Sunday 10 January 2016

Zaman Edan

Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya banyak ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga .

Dari pengkajian berbagai sumber dan keterangan, umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M. Catatan yang paling terkenal adalah bait berikut ini.

pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha

sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada

Konsep jaman edan ini sebagaimana di ceritakan jayabaya mirip dengan kembalinya jaman jahiliyah.

Al Quran memberikan gambaran kapan zaman dinamakan jahil atau dalam kontek ini zaman edan versi jayabaya.

1. Mengakui Allah sebagai Rabbnya tapi tidak mau menyembahNya.

( وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَسَخَّرَ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ ﴿٦١


"Dan jika engkau bertanya kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Pasti mereka akan menjawab, "Allah." Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)
(Q.S. Al Ankabut : 61)

Atau dalam bahasa lain  percayakepada Allah tapi tidak menaruh kepercayaan kepada Allah  sebagai Dzat Yang Diibadahi 
.   sombong / arogan, menolak kebenaran dan menghinakan manusia.2

إِذْ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ ٱلتَّقْوَىٰ وَكَانُوٓا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا ﴿٢٦﴾
"Ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin; dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa dan mereka lebih berhak dengan itu dan patut memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. " (Q.S.Al Fath : 26)

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mendefinisian kesombongan dengan sabdanya:


الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Sombong  ialah tidak menerima kebenaran dan menghina sesama manusia. ( HR. Muslim )

Menurut Raghib Al Asfahani Ia mengatakan, “Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri . Memandang dirinya lebih besar dari pada orang lain, Kesombongan yang paling parah  adalah sombong kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran dan  angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatanataupun mengesakan-Nya”. ( Fathul Barri )

3.  jahilyah pada diri wanita.
Wanita berperan sebagai provokator, objek sexual bukan subyek sosial , tidak betah berada di rumah (tidak bangga jadi istri & ibu ) dan suka tabaruj. Allah berfirman :

وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ ﴿٤﴾
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). " (Q.S.Al Lahab:4)

Dalam surat di atas Allah menceritakan istri Abu Lahab yang menjadi provokator keburukan dalam masyarakat jahiliyah.

Allah juga berfirman :

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِىِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ ۚ إِنِ ٱتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِٱلْقَوْلِ فَيَطْمَعَ ٱلَّذِى فِى قَلْبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ﴿٣٢﴾
"Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik."

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ﴿٣٣﴾
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
(Q.S.Al Ahzab :32-33)

4. memilih hukum selain Allah

أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(Q.S. Al Maidah : 50 )

Itulah indikator-indikator jaman jahiliyah, maka jika indikator-indikator itu sudah ada dalam jaman kita saat ini maka  itulah jaman edan.

Ingatlah pesan Jayabaya bahwa orang yang beruntung pada zaman edan adalah
beja-bejane sing lali,wong kang eling lan waspadha.

Orang yang lupa akan hakikat hidupnya sebagian akan mendapatkan keuntungan. Namun keuntungan yang di dapat adalah keuntungan yang bersifat sementara. dan orang yang paling beruntung adalah orang yang eling lan waspada, eling memiliki arti ingat atau dalam bahasa arab dzikr. kata ahlu dzikr atau ahli eling dalam al quran dikatakan sebagai ulama sebagaimana dinyatakan dalam surat berikut ini


فَاسْألُوا أهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang ahlu dzikir (ulama) jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl : 43)
Ahlu Dzikr adalah Ahlul Quran karena salah satu nama Al Quran adalah Ad Dzikr atau bisa di sebut ulama'.
Sedangkan sikap waspada adalah sikap orang bertaqwa Ad Dzikr atau al Quran hanya bisa dinikmati oleh mutaqin atau orang yang mawas diri dan waspada.
Ad Dzikr ini, hanya bisa dirasakan dan dimanfaatkan oleh orang-orang beriman dan bertaqwa saja. Sedangkan bagi orang-orang kafir, Al Qur’an ini hanya akan menambah kerugian bagi mereka. Allah swt berfirman :
<< وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَارًا >>
” Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” ( QS Al Israa’ : 82 )
Dari ayat di atas memberikan pesan kepada kita bahwa seorang muslim yang tidak bisa merasakan atau menikmati petunjuk di dalam Al Qur’an, atau tidak bisa Al Qur’an sebagai penerang dan obor di dalam menghadapi berbagai tantangan di dalam kehidupan dunia ini, maka dapat dipastikan bahwa keimanan dan ketaqwaannya berada dalam kadar yang rendah. Oleh karenanya, dia harus senantiasa memperbaharui keimanan dan ketaqwaannya, dia harus berusaha sekuat mungkin untuk merubah hatinya agar luluh dan lunak dengan ayat- ayat Al Qur’an.

Salah satu makna At Taqwa adalah apa yang diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwasanya beliau bersabda :
<< لا يبلغ العبد أن يكون من المتقين حتى يدع ما لا بأس به حذرا مما به بأس >>
” Bahwasanya seorang hamba, tidaklah akan bisa mencapai derajat ketaqwaan sehingga ia meninggalkan apa yang tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal- hal yang dilarang ” ( Hadist ini Hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi no : 2451 , Ibnu Majah no : 4215, Baihaqi : 2/ 335) .
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang Taqwa . Ubai balik bertanya : ” Apakah anda pernah melewati jalan yang banyak durinya ” ? ” Pernah ” Jawab Umar. Ubai bertanya kembali : ” Bagaimana ketika anda melewatinya ” ? Umar menjawab : ” Saya bersungguh- sungguh serta berhati- hati sekali supaya tidak kena duri ” . Ubai akhirnya mengatakan : ” Itulah arti Taqwa yang sebenar- benarnya. ”
Dari hadist an Atsar Umar ra,kita bisa menyimpulkan , bahwa hakikat taqwa adalah kesungguhan dan kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Allah swt. Orang yang bertaqwa adalah orang yang sungguh –sungguh untuk menjauhi segala larangan Allah dan berhati- hati sekali supaya tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada ketaqwaan tersebut , kadang- kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang, jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.
Dalam hal ini, seorang penyair yang bernama Ibnu Al Mu’taz pernah menulis syair-syairnya :
خل الذنوب صغيرها وكبيرهـا ذاك التقــي
واصنع كماش فوق أر ض الشوك يحذر ما يرى
لا تحقـرن صغـيرة إن الجبال من الحصـي
” Tinggalkan dosa-dosa kecil dan yang besar, dan itulah taqwa
Berbuatlah bagai orang yang melangkah di atas tanah berduri , berhati-hati dengan apa yang dilihat .
Janganlah engkau meremehkan dosa kecil, sesungguhnya gunung itu berasal dari batu kerikil. ”
Abu Darda’ sempat juga bersenandung dengan syairnya :
يريد المرء أن يؤتي مناه ويأبـي الله إلا مـا أرادا
يقول المرء فائدتي ومالي وتقوى الله أفضل ما استفدا
” Semua orang mengingankan agar keinginannya terkabulkan, padahal Allah tidaklah akan menentukan kecuali apa yang dikehendaki-Nya
Semua orang mengatakan : keuntungan-ku dan harta-ku, padahal taqwa Allah adalah keuntungan yang paling utama “
Adapun sifat- sifat orang –orang yang bertaqwa secara lebih terperinci telah disebutkan oleh Allah swt pada ayat berikutnya :
Yang pertama adalah :
<< الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ >>
” Yaitu orang- orang yang beriman kepada yang ghoib .”
MAKNA AL- IMAN
Iman di dalam Al Qur’an mempunyai beberapa arti. Kadang Al Iman berarti pembenaran. (Amana–yu’minu) yaitu membenarkan atau mempercayai, sebagaimana firman Allah swt di dalam surat Yusuf :
<< وَمَا أَنتَ بِمُؤْمِنٍ لِّنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ >>
” Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”( QS Yusuf : 17 )
Begitu juga , jika keimanan itu disertai dengan menyebutkan amal sholeh ,maka artinya adalah pembenaran , sebagaimana dalam firman Allah :
<< إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ >>
” Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. ( QS Al Tien : 6 )
Adapun Al Iman di dalam Al Qur’an , jika disebutkan sendiri secara mutlak, maka artinya adalah : ” Keyakinan di dalam hati, perkataaan yang diucapkan dengan lisan serta amal dengan anggota badan. Ini adalah pengertian Iman secara istilah menurut madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Dan pengertian seperti ini sudah menjadi kesepatan para ulama salaf.
Sebagian firqah menyelesihi pengertian Iman yang telah diterangkan di atas, seperti Firqah Murjiah. Mereka mengartikan Iman hanya sebatas keyakinan di dalam hati, tanpa harus disertai amal dengan anggota badan. Pengertian ini tidak benar dan menyesatkan.
Sebagian ulama menafsirkan Al Iman dengan amal. Dalam buku ” As Shohih’ nya, Imam Bukhari menulis sebuah bab dengan judul : ” Amal adalah sebagian dari keimaman “ . Artinya Iman itu tidak bisa dilepaskan dari amal perbuatan. Pernyataab Ini membantah pendapat Firqah Murjiah di atas .
Oleh karenanya, sebagian ulama tafsir mengartikan Beriman kepada yang ghoib dalam surat Al Baqarah ini dengan makna : ” orang- orang yang takut kepada Allah ” , ini sesuai dengan firman Allah swt :
<< إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ >>
” Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. ” ( QS Al Mulk : 12 )
<< وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى وَهَارُونَ الْفُرْقَانَ وَضِيَاء وَذِكْرًا لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ >>
” Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat ” ( QS Al Anbiya’ : 49 ) .
<< وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَن بِالْغَيْبِ وَجَاء بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ >>
” Dan didekatkanlah syurga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka).
Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya, (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat ” ( QS Qof : 31-33)
Ketiga ayat ayat di atas , menafsirkan ayat 2 dan 3 dari surat Al Baqarah tentang pengertian orang- orang yang bertaqwa. Dan juga menafsirkan makna Iman dengan takut kepada Allah swt, sebagaimana pada ayat- ayat yang digaris bawahi.
Al Khosyah yang berarti takut terhadap adzab Allah , merupakan sari atau inti dari keimanan dan keilmuan. Allah swt berfirman :
<< إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء >>
” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. ” ( Qs Fathir : 28 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa tanda dari keimanan dan keilmuan yang benar adalah rasa takut kepada Allah swt . Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa yang dimaksud dari ulama dalam surat Fathir di atas adalah ulama syare’ah dan ulama pada bidang- bidang lain, seperti ulama fisika, biologi , kedokteran dan lain-lainnya, selama ilmunya mampu mengantarkannya kepada rasa takut kepada Allah swt.
Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan : ” Hakikat ilmu bukanlah dengan banyak menghafal hadist, akan tetapi hakikat ilmu adalah banyaknya rasa takut kepada Allah swt.
Pernyataan tersebut dikuatkan juga oleh pernyataan Sufyan At Tsauri : ” Sesungguhnya ilmu itu dituntut agar dengannya bisa bertaqwa kepada Allah, dan sesungguhnya ilmu itu diutamakan dari pada yang lainnya karena dengan ilmu tersebut bisa bertaqwa kepada Allah . “
Perkataan Ibnu Masu’d ra, dan Sufyan At Tsauri di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa hakikat ilmu yang sebenarnya adalah ilmu yang mengantarkan kepada kita kepada rasa taqwa kepada Allah swt .
MAKNA AL- GHOIB
Adapun makna ghoib , mencakup semua apa yang tidak dilihat oleh manusia seperti Allah , Malaikat, Hari Akhir, Syurga, Neraka, Qadha dan Qadar , Jin dan lain-lainnya.
Sebagian ulama mengartikan ” Al- Ghoib ” dengan hati .
Menurut pengertian ini, maka makna : ” beriman dengan ghoib ” yaitu beriman kepada Allah dengan hati dan keikhlasan, karena hati dan keikhlasan tersebut termasuk sesuatu yang ghoib dan tidak nampak di hadapan manusia. Oleh karenanya, orang- orang munafik tidak termasuk golongan orang- orang yang beriman dengan al ghoib, karena mereka mengaku beriman dengan lisannya saja, tetapi hatinya mengingkari dan mengkafirinya.
KEUTAMAAN BERIMAN KEPADA YANG GHOIB
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa beliau pernah berkata : “ Tidak ada yang lebih utama bagi seseorang yang beriman dari keimanannya kepada yang ghoib. ” , kemudian beliau membaca ayat 1- 5 dari surat Al Baqarah di atas .
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah Al Anshori, salah satu sahabat Rosulullah saw, bahwasanya ia berkata : ” Pada suatu ketika, kita makan siang bersama Rosulullah saw , pada waktu itu terdapat juga Abu Ubaidah bin Jarrah, beliau bertanya kepada Rosulullah saw : ” Wahai Rosulullah saw, apakah ada generasi yang lebih baik dari generasi kita ? Kita beriman kepada-mu dan berjihad bersama-mu . Rosulullah saw bersabda : “ Benar ada, yaitu generasi yang datang sesudah kalian, mereka beriman kepada-ku, sedang mereka belum pernah melihat-ku .” ( HR Ahmad, Thobari Abu Ya’la , Ad Darimi no : 2744 ) , Thohawi dalam ” Musykil ” : 4/ 175 , Al Hakim : 4/ 84 )
Hadist di atas menunjukkan keutamaan beiman kepada yang ghoib. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa generasi sesudah sahabat lebih utama dari ada generasi sahabat. Karena Rosulullah saw sendiri pernah bersabda : << خير القرون قرني ثم الذي يلونهم ثم الذي يلونهم >>
” Sebaik- baik generasi adalah generasi yang hidup pada masa-ku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya ”
Hadist ini menunjukkan bahwa generasi yang paling baik dan yang paling utama adalah generasi sahabat Rosulullah saw, kemudian generasi sesudahnya (yaitu tabi’in) , kemudian generasi sesudahnya ( yaitu tabi’i tabi’in ).
Kedua hadist di atas kelihatannya bertentangan, namun kalau kita pahami dengan baik, niscaya tidak ada pertentangan. Bagaimana cara menjama’ atau menggabungkannya ? Kita katakan : bahwa hadits pertama menunjukkan salah satu keutamaan generasi sesudah sahabat yaitu beriman kepada Rosulullah saw secara ghoib, karena mereka tidak melihatnya. Tetapi keutamaan generasi sahabat jauh lebih besar dan lebih banyak, karena mereka pertama kali yang beriman kepada Rosulullah saw, mereka adalah orang- orang yang langsung berinteraksi dengan wahyu dan mereka adalah orang- orang yang berjasa besar di dalam mempertahankan dan menyebarkan ajaran Islam ini kepada generasi sesudahnya hingga akhir zaman.
maka beruntunglah wong kang eling lan waspada. Demikian tafsir sederhana terhadap karya sastra yang indah ini..

Hukum menyentuh&membaca Al Qur’an bagi orang berhadats.


Menyentuh mushaf
Ada 2 pendapat dalam masalah bolehkah seseorang yang berhadats menyentuh mushaf.
Tidak boleh(haram), ini adalah pendapat  madzhab yang empat, mereka berdalil dengan surat yang dikirim rasulullah kepada Amr bin Hazm yang berbunyi,”tidak menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (HR Malik dalam al muwaththa’, dengan drajat hasan ligairihi) hal ini menunjukkan keharaman menyentuh mushaf ketika berhadats.
Boleh, ini adalah pendapat madzhab Zhahiri. Ibnu Hazm berkata ,”Membaca Al Qur’an,sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir diperbolehkan baik dalam berwudhu ataupun tidak dan boleh dilakukan oleh orang yang sedang junub dan haid.” Pendalilannya adalah bahwasanya membaca al qur’an dan dzikir adalah perkara mustahab, berpahala bagi yang melakukan maka bagi yang melarangnya harus mendatangkan dalil dari al qur’an atau hadits larangannya. Adapun menurut beliau dalil tentang larangan menyentuh mushaf tidak ada yang shahih sedangkan hadits di atas memang diterima akan tetapi kata thaahir/orang yang suci adalah kata mustarak( memiliki beberapa makna yang sama kuat) thaahir bisa berarti suci dari hadats besar/ hadats kecil, bisa juga berarti seorang mukmin (bukan kafir, karena kekafiran adalah kekotoran) atau suci dari najis. Untuk menentukan  salah satu makna maka di butuhkan dalil.
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang mengharamkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats, alasannya.
Pertama:  hadits di atas menunjukkan haramnya menyentuh mushaf, dan tidak bisa disangkal dengan alasan ‘mustarak’nya kata thaahir. Sebab tidak ada salahnya jika hadits tersebut di pahami untuk seluruh makna. Dengan demikian orang musyrik, orang berhadats besar & kecil haram menyentuh mushaf. Demikian juga tangan yang bernajis.
Ibnu taimiyah berkata,” boleh menetapkan hukum untuk semua makna yang terkandung dalam kata mustarak. Hal ini di bolehkan oleh mayoritas ahli fiqih dan ahli kalam.”
Kedua:  hal ini diamalkan para sahabat dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat dan tabi’in tentang haramnya menyentuh mushaf bagi orang berhadats.(lihat kitab muhtashar ulama,al mughni, syarah umdatul ahkam ibnu taimiyah)
Ketiga: berdasarkan firman Allah:

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ ﴿٧٩﴾

" tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Waqiah:79)
Benar memang maksud ayat ini adalah lauhul mahfudz yang ada di langit. Akan tetapi ayat ini sama dengan yang ada dalam surat ‘abasa
sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,. Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan,yang ditinggikan lagi disucikan. di tangan Para penulis (malaikat),. yang mulia lagi berbakti. (‘Abasa:11-16)

Bahwa al qur’an yang berada di lauhul mahfudz sama seperti al qur’an yang ada di lembaran-lambaran kertas, batu kayu, kulit kain dll. Jika yang di lauhul mahfudz tidak boleh di sentuh kecuali oleh orang orang yang suci maka demikian juga dengan al qur’an yang ada d bumi, karena kemuliaan al qur’an itu sama baik di bumi atau di langit.
Orang yang berhadats  disini diperbolehkan menyentuh setelah bersuci dari hadats.
Lalu bagaimana menyentuh mushaf al qur’an dengan pembatas. Maka terdapat perselisihan di antara ulama.ada ulamayang mebolehkan dan ada yang tidak. Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh  mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf.Seperti yang digunakan pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.
Sedang hukum membawa mushaf al qur’an ketika berhadats tanpa menyentuhnya, misalnya di dalam tasnya maka pendapat yang tepat dalam hal ini adalah dibolehkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyentuh secara langsung, inilah pendapat hasan bashri, atho’, assya’bi , al qosim al hakam dan hammad.
Boleh Menyentuh kitab-kitab tafsir dalam keadaan berhadats baik kecil maupun besar, dalilnya adalah surat yang dikirimkan kepada heraklius yang terdapat ayat al qur’an yang diriwayatkan dalm shahih bukhari dan muslim. Padahal ketika Rasulullah mengirim surat itu, pasti dia yakin surat itu akan di sentuh oleh orang kafir yang tak pernah bersuci dari hadats.
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak al qur’annya daripada kajian tafsirnya, begitu pula jika isinya sama banyaknya, menurut pendapat yang kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsirnya maka di bolehkan untuk menyentuhnya. An Nawawi dalam al majmu’  syarah muhadzab mengatakan,” jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat al qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Hal tersebut juga dibolehkan untuk kitab hadits dan fiqih yang terdapat tulisan ayat al qur’an. Begitu juga hukum menyentuh Al qur’an terjemah, karena al qur’an terjemah dihukumi sama dengan kitab tafsir yang memiliki tafsir lebih banyak daripada al qurannya. Karena terjemah dalam bahasa selain arab, kadang satu kata dalam bahasa arab harus diterjemahkan dalam beberapa kata,belum lagi catatan kaki dan keterangan-keterangan lain. Maka hukum menyentuh al qur’an terjemah sama dengan menyentuh kitab tafsir.


Hukum membaca Al Qur’an bagi orang berhadats.
Telah sepakat seluruh ulama akan kebolehan membaca al qur’an tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil. Akan tetapi ada perbedaan pendapat hukumnya untuk orang haid,nifas&junub. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang melarang dengan beberapa syarat dan ada yang membolehkan.
, Drs. H. Sholahudin Al-aiyub, M.Sc dalam situs MUI menerangkan  “orang yang sedang haidh atau nifas adalah termasuk orang yang sedang menanggung hadats, oleh karenanya tidak boleh membaca al-Quran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi.
Yang perlu diperhatikan bahwa pengertian “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat al-Quran melalui mulut, baik dengan melihat mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Sedangkan apabila orang yang sedang haidh/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Quran kemudian membacanya dalam hati, maka yang demikian itu dibolehkan.
Memang, ada pendapat dalam mazhab Malikiyah yang membolehkan bagi orang haidh untuk membaca al-Quran, dengan alasan bahwa Sayyidatina Aisyah R.A. pernah membaca al-Quran dalam keadaan sedang haidh. Namun pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar (jumhur) ulama, dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh sayyidatina Aisyah RA tersebut (jika riwayatnya dianggap shahih) bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca al-Quran bagi orang yang sedang haidh, karena bertentangan dengan sabda Nabi di atas.”
Menurut kami, pendapat yang kuat adalah yang membolehkan membaca tanpa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil, haid, nifas dan tidak boleh bagi orang junub. Sedangkan orang junub tidak bisa di samakan dengan orang haid dan nifas karena waktunya yang singkat dan bisa segera bersuci dari hadats dengan mandi, atau tayamum. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan ali bin abi thalib, beliau berkata,” Rasulullah biasa membacakan al qur’an kepada kami dalam keadaan apapun selama beliau tidak junub.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud,Ibnu Majah, An Nasa’i dan Ahmad, menurut At Tirmidzi hadits ini hasan shahih, sedangkan menurut ibnu sakan, Abdul Haq dan Al Baghawi hadits ini shahih)
juga dalam lafadz lain .,”tidak ada yang menghalangi beliau (Rasulullah)membaca  Al Qur’an selain Junub.”( HR Ahmad dalam al musnad dan dinilai shahih oleh Ahmad Syakir)
Wallahua’lam
(diambil dari berbagai sumber,Ta’ Rauf Yusuf)



Thursday 31 December 2015

Kebaikan-Kebaikan Kecil

Ketika dalam perjalanan pagi saya beserta istri berangkat kerja, tiba-tiba ban sepeda motor saya bocor. Keadaan inimemaksa saya mencari tempat tambal ban. Setelah ijin telat lewat sms, sayamendorong sepeda motor di iringi istri dan anak saya. Akhirnya tibalah saya dirumah sebuah tambal ban. Tambal ban ini terletak di garasi rumah seorang laki-laki yang sudah lanjut usia, dan tukang tambal ban yang menyambut saya adalah anak ke-12 dari sang kakek.

Saya mengenal sang kakek sudah lama, kyai kampung saya pernah mengangkat pecakapan dengan sang kakek dalam pengajian tentang ketidakpercayaan sang kakek akan hal-hal yang ghaib termasuk alam kubur, akhirat dan Allah. Walaupun sang kakek ini ber KTP Islam namun dia tidak pernah melaksanakan ibadah sama sekali. Profesi beliau dulu adalah penjual jajanan keliling ketika ada keramaian.

Namun ketika sang kakek keluar, penampilanya sudah sangat berbeda dengan penampilanya dulu. Bersarung, berpeci putih dan mengenakan baju muslim. Ah.. kontras sekali dengan keadaan terakhir saya bertemu dan dengan apa yang di ceritakan sang kyai saya. Rasa penasaran itu yang membuat saya mendekati beliau dan menjadikan pagi itu menjadi pagi yang luar biasa.

Beliau menceritakan tentang ke 12 anaknya yang beliau asuh dengan penuh susah payah dengan usaha beliau berjualan memikul jajanan dari keramaian satu dengan yang lain. Tapi beliau kini bersyukur bahwa ke 12 anaknya kini sudah mandiri dan sudah menikah semua. Beberapa anaknya bahkan kini telah menjadi pejabat di luar jawa. Dan ternyata setahun yang lalu beliau sudah berhaji di hajikan oleh salah satu anaknya dan setelah haji itulah menjadi titik tolak perubahan dalam diri beliau. Kata beliau setelah berhaji dia tidak pernah tertinggal sholat berjamaah di masjid.


Menurutku ini adalah satu prestasi yang luar biasa. Karena penasaran akhirnya saya bertanya lebih dalam tentang perjalnan hidup sang kakek. Salah satunya beliau menceritakan amalan yang menurut beliau dapat menjadi wasilah dimudahan oleh Allah dalam mendidik anak dan kini di mudahkan dalam beibadah. Amalan itu ialah menyingkirkan gangguan di jalan. Setiap berjalan baik ketika memikuldagangan ataupun tidak dan dia menemukan rintangan yang menghalangi jalan,maka belliau menyempatkan menyisihkan halangan itu. Entah itu duri, kayu, kaca atau apapun yangmenghalangi jalan maka ia ambil dan singkirkan. Amalan inilah yang beliu anggap sebagai wasilah Allah memudahkan kelahiran setiap anaknya, memudahkan membiyayai hajat hidup keluarganya dan memudahkan mendapat hidayah Allah.

Subhanallah, Allah membalas dengan begitu banyak kebaikan dari kebaikan kecil sang kakek. Maka benarlah sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berikut ini

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًـا ، سَهَّـلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَـى الْـجَنَّةِ ، وَمَا اجْتَمَعَ قَـوْمٌ فِـي بَـيْتٍ مِنْ بُـيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ ، وَيَتَدَارَسُونَـهُ بَيْنَهُمْ ، إِلَّا نَـزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ ، وَغَشِـيَـتْـهُمُ الرَّحْـمَةُ ، وَحَفَّـتْـهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ ، وَذَكَـرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ، وَمَنْ بَطَّـأَ بِـهِ عَمَلُـهُ ، لَـمْ يُسْرِعْ بِـهِ نَـسَبُـهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi ), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.” ( HR Muslim )

Kisah sang kakek mirip dengan kisah yang di ceritakan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallah dan di catat dalam shahih Bukhari bab “Fadhlu Tahjir ila Zhuhri“, no. 652; dan Kitab “Al-Mazhalim“, Bab “Man Akhadzal Ghuzna wama Yu’dzinnas fith Thariq“, no. 2472; juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab “Al-Bir wash-Shilah wal Adab“, no. 1914; dan Kitab “Al-Imarah“, no. 1914.

Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan-jalan di sebuah jalan. Ia menjumpai rerantingan yang berduri yang menghambat jalan tersebut, kemudian ia menyingkirkannya. Lalu ia bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah mengampuni dosa-dosanya.

Dalam sebagian riwayat dari Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah pula, beliau berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ada seseorang laki-laki yang melewati ranting berduri berada di tengah jalan. Ia mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan duri ini dari kaum muslimin sehingga mereka tidak akan terganggu dengannya.’ Maka Allah pun memasukkannya ke dalam surga.”

Dalam riwayat lain, juga dari sahabat Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh, aku telah melihat seorang laki-laki yang tengah menikmati kenikmatan di surga disebabkan ia memotong duri yang berada di tengah jalan, yang duri itu mengganggu kaum muslimin.”


Allah membalas kebaikan di dunia dan memudahkan sang kakek mendapat kebaikan di surga.

Ya Allah gerakanah hati-hati kami untuk melakukan kebaikan dalam rangka beribadah kepadamu ya Rabb.

Wallahu a'lam bishawab

Ta'Rouf Yusuf


Wednesday 30 December 2015

Muhasabah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿١٨﴾

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. "

(Q.S.59:18)

Syaikh Abdur Rahman As Sa'diy mengatakan, '' Ayat ini merupakan dalil pokok yang menggugah seorang hamba untuk melakukan introspeksi terhadap dirinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk besikap objektif terhadap dirinya. Jika dia melihat dirinya salah hendaklah dia menanggulanginya dengan meninggalkan kesalahan, bertobat dan berpaling dari hal yang menyebabkan dia melakukan kesalahan itu. Jika dia melalaikan hal yang diperintahkan Allah maka dengan sendirinya dia berusaha dengan segenap kemampuanya dengan meminta tolong kepada Allah agar dia mampu meluruskan, menyempurnakan dan merapikanya. Selanjutnya dia harus menimbang antara karunia yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dan kelalaian yang telah dilakukanya terhadap hak Allah, maka sudah dapat dipastikan perasaan ini akan menumbuhkan rasa malu dalam dirinya.''

Kata Muhasabah memiliki arti bila engkau menghitung sesuatu. Al Mawardi mendefinisikan muhasabah dengan, '' bila seseorang pada malam harinya membuka kembali lembaran perbuatan yang telah dilakukanya siang hari. Jika ternyata perbuatan itu terpuji , ia melanjutka pada hari berikutnya dan mengiringinya dengan perbuatan yang serupa. Sebaliknya jika ternyata perbuatan itu tercela, maka dia membersihkannya jika mampu dan jika tidak, maka mengiringinya dengan kebaikan untuk menghapusnya, lalu menghentikan perbuatan yang semisal pada masa yang akan datang.''

Imam Ibnu Qayyim mengatakan bahwa muhasabah ada dua macam,yaitu :

1. Muhasabah sebelum berbuat
Hal ini dilakukan sebelum melakuakan suatu perbuatan dengan meluruskan niat , pikiran, kehendak dan tekad yang ada di dalam jiwa. Ada beberapa pertanyaan yang bisa ditanyakan terhadap diri kita sebelum melakukan sesuatu :
A. Apakah pebuatan yang akan kita lakukan dapat kita kuasai atau tidak?
B. Apakah melakukanya lebih baik daripada meninggalkanya?
C. Apakah kita melakukanya ikhlas karena Allah atau tidak?
D. Apa sarana yang dapat membantu untuk merealisasikanya.

2. Muhasabah setelah beramal
Ibnu Qayim membagi menjadi 3 lagi:
A. Muhasabah terhadap hak-hak Allah.
B. Muhasabah terhadap perbuatan yang telah ditinggalkan karena lbih baik daripada mengerjakanya.
C. Muhasabah terhadap hal yang mubah, apakah dilakukan karena Allah atau hanya sebagai kebiasaan harian saja.

Ibnu Qayyim juga memberikan tips darimana kita mulai muhasabah, beliau berkata,'' Hendaklah seseorang memulai dengan amalan fardhu, jika disana terdapat kekurangan maka lengkapilah. Kemudian beralih kepada hal-hal yang dilarang, jika dia melakukan kesalahan ini maka segeralah betobat, memohon ampun dan mngerjakan amal-amal kebaikan untuk menghapusnya. Kemudian mmuhasabah kelalaian yang dilakukan terhadap tujuan yang melatarbelakangi pencipttaan dirinya. Jika terdapat kelalaian maka hendaklah menanggulangi dengan banyak berdzikir kepada Allah. Kemudian menghisab apa-apa yang telah dilakukan anggota tubuhnya, apakah untuk ketaatan kepada Allah atau kemaksiyatan.

Di anjurkan pula bagi sorang hamba pada pemulaan harinya untuk berpesan kepada dirinya untuk mlakukan kebaikan. Selanjutnya dipenghujung siang harinya dianjurkab menentukan suatu saat untuk mengevaluasi semua gerak dan sepak terjang yang telah dilakukan sejak permulaan siang hari.

Muhasabah diumpamakn oleh ulama adalah perhitungan yang dilakukan oleh teman seperseroan dalam usaha yang sangat kikir terhadap teman usahanya. Hal ini menggambarkan bahwa manusia harus teliti dalam mengaudit dirinya sendiri, memeriksa berbagai perkara dengan sangat ketat.

Para salafushalih juga kadang menghukum dirinya jika melakukan kealpaan. Mereka menghukum dirinya  dengan cara memaksakan kepadanya untuk mengerjakan hal-hal yang diwajibkan atau hal-hal yang disunahkan untuk mengganti perbuatan haram yang dilakukanya.

Khalifah umar menghukum dirinya ketika dia telaat melakukan shalat asar berjamaah dengan cara menshadaqahkan sebidang tanah yang harganya mencapai 200000 dirham.
Ibnu Umar apabila terlewatkan dari sholat berjama'ah maka dia menghidupkan sepanjang malamnya dengan sholat sunnah. Dia pernah mengakhirkan waktu sholat maghrib karena suatu hal maka sebagai hukuman akan hal itu dia memerdekakan dua orang budak.
Ibnu Abu Rabi'ah pernah ketinggalan dua rakaat sunah fajar, maka sebagai hukumanya ia memerdekakan seorang budak.

Itulah muhasabah para salaf, pendahulu kaum muslimin. Mereka melakukanya setiap waktu dan mereka melakukan untuk kepentinganya di akhirat kelak. Bukan hanya ketika akhir tahun dan hanya untuk kehidupan dunia yang hina. Maka jika kita bandingkan diri kita dengan para salaffusshalih maka sungguh sangat jauh keadaan kita.

Semoga Allah memberikan karunia kepada kami dan jagalah kami dari siksa Api Neraka. Amien.

Wallahu 'alam bi shawab.

Ta' Rauf  Yusuf


Saturday 26 December 2015

Mustafa Amin dan Segelas Air Berharga

Penulis terkenal kebangsaan Mesir yang bernama Mustafa Amin, dimana beliau adalah salah satu yang dijebloskan ke dalam penjara di masa pemerintahan Gamal Abdul Naser pada tahun 1965, menceritakan kisahnya saat berada di dalam penjara.

Ia berkata, “Di antara bentuk penganiayaan yang ditetapkan pemerintah pada saat itu adalah melarang penghuni penjara makan dan minum. Larangan untuk makan sangatlah menyakitkan, walaupun masih memungkinkan untuk bertahan, akan tetapi haus adalah siksaan yang tidak mungkin bisa ditanggung, khususnya di bulan-bulan musim panas dengan derajat panas yang tinggi sekali
Selain itu saya mempunyai penyakit gula, yang mengharuskan saya banyak minum. Di hari pertama pelarangan ini, saya masuk kamar kecil, di sana saya mendapatkan tempat air yang berisi air untuk istinja’, kemudian saya minum air tersebut sampai habis, dan sebagai ganti untuk istinja’, saya gunakan tissu toilet. Dengan semakin bertambahnya rasa hausku, saya terpaksa minum air kencing. Sampai di hari ketiga, saya tidak mendapatkan air kencing untuk saya minum.

Saya sangat haus, saya merasakan siksaan yang sangat pedih. Kemudian, saya berjalan-jalan di dalam sel saya sehingga nampak seperti orang gila. Lidah dan tenggorokan saya kering. Terkadang saya menunduk ke lantai dengan harapan semoga sipir penjara terlupa dan menyisakan setetes air ketika mereka mengepel lantai!!

Setelah itu saya merasakan bahwa saya hampir binasa, dalam kondisi seperti itu saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan, saya kuras pikiranku, sampai saya terhuyung-huyung, ketika itu aku malihat bahwa pintu sel dibuka dengan perlahan-lahan, dan dalam kegelapan saya perhatikan ada tangan seseorang mengulurkan segelas air dingin. Saya tergoncang, terbayang seolah-olah aku telah gila? Aku mulai melihat bayangan orang itu, ah … tidak mungkin ini air … ini hanyalah fatamorgana. Kemudian, saya ulurkan tangan dan saya benar-benar menyentuh gelas tersebut, ternyata sedingin es. Saya melihat pembawa gelas tadi meletakkan jarinya di atas bibirnya, seolah-olah ia berkata kepada saya, ‘Janganlah kamu bicara’.

Saya minum air tersebut, akan tetapi ia sangat berbeda dengan air yang pernah saya minum selama ini, ia adalah air yang paling nikmat yang pernah saya minum di dalam kehidupan saya sebelumnya. Kalau seandainya pada waktu itu aku memegang uang satu juta pound (junaih), niscaya aku berikan kepada sipir yang tidak kukenal ini.

Minum air segelas tersebut membuat ruh saya seakan kembali ke tubuh dan tidak perlu lagi makan karena kenyang. Bahkan, lebih dari itu, aku merasa tidak perlu dikeluarkan dari penjara. Saya merasakan kebahagiaan yang belum pernaha saya rasakan selama hidup saya, semua itu disebabkan segelas air yang dingin.

Setelah itu, sipir pergi dengan cepat seperti kedatangannya tadi dan menutup pintu sel dengan perlahan. Saya melihat bayangan sipir, ia adalah pemuda yang berkulit coklat dan berbadan pendek. Akan tetapi, saya merasakan ia seperti malaikat. Saya melihat langsung pertolongan Allah di sel penjara.

Hari yang penuh siksaan terus berjalan, tanpa pernah lagi melihat sipir yang tidak saya kenal itu. Kemudian, saya dipindahkan ke ruangan penyiksaan di lantai dasar penjara. Setiap hari melihat sipir yang tidak saya kenal itu berdiri di hadapan saya. Ketika itu saya hanya berdua. Saya bertanya dengan perlahan-lahan kepadanya, ‘Kenapa engkau lakukan perbuatan itu? Kalau mereka mengetahuinya tentu memecatmu’.

Dengan menyunggingkan senyum, ia menjawab, ‘Hanya memecat saya!? Bahkan, mereka akan membunuh saya dengan menembakkan senjata?’
Saya bertanya, ‘Apa yang membuatmu melakukan hal yang berbahaya itu?

Ia menjawab, ‘Sesungguhnya saya mengenal anda, namun anda tidak mengenal saya. Kira-kira 9 tahun yang lalu, seorang petani dari Giza mengirim surat kepada anda, yang isinya menceritakan bahwa ia adalah seorang petani yang tinggal di sebuah perkampungan, dalam hidupnya ia sangat menginginkan membeli seekor sapi. Akan tetapi, setelah 6 bulan sapi yang berhasil dibelinya tersebut mati. Beberapa bulan setelah itu, yakni pada malam-malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, tiba-tiba pintu rumah yang sempit kepunyaan petani itu diketuk, dan datanglah utusan dari harian koran anda, Akhbarul Yaum, sambil memegang tali yang mengikat seekor sapi di belakangnya. Ketika itu koran harian Akbarul Yaum selalu mewujudkan beratus-ratus impian para pembacanya di malam-malam Lailatul Qadar di setiap tahunnya’.

Sipir itu terdiam sebentar, kemudian ia berkata, ‘Petani yang telah Anda kirimi seekor sapi kepadanya 9 tahun yang lalu adalah ayahku’.

Bukankah telah aku katakan kepada kalian tadi bahwa pertolongan Allah menyertaiku saat aku di dalam sel penjara?!

Demikianlah perbuatan baik yang telah dilakukan seorang penulis sejak 9 tahun yang lalu terhadap seorang petani telah membuahkan hasil dan bisa menyelamatkan hidup sang penulis (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala). Segelas air di saat-saat ujian yang berat sekali lebih berharga dan lebih nikmat dari segala yang ada didunia.

Oleh karena itu, jadikanlah dalam beramal ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Menginfakkan harta di jalan kebaikan, pasti akan mendapatkan balasan walaupun setelah lama berlalu masanya. Terkadang balasan perbuatan baik itu akan berlipat ganda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah: 272, yang artinya:

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Janganlah kamu membelanjakan sesuatu, melainkan karena mencari keridhaan Allah. Apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan). ”

Sumber: Bila Amal Dibayar Kontan (Terjemahan: Kama Tadinu Tudanu, pengarang Sayyid Abdullah Sayyid Abdurrahman Ar-Rifa’i Abu Hasyim).



Monday 14 December 2015

indahnya persaudaraan dalam islam

Suatu hari Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik berdiskusi sesuatu. Di kejauhan datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka

Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,

"Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!" "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!".

Umar segera bangkit dan berkata, "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?"

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, "Benar, wahai Amirul Mukminin."

"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.", tukas Umar.

Pemuda lusuh itu memulai ceritanya,

"Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."

"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.", sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.

"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.

"Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat', ujarnya.

"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu", lanjut Umar.

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, "kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa".

Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata,"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah" ujarnya dengan tegas,

"Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".

"Mana bisa begitu?", ujar kedua pemuda.

"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Umar.

"Sayangnya tidak ada Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya.

"Baik, aku akan meberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji." kata Umar.

"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah lah penjaminku wahai orang-orang beriman", rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang hadirin terdengar suara lantang, "Jadikan aku penjaminnya wahai Amirul Mukminin".

Ternyata Salman al Farisi yang berkata..

"Salman?" hardik Umar marah, "Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini".

"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya", jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh.

Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua.

Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan

mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman. Salah satu sahabat Rasulullah saw yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya.

Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh. Akhirnya tiba waktunya penqishashan, Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi.

Hadirin mulai terisak, orang hebat seperti Salman akan dikorbankan. Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali. ”Itu dia!” teriak Umar, “Dia datang menepati janjinya!”. Dengan tubuhi bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pengkuan Umar.

”Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. Aku..” ujarnya dengan susah payah, “Tak kukira.. urusan kaumku.. menyita..banyak.. waktu..”. ”Kupacu.. tungganganku.. tanpa henti, hingga.. ia sekarat di gurun.. terpaksa.. kutinggalkan.. lalu aku berlari dari sana..” ”Demi Allah”, ujar Umar menenanginya dan memberinya minum,

“Mengapa kau susah payah
kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?”

”Agar.. jangan sampai ada yang mengatakan.. di kalangan Muslimin.. tak ada lagi ksatria.. tepat janji..” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya, “Lalu kau Salman, mengapa mau-
maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?

" Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”,

Salman menjawab dengan mantap. Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu. ”Allahu Akbar!”

Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak,

“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu”.

Semua orang tersentak kaget.

“Kalian..” ujar Umar, “Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru.

”Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi
orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya” ujar kedua pemuda membahana.

”Allahu Akbar!” teriak hadirin. Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.

Begitu indah persaudaraan kaum muslimin.

Allahu Akbar…

Kisah ini disebut dalam kitab I'laam al-Naas Bi Ma Waqa'a Lil Baramikah, karya Al-Itlidy..


Beberapa Hadits Kasih Sayang Rasulullah Terhada Anak-Anak


«مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»، قَالَ: «كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ، فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ، وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ، ثُمَّ يَرْجِعُ»
“Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putra Nabi (yang bernama) Ibrahim memiliki ibu susuan di daerah Awaali di kota Madinah. Maka Nabipun berangkat dan kami bersama beliau. lalu beliau masuk ke dalam rumah yang ternyata dalam keadaan penuh asap. Suami Ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabipun mengambil Ibrahim lalu menciumnya, lalu beliau kembali” (HR Muslim)

Dari ‘Aisyah ra ia berkata :
جَاءَ أَعْرَابِى إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ ، فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ
“Datang seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra berkata :
قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits di atas diperlihatkan bahwa mencium anak kecil, menggendongnya, ramah kepadanya merupakan hal yang mendatangkan rahmat Allah.
“Barangsiapa yang tidak merahmati maka tidak dirahmati”, yaitu barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati oleh Allah Azza wa Jalla.

Mencium anak-anak kecil sebagai refleksi dari rahmat dan sayang kepada mereka, apakah mereka anak-anak kita ataukah cucu-cucu kita dari putra dan putri kita atau anak-anak orang lain. Dan hal ini akan mendatangkan rahmat Allah dan menjadikan orang tua memiliki hati yang menyayangi anak-anak.

Semakin seseorang rahmat/sayang kepada hamba-hamba Allah maka ia semakin dekat dengan rahmat Allah.

Jika Allah menjadikan rasa rahmat/kasih sayang dalam hati seseorang maka itu merupakan pertanda bahwa ia akan dirahmati oleh Allah…”
“Maka hendaknya seseorang menjadikan hatinya lembut, ramah, dan sayang (kepada anak-anak).

Suatu hari beliau sedang sujud maka datanglah Hasan bin Ali bin Abi Tholib, lalu Hasanpun menaiki pundak Nabi yang dalam kondisi sujud. Nabipun melamakan/memanjangkan sujudnya. Para sahabat heran. Mereka berkata :
هَذِهِ سَجْدَةٌ قَدْ أَطَلْتَهَا، فَظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ، أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ
“Wahai Rasulullah, engkau telah memperpanjang sujudmu, kami mengira telah terjadi sesuatu atau telah diturunkan wahyu kepadamu”,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka,
ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ، وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي، فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ
“Bukan, tetapi cucuku ini menjadikan aku seperti tunggangannya, maka aku tidak suka menyegerakannya hingga ia menunaikan kemauannya” (HR Ahmad dan An-Nasaai)

Pada suatu hari yang lain Umamah binti Zainab putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih kecil dibawa oleh Nabi ke masjid. Lalu Nabi sholat mengimami para sahabat dalam kondisi menggendong putri mungil ini. Jika beliau sujud maka beliau meletakkannya di atas tanah, jika beliau berdiri maka beliau menggendongnya. Semua ini beliau lakukan karena sayang kepada sang cucu mungil. Padahal bisa saja Nabi memerintahkan Aisyah atau istri-istrinya yang lain untuk memegang cucu mungil ini, akan tetapi karena rasa kasih sayang beliau. Bisa jadi sang cucu hatinya terikat senang dengan kakeknya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi ingin menenangkan hati sang cucu mungil.

Pada suatu hari Nabi sedang berkhutbah, lalu Hasan dan Husain (yang masih kecil) datang memakai dua baju. Baju keduanya tersebut kepanjangan, sehingga keduanya tersandung-sandung jatuh bangun tatkala berjalan. Maka Nabipun turun dari mimbar lalu menggendong keduanya di hadapan beliau (di atas mimbar) lalu beliau berkata:

صَدَقَ اللهُ إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيْعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حَدِيْثِي وَرَفَعْتُهُمَا

“Maha benar Allah. Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah”, aku melihat kedua anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak sabar hingga akupun memutuskan khutbahku dan aku menggendong keduanya” (HR At-Thirmidzi)
Kemudian beliau melanjutkan khutbah beliau (lihat HR Abu Dawud)

Abu Hurairah Ra pernah menceritakan bagaimana Nabi Saw bermain dan bercanda dengan cucu beliau, Al-Hasan. “Rasulullah Saw pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Ra. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira”.

Anas bin Malik Ra menuturkan, bahwa beliau juga senang bercanda dengan Zainab. “Rasulullah sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Ra, beliau memanggilnya dengan: Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali”. Zuwainab artinya Zainab kecil.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Mereka (anak-anak itu) berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau bercanda dengan kami?” Kemudian Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam pun menjawab,

“Ya, akan tetapi aku selalu berkata benar, walau dalam senda gurau.” (HR Ahmad)

Di antara candaan beliau adalah apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa beliau memanggilnya dengan sebutan, “wahai orang yang berkuping dua.” (HR Abu Daud).

Seorang anak kecil bernama Abu Umair adalah anak Ummi Sulaim yang sering diajak bercanda oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Pada suatu hari, terlihat wajah anak ini kelihatan murung. Rupanya dia sedang bersedih karena burung pipit peliharaannya mati. Kemudian Rasulullah pun menghampirinya dan mencoba untuk menghiburnya dengan berkata, “Hai Abu Umair, apa yang dilakukan burung pipitmu?” (Muttafaq ‘alaih)

Pada kesempatan lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam nampak asyik saat bercanda dengan anak-anak (kedua cucunya), sering kali Rasulullah digelantungi oleh mereka berdua. 

Al-Barra berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam digelantungi Hasan, dan Beliau berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah ia.” 

(HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Al-Barra’ juga mengatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memperhatikan Hasan dan Husain, lalu berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya.”

(HR Tirmidzi)

Sebagai imam masjid, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sangat memaklumi perilaku anak-anak, meskipun mereka agak “menganggu”. Beliau memaklumi, dunia anak-anak memang demikian dan kecintaan anak-anak kepada masjid harus ditumbuhkan dengan dibiasakan mendatangi masjid dan dibina agar berlaku baik ketika berada di masjid. Hal tersebut nampak pada kejadian berikut,

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sedang berjalan menuju masjid guna menunaikan shalat berjamaah, di tengah jalan didapati beberapa anak-anak yang sedang bermain.

Saat mereka melihat kedatangan beliau, anak-anak itu langsung mengerubunginya, bahkan memegang dan menarik-narik baju beliau.

Diantara mereka bahkan sampai mengatakan:

“Jadilah engkau untaku.”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melayani ajakan anak-anak itu sehingga beliau agak terlambat datang ke masjid dari biasanya.

Bilal bin Rabah yang sudah menunggu kedatangan Rasul di masjid akhirnya harus mencari dimana Rasulullah ber shalallahu ‘alaihi wassalam ada. Ternyata ia mendapati, beliau sedang bermain dan dikerubungi anak-anak itu.

Bilal mendatangi mereka dan bermaksud menjewer telinga anak-anak itu agar mau melepaskan Rasul. Tetapi Rasul mencegah Bilal dengan mengatakan:

"Sempitnya waktu shalat lebih kusukai daripada harus menyakiti anak-anak ini.”

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian memerintahkan Bilal untuk mencari makanan di rumah beliau agar bisa diberikan kepada anak-anak.

Bilal segera kembali kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dengan membawa kacang. 

Beliau kemudian mengatakan: 

“Apakah kalian mau menjual unta kalian dengan kacang ini?”

Anak-anakpun bergembira dengan mengambil kacang-kacang itu dan melepaskan Rasulullah shalallahu‘alaihi wassalam yang melanjutkan perjalanan menuju masjid yang diikuti oleh anak-anak itu. Bilal terharu menyaksikan apa yang baru saja terjadi.


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...