Thursday 19 February 2015

Berlemah Lembut Terhadap Anak-anak Kita

http://1.bp.blogspot.com/-L31L8W701gw/UDoL4uKQ5sI/AAAAAAAAQKI/Qcw9W-NFPwo/s640/muj.jpg
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekerasan dan tidak pula Dia berikan kepada yang lainnya.’’ (HR Muslim).

Memaknai hadis tersebut,  Imam Nawawi menjelaskan, kelembutan adalah seutama-utamanya akhlak dari seluruh akhlak mulia lainnya. Dengan kelemahlembutan itulah Rasulullah SAW bisa sukses besar dalam menjalankan misi dakwahnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS. 3: 159).

Kita sering mendapati keadaan dimana rasa sabar kita begitu di uji ketika menghadapi anak-anak kita. Kadang muncul rasa marah dalam hati kita. Ketika marah inilah kekuatan seseorang di uji apakah dia bisa marah karena Allah atau hanya marah mengikuti hawa nafsunya, hal ini sangat penting bagi para pendidik anak-anak kaum muslimin atau kita sebagai orang tua bagi anank-anak kita.

Namun sebelumnya ijinkan saya membahas satu sifat dimana Allah memberikanya dalam akhlak Rasulullah sehingga beliau mampu dengan sukses mampu mendidik kaum muslimin generasi pertama menjadi generasi terbaik umat ini. Yaitu kelemah lembutan.

Fitrah manusia cenderung kepada kebaikan dan mencintai kelembutan. Akan tetapi, karena ego, hawa nafsu atau kepentingan sesaatlah, banyak manusia yang kemudian berubah menjadi orang yang kasar, beringas, dan kejam. Padahal, pada dasarnya ego dan  hawa nafsu hanya akan memberikan ketidak baikan saja baik bagi urusan dunia maupun akhirat. Jadi wajar jika sikap kasar, beringas, dan kejam tidak akan mendapat ridha dari Allah, akan tetapi Allah sangat menyukai kelembutan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut.

Rasulullah bersabda , “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Syarah Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi mengatakan, hadis itu menjelaskan tentang perintah agar umat Islam bersikap lemah lembut. Baik dalam ucapan maupun perbuatan. Hal demikian melahirkan hubungan harmonis antara pendidik dan yang dididik. Yang akhirnya akan menanamkan pula sikap kelembutan dalam hati anak-anak kaum muslimin. Bahkan terhadap seorang penguasa zalim sekelas Fir’aun pun Allah memerintahkan Nabi Musa berkata lemah lembut. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.’’ (QS 20 : 44) lalu bagaimana dengan anak-anak didik kita.

Namun kelemah lembutan dalam mendidik ini juga harus di tempatkan pada tempatnya yang sesuai, jika kita melihat apa yang dilakukan Rasulullah secara Holistik maka kita akan mendapati beberapa keadaan dimana Rasulullah bersikap tegas dalam mendidik, misalnya kejadian yang diceritakan oleh Abu Hurairah ra., ia berkata: Hasan bin Ali mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkan ke dalam mulutnya. Rasullulah SAW bersabda : ‘ Wah…wah….., buanglah kurma itu Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat ?” (HR.Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menjelaskan kepada kita bagaimana cara Rasulullah mendidik cucunya yang bernama Hasan bin ‘ Ali untuk tidak makan makanan yang haram . Ketika Rasulullah melihat Hasan memasukkan ke dalam mulutnya kurma yang dia ambil dari tumpukan kurma zakat , beliau segera melarang dan menyuruh memuntahkannya . Bersamaan dengan itu , Rasulullah saw, mengatakan kepada cucunya bahwa keluarga beliau dilarang makan barang zakat . 

Rasulullah mendidik Hasan bin ‘Ali secara praktis untuk memuntahkan kurma yang ada di mulutnya dan menjelaskan kepanya bahwa kurma tersebut adalah hasil zakat yang haram dimakan oleh keluarga Rasullulah saw. Dengan didikan secara langsung tersebut , anak menjadi sadar bahwa makanan yang diharamkan oleh agama harus dijauhi, bahkan kalau sudah masuk ke mulut harus dimuntahkan dengan cara yang tegas.

Hal ini menggambarkan keindahan akhlak Rasulullah bagaimana menerapkan kelembutan dalam mendidik secara tepat. Begitu juga beliau juga menganjurkan kaum muslimin mendidik anak-anak  kemampuan dasar berjihad seperti berkuda, memanah dan berenang. Hal ini menjadi gambaran bahwa kelembutan dalam mendidik tidak menafikan ketegasan dalam hal-hal tertentu. Wallahu a’lam.

Monday 12 January 2015

Prioritas Dalam Belajar

https://kerecek.files.wordpress.com/2012/02/al_quran_by_durooob.jpg
Apa yang menjadi prioritas utama dalam pengajaran dan mana yang harus di akhirkan. Prioritas dalam pendidikan ini menjadi saya anggap penting karena menurut kami sudah banyak yang mengajarkan keislaman namun sedikit yang mampu melahirkan generasi yang komit pada keislaman. Maka kita perlu mencari formula yang tepat untuk hal ini.
Semua kaum muslimin sepakat bahwasanya umat terbaik umat ini adalah generasi para sahabat kemudian diikuti dua generasi berikutnya. Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahualaihi wa sallam. Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari Imran bin Hushain radhiyallahuanhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam bersabda:
Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang tertinggi (as-salafu ash-shalih).
Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan pengamalan Islam yang benar maka wajib merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih). Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka pun ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
  Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengikuti para sahabat. Berjalan di atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang telah mereka perbuat. 
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: 
 Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)

Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, terkait ayat di atas disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-perkataannya, dan keyakinan-keyakinan (i’tiqad) mereka.
Dan jika kita ingin mendidik generasi menjadi  generasi terbaik maka kita juga harus mencontoh para pendahulu kita dalam mendidik anak-anak mereka. Seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, beliau berkata : “Dan tidak akan baik umat pada akhir zaman ini melainkan apabila mereka kembali sebagaimana ulama pertama memperbaiki umat."

Iman adalah prioritas dalam dakwah nabi, sehingga dakwah di periode mekah adalah dakwah tauhid.  Ayat-ayat yang turun pun lebih menekankan akidah. Begitu juga dalam pendidikan anak-anak kita. Begitu juga pernyataan beberapa sahabat yang mengkritik para tabiin dalam belajar. Generasi sahabat itu lebih baik dari pada tabiin karena mereka didik langsung oleh pendidik terbaik.

‘Abdullah bin ‘Umar r.a berkata, “Kami telah hidup sekian lama dari usia kami, dan salah seorang dari kami diberi iman sebelum Al-Qur’an. Sebuah surah turun kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia pun mempelajari apa yang halal, haram, perintah, larangan, dan hal-hal lain yang harus diperhatikan darinya, sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an di hari ini. Kemudian, sungguh saya telah melihat beberapa orang di hari ini, dimana salah seorang dari mereka telah diberi Al-Qur’an sebelum iman. Maka, dia pun membaca apa yang ada diantara pembukaannya sampai penutupnya, namun dia tidak tahu-menahu apa yang diperintahkannya, apa yang dilarangnya, dan apa yang harus dia perhatikan darinya. Dia membacanya sebagaimana berjatuhannya kurma jelek ketika pohonnya diguncangkan.( Riwayat al-Baihaqi dalam Sunan-nya, no. 5496, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, ath-Thabrani dan ath-Thahawi. Al-Hakim mengeluarkannya dalam al-Mustadrak, no. 101. Beliau berkata, “Ini hadits shahih ‘ala syarth asy-syaikhaini, setahu saya tidak ada ‘illat di dalamnya, dan mereka berdua tidak mengeluarkannya.” Ad-Dzahabi berkata dalam at-Talkhish, “Sesuai syarth al-Bukhari dan Muslim, dan tidak ada ‘illat padanya.” Ath-Thabrani mengutipnya dalam Mu’jam al-Awsath, dan menurut al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id, no. 755, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Awsath, dan para perawinya adalah perawi shahih.” Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Musykil al-Atsar, no. 1253.)

Hudzaifah bin al-Yaman berkata, “Sesungguhnya kami adalah kaum yang telah diberi iman sebelum kami diberi Al-Qur’an, sedangkan kalian adalah kaum yang diberi Al-Qur’an sebelum kalian diberi iman. “(Riwayat al-Baihaqi dalam Sunan-nya, no. 5497)

 Jundub bin 'Abdillah bin Sufyan al-Bajali  berkata “Dulu kami adalah anak-anak kecil yang sudah cukup kuat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, kami pun mempelajari iman sebelum Al-Qur’an, kemudian kami mempelajari Al-Qur’an (setelah itu). Maka, semakin bertambahlah iman kami. Sementara kalian di hari ini, kalian mempelajari Al-Qur’an sebelum iman.” ( Riwayat al-Baihaqi dalam Sunan-nya, no. 5498)

Sedangkan keimanan ini menurut Rasulullah ada cabang-cabangnya, jika sempurna cabang-cabangnya maka kokohlah batangnya.
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pembelajaran Keimanan ini nanti akan mengantarkan seorang lebih dalam tentang Allah yang nantinya akan menjadi motivasi setiap manusia dalam beraktivitas termasuk belajar. Wallahu a'lam

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...