Sunday 31 January 2016

Al Isti'adzah ( Kajian Tadabur #2 )

Al-Isti’adzah: Isti’adzah artinya ucapan seseorang  أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيطَانِ الرَّجِيْمِ

أَعُوْذُ (A’udzu) : Aku mohon perlindungan.

بِاللهِ (Billahi) : Maksudnya kepada Robb segala sesuatu, Yang Maha Kuasa atas segalanya, Yang Maha Tahu segalanya, sembahan orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian.

الشَّيطَانِ (Asy-Syaithon) : Iblis yang dilaknat oleh Allah.

Kata ‘syaithoon’ dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘syathona’, yang bermakna ‘menjauh’. Dikatakan demikian karena tabiat setan itu jauh dari tabiat manusia, dan dengan kefasikannya dia jauh dari semua kebaikan. Ada yang berpendapat: Dia berasal dari kata ‘syaatho’ karena dia diciptakan dari api.

الرَّجِيْمِ (Ar-Rojiim) : Yang dirajam, yang dijauhkan, dan terusir dari segala bentuk kasih saying dan kebaikan.

Kata ‘ar rojiim’ berwazan fa’iil yang bermakna maf’uul. Maksudnya: Dia dilemparkan dan diusir dari semua kebaikan.

Dapat kita simpulkan makna kalimat isti'adzah adalah,'Aku mohon perlindungan dan penjagaan kepada Allah Ta’ala dari setan yang terkutuk agar ia tidak menggangguku dalam bacaanku, dan juga tidak menyesatkan aku, sehingga aku binasa dan hidup sengsara.' dalam konteks membaca AlQuran. Atau lebih luas lagi bisa bermakna, ' Aku memohon perlindungan di sisi Allah dari setan yang terkutuk, jangan sampai dia membahayakan agama dan duniaku, atau menghalangiku dari perintah Allah, atau mendorongku untuk melakukan yang dilarangNya. Karena setan, tidak ada yang mampu mencegahnya dari berbuat jahat kepada manusia selain Allah. Karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan untuk memperlakukan musuh dari kalangan manusia dengan kebaikan, dan bergaul dengannya dengan sifat dermawan, agar tabiat aslinya bisa mengembalikan dirinya dari perbuatan buruk yang selama ini dia lakukan. Sebaliknya, Allah memerintahkan untuk berlindung kepadaNya dari setan jin, karena dia tidak bisa disogok dan tidak akan terpengaruh dengan kebaikan. Hal itu karena tabiat aslinya adalah keburukan, sementara tidak ada yang bisa menghalanginya darimu selain Yang telah menciptakannya.

Disunnahkan bagi setiap orang yang hendak membaca Al-Qur’an, baik satu surat atau lebih untuk membaca ta’awudz (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيطَانِ الرَّجِيْمِ), setelah itu baru memulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْآنَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَانِ ٱلرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk”(QS. An-Nahl: 98)

Juga dianjurkan bagi orang yang sedang marah atau terlintas pada pikirannya suatu hayalan yang buruk , merasa takut akan syetan maka di anjuran ia membaca isti’adzah.

Meminta perlindungan ada beberapa keadaan :

Pertama : meminta perlindungan kepada yang kita diharamkan berlindung kepadanya. Allah berfirman ;

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً

“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin-jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” [QS. Al-Jin : 6].

Kedua, meminta perlindungan kepada yang tidak mampu menolong kita, maka ini adalah perbuatan yang sia-sia. Kadang bisa menjadi haram. Allah berfirman ;

وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ

Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raf: 192)

Ketiga, meminta perlindungan kepada sesuatu yang mungkin dapat dijadikan tempat berlindung, baik manusia, tempat, atau yang lainnya. Hal ini diperbolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamketika menyebut fitnah :

من تشرف لها تستشرفه فمن وجد فيها ملجأ أو معاذا فليعذ به

“Barangsiapa yang mencari-carinya ia akan terjerat olehnya dan barangsiapa yang mendapat tempat berlindung atau berteduh maka hendaklah ia berlindung dengannya” ( HR Bukhari-Muslim )

Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bentuk perlindungan ini dengan sabdanya :

فمن كان له إبل فليلحق بإبله

“Siapa yang yang memiliki onta, maka hendaklah menggunakan ontanya” ( HR Muslim )

Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir, bahwa seorang wanita dari Bani Makhzum melakukan pencurian lalu dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan kemudian ia minta perlindungan kepada Ummu Salamah.

Dalam Shahih Muslim juga dari Ummu Salamah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يَعُوذُ عَائِذ بِاْلبَيْتِ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْث

“Ada orang yang berlindung dengan Ka’bah, lalu dikirimlah suatu utusan kepadanya” ( HR Muslim )

Jika seseorang minta perlindungan dari kejahatan orang dzalim maka kita wajib melindunginya sebatas kemampuan yang kita miliki. Akan tetapi jika dia minta perlindungan untuk tujuan melakukan kemungkaran atau melarikan diri dari menunaikan kewajibannya, maka haram bagi seseorang melindunginya.

Kempat, Memohon perlindungan kepada Allah yang mengandung sikap membutuhkan benar-benar, hanya kepadanya tempat bergantung, hanya Dia yang mencukupi segala sesuatu serta hanya Dia tempat berlindung yang sempurna dari segala sesuatu yang sedang atau akan terjadi, kecil atau besar. Baik datang dari manusia atau yang lainnya. Atau meminta perlindungan kepada Allah dengan sifat-Nya, seperti kalam-Nya, kemuliaan-Nya, keagungan-Nya, atau semisalnya; Berdasarkan firman Allah :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبّ الْفَلَقِ *مِن شَرّ مَا خَلَقَ

”Katakanlah : Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai shubuh, dari kejahatan makhluk-Nya” [QS. Al-Falaq : 1-2].

Dan juga firman-Nya :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبّ النّاسِ *مَلِكِ النّاسِ *إِلَـَهِ النّاسِ *مِن شَرّ الْوَسْوَاسِ الْخَنّاسِ *الّذِى يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النّاسِ *مِنَ الْجِنّةِ وَالنّاسِ

”Katakanlah : Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia” [QS. A-Naas : 1-6].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَق

“Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya”  ( HR Muslim )

Dan juga sabda beliau :

أَعُوذُ بِعِظْمَتِكَ أَنْ أَغتَال مِنْ تَحْتِي

“Aku berlindung dengan keagungan-Mu dari terbinasakan dari arah bawahku” ( HR Ahmad dan An-Nasa’i ).

Dan dalam doa ketika sakit :

أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِد

“Aku berlindung dengan keagungan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku temui” (HR Ahmad,  Abu Dawud dan Ibnu Majah )

Dan sabda beliau yang lain :

أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ

“Aku berlindung dengan ridla-Mu dari kemurkaan-Mu” ( HR Muslim )

Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika turun ayat :

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىَ أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ

“Katakanlah : Dialah yang bekuasa untuk menimpakan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu ke dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain” (QS. Al-An’am : 65);

maka beliau bersabda :

أَعُوذُ بِوَجْهِكَ

“Aku berlindung dengan Wajah-Mu” ( HR Bukhari ).

Seorang muslim yang telah berikrar bahwa tidak ada illah إله  selain Allah seharusnya telah melalui level tauhid sebelumnya yaitu mengakui tidak ada Rabb  ربّ  selain Allah. Secara makna bahasa :

إله berasal dari kata أَلَه يَأْلَهُ بالفتح فيهما إِلاَهَةً أي عَبَد

yakni alaha ya’lahu ilaahatan bermakna ‘abada (menyembah)

إلاَه على فِعَال بمعنى مفعول لأنه مَألُوه أي مَعْبُود

Ilaah di atas wazan fi’aal bermakna maf’uul karena dia ma’luuh yakni ma’buud (yang disembah) [Mukhtar ash-Shihah 1/13 ]

Sehingga makna Ilaah adalah Ma’buud (Yang disembah atau Sesembahan)

الإلَهُ الله عز وجل وكل ما اتخذ من دونه معبوداً إلَهٌ عند متخذه

al-Ilaah adalah ALLAH ‘azza wa jalla dan setiap yang dijadikan sesembahan selain ALLAH disebut ilaah oleh yang menjadikannya [Lisaan al-‘Arab 13/467 ]

Sehingga orang-orang musyrik menamai sesembahan mereka selain ALLAH sebagai ilaah. Bentuk jamak (plural) dari ilaah adalah aalihah.

ربّ berasal dari kata

رَبُّ كل شيء مالِكُه

Rabb segala sesuatu adalah Maalik(penguasa atau pemilik)nya. [Mukhtar ash-Shihah 1/111 ]

Hal semakna juga disebutkan oleh Ibnu Mandzur [Lisaan al-‘Arab 1/399 ]

Sehingga makna Rabb adalah Maalik yakni penguasa atau pemilik. Rabb juga berarti yang melakukan perbaikan, yang mengelola, yang memaksa dan yang selalu mengurusi.

Maka seharusnya keyakinan Allah sebagai Rabb benar-benar terealisasikan. Termasuk dalam Isti'adzah atau memohon perlindungan. Karena pada hakikatnya keamanan dari bahaya adalah terjadi atas kehedak Allah. Tidak ada satu bahayapun yang mampu menimpa seseorang tanpa adanya kehendak ijin dari Allah. Dalam sebuah hadits di ceritakan ;


عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))

Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu harisaya berada di belakang Nabishallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat:Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak memintamintalahkepada Allah, dan jika engkau hendakmemohon pertolongan, mohonlahkepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. ( HR Tirmidzi )

Maka pada hakikatnya manusia yang lemah memang sudah seharusnya memohon perlindungan kepada Allah semata Sang Pemilik Perlindungan yang haqiqi, sehingga nanti Allah akan mengadakan sebab-sebab telindunginya dia dari segala hal yang membahayakan dirinya. Termasuk dari bahaya syetan yang terkutuk.

Wallahu 'Alam
Ta' Rauf Yusuf




Saturday 30 January 2016

Qiyam Lail...


Shalat malam termasuk sunnah yang sangat dianjurkan. Ia termasuk ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ 

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (Surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” [Adz-Dzaariyaat: 15-19]

Dari Abu Malik al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفًا يُرَى ظَاهِرُهَـا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنِهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَأَدَامَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.

“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Allah Ta’ala menyediakannya bagi orang yang suka memberi makan, melunakkan perkataan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam pada saat manusia tidur." ( Shahih Jamius Shaghir )

Ada dua istilah umum untuk menyebut kegiatan ibadah di malam hari, yaitu qiyam lail dan tahajud. Para ulama menegaskan, qiyam lail ebih umum dari pada tahajud. Karena qiyam lail mencakup semua kegiatan ibadah di malam hari, baik berupa shalat, membaca Al-Quran, belajar mengkaji ilmu agama, atau dzikir. Selama ketaatan itu dilakukan di malam hari, sehingga menyita waktu istirahatnya, bisa disebut qiyam lail. Baik dilakukan sebelum tidur maupun sesudah tidur.

Dalam Maraqi Al-Falah dinyatakan,

معنى القيام أن يكون مشتغلا معظم الليل بطاعة , وقيل : ساعة منه , يقرأ القرآن أو يسمع الحديث أو يسبح أو يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم

Makna Qiyam lail adalah seseorang sibuk melakukan ketaatan pada sebagian besar waktu malam. Ada yang mengatakan, boleh beberapa saat di waktu malam. Baik membaca Al-Quran, mendengar hadis, bertasbih, atau membaca shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 34/117).

Sementara tahajud hanya khusus untuk ibadah berupa sholat. Sementara ibadah lainnya, selain shalat, tidak disebut tahajud.

Ulama berbeda pendapat tentang syarat bisa disebut sholat tahajud, apakah harus tidur dulu ataukah tidak.

Pendapat pertama, tahajud harus tidur dulu.

Ini merupakan pendapat Ar-Rafi’i – ulama madzhab Syafii –. Dalam bukunya As-Syarhul Kabir, beliau menegaskan,

التَّهَجُّدُ يَقَعُ عَلَى الصَّلَاةِ بَعْدَ النَّوْمِ ، وَأَمَّا الصَّلَاةُ قَبْلَ النَّوْمِ ، فَلَا تُسَمَّى تَهَجُّدًا

“Tahajud istilah untuk shalat yang dikerjakan setelah tidur. Sedangkan shalat yang dikerjakan sebelum tidur, tidak dinamakan tahajud.”

Setelah menyatakan keterangan di atas, Ar-Rafi’i membawakan riwayat dari katsir bin Abbas dari sahabat Al-Hajjaj bin Amr radhiyallahu ‘anhu,

يَحْسَبُ أَحَدُكُمْ إذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يُصَلِّي حَتَّى يُصْبِحَ أَنَّهُ قَدْ تَهَجَّدَ ، إنَّمَا التَّهَجُّدُ أَنْ يُصَلِّيَ الصَّلَاةَ بَعْدَ رَقْدِهِ ، ثُمَّ الصَّلَاةَ بَعْدَ رَقْدِهِ ، وَتِلْكَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Diantara kalian menyangka ketika melakukan shalat di malam hari sampai subuh dia merasa telah tahajud. Tahajud adalah shalat yang dikerjakan setelah tidur, kemudian shalat setelah tidur. Itulah shalatnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habir mengatakan,

Sanadnya hasan, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Shaleh, juru tulis Imam Al-Laits, dan Abu Shaleh ada kelemahan. Hadis ini juga diriwayatkan At-Thabrani, dengan sanad dari Ibnu Lahai’ah. Dan riwayat kedua ini dikuatkan dengan riwayat jalur sebelumnya.

Pendapat kedua, tahajud tidak harus tidur terlebih dahulu.

Sholat tahajud adalah semua shalat sunah yang dikerjakan setelah isya, baik sebelum tidur maupun sesudah tidur. (Hasyiyah Ad-Dasuqi ).

Karena tahajud memiliki arti mujanabatul hajud (menjauhi tempat tidur). Dan semua shalat malam bisa disebut tahajud jika dilakukan setelah bangun tidur atau di waktu banyak orang tidur.

Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصلوا الأرحام، وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام

Sebarkanlah salam, berilah makanan, sambung silaturahmi, dan kerjakan shalat malam ketika manusia sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat. (HR. Ahmad )

Abu Bakr Ibnul ‘Arabi mengatakan,

في معنى التهجد ثلاثة أقوال (الأول) أنه النوم ثم الصلاة ثم النوم ثم الصلاة، (الثاني) أنه الصلاة بعد النوم، (والثالث) أنه بعد صلاة العشاء. ثم قال عن الأول: إنه من فهم التابعين الذين عولوا على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان ينام ويصلي، وينام ويصلي . والأرجح عند المالكية الرأي الثاني

Tentang makna tahajud ada 3 pendapat:
pertama, tidur kemudian shalat lalu tidur lagi, kemudian shalat.
Kedua, shalat setelah tidur.
Ketiga, tahajud adalah shalat setelah isya.
Beliau berkomentar tentang yang pertama, bahwa itu adalah pemahaman ulama tabi’in, yang menyandarkan pada ketarangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur kemudian shalat, kemudian tidur, lalu shalat. Sedangkan pendapat paling kuat menurut Malikiyah adalah pendapat kedua. (Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 14/86)

Jika seseorang khawatir tidak mampu bangun sebelum subuh untuk tahajud, dianjurkan untuk shalat sebelum tidur. Sekalipun tidak disebut tahajud oleh sebagian ulama, namun dia tetap terhitung melakukan qiyam lail, yang pahalanya besar.

Disunnahkan Agar Seseorang Shalat dengan keluarganya, Dari Abu Sa’id, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَـا -أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

“Jika seorang laki-laki membangunkan isterinya di malam hari, lalu keduanya shalat -atau shalat dua raka’at secara berjama’ah-, niscaya Allah mencatat keduanya sebagai para hamba laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah."  ( HR Abu Dawud )

Ibadah ini lebih di anjurkan lagi ketika bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan shalat malam pada bulan Ramadhan tanpa memberi perintah yang mewajibkan. Lalu beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” ( HR Bukhari-Muslim )

Disyari'atkan Melakukannya Secara Berjama'ah Pada Bulan Ramadhan
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu orang-orang shalat dengan shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang kian bertambah banyak. Mereka kemudian berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ.

‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian. Hanya saja aku takut jika shalat tersebut diwajibkan atas kalian.’ Saat itu pada bulan Ramadhan.” ( HR Bukhari-Muslim )

Dari ‘Abdurrahman al-Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menuju masjid. Ternyata orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada seorang laki-laki yang shalat sendirian, dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang. Lalu ‘Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya kukumpulkan mereka di bawah satu qari' (imam), tentulah akan lebih baik. Kemudian dia membulatkan tekadnya dan mengumpulkan mereka di bawah Ubay bin Ka'b. Pada suatu malam yang lain aku keluar bersamanya sedangkan orang-orang tengah shalat bersama imam mereka. ‘Umar berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah (perkara yang baru). Namun, orang-orang yang tidur pada saat ini lebih baik daripada yang sedang shalat’ -maksudnya, melaksanakan shalat di akhir malam lebih baik- karena saat itu orang-orang mengerjakannya di awal malam." ( HR Muslim )

Dimakruhkan bagi seseorang yang terbiasa sholat malam meninggalkanya. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku:

يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

"Wahai 'Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, sekarang dia meninggal-kan shalat malam." ( HR Bukhari-Muslim )

Bahkan Rasulullah mengqadha sholat malamya ketika terlewatkan.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu, jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau sebab lain, maka beliau shalat dua belas raka’at pada siang harinya.” ( HR Muslim)

Dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَـامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ اللَّيْلِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ.

“Barangsiapa tertidur sehingga tidak membaca wirid (shalat)nya di malam hari atau sebagian darinya, lalu membaca (melaksanakan)nya pada waktu antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur, maka dicatat sebagaimana ia membacanya di malam hari." ( HR Muslim )

Semoga kita dimudahkan dalam menjalankan ibadah para pendahulu kita, para salafus shalih.

Wallahu A'lam
Ta' Rauf Yusuf


Friday 29 January 2016

Pengertian Tadabbur ( Kajian Tadabur #1)

A. Tadabbur Menurut Bahasa

Tadabbur berasal dari kata:

تَدَبَّرَ اْلأَمْرَ و َ فِيْهِ : دَبَّرَهُ .

Artinya:
Tadabbaral Amra wa Fihi : Dabbarahu.
Sedangkan arti kata دَبَّرَialah:

دَبَّرَ اْلأَمْرَ و َ فِيْهِ : سَاسَهُ و نَظَرَ فِى عَاقِبَتِهِ 

Artinya:
Dabbaral Amra wa Fihi : mengurus dan merenungkan kesudahan urusan itu …

B. Tadabbur Menurut Istilah
Terdapat beberapa definisi tadabbur dari ulama, di antaranya ialah:
Asy-Syaikh Ibnu Katsir Asy-Syaikh Ibnu Katsir mendefinisikan tadabbur sebagai berikut:

التَّدَبُّرُ هُوَ : (( تَفَهُّمُ مَعَانِى أَلْفَاظِهِ ، وَ التَفَكُّرُ فِيْمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ آيَاتُهُ مُطَابَقَةً ، وَ مَا دَخَلَ فِى ضَمْنِهَا ، وَ مَا لاَ يَتِمُّ تِلْكَ الْمَعَانِى إِلاَّ بِهِ ، مِمَّا لَمْ يَعْرُجِ اللَّفْظُ عَلَى ذِكْرِهِ مِنَ اْلإِشَارَاتِ و التَّنْبِيْهَاتِ ، وَ انْتِفَاعُ الْقَلْبِ بِذَلِكَ بِخُشُوْعِهِ عِنْدَ مَوَاعِظِهِ ، وَ خُضُوْعِهِ لأَوَامِرِهِ ، وَ أَخْذِ الْعِبْرَةِ مِنْهُ ))  

Artinya:
Tadabbur ialah : memahami makna lafal-lafal Al-Qur’an, dan memikirkan apa yang ayat-ayat Al-Qur’an tunjukkan tatkala tersusun, dan apa yang terkandung di dalamnya, serta apa yang menjadikan makna-makna Al-Qur’an itu sempurna, dari segala isyarat dan peringatan yang tidak tampak dalam lafal Al-Qur’an, serta pengambilan manfaat oleh hati dengan tunduk di hadapan nasehat-nasehat Al-Qur’an, patuh terhadap perintah-perintahnya, serta pengambilan ibrah darinya.
       2. Asy-Syaikh Abu Bakar Al-Ajiri Beliau mengatakan:

وَ تَدَبُّرُ آيَاتِهِ : اِتِّبَاعُهُ وَ الْعَمَلُ بِعِلْمِهِ ، أَمَا وَاللهِ مَا هُوَ بِحِفْظِ حُرُوْفِهِ و َ إِضَاعَةُ حُدُوْدِهِ ، حَتَّى إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَقُوْلُ : لَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ كُلَّهُ فَمَا أَسْقَطْتُ مِنْهُ حَرْفًا ، وَ قَدْ وَاللهِ أَسْقَطَ كُلَّهُ ، مَا يُرَى لَهُ الْقُرْآنَ فِى خَلْقٍ وَ لاَ عَمَلٍ 

Artinya:
Tadabbur ayat-ayat Al-Qur’an ialah mengikuti dan beramal dengan ilmu Al-Qur’an. Ketahuilah! Demi Allah, tadabbur bukanlah hanya menghafal huruf-huruf Al-Qur’an, akan tetapi menyia-nyiakan batas-batasnya, sehingga salah seorang dari mereka mengatakan: Sungguh aku telah membaca Al-Qur’an seluruhnya, dan aku tidak melewati satu huruf pun. Padahal dia telah melewatkan seluruh Al-Qur’an. Tidak terlihat padanya Al-Qur’an, baik dalam tabiat maupun amalan.
        3. Asy-Syaikh Sholeh Fauzan
Menurut Beliau, tadabbur adalah:

أَنْ  نَتَفَكَّرَ فِي مَعَانِيْهَا وَ مَدْلُوْلاَتِهَا وَ أَسْرَارِهَا وَ أَخْبَارِهَا حَتَّى نَسْتَفِيْدَ مِنْهَا الْهِدَايَةَ وَنَسْتَفِيْدَ مِنْهَا خَشْيَةَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى وَعِبَادَتَهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَنَعْرِفَ مَا نَأْتِي وَمَا نَتْرُكَ مِنَ اْلأَعْمَالِ وَ اْلأَقْوَالِ وَ الْمُعَامَلاَتِ وَغَيْرَ ذَلِكَ 

Artinya:
Kita memikirkan makna ayat-ayat Al-Qu’ran, apa yang ditunjukkannya, rahasia serta berita yang terdapat dari ayat-ayat tersebut, sehingga kita dapat mendapatkan manfaat berupa hidayah, rasa takut kepada Allah, dan ibadah kepada Nya, dan kita tahu apa yang harus kita lakukan dan apa yang kita tinggalkan dari perbuatan, perkataan, interaksi sosial, dan yang lainnya.
         4. Ulama Kontemporer
Mereka berpendapat:

 التَّفَكُّرُ بِاسْتِخْدَامِ وَسَائِلِ التَّفْكِيْرِ وَ التَّسَاؤُلِ الْمَنْطِقِي لِلْوُصُوْلِ إِلَى مَعَانٍ جَدِيْدَةٍ ، يَحْتَمِلُهَا النَّصُّ الْقُرْآنِي وَفْقَ قَوَاعِدِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ ، وَ رَبْطَ الْجُمَلِ الْقُرْآنِيَّةِ بِبِعْضِهَا ، وَ رَبْطَ السُّوَرِ الْقُرْآنِيَّةِ بِبَعْضِهَا ، وَ إِضْفَاءَ تَسَاؤُلاَتٍ مُخْتَلِفَةٍ حَوْلَ هَذَا الرَّبْطِ

Artinya:
Berfikir dengan menggunakan seluruh kemampuan akal dan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang logis untuk mencapai pengertian yang baru, yang terkandung dalam nash Al-Qur’an yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, baik yang menghubungkan antara kalimat-kalimat di dalam Al-Qur’an, maupun yang menghubungkan antara surat-surat di dalam Al-Qur’an


Allah memerintahkan manusia untuk mentadabburkan Al-Qur’an agar mereka memahami dan menghayati isinya dengan benar. Dalam Al-Qur’an terdapat tiga Ayat yang memerintahkan kita untuk mentadabburkan Al-Qur’an, khususnya terhadap kaum kafir dan kaum munafiq .

A. Surah An-Nisa’ ayat 82 :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Mengapa mereka tidak mentadabburkan Al-Qur’an? Jika Al-Qur’an itu (datang) dari selain Allah, pasti mereka menemukan di dalamnya perselisihan yang banyak.

B. Surah Muhammad ayat 24 :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak mentadabburkan Al Quran? Ataukah hati mereka terkunci?

C. Surah Shad ayat 29 :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَاب
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS.38:29)

Ayat-ayat Al-Qur’an adalah mukjizat dari Allah sehingga dengan mudah Al-Qur’an dapat merubah cara berfikir dan pemahaman orang yang mentadabburkannya. Begitu dahsyatnya kekuatan dan kemukjizatan ayat-ayat Al-Qur’an itu, maka gunungpun bisa terbelah karena takut pada Allah jika diturunkan ke atasnya. (Q.S. Al-Hasyr : 21).  Tentulah hati, fikiran dan perasaan manusia lebih luluh lagi saat mentadabburkan ayat-ayat Al-Qur’an yang penuh kekuatan dan kemukjizatan itu. Namun demikian, satu hal yang harus dihindari ialah memaksakan pemahaman yang tidak didukung oleh berbagai ilmu alat Al-Qur’an, seperti bahasa Arab, asbabunnuzul dan sebagainya terkait suatu ayat Al-Qur’an. Jika belum sampai kepada suatu keyakinan yang didukung oleh ayat-ayat lain atau hadits-hadits shahih, atau ilmu-ilmu alat lainnya, maka wajib bagi kita untuk memperluas tadabburnya melalui kitab-kitab Tafsir yang mu’tamad seperti Tafsir Ibnu Katsir, At-Thobari dan sebagainya. Dengan demikian, in sya Allah kita akan terhindar dari pemahaman dan penafsiran yang kurang tepat atau mungkin saja keliru dan menyimpang jika kita selalu berusaha untuk memahami sesuai dengan pemahaman salsful ummah.

Wallahu A'lam


Tuesday 26 January 2016

Hal-Hal yang Harus Dilakukan Sahabat Al Quran



Dari Abdillah bin Amr bin 'Ash dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Akan dikatakan kepada shahib Al Qur'an, "Bacalah dan naiklah serta tartilkan sebagaimana engkau dulu mentartilkan Al Qur'an di dunia, sesungguhnya kedudukanmu di akhir ayat yang kau baca." (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

Para ulama menjelaskan arti shahib Al Qur'an adalah orang yang hafal semuanya atau sebagiannya, selalu membaca dan mentadabur serta mengamalkan isinya dan berakhlak sesuai dengan tuntunannya.

Dalam Muqodimah Tafsir Al Qurthubi, dalam bab Ma Yambaghi Li Shahib Al Quran an Ya'khudza Nafsahu bihi wala Yaghfulu 'Anhu imam Qurtubhi berkata bahwa 10 hal yang harus dilakukan Shahib Al Quran :
1. Hedaknya ia ikhlas dalam mempelajari Al Quran, semata-mata hanya karena Allah. Hendaknya ia mewajban dirinya sendiri untuk membaca Al Quran di waktu siang maupun malam, di dalam shalat maupun di luar shalat agar tidak sampai lupa.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنِّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عاهَدَهاَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَ  إِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ -البخاري

Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Sesungguhnya perumpamaan shahib Al Qur`an seperti pemilik onta yang bertali kekang. Jika ia terus-menerus menjaganya (tali) atasnya (onta) ia menahannya dan jika ia melepasnya (tali) maka ia (onta) pergi”. (Riwayat Al Bukhari)

2. Hendaklah ia senantasa memuji Allah mensyukuri nikmat-nikmat Nya, berdzikir, tawakal dan meminta tolong kepadaNya, mencintai Nya, berpegang teguh kepada Nya, selalu mengingat mati dan memohon kebahagiaan kepada Nya.

3. Hendaklah ia  takut akan dosa-dosanya, mengharapkan ampunan Allah, lebih banyak merasa takut saat sehat sebab ia tidak tahu kapan hidupnya ber akhir, lebih megharap rahmat Allah ( raja' ) pada masa-masa mejelang ajal tiba, serta berbaik sangka kepada Allah.

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَمُوْتَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى

Janganlah salah seorang dari kaliam mati, kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah (HR. Abu Daud dan Muslim).

Maksudnya, berbaik sangka bahwa Allah akan merahmati dan mengampuninya.

4. Hendaknya ia mengetahui ( kecenderungan ) manusia yang hidup pada zamannya, menjaga diri dari penguasa, menjaga kemurnian, kebersihan dan keselamaan jiwanya, berjihad melawan dorongan nafsu sekuat tenaga.

5. Hendaklah ia bersikap wara' terhadap kehidupan dunia dan bertaqwa kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Ibnu Mas'ud berkata,' Sudah semestinya orang yang hafal Al Qur'an itu dikenali orang, yakni dengan terjaga di saat manusia terlelap oleh malam, dengan berwaspada di saat siang ketika manusia tertawa, dengan diam saat manusia berbicara tiada guna dan bersikap khusyu' ketika manusia sombong.'

'Abdullah bin 'Umar berkata, 'Tidak sepatutnya penghafal AlQuran itu tercebur dalam keburukan bersama orang-orang yang tercebur, bertindak bodoh bersama orang-orang yang bodoh. Hendaklah ia berjiwa pemaaf dan lapang dada demi hak Al Qur'an, karena di dalam dirinya terdapat kalam Allah.'

6. Hendaklah ia mengambil sikap menjauhi jalan syubhat, sedikit tertawa, sedikit berbicara dalam majlis Al Qur'an dan majlis yang lain dengan pembicaraan yang tidak berfaedah, serta menempatkan diri sebagai orang yang bijak dan lemah lembut.

7. Hendaklah ia bersikap tawadhu' terhadap orang-orang fakir, menjauhi sikap takabur dan ujub, menjaga jarak dengan dunia dan kesenanganya jika khawatir adanya fitnah yang akan menimpa jiwanya, meninggalkan perdebatan dan menempatkan dirinya sebagai orang yang sopan dan beradab.

8. Hendaklah ia menjadi sosok yang orang lain aman dari gangguanya, orang lain mengharapkan kebaikanya, orang lain selamat dari keburukanya , tidak mendengarkan orang di dekatnya yang membicarakan aib orang lain, bergaul dengan orang yang dapat membantunya mengerjakan kebaikan dan menunjukkan pada kejujuran dan akhlak mulia sehingga ia bisa menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji itu, tidak mengacuhkanya begitu saja.

9. Hendaklah ia juga mempelajari hukum-hukum Al Quran ( ilmu fikih ) , sehingga mengetahui maksud-maksud Allah dan hal-hal yang di wajibkan-Nya. Dengan demikian, ia bisa mengambil manfaat dari apa yang ia baca, lalu mengamalkanya. Bagaimana mungkin seseorang mengamalkan sesuatu yang tidak dipahaminya?

Alangkah buruknya jika ia ditanya tentang suatu hukum fikih dan ayatnya ia baca, ternyata ia tidak bisa menjawabnya. Tidak ada perumpamaan yang lebih tepat untuk menggambarkan keadaan orang ini selain khimar yang membawa buku-buku tebal.

10. Hendaknya dia mengetahui mana ayat Makkiyah dan mana ayat Madaniyah, sehingga ia bisa membedakan seruan-seruan Allah untuk para hamba-hamba-Nya di masa awal Islam, hal-hal yang diperintahkan Allah pada mereka di masa akhir Islam, hal-hal yang diwajibkan pada masa awal Islam dan kewajiban-kewajiban lain yang ditambahkan Allah belakangan. Ayat-ayat madaniyah merupakan ayat yang menasakh ayat-ayat makiyah.Tidak mungkin ayat-ayat makiyah yang menasakh ayat-ayat madaniyah, karena mansukh harus turun terlebih dulu sebelum nasikh diturunkan.

Apabila seorang penghafal Al Quran berhasil meraih tingkatan-tingkatan di atas, berarti ia Mahir Al Quran, memahami Al Quran dan menjadi orang yang dekat dengan Allah. Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَان
ِ
“Orang yang mahir membaca Al-Qur`an, maka kedudukannya di akhirat bersama para malaikat yang mulia lagi baik. Sementara orang yang membaca Al-Qur`an dengan tertatah-tatah dan dia sulit dalam membacanya, maka dia mendapatkan dua pahala.” (HR. Muslim )

Semoga Allah memudahkan kita menjadi salah satu dari sekian banyak sahabat Al Qur'an yang mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah. Amin.

Wallahu A'lam
Pundung, 15 Rabiul Akhir 1437 H
Ta' Rouf Yusuf


Wednesday 20 January 2016

Sholat Sebagai Solusi Permasalahan Bangsa

Allah berfirman :

ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾

"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. " (Al Ankabut : 45)

Kata ‘utlu’ adalah bentuk kata perintah dari kata tilawah. Tilawah memiliki makna yang berbeda dengan qiroah. Qiro’ah adalah masdar dari Qoroah yang berarti mengumpulkan atau al jam’u, yang berarti mengumpulkan huruf-huruf dalam sebuah untaian kata dan kalimat. Kata turunnan dari kata dasar qoroah memiliki beberapa makna, diantaranya :
Tafahhama ( berusaha memahami )
Daarasa (terus mempelajari )
Tafaqqaha (berupaya mengerti secara mendalam )
Hafizha ( menghafal ) karena menghafal juga berarti jama’a (mengumpulkan ) dan dhamma ( menyatukan )
(lihat Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal 413-414 dan Lisanul Arab I/128-133 )

Qiroah lebih menitik beratkan kepada aspek pengetahuan dan bersifat umum tidak untuk kitab suci saja namun bisa berarti membaca apapun.

Adapun Tilawah dari kata Talaa-Yatlu. Makna awalnya adalah mengikuti ( tabi’a atau ittaba’a ) yang secara khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah dengan menjalankan apa yang terkandung di dalamnya (ittiba’ ). Sedangkan makna yang lain adalah Tilawah alfzaazhihi (membaca lafaznya), sehingga qiro’ah ( membaca ) merupakan bagiannya. Jika tilawah seperti ini maknanya (membaca dan mengikuti), maka berarti dalam tilawah terdapat penegakkan agama secara keseluruhan yaitu mempelajari dan mengamalkan.

Adapun ‘aqimish sholat’ bermakna ‘ lakukanlah terus menerus atau konsistenlah dalam mengerjakan sholat.'. Dalam ayat ini Allah menghubungkan yang khusus dengan yang umum sebelumnya yakni tilawah kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perbuatan khusus berupa sholat, hal ini menunjukkan begitu istimewanya sholat dan pengaruhnya yang indah dalam kehidupan. ( Tafsir Ruhul Bayan, Ismail Al Haqi )

Seseorang yang mampu melaksanakan sholat dengan menyempurnakan syarat dan rukunnya disertai sikap khusyu’ (hadirnya hati) sambil memikirkan apa yang ia baca dan komitmen untuk melaksanakan kandungan Al Quran yang ia baca maka hatinya akan bersinar dan menjadi bersih, imannya bertambah, kecintaannya kepada kebaikan menjadi kuat, keinginannya kepada keburukan menjadi kecil atau bahkan hilang, sehingga jika terus menerus dilakukan, maka akan membuat pelakunya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Hubungannya dengan Allah terjalin, sehingga Allah memberikan kepadanya penjagaan, dan setan yang mengajak kepada kemaksiatan merasa kesulitan untuk menguasai dirinya. Perbuatan Keji ( fahsya ) adalah perbuatan yang dianggap sangat buruk oleh syara’ di antaranya adalah perbuatan maksiat yang disenangi oleh jiwa sedangkan Munkar adalah semua maksiat yang diingkari oleh akal dan fitrah. Maka sholat yang benar dengan tilawah dan konsiten akan mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Maka inilah buah yang dihasilkan dari sholat.

Namun di dalam sholat juga terdapat maksud yang lebih besar dari itu, yaitu dapat tercapai dzikrullah (mengingat Allah) seperti yang dikandung oleh sholat itu sendiri, di mana di dalamnya terdapat dzikrullah baik dengan hati, lisan maupun dengan anggota badan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya, sedangkan ibadah yang paling utama adalah sholat yang di sana terdapat bukti penghambaan anggota badan secara keseluruhan yang tidak terdapat pada ibadah selainnya. Oleh karena itulah, pada lanjutan ayatnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan (ketahuilah) mengingat Allah(sholat) itu lebih besar….” ( Hidayatul Insan, Marwan bin Musa )

Syaikh Wahbah Azzuhaili menyimpulkan dari ayat ini bahwa sholat memiliki dua fungsi, pertama, mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Kedua sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Untuk mencapai kedua hal ini sholat yang dilakukan oleh seorang muslim hendaknya dilandasi dengan rasa khusyu’ dan ikhlas. Dengan demikian, ketika mengerjakan sholat, seseorang dapat merasakan komunikasi yang intens dengan AllahTa’ala, menjadikan hati takut dan  tunduk kepada-Nya, sehingga tujuan dari sholat bisa tercapai. Adapun jika hanya sekedar gerakan dan bacaan saja maka kedua fungsi ini tidak akan tercapai. (Tafsir Munir, Wahbah Az Zuhaili )

Kalau kita mengkaji lebih lanjut maka sholat juga menjadi pembeda antara seorang muslim dan kafir.Sholat yang berkualitas akan mampu menyebabkan dampak positif bagi perkembangan jiwa sekaligus berkontribusi besar dalam membangun kesalehan individual dan sosial. Syaikh Ali Nayif As Suhud merinci sejumlah dampak positif sholat bagi seorang mukmin, antara lain :
1. Sholat adalah bukti keimanan seorang hamba, identitas ketaqwaan sekaligus pemenuhan janji kepada Allah Ta’ala.
2. Sholat merupakan manhaj ( metode ) untuk mendidik manusia agar memiliki akhlak mulia karena shalat dapat mencegah perbuatatn keji dan munkar.
3. Sholat dapat menjadi solusi bagi seorang mukmin untuk keluar dari segala kesulitan dan kesusahan hidup. ( Al Baqarah : 153 ).
4. Sholat adalah konsumsi jiwa yang dapat meringankan hati dan melapangkan dada. ( Al Ma’arij :19-23 ).
5. Sholat menjadi penyebab dari dihapuskanya kesalahan dan diampuni dosa. ( HR Bukhari-Muslim )
6. Sholat akan mendidik kaum muslimin untuk menjadi pribadi yang bersih dan teratur dalam hidup.
7. Sholat berjamaah dapat mempererat tali silaturahim sekaligus memperkuat keimanan dan keyakinan akan kebenaran islam. ( At Taubah : 11 )
( Al Manhaj An Nabawi Li Tarbiyatil Athfal, Ali Nayif As Suhudi )

Dapat kita simpulkan bahwa sholat seseorang yang baik akan menjadi solusi seluruh permasalahan yang ada di masyarakat saat ini. Sholat yang dilakukan setiap individu-individu muslim dengan mengaplikasikan hal-hal di atas, akan menjadi modal awal pembentuakan Modal Sosial yang baik.

Francis Fukuyama dengan meyakinkan berargumentasi bahwa Modal Sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai persyaratan bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan komponen kultural bagi kehidupan masyarakat modern. Korupsi dan penyimpangan yang terjadi di berbagai belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Latin, salah satu determinan utamanya adalah rendahnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat.

Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Suatu kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas permasalahan kesejahteraan sosial dengan lebih mudah. Hal ini memungkinkan terjadi terutama pada masyarakat yang terbiasa hidup dengan rasa saling mempercayai yang tinggi, bersatu dan memiliki hubungan sosial (jejaring sosial) secara intensif dan dengan didukung oleh semangat kebaikan untuk hidup saling menguntungkan dan saling memberi. Dan hal itulah yang akan menjadi modal dalam mencapai kemamuran suatu bangsa.

Wallahu A’lam
Temanggung, 21 Januari 2016
Ta’ Rauf Yusuf

Tuesday 19 January 2016

Jangan Merasa Rizkimu Sempit....

Allah menyatakan,
ﻭَﻟَﻮْ ﺑَﺴَﻂَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ﻟِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ ﻟَﺒَﻐَﻮْﺍ
ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳُﻨَﺰِّﻝُ ﺑِﻘَﺪَﺭٍ ﻣَﺎ ﻳَﺸَﺎﺀُ
ﺇِﻧَّﻪُ ﺑِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺧَﺒِﻴﺮٌ ﺑَﺼِﻴﺮٌ
“Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada
hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
menurunkan apa yang dikehendaki-Nya
dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi
Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27)
Ibnu Katsir mengatakan,
ﺃﻱ : ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺮﺯﻗﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺯﻕ ﻣﺎ
ﻳﺨﺘﺎﺭﻩ ﻣﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺻﻼﺣﻬﻢ، ﻭﻫﻮ ﺃﻋﻠﻢ
ﺑﺬﻟﻚ ﻓﻴﻐﻨﻲ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻐﻨﻰ،
ﻭﻳﻔﻘﺮ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻔﻘﺮ .
“Maksud ayat, Allah memberi rezeki mereka
sesuai dengan apa yang Allah pilihkan, yang
mengandung maslahat bagi mereka. Dan
Allah Maha Tahu hal itu, sehingga Allah
memberikan kekayaan kepada orang yang
layak untuk kaya, dan Allah menjadikan
miskin sebagian orang yang layak untuk
miskin.” (Tafsir Alquran al-Adzim, 7/206)
Terkait dengan hal ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengingatkan
umatnya agar jangan sampai mereka merasa
rezekinya terlambat atau jatah rezekinya
seret. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ، ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻟَﻦْ ﻳَﻤُﻮﺕَ
ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﺘَﻜْﻤِﻞَ ﺭِﺯْﻗَﻪُ ، ﻓَﻼ ﺗَﺴْﺘَﺒْﻄِﺌُﻮﺍ
ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ، ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ،
ﻭَﺃَﺟْﻤِﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄَّﻠَﺐِ ، ﺧُﺬُﻭﺍ ﻣَﺎ ﺣَﻞَّ ،
ﻭَﺩَﻋُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺣَﺮُﻡَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah
rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa
rezeki kalian terhambat dan bertakwalah
kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah
rezeki dengan baik, ambil yang halal
dantinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi
dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan
Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan
disepakati Ad-Dzahabi)

Ust Sa'id Hamidi


Monday 18 January 2016

Perkataan Ulama Terkait Mengirimkan Pahala kepada Mayit

Ibnu Katsir ad-Dimasyqi dalam tafsirnya; Tafsir al-Quran al-Adzim, jilid 7/ halaman 465, serta pernyataan Imam an-Nawawi, bahwa yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i adalah tidak sampai: فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل Pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan beberapa jamaah adalah tidak sampai (Pahala bacaan al-Qur’an) (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w, al-Adzkar). Ada beberapa catatan terkait pernyataan Imam as-Syafi’i di atas. Pertama, pernyataan tidak sampainya bacaan al-Quran kepada mayyit dengan keadaan apapun, dari Imam as-Syafi’i ini secara jelas susah ditemukan, kalaupun ada ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i. Terlebih ini adalah pernyataan yang sepotong. Apakah dalam semua keadaan, bacaan al-Qur’an kepada mayyit itu tidak sampai, atau ada syarat khusus dan kriteria tertentu agar bisa bermanfaat kepada mayyit. Karena Imam as-Syafi’i pernah juga menyatakan sendiri dalam kitabnya al-Umm: وأحب لو قرئ عند القبر، ودعي للميت Saya menyukai jika dibacakan al-Quran di kuburnya, dan juga didoakan. (Imam Muhammad bin Idris as-Syafi'i, al-Umm) Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam an-Nawawi : قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا Imam as-Syafi’i mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik.(Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin) Ada hal menarik disini. Jika dikatakan menurut Imam as-Syafi’i muthlak tidak sampai dalam keadaan apapun, kenapa Imam as-Syafi’i malah menganjurkan mengkhatamkan al-Qur’an kepada mayit setelah di kuburkan? Perlu dicatat, bahwa sebenarnya Imam as-Syafi'i tidak pernah menyatakan bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayyit itu bid'ah yang sesat.  Imam as-Syafi'i juga tidak pernah menyatakan bahwa membaca al-Quran di kuburan itu bid'ah. Syeikh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi mempunyai kitab khusus terkait membaca al-Quran di kuburan. Kitab itu berjudul: al-Qiraah Inda al-Qubur.  Beliau menukil pernyataan Imam as-Syafi'i dari Hasan bin as-Shabbah az-Za'farani ( salah seorang murid Imam as-Syafi'i ) dan guru dari sekian banyak Muhaddits, seperti Imam al-Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Huzaimah. ( Ad-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala' ). Disebutkan dalam kitab al-Qira'ah Inda al-Qubur: أخبرني روح بن الفرج، قال: سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني، يقول: سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال: لا بأس به al-Hasan bin as-Shabbah az-Za'farani bertanya kepada Imam as-Syafi'i tentang membaca al-Qur'an di kuburan. Beliau menjawab: Iya, tidak apa-apa (Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi, al-Qiraah inda al-Qubur ) Kedua, tentu yang lebih paham tentang fiqih Syafi’i adalah para ulama asli madzhab as-Syafi’I Syaikh al-Islam Zakaria Al-Anshari as-Syafi’i dan Ibnu Hajar Al-Haitami as-Syafi’i , sebagai ulama dalam madzhab as-Syafi’i menyimpulkan bahwa, maksud bacaan al-Quran itu tidak sampai jika tidak diniatkan atau tidak dibacakan di hadapan si mayit. ( Syaikh al-Islam Zakaria al-Anshori , Fath al-Wahhab, dan Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro). Ketiga, ini yang terpenting. Memang masalah ini menjadi perbedaan diantara para ulama sejak dahulu. Hanya saja perbedaan mereka terkait, “Sampai atau tidak”, bukan pada “Boleh atau tidak boleh” atau “Ada tuntunannya atau tidak” atau “Rasulullah melakukannya atau tidak”. Abu Bakar Al-Marrudzi al-Hanbali ( salah seorang murid terdekat Imam Ahmad bin Hanbal ) pernah mendengar sendiri Imam Ahmad berkata: قال المروذي: سمعت أحمد يقول: إذا دخلتم المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب والمعوذتين، وقل هو الله أحد، واجعلوا ثواب ذلك إلى أهل المقابر؛ فإنه يصل إليهم، وكانت هكذا عادة الأنصار في التردد إلى موتاهم؛ يقرءون القرآن. Saya (al-Marrudzi) pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah Surat al-Fatihah, al-Muawwidzatain dan al-Ikhlas. Lantas jadikanlah pahala bacaan itu untuk ahli kubur, maka hal itu akan sampai ke mereka. Dan inilah kebiasaan kaum Anshar ketika datang ke orang-orang yang telah wafat, mereka membaca al-Qur’an.(Mushtafa bin Saad al-Hanbali, Mathalib Ulin Nuha). Syaikh Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa juz 24 halaman 367 : وأما القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره. وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة والقراءة. والصواب أن الجميع يصل إليه Adapun bacaan Al-Quran, shodaqoh dan ibadah lainnya termasuk perbuatan yang baik dan tidak ada pertentangan dikalangan ulama ahli sunnah wal jamaah bahwa sampainya pahala ibadah maliyah seperti shodaqoh dan membebaskan budak. Begitu juga dengan doa, istighfar, sholat dan doa di kuburan. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala ibadah badaniyah seperti puasa, sholat dan bacaan. Pendapat yang benar adalah semua amal ibadah itu sampai kepada mayit. ( Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa)  Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata : وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك بين وصول ثواب القراءة والذكر، والقائل أن أحدا من السلف لم يفعل ذلك قائل مالا علم له به Apa bedanya sampainya pahala puasa dengan bacaan al-Qur’an dan dzikir. Orang yang mengatakan bahwa ulama salaf (bukan salafi) tak pernah melakukan hal itu, berarti orang itu tak ada ilmunya (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ar-Ruh) Ibnu Quddamah berkata : ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير Ijma’ kaum muslimin menyatakan bahwa di tiap waktu dan di seluruh penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah wafat, tanpa ada yang mengingkarinya.(Ibnu Quddamah al-Hanbali, al-Mughni) Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin lebih memilih bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبا أو غير قريب. والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت Pendapat kedua, adalah mayyit bisa mendapat manfaat dari apa yang dikerjakan orang yang masih hidup. Hukumnya boleh, orang membaca al-Quran lantas berkata; “Saya niatkan pahala ini untuk fulan atau fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan. Ini adalah pendapat yang rajih. (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin w. 1421 H, Majmu’ Fatawa wa Rasail)

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...