Sunday 27 March 2016

'Abbad bin Bisyr

‘ABBAD bin Bisyr, adalah seorang sahabat yang tidak asing lagi dalam sejarah dakwah Islamiyah. Ia tidak hanya termasuk di antara para ‘abid (ahli ibadah), bertaqwa, dan menegakkan sholat tahajud setiap malam dengan membaca beberapa juz Al-Qur’an, tapi juga tergolong kalangan para pahlawan, yang gagah berani, dalam menegakkan kalimah Alloh. Tidak hanya itu, ia juga seorang penguasa yang cakap, berbobot, dan dipercaya dalam urusan harta kekayaan kaum Muslimin.

Ketika Islam mulai tersiar di Madinah, ‘Abbad bin Bisyr Al-Asyhaly Al-Anshory masih muda. Kulitnya yang bagus dan wajahnya yang rupawan memantulkan cahaya kesucian. Dalam kesehariannya dia memperlihatkan tingkah laku yang baik, bersikap dewasa layaknya orang yang sudah dewasa, kendati usianya belum mencapai dua puluh lima tahun.

Dia mendekatkan diri kepada seorang da’i dari Makkah, yaitu sahabat Mus’ab bin ‘Umair radliyallahu ‘anhu. dalam waktu singkat, hati keduanya terikat dalam ikatan iman yang kokoh. ‘Abbad mulai belajar membaca Al-Qur’an kepada Mus’ab. Suaranya merdu, menyejukkan dan menawan hati. Begitu senangnya membaca kalamulloh, sehingga menjadi kegiatan utama baginya. Diulang-ulangnya siang dan malam, bahkan dijadikannya suatu kewajiban. Karena itu dia terkenal di kalangan para shohabat sebagai imam dan pembaca Al-Qur’an.

Pada suatu malam Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam sedang melaksanakan sholat lail di rumah ‘Aisyah radliyallahu ‘anhu yang berdempetan dengan masjid Nabawi. Terdengar oleh beliau suara ‘Abbad bin Bisyr membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu, laksana suara Jibril ketika menurunkan wahyu ke dalam hatinya.

“Ya ‘Aisyah, suara ‘Abbad bin Bisyr-kah itu?” tanya Rosululloh.

“Betul, ya Rosululloh!” jawab ‘Aisyah.

Rosululloh berdo’a, “Ya Alloh, ampunilah dia!”

‘Abbad bin Bisyr selalu turut berperang bersama-sama Rosululloh dalam setiap Ghozawatur Rosul (peperangan yang dipimpin Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam). Dalam peperangan-peperangan itu dia bertugas sebagai pembawa Al-Qur’an. Ketika Rosululloh kembali dari peperangan Dzatur Riqo’, beliau beristirahat dengan seluruh pasukan kaum Muslimin di lereng sebuah bukit.

Waktu itu, seorang prajurit muslim menawan seorang wanita musyrik yang ditinggal pergi oleh suaminya. Ketika suaminya datang kembali, istrinya sudah tiada. Dia bersumpah dengan Latta dan ‘Uzza akan menyusul Rosululloh dan pasukan kaum Muslimin, ia tidak akan kembali kecuali setelah menumpahkan darah di antara para shohabat.

Setibanya di tempat pemberhentian di atas bukit, Rosululloh bertanya kepada para shohabat, “Siapa yang bertugas jaga malam ini?”

‘Abbad bin Bisyr dan ‘Ammar bin Yasir  rodhiyallohu ‘anhuma- berdiri, “Kami, ya Rosululoh!” kata keduanya serentak. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan kedua-nya bersaudara ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah.

Ketika keduanya keluar ke pos penjagaan, ‘Abbad bertanya kepada ‘Ammar, “Siapakah di antara kita yang berjaga lebih dahulu?”

“Saya yang tidur lebih dahulu!” jawab ‘Ammar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh dari tempat penjagaan.

Suasana malam kala itu tenang, sunyi dan nyaman. Bintang gemintang, pohon-pohon dan bebatuan, seakan-akan bertasbih memuji kebesaran Alloh. Hati ‘Abbad tergiur hendak turut melakukan ibadah. Dalam sekejap, ia pun larut dalam manisnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacanya dalam sholat. Nikmat sholat dan tilawah berpadu menjadi satu dalam jiwanya.

Dalam sholat lail itu dibacanya surat Al-Kahfi dengan suara memilukan, merdu bagi siapa pun yang mendengarnya. Ketika ia sedang bertasbih dalam cahaya Ilahi yang meningkat tinggi, tenggelam dalam kelap-kelip pancarannya, seorang laki-laki datang memacu langkah tergesa-gesa. Laki-laki itu melihat dari kejahuan seorang hamba Alloh sedang beribadah di pos penjagaan, dia yakin Rosululloh dan para shohabat pasti berada di sana. Sedangkan orang yang sedang sholat itu adalah pengawal yang bertugas jaga.

Penyusup itu segera menyiapkan anak panah dan memanah ‘Abbad tepat mengenainya. ‘Abbad mencabut panah yang bersarang di tubuhnya sambil meneruskan bacaan dan tenggelam lagi dalam sholatnya. Orang itu memanah lagi dan mengenai ‘Abbad dengan jitu. ‘Abbad mencabut juga anak panah kedua ini dari tubuhnya seperti yang pertama. Kemudian orang itu memanah lagi. Lagi-lagi ‘Abbad mencabutnya dan tetap larut dalam munajah-nya.

Ketika tiba giliran jaga saudaranya, ‘Ammar, ‘Abbad merangkak ke dekat saudaranya yang terlelap tidur lalu membangunkannya seraya berkata, “Bangun! Aku terluka parah dan lemas!”

Sementara itu, ketika melihat mereka berdua, si pemanah buru-buru melarikan diri. ‘Ammar menoleh kepada ‘Abbad. Dilihatnya darah mengucur dari tiga buah lubang di tubuh ‘Abbad. “Subhanalloh! Mengapa kamu tidak membangunkanku ketika anak panah pertama mengenaimu?” tanyanya keheranan.

Aku sedang membaca Al-Qur’an dalam sholat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Alloh, kalaulah tidak karena takut menyia-nyiakan tugas yang dibebankan Rosululloh, menjaga mulut jalan tempat kaum Muslimin berkemah, biarlah tubuhku putus dari pada memutuskan bacaan dalam sholat tahajudku,” jawab ‘Abbad.

Ketika perang dalam rangka memberantas orang-orang murtad berkecamuk di masa Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, kholifah menyiapkan pasukan besar untuk menindas kekacauan yang ditimbulkan oleh Musailamah al-Kadzdzab. ‘Abbad bin Bisyr termasuk pelopor dalam ketentaraan tersebut.

Setelah diperhatikannya celah-celah pertempuran, ‘Abbad berpendapat kaum Muslimin tidak akan menang karena kaum Muhajirin dan kaum Anshor saling menyerahkan urusan satu sama lain. Bahkan mereka saling menbeci dan saling mencela. ‘Abbad yakin kaum Muslimin tidak akan menang dalam pertempuran dengan kondisi pasukan yang tidak kompak itu. Kecuali bila kaum Ashor dan Muhajirin membentuk pasukannya masing-masing dengan tanggung jawab sendiri-sendiri. Dengan begitu dapat diketahui dengan jelas mana pejuang yang sungguh-sungguh.

Sebelum pertempuran yang menentukan itu dimulai, ‘Abbad bermimpi dalam tidurnya, seolah-olah dia melihat langit terbuka. Setelah dia memasukinya, dia langsung menggabungkan diri ke dalam dan mengunci pintu. Ketika Shubuh tiba, ‘Abbad menceritakan mimpinya itu kepada Abu Sa’id Al-Khudriy. “Demi Alloh, itu seperti benar-benar kejadian, hai Abu Sa’id!” ujarnya.

Ketika perang mulai berlangsung, ‘Abbad naik ke suatu bukit kecil seraya berteriak, “Hai kaum Anshor, berpisahlah kalian dari tentara yang banyak itu! Pecahkan sarung pedang kalian! Jangan tinggalkan Islam terhina atau tenggelam, niscaya bencana menimpa kalian!”

‘Abbad mengulang-ulang seruannya, sehingga sekitar empat ratus prajurit berkumpul di sekelilingnya. Di antara mereka terdapat perwira seperti Tsabit bin Qois, Al-Barro’ bin Malik, dan Abu Dujanah, pemegang pedang Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam.

‘Abbad dan pasukannya menyerbu memecah pasukan musuh dan menyebar maut dengan pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah al-Kadzdzab terdesak mundur dan melarikan diri ke “Kebun Maut”.

Di sana, dekat pagar tembok “Kebun Maut”, ‘Abbad gugur sebagai syahid. Wajah dan tubuhnya penuh dengan luka bekas pedang, tusukan lembing, panah yang menancap dan lainnya. Para shohabat hampir tak mengenalinya, kecuali setelah melihat-lihat beberapa tanda di bagian tubuhnya yang lain.

Semoga Alloh memberikan kita kekuatan untuk mencontoh para pendahulu kita . Amin


Monday 14 March 2016

A True Love Story

Najmuddin Ayyub penguasa Tikrit belum menikah dalam waktu yang lama. Maka, bertanyalah saudaranya Asaduddin Syerkuh,
“Saudaraku, mengapa kamu belum menikah?”
Najmuddin menjawab, “Aku belum mendapatkan yang cocok.”
Asaduddin berkata, “Maukah aku lamarkan seseorang untukmu?”
Dia berkata, “Siapa?”
Ia menjawab, “Puteri Malik Syah anak Sultan Muhammad bin Malik Syah Raja bani Saljuk atau putri Nidzamul Malik dulu menteri dari para menteri agung zaman Abbasiyah.”
Najmuddin berkata, “Mereka tidak cocok untukku.”
Heranlah Asaduddin Syerkuh. Ia berkata, “Lantas, siapa yang cocok bagimu?”

Najmuddin menjawab, “Aku menginginkan istri yang salihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”

Waktu itu, Baitul Maqdis dijajah oleh pasukan salib dan Najmuddin masa itu tinggal di Tikrit, Irak, yang berjarak jauh dari lokasi tersebut. Namun, hati dan pikirannya senantiasa terpaut dengan Baitul Maqdis.

Impiannya adalah menikahi istri yang salihah dan melahirkan ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis ke pangkuan kaum muslimin.

Asaduddin tidak terlalu heran dengan ungkapan saudaranya, ia berkata, “Di mana kamu bisa mendapatkan yang seperti ini?”

Najmuddin menjawab, “Barang siapa ikhlas niat karena Allah, akan Allah karuniakan pertolongan.”
Maka, pada suatu hari, Najmuddin duduk bersama seorang Syaikh di masjid Tikrit dan berbincang-bincang. Datanglah seorang gadis memanggil Syaikh dari balik tirai dan Syaikh tersebut minta izin Najmuddin untuk bicara dengan si gadis.

Najmuddin mendengar Syaikh berkata pada si gadis,
“Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?”

Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.”
Syaikh berkata, “Siapa yang kau inginkan?”

Gadis itu menjawab, “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin."
Dia cocok untukku!

Najmuddin bagai disambar petir saat mendengar kata-kata wanita dari balik tirai itu.

Allahu Akbar! Itu kata-kata yang sama yang diucapkan Najmuddin kepada saudaranya. Sama persis dengan kata-kata yang diucapkan gadis itu kepada Syaikh.

Bagaimana mungkin ini terjadi kalau tak ada campur tangan Allah yang Maha Kuasa? Najmuddin menolak putri Sultan dan Menteri yang punya kecantikan dan kedudukan. Begitu juga gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan.
Apa maksud ini semua? Keduanya menginginkan tangan yang bisa menggandeng ke surga dan melahirkan darinya ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.

Seketika itu Najmuddin berdiri dan memanggil sang Syaikh,
“Aku ingin menikah dengan gadis ini.”

Syaikh mulanya kebingungan. Namun, akhirnya beliau menjawab dengan heran,

“Mengapa? Dia gadis kampung yang miskin.”

Najmuddin berkata, “Ini yang aku inginkan. Aku ingin istri salihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.”
Maka, menikahlah Najmuddin Ayyub dengan gadis itu.

Tak lama kemudian, lahirlah putra Najmuddin yang menjadi ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis ke haribaan kaum muslimin. Anak itu lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M. Namanya adalah Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi atau lebih dikenal dengan nama SHALAHUDDIN AL AYYUBI (صلاح الدین ایوبی).

Dikutip dari Talkhis: Kitabush Shiyam min Syarhil Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله.


Monday 7 March 2016

TENTANG REZEKI ALLAH

Seorang ulama dari Suriah bercerita tentang do'a yg selalu ia lantunkan. Ia selalu mengucapkan do'a seperti berikut ini...

( ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺭﺯﻗﻨﺎ ﻛﻤﺎ ﺗﺮﺯﻕ ﺍﻟﺒﻐﺎﺙ )

"Ya Allah, berilah aku rezeki sebagaimana Engkau memberi rezeki kepada bughats."

Apakah "bughats" itu...?
Dan bagaimana kisahnya...?

"Bughats" adalah anak burung gagak yg baru menetas. Burung gagak ketika mengerami telurnya akan menetas mengeluarkan anak yg disebut "bughats". Ketika sdh besar dia menjadi gagak (gurab).

Apa perbedaan antara bughats & gurab...?

Telah terbukti secara ilmiah, anak burung gagak ketika baru menetas warnanya bukan hitam seperti induknya, karena ia lahir tanpa bulu. Kulitnya berwarna putih.

Di saat induknya menyaksikannya, ia tidak terima itu anaknya, hingga ia tidak mau memberi makan dan minum, lalu mengintainya dari kejauhan saja.

Anak burung kecil malang yang baru keluar dari telur itu tidak mempunyai kemampuan untuk banyak bergerak, apalagi untuk terbang.
Lalu bagaimana ia makan dan minum...?

Allah Yang Maha Kuasa & Maha Pemberi Rezeki yang menanggung rezekinya, karena Dialah yang telah menciptakannya.

Allah menciptakan AROMA tertentu yang keluar dari tubuh anak gagak yang dapat mengundang datangnya serangga ke sarangnya.
Lalu berbagai macam ulat & serangga berdatangan sesuai dengan kebutuhan anak gagak, & ia pun memakannya...
Maa syaa Allah...

Keadaannya terus seperti itu sampai warnanya berubah menjadi hitam, karena bulunya sudah tumbuh.

Ketika itu barulah gagak mengetahui itu adalah anaknya, & ia pun mau mberi makannya sampai tumbuh dewasa & bisa terbang mencari makan sendiri.
Secara otomatis aroma yg keluar dari tubuhnya pun hilang & serangga-serangga tidak berdatangan lagi ke sarangnya.
Dia-lah Allah Ar Razzaq Yang Maha Pemberi Rezeki...

"Kamilah yg membagi-bagikan penghidupan diantara mereka dalam kehidupan di dunia ini."
(QS. Az-Zukhruf : 32)

Rezekimu akan mendatangimu di mana pun kamu berada, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam:

"Sesungguhnya Malaikat Jibril menghembuskan di dalam perasaanku bahwa seseorang tidak akan meninggal sampai sempurna seluruh rezekinya. Ketahuilah, takutlah kepada Allah, dan perindahlah caramu meminta kepada Allah. Jangan sampai keterlambatan rezeki membuatmu mencarinya dengan
cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya tidak akan didapatkan sesuatu yang ada di sisi Allah kecuali dengan menta'atinya."

Makanya sebenarnya kurang pantas bila orang orang beriman berebut rejeki dan seringkali tidak mengindahkan halal haramnya?
Naudzubillah min dzalik...

Ya Allah, Engkau Pemberi dan Penjamin Rezeki, karuniakanlah kepada kami rezeki yg halal dan barokah.

Aamiin...

Wallahu a'lam...

==========
DR. Amr Khalid


Fiqih Sholat Gerhana ( Rumah Fiqih Indonesia )


A. Pengertian

Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf (الخسوف) dan juga kusuf(الكسوف) sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.

Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. [1]

1. Kusuf

Kusuf (كسوف)adalah peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.

2. Khusuf

Khusuf (خسوف) adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.

B. Pensyariatan Shalat Gerhana

Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.

1. Al-Quran

Dalilnya adalah firman Allah SWT :

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat : 37)

Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.

2. As-Sunnah

Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Selain itu juga ada hadits lainnya :

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).

Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat.

Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.

C. Hukum Shalat Gerhana

Para ulama membedakan antara hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.

1. Gerhana Matahari

Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa shalat gerhana matahari hukumnya sunnah muakkadah, kecuali mazbah Al-Hanafiyah yang mengatakan hukumnya wajib.

a. Sunnah Muakkadah

Jumhur ulama yaitu Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah berketetapan bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkad.

b. Wajib

Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib.

2. Gerhana Bulan

Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama terpecah menjadi tiga macam, antara yang mengatakan hukunya hasanah, mandubah dan sunnah muakkadah.

a. Hasanah

Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat gerhana bulan hukumnya hasanah.

b. Mandubah

Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah mandubah.

c. Sunnah Muakkadah

Mazhab As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah.

D. Pelaksanaan Shalat Gerhana 

1. Berjamaah

Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyahradhiyallahu 'anha.

2. Tanpa Adzan dan Iqamat

Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).

3. Sirr dan Jahr

Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).

4. Mandi

Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah

5. Khutbah

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum khutbah pada shalat gerhana.

1. Disyariatkan Khutbah

Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.

Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :

أَنَّ النَّبِيَّ  لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubat dari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).

2. Tidak Disyariatkan Khutbah

Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar.

Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan Nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.

Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi SAW :

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadits ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk disampaikannya khutbah secara khusus. Perintah beliau hanya untuk shalat saja tanpa menyebut khutbah.

6. Banyak Berdoa, Dzikir, Takbir dan Sedekah

Disunnahkan apabila datang gerhana untuk memperbanyak doa, dzikir, takbir dan sedekah, selain shalat gerhana itu sendiri.

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Apabila kamu menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)

E. Tata Cara Teknis Shalat Gerhana

Ada pun bagaimana bentuk teknis dari shalat gerhana, para ulama menerangkan berdasarkan nash-nash syar'i sebagai berikut :

1. Dua Rakaat

Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :

Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku' dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku' untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku' yang lebih panjang dari ini.(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Bacaan Al-Quran

Shalat gerhana termasuk jenis shalat sunnah yang panjang dan lama durasinya. Di dalam hadits shahih disebutkan tentang betapa lama dan panjang shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu :

ابْنُ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَال : كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW melakukan shalat bersama-sama dengan orang banyak. Beliau berdiri cukup lama sekira panjang surat Al-Baqarah, kemudian beliau SAW ruku' cukup lama, kemudian bangun cukup lama, namun tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau ruku' lagi dengan cukup lama tetapi tidak selama ruku' yang pertama. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya.

Sedangkan berdiri yang kedua masih pada rakaat pertama dibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali Imran.

Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.

3. Memperlama Ruku' dan Sujud

Disunnahkan untuk memanjangkan ruku' dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada 2 ruku' dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku' dan sujud pada rakaat kedua.

Yang dimaksud dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan 50 ayat surat Al-Baqarah.

Panjang ruku' dan sujud pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku' dan sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70 ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir sekadar 50 ayat.

Dalilnya adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama hadits.

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل

Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku' sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku' lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku' yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku' panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya.(HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA 
------------------------------

[1] Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 2 hal. 1421

Rumah
Fiqih
Indonesia

http://www.rumahfiqih.com/


Thursday 25 February 2016

Alif laam miim الم ( Kajian Tadabur #6 )

Allah memulai surat Al Baqarah dengan rangkaian huruf الم . Huruf-huruf hijaiyah yang ada di awal-awal surat seperti (الم) dan semisalnya ini disebut sebagai al-huruf al-muqaththa’ah. Ada 29 (dua puluh sembilan) surat yang diawali dengan huruf muqaththa’ah ini, yang pertama Surat al-Baqarah dan yang akhir Surat al-Qalam.
Contohnya: ن, ص, ق, طه, يس, حم, طس, كهيعص dan lainnya. Atau kita juga bisa mengumpulkan kemudian merangkai huruf-huruf muqaththa'ah dalam kalimat :

نَصَّ حَكِيْم قَاطِع لَهُ سِرٌّ

Cara membaca huruf muqaththa'ah adalah dengan mengucapkan seperti: nun, shad, qaf, thaha, yasiin, hamiim, alif lam mim, alif lam ra, alim lam mim ra, alim lam mim shad, tha siim miim, kaf ha ya ‘ain shad, dan semisalnya.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa para ulama pakar tafsir berselisih pendapat mengenai hakikat huruf muqatha’ah yang terdapat di awal-awal surat.

Ada ulama yang mengatakan bahwa Allah yang mengetahui maksudnya. Hakikat huruf-huruf tersebut diserahkan pada Allah dan para ulama tidak menafsirkannya. Yang berpendapat seperti ini adalah dari sahabat-sahabat utama yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan Ibnu Mas’ud.

Ada juga ulama yang menyatakan bahwa huruf muqatha’ah tersebut memiliki tafsiran. Namun mereka berselisih pendapat mengenai tafsirannya. Seperti ada pendapat yang menyatakan bahwa huruf muqatha’ah tersebut adalah di antara nama Al-Qur’an. Juga ada yang menyatakan bahwa huruf muqatha’ah adalah di antara nama Allah.

Namun pendapat pertama bahwa huruf muqatha’ah itu diserahkan maknanya pada Allah lebih tepat. Sedangkan pendapat kedua tidaklah didukung dengan dalil, sehingga ayat ini termasuk ayat mutasyabih yang ilmunya Allah simpan di sisi-Nya.

Oleh karena itu Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain ketika menafsirkan ayat-ayat seperti itu berkata:

الله أعلم بمراده بذلك

“Allah yang lebih tahu tentang yang dikehendaki dengan hal itu.”

Jadi tentang huruf muqaththa’ah pada awal-awal surat, maka lebih selamat adalah diam dari mereka-reka maknanya tanpa landasan syariat. Huruf-huruf itu mempunyai arti atau makna, tetapi kita tidak tahu.

Namun kita meyakini bahwa Allah tidaklah menurunkannya sia-sia bahkan untuk hikmah-hikmah yang kebanyakannya kita tidak ketahui. 

Ada beberapa pendapat mengenai hikmah huruf muqatha’ah di awal-awal surat:

1- Untuk menunjukkan awal-awal surat. Namun menurut Ibnu Katsir pendapat ini adalah pendapat yang lemah karena tidak semua surat diawali dengan huruf muqatha’ah.

2- Awal-awal surat ini diawali dengan muqatha’ah supaya sampai di tengah orang musyrik yang menentang sehingga ketika mereka mendengar, mereka mau membaca. Pendapat ini adalah pendapat yang lemah karena jika maksudnya seperti itu tentu di setiap awal surat mesti ada huruf muqatha’ah. Begitu pula pendapat ini lemah karena surat Al-Baqarah dan Ali Imran diawali dengan huruf muqatha’ah namun pembicaraannya bukan ditujukan pada orang musyrik.

3- Huruf muqatha’ah yang terletak di awal surat ini untuk menunjukkan mukjizat Al-Qur’an. Maksudnya, manusia atau makhluk tidak bisa mendatangkan yang semisal Al-Qur’an walaupun huruf-huruf muqatha’ah itu ada dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa sehari-hari orang arab.

Pendapat ketiga di atas dikemukakan oleh Fakhrudddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, didukung pula oleh Az-Zamakhsyari dalam kitab Kasyafnya. Az-Zamakhsyari berkata, ' huruf-huruf itu tidak disebutkan semuanya secara terkumpul di awal Al Qur'an, melainkan di ulang-ulang di beberapa surah, agar lebih hebat tantangan dan celaanya, sebagaimana berbagai kisah diulang-ulang penyebutanya. Tantangan secara terang-terangan diulang-ulang di sejumlah tempat.'

Dalam hadits الم disebutkan :

عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضى الله عنه قَالَ : تَعَلَّمُوا هَذَا الْقُرْآنَ ، فَإِنَّكُمْ تُؤْجَرُونَ بِتِلاَوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ ، أَمَا إِنِّى لاَ أَقُولُ بِ الم وَلَكِنْ بِأَلِفٍ وَلاَمٍ وَمِيمٍ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ.

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah Al Quran ini, karena sesungguhnya kalian diganjar dengan membacanya setiap hurufnya 10 kebaikan, aku tidak mengatakan itu untuk الم  , akan tetapi untuk untuk Alif, Laam, Miim, setiap hurufnya sepuluh kebaikan.” (Atsar riwayat Ad Darimy dan disebutkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 660).

Hadits ini menunjukan dengan bahwa setiap muslim yang membaca Al Quran baik paham atau tidak paham, maka dia akan mendapatkan ganjaran pahala sebagaimana yang dijanjikan. Dan sesungguhnya kemuliaan Allah Ta’ala itu Maha Luas, meliputi seluruh makhluk, baik orang Arab atau ‘Ajam (yang bukan Arab), baik yang bisa bahasa Arab atau tidak. Dan setiap kebaikan itu akan menghapuskan kesalahan sebagaimana Allah berfirman :

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ [هود: 114]

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)

Wallahu a'alam
Ta' Rouf Yusuf


Friday 19 February 2016

LGBT Dalam Pandangan Syari’at

oleh: Amin elfatraniy

Pengertian homoseksual dan lesbian Homoseksual secara terminology berarti: memiliki kelamin sama. Sedangkan menurut etimologisnya berarti ketertarikan seksual untuk mengadakan kontak atau hubungan seks dengan pasangan  yang  berjenis kelamin sama, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi istilah ini lebih populer diidentikkan dengan kecenderungan seksual sesame jenis antar laki-laki. Sedangkan kecenderungan seksual sesame jenis antar perempuan dikenal dengan istilah lesbi (pelakunya disebut dengan lesbian). Hal yang patut diluruskan dari opini publik yang telah memasyarakat tentang pembatasan homoseksual ini adalah pemahaman keliru mereka mengenai hakikat homoseksual yang terbatas pada kecenderungan hasrat atau hubungan intim yang dilakukan oleh sesama pria melalui anal sex (persenggamaan dubur). Tetapi sebenarnya, homooseksual lebih luas dari itu, yakni kecenderungan yang meliputi berbagai aspek tingkah laku seksual, dari pola seksualitas yang tampak seperti: masturbasi timbal-balik, manjilat kemaluan wanita(cunniliction), memasukkan penis ke dalam mulut orang lain lalu meggesek-gesekkannya dengan bibir atau lidah untuk membangkitkan orgasme (fellatio), atau persenggamaan dubur(anal intercourse). Atau juga pola seksualitas berupa upaya melakukan orgasme sesama jenis melalui cara menekan-nekan kemaluan dengan kuat.[1] Istilah homoseksual dan lesbianisme bukanlah perkara baru. Aktivitas seksual antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan sesama perempuan tersebut dikenal dengan istilah liwath. Kecenderungan ini dalam banyak mesyarakat dan etika agama dianggap sebagai kecenderungan menyimpang dan menyalahi aturan kodrati fitrah manusia. Lihatlah salah satu firman Allah swt.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.(QS. An-Nisa’: 1)
Secara empirik, semua agama dan tradisi normatif menusia cenderung melarang homoseksual yang dalam bahasa kitab suci samawi dilambangkan dengan umat Nabi Luth AS atau kaum Sodom. Luth, Bible dan Sejarah Peradaban Kalau kita telaah sejarah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah muncul jauh sebelum masa Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam, tepatnya pada masa Nabi Luth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut ketika menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi Luth. Allah berfirman :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84)
“Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” [QS Al-A’raf:80-84].
Allah menggambarkan Azab yang menimpa kaum nabi Luth :
وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِين
َ “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim” [Hud : 82-83]
Semua ayat di atas secara jelas mengutuk dan melaknat praktik homoseksual karena bertentangan dengan kodrat dan kenormalan manusia. Perlu diingat, sikap keras melaknat itu bukan hanya pada Islam. Namun juga pada agama Kristen. Praktik homoseksual juga menjadi hal yang menakutkan di agama Kristen. Bibel menyebutnya sebagai ibadah kafir yang lazim dikenal dengan nama “pelacuran kudus”. Ia sangat mengutuk dan mengecam pelakunya karena itu bertentangan dengan moral. Dalam Perjanjian Baru, Roma 1:26-27, Rasul Paulus mengingatkan, bahwa praktik homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan moral dunia kafir, dari mana orang-orang kristen sebenarnya telah dibebaskan dan disucikan oleh Kristus. Dalam Imamat 20:13 berbunyi : “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”. Yang melakukannya diancam dengan hukuman mati. Ciri-ciri kaum Homoseksual dan Lesbian Fitrah dan tabiat mereka terbalik dan berubah dari fitrah yang telah Allah ciptakan pada pria, yaitu kehendak kepada wanita bukan kepada laki-laki.Mereka mendapatkan kelezatan dan kebahagian apabila mereka dapat melampiaskan syahwat mereka pada tempat-tempat yang najis dan kotor dan melepaskan air kehidupan (mani) di situ.Rasa malu, tabiat, dan kejantanan mereka lebih rendah daripada hewan.Pikiran dan ambisi mereka setiap saat selalu terfokus kepada perbuatan keji itu karena laki-laki senantiasa ada di hadapan mereka di setiap waktu. Apabila mereka melihat salah seorang di antaranya, baik anak kecil, pemuda atau orang yang sudah berumur, maka mereka akan menginginkannya baik sebagai objek ataupun pelaku.Rasa malu mereka kecil. Mereka tidak malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala juga kepada makhlukNya. Tidak ada kebaikan yang diharapkan dari mereka.Mereka tidak tampak kuat dan jantan. Mereka lemah di hadapan setiap laki-laki karena merasa butuh kepadanya.Allah mensifati mereka sebagai orang fasik dan pelaku kejelekan ; “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik” [Al-Anbiya : 74] Mereka disebut juga sebagai orang-orang yang melampui batas : “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melapaui batas” [Al-A’raf : 81].Artinya, mereka melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. Allah menamakan mereka sebagai kaum perusak dan orang yang zhalim :
tقَالَ رَبِّ انصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ. وَلَمَّا جَاءتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى قَالُوا إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا ظَالِمِينَ
”Luth berdo’a. ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu’. Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini. Sesunguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim” [Al-Ankabut : 30-31]
Homoseks, Lesbian Dan Jerat Hukum Bagi Pelakunya Homoseks, adalah tindakan dosa yang hanya dilakukan oleh kaum lelaki dari kaum Nabi Luth AS. Allah berfirman: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf:80-81).
Ibnu Katsir berkata, “Allah swt mengutus Nabi Luth AS kepada penduduk kampung Sodom dan sekitarnya, guna menyeru kepada mereka untuk beribadah kepada Allah swt, berbuatamar ma’ruf nahi munkar, serta hal-hal yang haram dan keji, yang dosa tersebut tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari anak cucu Adam sebelumnya, yaitu mendatangi leleki (untuk melampiaskan nafsu birahi), bukan kepada wanita. Homoseks seperti ini  pertama kali dilakukan oleh penduduk Sodom laknatullah. Amru bin Dinar memberikan argumentasi tentang firman Allah, “(Dosa) yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu…..” Beliau berkata, “Belum pernah ada lelaki yang menjantani sesamanya sebelum kaum Nabi Luth as.” Sedangkan komentar yang dilontarkan oleh Walid bin Abdul Malik[2] adalah, “Sekiranya Allah tidak menceritakan berita tentang kaum Nabi Luth kepada kita, maka  kita tidak akan tahu bahwa ada lelaki “menaiki” sesama lelaki. Dalam hal ini Nabi Luth berkata kepada mereka  (surat Al-A’raf ayat 80-81), “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”Apakah kalian telah berlaku adil kepada wanita, padahal mereka diciptakan oleh Tuhan untuk kaum laki-laki? Kalian telah keterlaluan dan bodoh sebab telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Oleh karena itu, pada ayat lain Nabi Luth berkata, “inilah putri-putrikui, jika kalian hendak berbuat (secara yang halal)[3]” Cobalah renungkan, betapa jauh perbuatn kotor tersebut dari fitrah yang suci. Jika Allah swt tidak menceritakan hal itu, maka kita tidak akan pernah mengetahuinya. Homoseksual adalah dosa yang sangat besar. Imam Adz Dzahabi pernah menukil dosa-dosa besar menurut ijma’, ternyata homoseksual merupakan dosa besar yang diharamkan oleh Allah.[4] Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Dosa besar berjumlah sekitar  359 macam, atau  260 macam, atau 361 macam, yang salah satunya adalah homoseksual serta sodomi terhadap binatang atau wanita.[5]” Beliau  lalu menggarisbawahi bahwa dari ketiga pendapat tersebut, hanya pendapat pertama yang telah disepakati (359 macam dosa besar)[6]. Dalil dari argumentasi yang menunjukkan bahwa pendapat tersenbut merupakan salah satu dosa besar adalah: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ “Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya” (HR. Abu Daud no. 4462, At Tirmidzi no. 1456 dan Ibnu Majah no. 2561)[7] Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata , “Rasulullah bersabda,
مَلْعُونٌ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ مَلْعُونٌ مَنْ سَبَّ أُمَّهُ مَلْعُونٌ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ مَلْعُونٌ مَنْ غَيَّرَ تُخُومَ الْأَرْضِ مَلْعُونٌ مَنْ كَمَهَ أَعْمَى عَنْ طَرِيقٍ مَلْعُونٌ مَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيمَةٍ مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ بِعَمَلِ قَوْمِ لُوطٍ
“Terlaknatlah orang yang mencela ayahnya, terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah orang yang menyembelih bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah batas tanah, terlaknatlah orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk) terhadap orang yang buta yang mencari jalan. Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang dan terlaknatlah orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth.”(HR. Ahmad. Shahih Al  Jami’.5891) Homoseks adalah Dosa Besar Para ulama’ Shalafus Shalih mempunyai beberapa argumentasi dalam menjustifikasi jatuhnya hukuman kepada pelaku dosa besar. Pendapat tersebut didukung oleh Ibnu Taimiyah, “Pendapat yang utama adalah argumentasi yang berlandaskan pada pendapat para salaf, seperti: Ibnu Abbas, Abu Ubaid, dan Ahmad bin Hambal. Dosa-dosa kecil tidak akan mendapat hukuman di dunia dan akhirat. Maksudnya, setiap dosa yang berakhir dengan laknat, kemurkaan, atau neraka, berarti termasuk dosa besar. Dengan kaidah ini, seorang dapat selamat dari berbagai noda yang ada pada diri orang lain, sebab setiap dalil menegaskan bahwa ia termasuk dosa besar. Begitu pula dengan setiap dosa yang pelakunya diancam hukuman, dan hukuman pelaku dosa besar adalah tidak akan masuk surga dan tidak akan pernah bisa mencium aroma surga. Mereka juga digolongkan sebagai orang yang ada dalam sabda Rasulullah saw.
من فعله ليس من
ا “Siapa yang melakukannya, berarti bukan golongan kami[8],” Menurut kami, justifikasi tersebut menunjukkan justifikasi hukuman untuk homoseksualitas (yang termsuk dosa besar). Kami rasa Anda juga sepakat bahwa dosa homoseksual menyimpan unsur hukuman dan laknat,Na’udzubillah. Ada beberapa hadits yang mengecam dosa homoseksual, diantaranya adalah: Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. Ia berkata, Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ
“Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah : 2553, 1457. Tirmidzi: 1377.][9] Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
“ Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337, Ahmad: 2677, 2763, 2764, 2765] Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ .
“ Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi : 1086, Nasa’i : 1456 dan Ibnu Hibban : 1456][10] Masih banyak hadits yang menjelaskan tentang dosa homoseksual, namun para ulama mempermasalahkan sanad-sanadnya. Komentar para ulama Baghawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman untuk tindak homoseksual. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa pelakunya harus dijatuhi hukum yang setimpal dengan hukukman zina, yakni jika pelakunya telah menikah (muhshan)maka ia harus dirajam, namun jika belum menikah maka hanya didera (dicambuk) seratus kali. Demikian pula pendapat Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abu Rabah, Hasan Qatadah dan Ibrahim Nakha’i. Ada pula pendapat dari Ats-Tsauri dan Auza’I, yang merupakan terkuat dalam madzhab Syafi’i. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Yusuf dan Muhammad. Untuk objek (korban) homoseksual, menurut Syafi’i ia layak didera seratus kali cambukan dan diasingkan satu tahun, tanpa diterminasi antara pelaku laki-laki dan wanita, sudah menikah (muhshan) atau masih bujang, karena konteks kedudukan dubur dalam hukum sangat lemah, yakni tidak termasuk dalam kategori hal yang dianggap sebagai perangkat pernikahan. Oleh sebab itu, pelaku homoseksual (yang melakukan sodomi) tidak layak dijatuhi hukuman layaknya hukuyman yang diberikan kepada para pezina yang muhshan. Ada yang berpendapat bahwa pelaku homoseksual harus dirajam, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujang. Pendapat ini sebagaimana dinilai oleh Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas[11]. Pendapat ini juga disepakati oleh Asy-Sya’bi. Namun menurut Az-Zuhri pendapat ini hanya dianut oleh Malik, Ahmad dan Ishaq. Bahkan, Hammad meriwayatkan sebuah pendapat dari Ibrahim An-Nakha’i, yang mengatakan, “Andai ada orang yang harus dirajam dua kali, maka itu adalah pelaku homoseksual.” Syafi’i mengatakan bahwa palaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek) sodomi, sebagaimana yang tersurat dalam hadits. Abu Hanifah menilai, pelakunya harus diberi pelajaran (ta’zir), bukan dijatuhi hukuman. Diriwayatkan oleh jabir dan Abu Hurairah dari Nabi saw mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku homoseksual, bahwa pelakunya harus dibunuh, baik subjek maupun objeknya[12]. Ulasan Argumentasi Masalah Sudah menjadi kesepakan seluruh Ulama atas keharaman perbuatan homoseksual dan lesbian. Mereka akan mendapatkan balasan yang sangat keras di dunia maupun di akhirat. Namun para ulama berbeda pendapat dalam pelaksanaan hukuman bagi pelakunya. Perbedaan itu dapat di klarifikasikan sebagai berikut: Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah sebagaimana pelaku zina. Jika palakunya masih bujang (ghoiru muhshan) maka didera atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya sudah berkeluarga (muhshan) maka pelakunya dirajam.Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi palakunya adalah harus diberi pelajaran (ta’zir), bukan dijatuhi hukuman bunuh.Sebagian ulama lain menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah di bunuh secara mutlak.[13] Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual harus dijatuhi hukumnan zina, mereka berpegang pada hadits Nabi saw yang mengatakan,
اذا أتى الرجل الرجل فهما زانيان
“Apabila ada lelaki mendatangi (berhubungan intim) dengan sesame lelaki, maka keduanya dianggap berzina.”(HR. Al Baihaqi [8/233])
Mereka juga mengatakan bahwa homoseksual merupakan salah satu bentuk perzinaan, sebab dilakukan dengan memasukkan kemaluan pada kemaluan orang lain. Pendapat ini dibantah oleh Mubarakfuri, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Baihaqi dari hadits Abu Musa yang di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdurrahman, orang yang diingkari oleh Abu Hatim. Sedangkan baihaqi sendiri mengatakan bahwa ia tidak mengenalnya. Jadi, dengan sanad seperti ini, hadits tersebut dianggap mungkar.[14] Dalam konteks penyelarasan justifikasi hukum homoseksual dengan hukum perzinaan yang disimpulkan melalui jalur analogi (Qiyas) dan opini, yang  mengatakan bahwa homoseksual merupakan salah satu bentuk perzinaan  merupakan hukum yang sifatnya absolut dan spesifik. Hal ini berlaku berdasarkan generalitas (keumuman) dalil-dalil tentang zina yang secara eksplisit memberikan dikotomi hukum bagi pelaku zina yang gadis dan janda, juga kejelasan dalilnya yang hanya dikhususkan untuk konteks kaum Nabi Luth AS. Keharusan membatalkan penggunaan analogi (qiyas) tersebut merupakan bagian dari keharusan yang disebabkan oleh kontekstual kasus sebagaimana mestinya. Sebab, analogi tersebut menyalahi aturan yang telah ditegaskan oleh ilmu ushul[15]. Adapun pendapat seperti yang dikemukakan oleh Abu Hanifah yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual hanya diberi pelajaran (Ta’zir), adalah pendapat yang lemah dan bertentangan dengan teks nash hadits yang mengatakan,
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Siapa saja yang kamu dapatkan telah melakukan dosa (seperti) kaum Nabi Luth, maka bunuhlah ia , baik pelaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek)nya.” (HR. Abu Daud) Dengan rendah hati kami harus mengatakan kekeliruan pendapat Abu Hanifah tersebut. Mungkin saja nash hadits tersebut belum sampai kepada beliau, atau beliau kurang kredibel. Semoga Allah merahmati pada imam secara umum, khususnya Abu Hanifah, serta siapa saja yang khilaf. Dengan demikian, dapat dipastikan kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual hanya diberi pelajaran (Ta’zir)tanpa dijatuhi hukuman mati. Oleh karena itu, Mubarakfuri berkata, “Pendapat Abu Hanifah memang cenderung bermuatan khilaf, khususnya dalam penjabaran tentang dalil-dalil yang berkenaan tentang justifikasi homoseksual dan dalil-dalil tentang zina secara umum.” Lebih lanjut, beliau berkata (mengomentari seputar kalayakan penggunaan kaidah, “Kekeliruanku dalam memberi apologi [pengampunan] adalah lebih baik daripada kekeliruanku dalam mengimplementasikan hukuman yang selayaknya.”), “Itu adalah alat untuk bersikap lemah dalam justifikasi.” Beliau menganggap hal itu tertolak, karena dilihat dari konteksnya, kaidah tersebut hanya layak digunakan dalam kondisi kasus yangngejelimet dan berpolemik luas. Sedangkan konteks kasus justifikasi hukum homoseksual tidak begitu berpolemik[16]. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual mutlak mendapatkan ganjaran hukum bunuh, baik bagi yang telah menikah (muhshan) maupun lajang, adalah pendapat yang yang kuat dan sangat relevan dengan hadits Nabi saw tadi serta jauh dari berbagai kontradiksi. Terlebih, hadits tersebut telah sangat eksplisit menegaskan tentang justifikasinya secara langsung. Salah satu faktor yang menguatkan pendapat hukum bunuh bagi pelaku homoseksual, baik sudah menikah (muhshan) maupun lajang, adalah pendapat para ulama yang telah menukil ijma’ (konsensus) para sahabat, diantaranya ialah Ibnu Qudamah[17] dan Ibnu Qayyim[18]. Begitu pula komentar Baghawi yang telah kita paparkan pada pembahasan lalu. Nash hadits Rasulullah tersebut juga memiliki keistimewaan lain, yakni tidak adanya pembedaan implementasi  hukuman antara pelaku yang telah menikah (muhshan) dengan yang masih lajang. Nash tersebut justru memberikan pintu generalitas justifakasi hukum bunuh bagi pelaku zina secara umum dan pasti. Komentar kami seputar dalil-dalil yang membahas tentang justifikasi hukuman yang layak dijatuhkan kepada palaku homoseksual yang menjijikkan tersebut sama sekali tidak memihak pada suatu pendapat. Kami hanya berupaya menyajikan bukti argumentatif yang lepas dari polemik dan kontradiksi. Komentar serta pembenaran yang kami kemukakan tadi merupakan pendapat yang populer dan sesuai dengan ijma’ (konsensus) para sahabat serta jumhur ulama. Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca sekalian, atas pembahasan kami yang melebar mengenai hukuman pelaku homoseksual ini. Kami menilai pemaparan pembahasan ini cukup signifikan, mengingat kecenderungan kalangan pelaku maksiat untuk menggunakan dalil-dalil yang lemah guna melegalisasi kepentingan hawa nafsu mereka. Sebenarnya kami sangat ingin memaparkan lebih lanjut seputar fakta kelemahan berbagai argumentasi lemah yang dijadikan alasan oleh para pelaku kekejian tersebut[19], tapi pada sisi lain kami belum mendapati referensi yang kapabel yang mengangkat secara jeli dan kritis tema pembahasan tersebut. Semoga Allah berkenan memberikan taufik dan hidayah-Nya. Bukti-bukti kekejian kaum Luth Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang membuktikan kekejian kaum Nabi Luth as, gambaran akan adzab dan hukuman yang ditimpakan kepada mereka. Semua ini mereka dapatkan setelah upaya terang-terangan mereka dalam melakuan kekejian, dan kekejian ini tidaklah tertandingi oleh tindakan durhaka lainnya kepada Allah selain kemusyrikan. Oleh karena itulah Allah swt menurunkan adzab yang belum pernah ditimpakan kepada kaum manapun sebelumnya. Berikut ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang membuktikan kondisi kehidupan kaum Nabi Luth.
1. Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu , yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”(QS. Al A’raf: 80-84) Pembahasan tentang dua ayat pertama dalam firman Allah di atas telah kita bahas pada awal pembahasan bab ini seputar komentas Ibnu Katsir tentang ayat tersebut.
2. “Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit .”Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji . Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal ?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal , kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.(QS. Huud: 77-83) Ibnu katsir mengatakan, “Allah swt mengabarkan tentang kedatangan utusan-utusan-Nya, yaitu para malaikat, untuk memberitahukan kepada Nabi Ibrahim as bahwa Allah akan menghancurkan kaum Nabi Luth as di malam itu. Lalu para utusan Allah itu pun meninggalkan Nabi Ibrahim as dan mereka pergi menemui Nabi Luth as (ada pendapat yang mengatakan saat itu Nabi Luth tengah berada di kebunnya, ada juga yang mengatakan ia tengah bereda di dalam rumahnya). Para malaikat itu memiliki bentuk yang indah, paras yang elok, dan wajah yang menawan, semuanya itu dijadikan sebagai bentuk ujian dari Allah. Mereka juga dibekali ilmu yang pengetahuan yang luas dan bukti yang kuat. Lalu Allah merubah penampilan mereka menjadi penampilan buruk. Dan hal ini membuat hati Nabi Luth resah dan khawatir jika beliau tidak sempat menjamu mereka sebagai tamu dan para malaikat itu justru akan dijamu oleh salah seorang kaumnya lalu mereka diperlakukan dengan cara tidak bermoral. Mengomentari ayait ini: “…. Dan dia berkata, ‘Ini adalah hari yang amat sulit’,” Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksudnya adalah ujian yang berat, karena Nabi Luth menyadari bahwa sebenarnya ia mampu melindungi utusan Allah dari ketidakmoralan kaumnya, namun Luth merasa hal itu sangatlah memberatkan. Qatadah menyebutkan, “Para malaikat mendatangi Nabi Luth di kebunnya, kemudian meminta Nabi Luth untuk menjamu mereka dan Nabi Luth merasa malu menghadapi kedatangan para tamunya ini, hingga kemudian beliau berjalan di depan mereka. Dalam perjalanan tersebut, Nabi Luth berkata dengan ucapan yang seakan-akan menyindir agar para tamunya itu urung bertamu kepadanya. Beliau berkata, ‘Demi Allah! Setahuku, tidak ada seorang pun penduduk bumi ini yang budi pekertinya lebih buruk dibandingkan penduduk desa ini,’ Sambil berjalan perlahan-lahan, beliau mengulangi pernyataan tersebut hingga empat kali.” Qatadah melanjutkan, “Mereka diperintahkan agar tidak dihancurkan sebelum disaksikan oleh nabi mereka.” Sedangkan As-Sa’adiy mengatakan, “Malaikat keluar dari Nabi Ibrahim menuju kampung Nabi Luth. Siang harinya mereka telah tiba dan bertemu dengan putri Nabi Luth yang tengah mengambil air minum. Mereka bertanya kepadanya, ‘Apakah ada orang di rumah?’ Dia menjawab, ‘Tetaplah kalian di sini sampai aku kembali.’ Kemudian putri Nabi Luth pergi memberitahukan ayahnya, ‘Wahai ayahku, aku telah melihat beberapa pemuda diluar kota. Aku belum pernah melihat wajah penduduk kampung ini yang tampan dari mereka dan mereka pernah tersentuh oleh kaummu.’ Tradisi kaummya (dengan kecenderungan penyimpangan seksual) mambuat Nabi Luth urung menerima tetamu yang berkelamin laki-laki,  maka beliau berinisiatif menjemput para tamunya itu dengan diam-diam. Dan tidak seorangpun yang tahu kecuali penghuni rumahnya hingga istri Nabi Luthlah yang keluar memberitahukan kaumnya akan kedatangan para tamu tersebut hingga mereka pun kemudian datang berbondong-bondong ke rumah Nabi Luth. Dan firman Allah, “…. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah putri-putri (negeriku) mereka lebih suci bagimu’…” Ungkapan ini merupakan konteks himbauan beliau kepada kaumnya untuk menunjukkan bahwa para remaja putri di negeri Nabi Luth sebenarnya lebih layak untuk di senangi oleh kaum prianya. Upaya ini merupakan himbauan Nabi Luth untuk membimbing kaumnya kepada hal-hal positif bagi mereka di dunia dan Akhirat. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain, “Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,” (QS. As-Syu’araa’:165) Firman Allah, “Mereka berkata, ‘Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia,? (Al Hijr: 70) Maksudnya adalah: Bukankah kami telah melarangmu untuk menjamu tamu laki-laki? Luth berkata, Luth berkata: “Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)”.(Allah berfirman) : “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”.(QS. Al-Hijr:71-72) Tentang firman Allah dalam ucapan Nabi Luth, “Hai kaumku, inilah putri-putri (negeri)ku, mereka lebih suci bagimu,” mujahid mengatakan meksudnya adalah mereka bukanlah putri-putri beliau, tapi putri-putri dari umatnya, karena setiap nabi adalah bapak dari umatnya. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Qatadah dan beberapa perawi lainnya. Ibnu Juraih mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, Nabi Luth memerintahkan kaumnya untuk menikahi para wanita, jika mereka berkeinginan untuk menjauh dari kebejatan moral. Sementara itu Sa’id bin Jubair  mengatakan, “Para wanita (istri dan wanita muda) dari pengikut Nabi Luth adalah layaknya putri-putri beliau, karena Nabi Luth adalah bapak bagi kaumnya yang laki-laki. Allah berfirman, “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” Firman Allah, “Maka tatkala datang azab Kami,yakni saat matahari terbit, “…Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas..” yakni kampung Sodom  “..ke bawah (Kami balikkan)..”seperti disebutkan dalam firman Allah, “Lalu Allah menimpakan atas negeri itu adzab besar yang menimpanya.” (QS. An Najm: 54) Kami hujani mereka dengan batu bola api dari neraka (sijjiil), yang dalam bahasa Persia bermakna batu dari gumpalan tanah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas dan ulama lainnya. Dan firman Allah, “…dengan (adzab) yang bertubi-tubi.” Beberapa ulama berpendapat mengenai maksudnya, yaitu adzab yang bertubi-tubi yang turun dari langit, atau adzab yang dipersiapkannya. Ada pula ulama yang megatakan bahwa meksudnya adalah adzab yang turun secara beruntun menimpa mereka. Sedang firman Allah, “…(adzab) yang diberi tanda oleh Tuhanmu..” maksudnya: dikelilingi oleh adzab yang membaral. Para ulama mengatakan, bahwa ayat tersebut diturunkan kepada penduduk negeri (Sodom) dan kampung-kampung sekitarnya. Hal ini kemudian menjadi bahan pergunjingan banyak orang. Rumornya, ada batu yang tiba-tiba jatuh dari langit dan menimpa orang banyak, kemudian menyebar hingga ke berbagai penjuru bumi, batu itu dapat menghancurkan mereka hingga tidak seorangpun yang tersisa. Mujahid mengatakan, “Malaikat Jibril menghancurkan kaum Nabi Luth, hewan ternak, dan rumah-rumah mereka. Ia mengangkut mereka bersama dengan hewan piaraan dan benda-benda lainnya lalu membalikkannya. Teriakan mereka pun terdengar hingga oleh seluruh penghuni langit. Dan malaikat Jibril mengangkut mereka dengan sayap kanannya.” Dan firman Allah, “…dan Kami menghujani mereka…” maksudnya menghujani kampung mereka dengan sijjiil (batu bola api dari neraka), demikian komentar As-Sa’adiy. Sedangkan firman Allah yang mengatakan, “…dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim.”Maksudnya: Tiadalah yang menyamai jauhnya siksaan ini dari orang-orang yang berbuat kezhaliman[20].
3. Firman Allah, “Berkata (pula) Ibrahim: “Apakah urusanmu yang penting (selain itu), hai para utusan?”Mereka menjawab: “Kami sesungguhnya diutus kepada kaum yang berdosa,kecuali Luth beserta pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan, bahwa sesungguhnya ia itu termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya)”.Maka tatkala para utusan itu datang kepada kaum Luth, beserta pengikut pengikutnya,  ia berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal”. Para utusan menjawab: “Sebenarnya kami ini datang kepadamu dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan. Dan kami datang kepadamu membawa kebenaran dan sesungguhnya kami betul-betul orang-orang benar. Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutlah mereka dari belakang dan janganlah seorangpun di antara kamu menoleh kebelakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepadamu”. Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh. Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu . Luth berkata: “Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku),dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina”.Mereka berkata : “Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia ? Luth berkata: “Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)”. (Allah berfirman) : “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”. Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. Dan sesungguhnya kota itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia).Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.(Qs. Al-Hijr: 57-77) Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi yang mengatakan bahwa dalam kisah ini menyimpan beberapa pelajaran yang layak dipetik. Di antaranya adalah bahwa Allah memberikan pelindungan kepada Nabi Ibrahim, sedangkan Nabi Luth adalah pengikut dan orang yang mengimani Nabi Ibrahim, bahkan ia layaknya murid Nabi Ibrahim. Ketika Allah akan membinasakan kaum Nabi Luth saat mereka benar-benar telah bersikap membangkang dan layak mendapatkan adzab, Allah memerintahkan para utusan-Nya agar mendatangi Nabi Ibrahim dan memberitakan kabar tentang kejadian yang akan terjadi pada kaum muridnya tersebut. Nabi Ibrahim pun mendebat para utusan dan tidak menyetujui solusi dihancurkannya kaum Nabi Luth. Namun para utusan Allah berhasil meyakinkan Nabi Ibrahim. Begitu juga halnya Nabi Luth dalam menyikapi kejadian yang akan menimpa keluarga dan penduduknya kampungnya. Ia pun iba dan berbelas kasih kepada mereka. Namun takdir Allah telah ditetapkan dengan motif-motifnya hingga mereka dimurkai dan dihancurkan oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu Subuh; bukankah Subuh itu sudah dekat?” Pelajaran lainnya adalah: jika Allah swt menghendaki untuk menghancurkan suatu kampung, maka kejahatan dan keangkuhan penduduknya akan kian menjadi-jadi. Hingga kemudian Allah mendatangkan siksaan-Nya yang seimbang dengan perbuatan yang mereka lakukan[21].
4. Firman Allah, “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, dan Kami masukkan dia ke dalam rahmat Kami; karena sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang saleh.”(Qs. Al Anbiyaa’: 74-75) As-Sa’adi mengatakan bahwa firman Allah tersebut merupakan bentuk penganugerahan Allah kepada Rasul-Nya, Luth, berupa pengetahuan akan syariat, dan keahlinnya dalam memutuskan perkara (justifikasi hukum untuk memecahkan masalah) di antara manusia dengan cara yang benar. Allah telah mengutus rasul-rasu-Nya kepada kaumnya masing-masing agar menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah dan melarang mereka untuk berbuat kekejian. Lalu, setelah mereka menolak seruan tersebut, Allah membalikkan kampung-kampung mereka dan membinasakan mereka semua, karena “….mereka termasuk orang-orang yang fasik..”Mereka mendustakan para penyeru Allah dan mengancam akan mengusirnya. Namun Allah menyelamatkan Nabi Luth dan keluarganya serta memerintahkan Nabi Luth beserta pengikutnya untuk menyelinap pergi pada malam hari, menjauh dari kampungnya hingga mereka terhindar dan terselamatkan. Begitulah karunia dan pertolongan Allah kepada orang-orang yang taat. Adapun ayat yang mengatakan, “…Dan Kami (Allah) masukkan dia ke dalam rahmat Kami..”menunjukkan bahwa siapa saja yang telah masuk ke dalam rahmat Allah, maka ia termasuk orang terlindung dari berbagai macam kekhawatiran, sehingga mereka akan meraih semua kebaikan dan kebahagiaan, kebajikan dan ketentraman, serta pujian. Sebab, mereka termasuk orang-orang yang shalih, yang mengerjakan amalan-amalan shalih, berkepribadian yang suci. Allah pun memperbaiki keburukan mereka. Karena, keshalihan adalah motif yang membuat seorang hamba dapat masuk ke dalam rahmat Allah, sedangkan keburukan adalah motif keharaman seorang hamba untuk meraih rahmat dan kebaikan Allah. Orang pertama yang meraih kebajikan adalah para nabi Allah, maka wajarlah jika mereka berhak mendapat gelar sebagai orang baik (shalaah). Dalam hal ini Nabi Sulaiman pernah berdo’a, “…Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih..”(An Naml:19)[22] Alangkah baik dan indah komentar yang dikemukakan oleh As-Sa’adi tersebut. Cobalah renungkan, dengan izin Allah pengetahuan tersebut dapat mendatangkan manfaat. 5. “Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”. Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir” Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu”. (Luth berdo’a): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan”. Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”(Qs.As-Syu’araa: 160-175)6. “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”. Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu. karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih “. Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.”(QS. An Naml:54-58) Abdurrahman As-Sa’adi  menjelaskan mengenai maksud firman Allah tersebut, “Dan ingatlah tentang sosok hamba dan Rasul Kami, Luth, berkataa kepada kaumnya untuk menasihati atau menyeru untuk beribadah kepada Allah, ‘…Mengapa kalian mengerjakan kekejian itu..’ yakni, perbuatan keji yang dapat merusakakal dan fitrah, seta bertentangan dengan hukum syariat. ‘…sedang kamu melihatnya…’ Padahal kalian mengetahui keburukan tindakan kalian itu namun kalian tetap saja menentang hingga kemudian kalian berbuat zhalim dan melukai Allah.” Lebih lanjut  beliau menafsirkan  kekejian yang  dimaksud dalam firman Allah, “Mengapa kamu  mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita?” Maksudnya: Mengapa kalian bisa melakukan hal sseperti itu, kalian lampiaskan nafsu birahi kalian kepada sesame lelaki atau dubur-dubur mereka dan kalian tinggalkan para wanita yang sebenarnya diciptakan untuk kalian dan sebagai tempat suci  bagi laki-laki dalam menyalurkan hasrat seksualnya, sementara kalian malah bertingkah sebaliknya. Kalian memandang  buruk sesuatu yang sebenarnya baik. “Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).”Maksudnya:kalian telah bersikap keterlaluan terhadap segala hukum Allah dan melanggar segala larangan-Nya. Sedangkan firman Allah, “Maka tidak lain jawaban kaumnya” (tidak) menerima dan tidak mencegah serta tidak menerima peringatan. Tapi mereka memberikan jawaban yang berupa pembangkangan dan permusuhan serta mengancam Nabi dan utusan Allah yang jujur itu dengan mengusir dari negeri dan tanah leluhurnya, “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu.” Ungkapan tersebut seakan mengesankan timbulnya pertanyaan kepada mereka:mengapa kalian menyiksa mereka dan dosa apa yang telah mereka perbnuat sampai mereka harus kalian usir? Kaum Luth mengklaim, “..karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih..” Maksudnya: kaum Luth bersenang-senang dengan melakukan kegiatan homoseksual dan melakukan sodomi (bersenggama melalui anus atau dubur kaum laki-laki). Maka Allah mengutuk mereka karena mereka memutarbalikkan fakta dengan menganggap hal-hal baik sebagai hal-hal buruk. Mereka belum pernah merasa puas dengan kemaksiatan, da nmreka menolak untuk menerima nasihat, bahkan mereka rela mengusir Nabi Luth dari negerinya. Mereka mengatakan, “Usirlah Luth beserta keluarganya dari megerimu, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” Dengan alasan ini, kontek yang dapat dipahami adalah bahwa kehadiran kaum Luth hanya sebagai sampah polusi, penyebab turunnya siksaan di negeri ini dan mengganggu keselamatan orang-orang yang pergi mengungsi. Dalam konteks ini, Allah berfirman, “Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).(Qs. An Naml: 57) Dengan demikian, ketika malaikat datang sebagai tamu dan kedatangannya terdengar oleh kaum Nabi Luth mereka segera berdatangan dengan maksud jahat. Sementara warga yang lain hanya menutup pintu rumah mereka. Konsentrasi pesoalan terfokus kepada Nabi Luth. Kemudain malaikat memberitahu Nabi Luth tentang kenyataan yang dihadapi dan mereka datang untuk menyelamatkan Nabi Luth dari kejahatan kaumnya. Mereka bermaksud membinasakan kaum yang bermoral bejat itu, tepatnya ketika saat pagi menjelang. Lalu malaikat memerintahkan Nabi Luth beserta kelurganya, selain istrinya, untuk segera pergi mengungsi, sedangkan istrinya ditinggal dan akan ditimpakan adzab Allah. Maka beliau beserta keluarganya keluar mengungsi pada malam hari untuk menyelamatkan diri. Adzab pun datang tepat pada waktu Subuh. Allah membalikkan kampung-kampung mereka, yang di atas menjadi di bawah, kemudian bertubi-tubi menghujani mereka dengan hujan batu yang terbuat dari tanah yang terbakar. Dalam hal ini, Allah berfirman, “Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.”(QS. An Naml:57) Maksudnya, alangkah buruknya hujan yang menimpa mereka. Alangkah buruknya adzab yang menimpa mereka. Disebabkan mereka tidak pernah menerima peringatan serta tidak pernah merasa takut terhadap adzab itu. Oleh karena itu, mereka tidak mau berhenti dan tercegah, lalu Allah mendatangkan kepada mereka adzab yang amat keras.[23] 7. “Kaum Luth-pun telah mendustakan ancaman-ancaman (nabinya).Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing,sebagai ni’mat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur, Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu. Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu. Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamnuya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal.Maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku .”(Qs. Al Qamar: 33-39) Begitulah detail kisah Nabi Luth beserta kaumnya yang dipaparkan Al-Qur’an di banyak ayatnya, semuanya memaparkan tentang bahaya yang diakibatkan oleh perilaku bejat tersebut. Oleh karena itu, setiap muslim harus merenunginya. __________________
[1]. Lihat Kamus Lengkap Psikologi, J.P. Chaplin.
[2]. Beliau adalah Seorang Khalifah Dinasti Bani Umayyah kedua, sekaligus pendiri Masjid Jami’ Damaskus
[3]. Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, (Istambul: Dar Dakwah), jilid II, hal.230
[4]. Imam Adz-Dzahabi, Al Kabair, (Bairut: Dar Kutub Al Ilmiyah), hal.60
[5]. Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir ‘An Iqtiraf Al Kabair, (Bairut: Dar Kutub Ilmiyah), jilid II, hal.228 [6]. Ibid,, jilid II, hal. 231
[7]. Syaikh Al Albani menilai bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib 2422, 2/311, Maktabah Al Ma’arif Riyadh. [8]. Mukhtashar Fatawa Al Mishriyah, (Mesir: Dar At-Taqwa), hal. 629-630
[9]. Tirmidzi berkata: Hadits ini Hasan Gharib, Hakim berkata: Hadits Shahih Isnad, Abu Isa berkata: Hadits ini Hasan Gharib, sesungguhnya kami hanya mengetahui dari jalur ini dari Abdullah bin Muhamma bin ‘Uqail bin Abu Thalib dari Jabir.
[10]. Ibnu Hibban dalam Shahihnya menshahihkan hadits ini, keterangan: Hadits ini mencakup pula wanita dengan wanita
[11]. Yakni atsar dari Ibnu Abbas RA. Lihat: sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (4463, 4/157).
[12].  Hadits Tirmidzi: 1456, Abu Daud;3869, Ibnu Majah: 2561, dan Ahmad: 2496
[13]. Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, (Al-Qahirah: Dar al-fath lii’lam al ‘arabi, 2003), cet.pertama, juz 2, hal.576.
[14]. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Fath Al Azdi (dalam bukunya, Ad-Du’afa’) dan Thabrani (dalam bukunya, Al Kabir, dan riwayat lain dari Abu Musa. Di sana juga terdapat Basyr bin Mufadhdhal Bajali, orang yang tidak dikenal. Diriwayatkan pula dari Abu Daud Ath-Thayalasi (dalam Musnadnya). Hadits tersebut dianggapdha’if oleh Albani dalam Irwa’ Al Ghalil,8/16, no.2349. bisa juga dilihat dalam kitab Tuhfatul Ahwdhi, jilid 4, hal.385
[15]. Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ Ati-Tirmidzi, (Al-Qahirah:  Dar Al-Hadits,1421 H/2001 M)cet.pertama, jilid.4, hal.386.
[16]. Ibid.
[17]. Ibnu Qudamah, Al Mughni,( Al Maktabah As-Salafiyah), juz.10, hal.160-162.
[18]. Ibnu Qayyim, Al Jawab Al Kafi,(Dar Al Furqan, 1413 H), cet.ke-1, hal.240.
[19]. Allah swt menamakan kecenderungan homoseksual sebagai kekejian (faahisyah),sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun didunia ini sebelumnya?”(Qs.Al A’raaf:80)
[20]. Ibnu Katsir, Shahih Tafsir ibnu Katsir(Dar ibnu Rajab, 1427 H/2006 M), cet. Pertama, jilid2, hal.423-426.
[21]. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi,Tafsir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Mannan,(Bairut: Mu’asasah Ar-Risalah.1423 H/2002 M), cet. Pertama, hal. 432-433 [22]. Ibid, hal.527
[23]. Ibid., hal.606
https://puskafi.wordpress.com/


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...