangan yang telah dijanjikan Allah swt. Firman Allah swt :
  “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (QS. Al Baqoroh : 214)
Wallahu a'lam
 

Wednesday 7 May 2014

Manisnya Iman





Tertulis sebuah kisah dimana manisnya iman telah melingkupi hati seorang sahabat Nabi yaitu kisah indah tentang Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu . Diaadalah salah seorang panglima kaum muslimin yang ikut serta dalam pembebasan negeri Syam. Dia diserahi misi penting untuk memerangi penduduk Kaisariah, sebuah kota benteng di wilayah Palestina, tepatnya di tepi Laut Tengah. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu gagal dalam salah satu pertempuran, sehingga akhirnya ia ditangkap oleh tentara Romawi.
Heraklius merasa berkesempatan untuk menyakiti dan menyiksa kaum muslimin. Lalu ia mendatangkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu ke hadapannya. Ia ingin menguji seberapa kuat agamanya dan ingin menjauhkannya dari Islam. Heraklius memulai dengan memberikan bujukan dan penawaran. Ia menawarkan kepada Abdullah radhiyallahu ‘anhu beberapa tawaran yang menggiurkan.
Heraklius berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka engkau akan mendapatkan harta yang engkau inginkan.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak tawaran ini. Kemudian Heraklius menambahkan, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan menikahkanmu dengan putriku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu juga menolak tawaran kedua. Lantas Heraklius berkata lagi, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan merekrutmu menjadi orang penting dalam kerajaanku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu pun menolak tawaran ketiga ini.
Heraklius menyadari bahwa ia tengah berhadapan dengan bukan sembarang lelaki. Maka ia pun memberikan penawaran keempat. Ia berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan memberikan kepadamu separuh dari kerajaanku dan separuh hartaku.” Lantas Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu memberikan jawaban yang tegas dan mematikan, “Meskipun kamu memberikan kepadaku semua harta yang kamu miliki dan semua harta yang dimiliki oleh orang Arab, saya tidak akan kembali meninggalkan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun hanya sekejap mata.”
Setelah Heraklius gagal dalam memberikan penawaran dan bujukan, maka ia menekan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dengan cara memaksa, menyiksa, mengintimidasi, dan mengancamnya. Maka, Heraklius berkata kepadanya, “Kalau demikian, saya akan membunuhmu?” Heraklius tidak menyadari bahwa orang yang tidak tergiur dengan tawaran dan bujukan, tentunya juga tidak akan menyerah menghadapi paksaan dan siksaan. Orang yang menginjak dunia dengan kedua kakinya, tidak akan kikir untuk menyerahkan nyawa untuk menebus agamanya. Ia berkata kepada Heraklius, “Silakan kamu melakukan hal itu.”
Kemudian Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dijebloskan ke dalam penjara dan tidak diberi makan dan minum selama tiga hari. Setelah itu ia disuguhi arak dan daging babi agar ia memakannya. Akan tetapi, Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak mencicipinya. Akhirnya sampai berhari-hari ia tidak menyentuh makanan dan minuman sehingga ia hampir mati. Kemudian Heraklius mengeluarkannya dan bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu enggan minum arak dan makan daging babi padahal engkau dalam kondisi terpaksa dan kelaparan?” Ia menjawab, “Ketahuilah! Kondisi darurat memang telah menjadikan hal tersebut halal bagi saya dan tidak ada keharaman bagi saya memakannya. Akan tetapi, saya lebih memilih untuk tidak memakannya, sehingga saya tidak memberikan kesempatan kepadamu untuk bersorak melihat kemalangan Islam.”
Kemudian Heraklius memerintahkan kepada anak buahnya agar mereka menyalib Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengikatnya pada kayu. Para pemanah siap-siap melesakkan anak panah dari posisi yang dekat darinya. Ia pun tetap bertahan. Heraklius masih menawarkan agar ia memeluk agama Nasrani, tetapi ia tetap menolak. Kemudian ia diturunkan. Heraklius memerintahkan agar disiapkan air di dalam kuali besar dan dinyalakan api di bawahnya. Ketika air di dalam kuali telah mendidih, didatangkanlah seorang tawanan muslim, lalu ia diceburkan ke dalamnya, maka dagingnya pun meleleh sehingga tinggal tulang kerangka. Kemudian tawanan muslim yang kedua diceburkan di dalamnya sedangkan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu melihatnya.
Kemudian Heraklius memerintahkan agar Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dilemparkan ke dalam air mendidih. Ketika mereka memegang Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu untuk dilemparkan ke dalam air mendidih, maka ia menangis. Lantas dilaporkan kepada Heraklius bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menangis. Heraklius mengira bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menangis karena ia takut mati serta menunjukkan bahwa ia mundur dari posisinya dan membatalkan ketetapan hatinya dan ia akan mengabulkan keinginan Heraklius. Lantas Heraklius memanggilnya dan memberi tawaran kepadanya agar ia memeluk agama Nasrani. Ia pun tetap menolaknya. Lalu Heraklus bertanya kepadanya, “Kalau demikian mengapa engkau menangis?” Lalu ia memberikan jawaban yang menakjubkan, benar-benar melemahkan, dan menetapkan kegagalan dan kekalahan Heraklius, “Saya menangis karena saya hanya memiliki satu jiwa saja, seandainya saya memiliki jiwa sebanyak rambut saya, pastilah saya korbankan untuk menebus agamaku. Sehingga, semuanya mati di jalan Allah.” Akhirnya Heraklius mengakui kekalahannya di hadapan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Kekalahannya yaitu bahwa ia memiliki harta, pangkat, kekuatan, dan dunia berhadapan dengan seseorang muslim yang tidak bersenjata dan tidak menyandang apa-apa. Lantas ia memberikan tawaran terakhir sebagai bentuk kekalahan.
Demi menjaga martabatnya, Heraklius berkata, “Hai Ibnu Hudzafah! Maukah kamu mengecup kepalaku? Saya akan membebaskanmu dan melepaskanmu?” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Baiklah, dengan syarat engkau harus melepaskan semua tawanan kaum muslimin yang berada di dalam penjara kalian saat itu ada lebih dari 300 tawanan.” Lantas Umar radhiyallahu ‘anhu berdiri menghampiri Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengecup kepalanya, lalu para sahabat lainnya mengikutinya.
Itulah kisah ketika iman begitu manis terasa dalam diri seseorang. Lalu mengapa hati kita tak kunjung menikmati manisnya iman  itu. Mungkin saat ini kita adalah manusia yang  sedang sakit yang tidak mampu merasakan manisnya gula, bukan  karena gula itu tidak manis tapi karena lidah kita yang sedang sakit. Mungkin hati kita sedang sakit.
Dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, dia berkata, " Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda, yang artinya, :
"Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman.
(Yaitu); Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api."

Ada tiga hal, yang ketika tiga hal itu ada  dalam hatimya maka dia akan merasakan manisnya iman. Maksudnya tiga hal itu ada pada dirinya secara utuh keseluruhannya. Lalu yang dimaksud dengan manisnya iman adalah rasa nikmat ketika melakukan ketaatan kepada Allah, ketenangan hati dan lapangnya dada.

Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Syaikh Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, "Pengungkapan dengan lafal "manis" karena Allah subhanahu wataala mengumpamakan iman sebagaimana pohon, seperti di dalam firman-Nya, surat Ibrahim
ayat 24, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik."

Kalimat thayyibah (baik) adalah kalimatul ikhlash, kalimat tauhid, sedangkan pohon merupakan pokok dari keimanan, cabang-cabangnya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, daun-daunnya adalah segala amal kebaikan yang harus diperhatikan seorang mukmin, dan buahnya adalah segala macam bentuk ketaatan. Manisnya buah akan didapat ketika buah sudah matang, dan puncak dari rasa manis itu adalah bila buah telah masak total, maka ketika itulah akan terasa manisnya buah tersebut.

Yang pertama Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari pada selain keduanya, artinya mencintai Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada orang lain seperti orang tua, anak, diri sendiri dan semua orang.

Yang kedua Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Maksudnya adalah hendaknya hubungan antara seorang muslim dengan saudaranya -muslim yang lain- dilandasi dengan iman kepada Allah subhanahu wataala dan amal shalih. Bertambahnya kecintaan bukan karena mendapatkan keuntungan materi dan berkurangnya cinta bukan karena tiadanya manfaat dunia yang diperoleh, namun ukurannya adalah iman dan amal shalih.
yang ketiga Benci jika kembali kepada kekufuran, sebagaimana bencinya jika dilemparkan ke dalam api. Di dalam riwayat lain disebutkan, "Bahkan dilemparkan ke dalam api lebih dia sukai daripada kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkan dia dari kekufuran itu." Ini maknanya lebih mendalam daripada riwayat di atas, karena riwayat di atas menunjukkan kesamaan tingkat di dalam membenci kekufuran dan membenci jika dibakar di dalam api.

Ada beberapa faisah dari hadits diatas:
  1. Iman kepada Allah subhanahu wata’ala memiliki rasa manis yang tidak mungkin dinikmati,  kecuali oleh orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, yang disifati dengan ciri-ciri yang mengindikasikan sebagai ahlinya. Oleh karena itu, tidak semua orang yang menyatakan dirinya mukmin otomatis dapat merasakan manisnya iman itu.
  2. Cinta Allah, kemudian disusul cinta Rasul-Nya shallallahu ?alaihi wasallam merupakan ciri terpenting yang harus dimiliki oleh siapa saja yang ingin merasakan lezatnya iman. Cinta Allah dan cinta rasul-Nya tidak boleh diungguli oleh cinta kepada siapa pun selain keduanya. Bahkan cinta Allah dan Rasul-Nya merupakan parameter dan tolok ukur bagi kecintaan terhadap diri sendiri, orang tua, anak, dan seluruh manusia.
  1. Suatu ketika Umar radhiyallahuanhu berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari pada segala sesuatu apa pun, kecuali diriku." Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Tidak demikian, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sehingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri." Maka Umar menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya engkau sekarang lebih aku cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi mejawab, "Sekarang hai Umar," (telah sempurna imanmu). Anas radhiyallahuanhu juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, artinya,
    "Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sehingga aku lebih dia cintai dari pada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia." Dan
     konsekuensi dari cinta ini adalah memenuhi apa yang diperintahkan Allah dan Rasul serta menjauhi apa yang dilarang Allah dan Rasul dengan penuh rasa rela dan ketundukan yang utuh, sebagaimana firman Allah subhanahu wataala, Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.? (QS. 3:31)
  2. Di antara sebab-sebab yang dapat mengantarkan seseorang memperoleh kecintaan Allah -setelah melakukan kewajiban- adalah sebagaimana yang disampaikan al-Imam Ibnul Qayyim, yaitu:
    • Membaca al-Qur'an dengan merenungkan dan memahami maknanya.
    • Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wataala dengan melakukan amalan sunnah.
    • Terus menerus berdzikir kepada Allah dalam segala kondisi, baik dengan hati, lisan atau perbuatan.
    • Mendahulukan apa yang dicintai Allah dibanding yang dicintai diri sendiri.
    • Berteman dengan orang-orang yang jujur mencintai Allah dan sesama muslim.
    • Menjauhi segala perkara yang dapat menghalangi antara hati dengan Allah.

  1. Mencintai Nabi shallallahualaihi wasallam adalah merupakan tuntutan dari kecintaan terhadap Allah subhanahu wataala. Ia berada di atas kecintaan terhadap seluruh manusia. Di antara ciri-cirinya adalah:
    • Beriman bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam adalah utusan Allah, yang diutus kepada seluruh umat manusia, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagai penyeru ke jalan Allah dengan membawa cahaya yang terang benderang.
    • Bercita-cita untuk bertemu dengan beliau dan khawatir jika tidak dapat bertemu beliau.
    • Menjalankan perintah-perintah beliau dan menjauhi larangan beliau, karena orang yang mencintai seseorang, maka akan menaatinya. Jangan sampai tertipu dengan klaim dusta mencintai Rasulullah shallallahuaihi wasallam namun tidak menjalankan perintahnya, bahkan menerjang larangannya.
    • Menolong sunnahnya, mengamalkan, menyebarkan, membela dan memperjuangkannya.
    • Banyak bershalawat dan bersalam kepada Rasulullah shallallahualaihi wasallam.
    • Berakhlaq dengan akhlaq beliau dan beradab dengan adab-adab beliau.
    • Mencintai sahabat-sahabat beliau dan membela mereka.
    • Mengkaji perjalanan hidup dan sirah beliau serta mengetahui keadaan dan berita-berita yang menyangkut beliau.

  1. Selayaknya jalinan seorang muslim dengan muslim yang lain dibangun di atas landasan cinta kepada Allah subhanahu wataala. Karena jenis cinta seperti ini memiliki keutamaan yang amat besar, dan mendatangkan pahala yang banyak. Imam al-Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahualaihi wasallam tentang tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
    1.    Pemimpin yang adil.
    2.    Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya.
    3.    Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid.
    4.    Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah.
    5.    Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’.
    6.    Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
    7.    Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.”
    (HR. Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712)
  2. Saling mencintai karena Allah mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan, di antaranya:
    • Membantu memenuhi kebutuhan saudaranya dan mau melakukan itu, sebagaimana di dalam hadits, "Sebaik-baik orang adalah yang paling memberi manfaat kepada orang lain."
    • Tidak membicarakan aib, meminta maaf ketika melakukan kesalahan, sebagaimana diri kita juga senang jika aib kita tidak dibicarakan, maka mereka pun demikian.
    • Tidak membenci, tidak iri dan dengki terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada saudara kita.
    • Mendoakan saudara kita -tanpa sepengetahuannya- baik ketika dia masih hidup atau setelah meninggal dunia. Karena doa yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab, begitu pula bagi yang berdoa.
    • Bersegera mengucapkan salam jika bertemu, bertanya tentang kabar dan keadaanya, tidak bersikap sombong dan merasa tinggi.

  1. Kekufuran adalah hal yang dibenci Allah. Maka seorang mukmin wajib membencinya sebagaimana benci jika dilemparkan ke dalam api, bahkan lebih benci lagi. Orang kafir juga dibenci oleh Allah, maka orang mukmin juga harus membencinya disebabkan oleh kekufurannya yang akan menggiring masuk neraka. Atas dasar ini maka bersikap loyal (berwala') kepada orang kafir adalah merupakan sebab dari kemurkaan Allah subhanahu wataala dan kemarahan-Nya. Di antara bentuk-bentuk sikap loyal kepada orang kafir adalah mencintai mereka, menolong mereka dalam rangka memerangi orang mukmin, bermudahanah (berbasa-basi, tidak mengingkari kesesatan dan kekeliruan mereka sehingga terkesan membenarkan-red), bersahabat atau mengambil mereka sebagai teman akrab dan mengangkat mereka menjadi orang kepercayaan serta orang dekat (bithanah). Padahal Allah subhanahu wataala telah berfirman, artinya,
    Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)? (QS. 3:28)
Semoga kita menjadi orang-orang yang dikaruniai kenikmatan iman ini dan menyatukan kita semuabersama orang-orang yang telah menikmati manisnya iman di Jannah-Nya.Amin.
 Wallahu a’lam


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...