Sunday 1 April 2018

Najisnya Anjing


Hasil gambar untuk liur anjing

Para ulama sependapat dalam masalah najisnya air liur anjing. Sebab ada banyak hadits shahih terkait kenajisan air liur anjing. sebagaimana hadits

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ ‏ ‏‏أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فيِ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا‏-‏متفق عليه ‏‏ ‏

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda"Bila anjing minum dari wadah air milikmu harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim).

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُم إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda"Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim dan Ahmad)

Namun para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum kenajisan badannya. Sebagian mengatakan bahwa tubuh anjing bukan termasuk najis, sementara sebagian yang lain menetapkan kenajisannya.

1. Madzhab Hanafiyah

Para ulama madzhab Hanafiyah umumnya berpendapat bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu bukan merupakan najis 'ain. Yang najis dari anjing hanyalah air liur mulut dan kotorannya saja.

Al-Kasani menuliskan dalam kitabnya, Badai' Ash-Shanai' sebagai berikut :

وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سِوَى الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِمَا نَذْكُرُ

Dan yang mengatakan bahwa (anjing) itu tidak termasuk najis ain, maka mereka menjadikannya seperti semua hewan lainnya kecual babi. Dan inilah yang shahih dari pendapat kami.

Ibnu Abdin di dalam kitabnya, Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar, atau yang juga lebih dikenal dengan nama Hasyiyatu Ibnu Abdin, menuliskan sebagai berikut :

لَيْسَ الْكَلْبُ بِنَجِسِ الْعَيْنِ) بَلْ نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ، وَلَا يَظْهَرُ حُكْمُهَا وَهُوَ حَيٌّ مَا دَامَتْ فِي مَعْدِنِهَا كَنَجَاسَةِ بَاطِنِ الْمُصَلِّي فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ الْحَيَوَانَاتِ (قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى) وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالْأَقْرَبُ إلَى الصَّوَابِ

Anjing bukan termasuk najis 'ain, kenajisannya karena daging dan darahnya yang belum menjadi najis ketika masih hidup selama ada dalam tubuhnya. Kenajisannya sebagaimana najis yang ada dalam perut orang yang shalat. Hukum anjing sebagai hukum hewan lainnya. [Dan itulah fatwanya], itulah yang shahih dan lebih dekat pada kebenaran.

2. Madzhab Al-Malikiyah

Al-Mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, maka wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.

Ibnu Abdil Barr menuliskan dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, sebagai berikut :

ومذهب مالك في الكلب أنه طاهر

Dan pendapat madzhab Malik tentang anjing adalah bahwa anjing itu suci.

Ibnu Juzai Al-Kalbi di dalam kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah menuliskan bahwa semua hewan yang masih hidup termasuk anjing hukumnya suci.

وَأما الْحَيَوَان فَإِن كَانَ حَيا فَهُوَ طَاهِر مُطلقًا

Sedangkan semua hewan yang hidup maka hukumnya suci secara mutlak.

3. Madzhab Syafi'iyah

Para ulama madzhab Asy-Syafi'iyah sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat.

Imam Mawardi dalam kitabnya, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'i sebagai berikut :

أَنَّ الْحَيَوَانَ كُلَّهُ طَاهِرٌ إِلَّا خَمْسَةً: وَهِيَ الْكَلْبُ، وَالْخِنْزِيرُ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَخِنْزِيرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ خِنْزِيرٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ

Semua hewan itu hukumnya suci kecuali lima jenis, yaitu anjing, babi, anak perkawinan anjing dan babi, anak perkawinan anjing dengan hewan suci, anak perkawinan babi dengan hewan suci.

Imam Nawawi di dalam kitabnya, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin juga menetapkan kenajisan anjing.

وَأَمَّا الْحَيَوَانَاتُ، فَطَاهِرَةٌ، إِلَّا الْكَلْبَ، وَالْخِنْزِيرَ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا

Adapun hewan-hewan semuanya suci kecuali anjing, babi dan yang lahir dari salah satunya.

Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Menurut Madzhab Syafii tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya.

Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu pun secara logika juga najis, baik air kencing, kotoran atau keringatnya.

4. Madzhab Hanabilah

Ibnu Qudamah Al Maqdisi di dalam salah satu kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad menuliskan hewan itu ada tiga macam. Pertama adalah hewan suci, kedua hewan najis dan ketiga hewan yang para ulama berikhtilaf atas kenajisannya. Pada saat menyebutkan hewan yang najis, beliau memulainya dengan anjing.

القسم الثاني: نجس وهو: الكلب والخنزير وما تولد منهما فسؤره نجس وجميع أجزائه

Jenis kedua adalah hewan najis, yaitu anjing, babi dan yang lahir dari hasil perkawinannya. Semua bagian tubuhnya najis.

Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah menuliskan dalam kitab Asy-Syarhul Kabir 'ala Matnil Muqni' sebagai berikut :

لا يختلف المذهب في نجاسة الكلب والخنزير وما تولد منهما أنه نجس عينه وسؤره وعرقه وكل ما خرج منه

Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab (Hanbali) atas najisnya anjing dan babi serta hewan yang lahir dari keduanya. Bahwa semuanya najis ain, termasuk liur, keringat dan apa-apa yang keluar dari tubuhnya.

Saturday 14 January 2017

Jangan lupakan adab dan akhlak



Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak
Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”

Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.

Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث

“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Kata Syaikh Sholeh Al Ushoimi, “Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.”

Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,

ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه

“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.”

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,

تعلم من أدبه قبل علمه

“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Lihatlah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya dianugerahi akhlak yang mulia,

اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau.” (HR. Muslim no. 771)


Tuesday 8 November 2016

Mbah Subkhi

SELAMAT HARI PAHLAWAN

Subkhi atau lebih dikenal dengan panggilan Mbah Subkhi lahir sekitar tahun 1860 di Parakan, beliau dikenal sebagai ulama yang sangat berjasa atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Sang Jenderal Bambu Runcing, begitu orang menyebut beliau. Sosok Kiai Khos, tawaduk, kharismatik, yang menjadi rujukan para pahlawan nasional dalam merebut kemerdekaan dari penjajah.

Secara geografis Parakan sebelum kemerdekaan (1945) adalah potret desa yang masyarakatnya yang sebagian besar petani dan pedagang, selebihnya buruh. Jalan raya yang menghubugkan dengan kota dilalui dengan kereta api, sebagian masyarakat yang menuju kota lebih senang dengan berjalan kaki.

Mbah Subkhi lahir sekitar tahun 1860 dan wafat tahun 1959. Seorang ulama nasionalis tanah air. Ayah beliau merupakan salah satu pejuang gigih, mempertaruhkan nyawa bersama pasukan Diponegoro yang kemudian menetap di Parakan.

Mbah Subkhi seorang ulama yang menonjol. Beliau sangat lugas dalam berbicara, berani melawan kezaliman dan membela kebenaran, dikenal tawadu dan mempunyai rasa tresno (belas kasih) terhadap umat.

Keberanian dan sifat mulia itulah membuat Mbah Subkhi menjadi sangat dihormati semua orang, dicintai santri-santrinya, disegani kawan-kawannya dan ditakuti musuh-musuhnya. Kewibawaan dan rasa hormat orang lain kepada beliau tidak lantas membuat Mbah Subkhi lupa diri, beliau popular dengan kesederhanaan. Hidup sederhana beliau menjadi contoh umat dalam meraih maqam (kedudukan) zuhud.

Saifudin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren berkata, “KH. Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin dan KH. Masykur pernah juga mengunjunginya (Mbah Subkhi). Dalam pertemuan itu, KH Subkhi menangis karena banyak yang meminta doa darinya. Ia merasa tidak layak dengan maqam itu. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH. Zainul Arifin, akan keikhlasan sang Kiai. Tapi, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannnya sudah benar.”

Mbah Subkhi dimata masyarakat terutama para pejuang seperti magnet yang menggerakkan mereka kepada kebaikan, magnet yang mempunyi pengaruh luar biasa dalam kehidupan sosial.

Mbah Subkhi mengabdikan diri kepada bangsa begitu ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih. Para pendiri bangsa dan para pejuang telah berkali-kali mendatangi kediamannya, dari masyarakat biasa hingga para pembesar negeri sowan pada beliau untuk mencium jemari tangannya, meminta nasihat dan doa.

Wajah yang sejuk, tatapan mata yang teduh, lembut tutur katanya, sebagaimana mata air, seperti itulah Mbah Subkhi menyejukkan batin umat. Akhlakul karimah yang tertanam dalam jiwa beliau memberikan ruang kepada masyarakat yang berkunjung untuk menikmati kemuliaan dari sosok Kiai Subkhi.

Bambu Runcing adalah sebutan popular bagi sebuah bambu yang diruncingkan ujungnya, dipakai sebagai senjata dalam perang merebut kemerdekaan, atau disebut juga dengan tombak bambu. Peralatan sederhana ini, ternyata pada masa perang kemerdekaan telah menjadi senjata massal yang dipakai rakyat dalam melawan penjajah. Bambu Runcing senjata ampuh popular berasal dari Parakan, itu mengapa, daerah Parakan juga disebut dengan kampung Bambu Runcing.

Senjata-senjata tradisional seperti tombak, keris, ketapel, sujen, dan lain-lain adalah peralatan perang utama penduduk pribumi melawan penjajah. Namun dari berbagai senjata tersebut, bamboo runcing menjadi simbol heroisme pada masa pra kemerdekaan hingga sekarang.

Mbah Subkhi adalah Kiai yang tidak menyukai popularitas. KH. Syaifuddin Zuhri dalam bukunya kembali mengisahkan, “Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung penganten sundoro Sumbing….. Di antaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH. Masykur. Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng dibawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, Laskar Pesindo dibawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan.”

Ketika ribuan pejuang datang ke Parakan menemui Kiai Subkhi untuk mencium tangannya dan meminta doa, Kiai Subkhi malah bertanya, “Mengapa tidak datang kepada Kiai Dalhar, Kiai Hasbullah dan Kiai Siraj?.”

Itulah ketawaduan dan keikhlasan beliau dalam berjuang di jalan Allah. Menunjukkan ketawaduan yang telah mencapai maqam istimewa dalam ranah tasawuf. Berkah doa dari kiai di Parakan, terutama kiai Subkhi, bambu runcing Parakan menjadi senjata utama sebelum para pejuang berhasil merampas senjata milik tentara penjajah.

Mbah Subkhi adalah Kiai yang luas keilmuannya, termasuk dari beberapa ulama yang murassikhin (menancap ilmunya), aplikasinya dari kehidupan beliau sehari-hari yang menakjubkan. Beliau sangat sederhana dan rendah hati. Itu mengapa, ketika KH. Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin dan KH. Masykur mengunjungi beliau. Mbah Subkhi menangis karena banyak yang meminta doanya. Beliau merasa tidak layak dan pantas dengan maqam itu. Subhanallah..

Mata air akhlakul karimah dan semangat nasionalisme dari Mbah Subkhi semoga senantiasa terus mengalir ke dalam hati para generasi bangsa ini, sekarang dan selamanya.


Saturday 29 October 2016

Jumlah minimal shalat jum'at dan shalat jum'at bagi wanita

Assalamualaikum
Ustad bertanya.
1. Dasar Sholat jum'at harus minimal dihadiri 40 orang
2. Apakah ada dasar bagi wanita untuk sholat jum'at yang jamaahnya wanita semua?
Trims.
Ummu Azza

jawaban :

Waalaikum sallam wa rahmatullahi wa barakatuh.

1. Diwajibkan sholat jum'at secara berjamaah karena shalat Jum’at bermakna banyak orang (jama’ah). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menunaikan shalat ini secara berjama’ah, bahkan hal ini telah menjadi ijma’ para ulama. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah )

Terkait dengan jumlah minimal orang yang menghadiri sholat jum'at ada perbedaan pendapat antar ulama.

Menurut madzhab Hanafiyah, jika telah hadir satu jama’ah selain imam, maka sudah terhitung sebagai jama’ah shalat Jum’at. Karena demikianlah minimalnya jamak. Dalil dari pendapat Hanafiyah adalah seruan jama’ dalam ayat,
فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ‌ اللَّـهِ وَذَرُ‌وا الْبَيْعَ
“Maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (QS. Al Jumu’ah: 9). Seruan dalam ayat ini dengan panggilan jamak. Dan minimal jamak adalah dua orang. Ada pula ulama Hanafiyah yang menyatakan tiga orang selain imam.

Ulama Malikiyyah menyaratkan yang menghadiri Jum’at minimal 12 orang dari orang-orang mereka berdalil dengan hadits Jabir,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa, kecuali dua belas orang.” (HR. Muslim)

Ulama Syafi’iyah dan Hambali memberi syarat 40 orang dari yang diwajibkan menghadiri Jum’at. Ibnu Qudamah penulis Al Mughni berkata, “Syarat 40 orang dalam jama’ah Jum’at adalah syarat yang telah masyhur dalam madzhab Hambali. Syarat ini adalah syarat yang diwajibkan mesti ada dan syarat sahnya Jum’at. Empat puluh orang ini harus ada ketika dua khutbah Jum’at.”
Dalil yang menyatakan harus 40 jama’ah disimpulkan dari perkataan Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
لأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ قَالَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِى هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِى بَيَاضَةَ فِى نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضِمَاتِ. قُلْتُ كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُونَ.
“As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan shalat Jum’at bagi kami di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya, “Waktu itu, ada berapa orang?” Dia menjawab, ”Empat puluh.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Begitu pula ditarik dari hadits Jabir bin ‘Abdillah,
مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ
“Telah berlalu sunnah (ajaran Rasul) bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at.” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubro, namun menurut ibnu Hajar Al Atsqalani dalam Talkhish Habir
menyatakan hadits ini dhoif sehingga tidak bisa di jadikan dalil)

Sedangkan Imam Ahmad mensyaratkan 50 orang namun berdalilkan hadits-hadits dhoif sehingga tidak bisa dijadikan pendukung. Seperti hadits Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى الْخَمْسِيْنَ جُمْعَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ
“Diwajibkan Jum’at pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan jika kurang dari itu. (HR. Ad Daruquthni. Hadits ini dhoif, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang matruk).
Juga hadits Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah,
عَلَى كَمْ تَجِبُ الْجُمُعَةُ مِنْ رَجُلٍ ؟ قَالَ : لَمَّا بَلَغَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسِينَ جَمَّعَ بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Berapa jumlah orang yang diwajibkan shalat jama’ah?” Abu Hurairah menjawab, ”Ketika sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah mengadakan shalat Jum’at” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni ). Al Baihaqi berkata, ”Telah diriwayatkan dalam permasalahan ini hadits tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak shahih.” (Sunan Al Kubra).

Jadi menurut kami pendapat yang kuat adalah  jama’ah shalat Jum’at tidak beda dengan jama’ah shalat lainnya. Artinya, sah dilakukan oleh dua orang atau lebih karena sudah disebut jamak. Adapun hadits yang menceritakan dengan 12 jama’ah, maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil pembatasan hanya dua belas orang saja karena terjadi tanpa sengaja, dan ada kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid setelah menemui mereka. Adapun pendapat Imam Ahmad yang menyaratkan 50 orang, namun haditsnya lemah sehingga tidak bisa dijadikan pendukung.

2. Para ulama sepakat bahwa wanita tidak wajib melaksanakan shalat Jumat, meskipun dia tidak sedang safar, dan tidak ada udzur apapun.

Ibnul Mundzir dalam Al Ijma'  menyebutkan:

وأجمعوا على أن لا جمعة على النساء

“Mereka (para ulama) sepakat bahwa shalat jum'at tidak wajib untuk wanita.”  (Al-Ijma’, no. 52)

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Thariq bin Ziyad radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَربَعَة : عَبدٌ مَملُوكٌ ، أَو امرَأَةٌ ، أَو صَبِيٌّ ، أَو مَرِيضٌ

“Shalat jum'at adalah kewajiban bagi setiap muslim, untuk dilakukan secara berjamaah, kecuali 4 orang: Budak, wanita, anak (belum baligh), dan orang sakit.” (HR. Abu Daud ).

Namun wanita di bolehkan melaksanakan shalat Jumat di masjid dengan catatn tetap menjaga adab-adab islami. Cara yang dia lakukan sama persis dengan jumatan yang dilakukan jamaah laki-laki. Artinya, dia wajib mendengarkan khutbah dengan seksama, tidak boleh ngobrol dengan temannya, dan dia hanya shalat 2 rakaat bersama imam, sebagaimana aturan sholat jum'at yang kita kenal.

Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma’ mengatakan:

وأجمعوا على أنَّهن إن حضرن الإمام فصلَّينَ معه أن ذلك يجزئ عنهن

“Mereka (para ulama) sepakat bahwa jika ada wanita yang menghadiri Jumatan bersama imam, kemudian dia shalat bersama imam, maka itu sudah sah baginya.” (Al-Ijma’, no. 53).

Dia tidak wajib melaksanakan shalat zuhur karena telah melaksanakan sholat jum'at.

Hal senada juga dikatakan Ibnu Qudamah, setelah beliau memaparkan ketidak wajiban sholat jum'at bagi wanita, beliau menegaskan:

ولكنها تصح منها – أي الجمعة – ؛ لصحة الجماعة منها ، فإن النساء كن يصلين مع النبي صلى الله عليه وسلم في الجماعة

“Hanya saja sholat jum'at itu sah dikerjakan wanita (bersama imam). Karena mereka shalat jamaahnya sah. Dulu para wanita shalat berjamaah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Mughni )

Namun jamaah shalat jum'at yang dilakukan semua oleh wanita maka kami tidak menemukan dalil tentang hal itu.

Wallahu a'lam



Posted via Blogaway


Thursday 13 October 2016

Fatwa MUI tentang kosmetik

FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 26 Tahun 2013
Tentang
STANDAR KEHALALAN PRODUK KOSMETIKA DAN PENGGUNAANNYA
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG :
a. bahwa kosmetika telah menjadi salah satu kebutuhan manusia pada umumnya;
b. bahwa kosmetika yang akan digunakan oleh setiap muslim harus berbahan halal dan suci;
c. bahwa perkembangan teknologi telah mampu menghasilkan berbagai produk kosmetika yang menggunakan berbagai jenis bahan, serta memiliki fungsi yang beragam, yang seringkali
bahannya tidak jelas apakah suci atau tidak;
d. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai standar kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang standar kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT :
1. Al-Quran al-Karim
a. Firman Allah SWT tentang perintah untuk berhias serta larangan berhias yang menyerupai orang jahiliyyah, antara lain:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَال تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ األولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (bertabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah” (QS. Al- Ahzaab : 33)
b. Firman Allah SWT tentang manfaat ciptaan Allah secara umum untuk kepentingan manusia, antara lain :

هُوَ اّلَذِيْ خَلَقَ ّلَكُمْ مَا فِيْ اْألَرْضِ جَمِيْعًا )اّلبقرة: 92)

"Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..." (QS. al-Baqarah [2]: 29)

قُلْ مَنْ حَرَمَ زِيْنَةَ اهللِ اّلَتِيْ أَخْرَجَ ّلِعِبَادِه وَاّلّطَـيّـِبَاتِ مِنّ اّلرِزْقِ، قُلْ هِيَ ّلِلَذِيْنَ آمَنُوْا فِي
اّلْحَيَاةِ اّلّدُنْيَا خَاّلِصَةً يَوْمَ اّلْقِيَامَةِ، كَذّلِكَ نُفَصِلُ اْآليتِ ّلِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ )األعراف: 29)
"Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rezki yang baik?' Katakanlah: 'Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.' Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui" (QS. al-A`raf [7]: 32)

.وَسَّخَرَ ّلَكُمُ مَا فِي اّلّسَمَاوَاتِ وَمَا فِي اْألَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ، إِنَ فِيْ ذّلِكَ آليتِ ّلِقَوْمٍ
يَتَفَكَرُوْنَ
"Dan Dia (Allah) telah menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir" (QS. al-Jasiyah [45]: 13)
c. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal, antara lain:
يَا أيُهَا اّلنَاسُ كُلُوْا مِمَا فِى اْألَرْضِ حَالَالً طَـيِبًا وَالَتَتَبِعُوْا خُّطُوَاتِ اّلّشَيّْطَانِ، إِنَهُ ّلَكُمْ
عَّدُوٌ مُبِيْنٌ )اّلبقرة: 861.)
"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al-Baqarah [2]: 168).

يَا أيُهَا اّلَذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِـبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوْا هللِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَاهُ تَعْبُّدُوْنَ )اّلبقرة:
.)879
"Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah Kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah" (QS. al-Baqarah [2]: 172)
d. Firman Allah SWT tentang beberapa jenis makanan (dan minuman) yang diharamkan, antara lain:

إِنَمَاحَرَمَ عَلَيْكُمُ اّلْمَيْتَةَ وَاّلّدَمَ وَّلَحْمَ اّلّْخِنْزِيْرِ وَمَاأُهِلَ بِهِ ّلِغَيْرِ اهللِ، فَمَنِ اضّْطُرَ غَيْرَ بَاغٍ
وَالَعَادٍ فَالَإِثْمَ عَلَيْهِ، إِنَ اهللَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ )اّلبقرة: 872)
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang" (QS. al-Baqarah [2]: 173).

حُرِمَتْ عَلَيْكُمُ اّلْمَيْتَةُ وَاّلّدَمُ وَّلَحْمُ اّلّْخِنْزِيْرِ وَمَاأُهِلَ ّلِغَيْرِ اهللِ بِهِ وَاّلْمُنّْخَنِقَةُ وَاّلْمَوْقُوْذَةُ
وَاّلْمُتَرَدِيَةُ وَاّلنَّطِيْحَةُ وَمَاأَكَلَ اّلّسَبُعُ إِالَ مَاذَكَيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى اّلنُصُبِ ... )اّلمائّدة: 2)
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (da-ging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu memakan hewan)
yang disembelih untuk berhala..." (QS. al-Ma'idah [5]: 3).

قُلْ الَأَجِّدُ فِى مَاأُوْحِيَ إِّلَيَ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهُ إِالَ أَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا
أَوْ ّلَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَهُ رِجْسٌ أَوْ فِّسْقًا أُهِلَ ّلِغَيْرِ اهللِ بِهِ، فَمَنِ اضّْطُرَ غَيْرَ بَاغٍ وَالَعَادٍ فَإِنَ
رَبَكَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ )األنعام: 841)
"Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun, Maha Penyayang" (QS. al-An'am [6]: 145).

وَيُحِرِمُ عَلَيْهِمُ اّلّْخَبَائِثَ )األعراف: 817)
"... dan ia (Nabi) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk..." (QS. al-A`raf [7]: 157). Maksud buruk (khaba'its) di sini menurut ulama adalah najis.
وَالَتُلْقُوْا بِأَيّْدِيْكُمْ إِّلَى اّلتَهْلُكَةِ )اّلبقرة: 821)
"...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..." (QS. al-Baqarah [2]: 195).
2.Hadis Nabi SAW
a. Hadis-hadis Nabi berkenaan dengan kehalalan dan keharaman sesuatu yang dikonsumsi, antara lain:

أَيُهَا اّلنَاسُ! إِنَ اهللَ طَيِبٌ الَيَقْبَلُ إِالَ طَـيِـبًا. وَإِنَ اهللَ أَمَرَ اّلْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ اّلْمُرْسَلِيْنَ.
فَقَالَ: يَاأَيُهَا اّلرُسُلُ كُلُوْا مِنَ اّلّطَـيِـبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَاّلِحًا، إِنِيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ. وَقَالَ: يَا
أيُهَا اّلَذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِـبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ. ثُمَ ذَكَرَ اّلرَجُلَ يُّطِيْلُ اّلّسَفَرَ، أَشْعَثَ أَغْبَرَ،
يَمُّدُ يَّدَيْهِ إِّلَى اّلّسَمَاءِ: يَارَّبِ! يَارَّبِ! وَمَّطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَّشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَّسُهُ حَرَامٌ،
وَغُذِيَ بِاّلْحَرَامِ. فَأَنَى يُّسْتَجَاّبُ ّلِذَّلِكَ؟ )رواه مّسلم عن أبي هريرة(
"Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia
berfirman, 'Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik- baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan' (QS. al-
Mu'minun [23]: 51), dan berfiman pula, 'Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu...' (QS. al-Baqarah [2]: 172). Kemudian Nabi
menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan tangan ke langit ia berdoa, 'Ya
Tuhan, Ya Tuhan...' (Berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah--pen.). Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. (Nabi memberikan komentar), 'Jika demikian halnya,
bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?'" (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

اَّلْحَالَلُ بَيِنٌ وَاّلْحَرَامُ بَيِنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُّشْـتَبِهَاتٌ الَيَعْلَمُهُنَ كَثِيْرٌ مِنَ اّلنَاسِ، فَمَنِ اتَقَى
اّلّشُـبُهَاتِ فَقَّدِ اسْتَـبْرَأَ ّلِّدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ )رواه مّسلم(
"Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musyta-bihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang
siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim).

اَّلْحَالَلُ مَاأَحَلَ اهللُ فِيْ كِتَابِهِ، وَاّلْحَرَامُ مَاحَرَمَ اهللُ فِيْ كِتَابِهِ، وَمَاسَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَا عَفَا
عَنْهُ )أخرجه اّلترمذي وابن ماجه عن سلمان اّلفارسي(
"Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya; sedang yang tidak dijelaskan-Nya adalah yang dimaafkan" (Nail al-Authar, 8: 106).

إِنَ اهللَ فَرَضَ فَرَئِضَ فَالَتُضَيِعُوْهَا، وَحَّدَ حُّدُوْدًا فَالَتَعْتَّدُوْهَا، وَحَرَمَ أَشْيَاءَ فَالَتَنْتَهِكُوْهَا،
وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً ّلَكُمْ غَيْرَ نِّسْيَانٍ فَالَتَبْحَثُوْا عَنْهَا )رواه اّلّدارقّطني وحّسنه
اّلنووي(
“Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban; janganlah kamu abaikan, telah menetapkan beberapa batasan, jangalah kamu langgar, telah mengharamkan beberapa hal, janganlah
kamu rusak, dan tidak menjelaskan beberapa hal sebagai kasih sayang kepadamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu tanya-tanya hukumnya” (HR. Daraquthni dan dinilai sahih oleh Imam Nawawi).
b. Hadis nabi saw yang menerangkan tentang dorongan untuk berhias dan menjaga kebersihan diri, antara lain:

وعن ابن مّسعودٍ رضي اهلل عنه عن اّلنبيّ صلى اهلل عليه وسلم قَالَ :"ال يَّدْخُلُ اّلجَنَةَ مَنْ كَانَ
فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَةٍ مِنْ كِبْرٍ" فَقَالَ رَجُلٌ : إنَ اّلرَجُلَ يُحِبُ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَّسَناً ، وَنَعْلُهُ حَّسَنةً ،
فَقَالَ : "إنَ اهللَ جَمِيلٌ يُحِبُ اّلجَمَالَ ، اّلكِبْرُ : بَّطَرُ اّلحَقِ ، وَغَمْطُ اّلنَاسِ". )رواه مّسلم و أحمّد و
اّلترمذي(
Dari Ibn Mas’ud ra dari Nabi saw beliau bersabda: “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat setitik kesombongan”, kemudian salah seorng sahabat bertanya:
“Seseorang suka pakainnya bagus serta sendalnya baik. Rasulullah pun menjawab: “Allah SWT itu indah dan menyukai keindahan.
Kesombongan adalah menghinakan kebenaran dan merendahkan orang lain” (HR. Imam Muslim, Ahmad, dan al-Turmudzi)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ اّلنَّبِيَّ صَلَّى اّللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ”اكْتَحِلُوا بِاّلْإِثْمِّدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو اّلْبَصَرَ وَيُنْبِتُ
اّلّشَّعْرَ" )رواه اّلترمذي(
Dari Ibn ‘Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda: “Pakailah celak dengan menggunakan itsmid, karena ia dapat memperjelas pandangan dan menumbuhkan rambut” (HR. Al-Turmudzi)

عَن أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي اهلل عنه قَالَ : إِنَ رَسُولَ اّللَهِ صللى
اهلل عليه وسلم قَالَ: "إِنَ اّلْيَهُودَ وَاّلنَصَلارَ الَ يَصْلبُغُونَ ،
فَّخَاّلِفُوهُمْ ")رواه اّلبّخاري ومّسلم(
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir/mewarnai (rambut), maka berbedalah kalian dengan mereka”. (HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبّْدِ اّللَهِ رَضِيَ اهللُ عَنْهُ قَالَ أُتِىَ بِأَبِى قُحَافَةَ
يَوْمَ فَتْحِ مَكَةَ وَرَأْسُهُ وَّلِحْيَتُهُ كَاّلثَغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ
اّللَهِ صلى اهلل عليه وسلم: "غَيِرُوا هَذَا بِّشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا
اّلّسَوَادَ" )رواه مّسلم واّلنّسائى و ابو داود(
Dari Jabir ibn Abdillah ra ia berkata: Pada saat Fathu Makkah, datanglah Abu Quhafaah dalam keadaan (rambut) kepala dan jenggotnya putih seperti pohon tsaghamah (yang serba putih,
baik bunga maupun buahnya). Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ubahlah ini (rambut dan jenggot Abu Quhafah) dengan sesuatu, tetapi jauhilah warna hitam”. (HR. Imam
Muslim, al-Nasa’i dan Abu Daud)
c. Hadis Nabi saw yang menerangkan soal larangan terhadap hal yang membahayakan, antara lain:

الَضَرَرَ وَالَضِرَارَ )رواه أحمّد وابن ماجه عن ابن عباس وعبادة بن اّلصامت(
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh (pula) membahayakan orang lain" (HR. Ahmad dan Ibn Majah dari Ibn 'Abbas dan `Ubadah bin Shamit).
d. Hadis Nabi saw yang menegaskan adanya larangan beberapa jenis aktifitas berhias, antara lain:

عن عبد اهلل بن مسعود رضي اهلل عنه قال: لعن اهلل
الواشمات و المستوشمات و المتنمصات و المتفلجات
للحسن المغيرات خلق اهلل )رواه البخاري(
Dari Abdullah ibn Mas’ud ra. Ia berkata: “Allah SWT melaknat orang-orang perempuan yang membuat tato dan yang meminta membuat tato, memendekkan rambut, serta yang berupaya merenggangkan gigi supaya kelihatan bagus, yang merubah ciptaan Allah. (HR. Al-
Bukhari)

عن عبداهلل بن عباس رضي اهلل عنمما قال : لعن رسول
اهلل المتشبمين من الرجال بالنساء و المتشبمات من النساء
بالرجال )رواه البخاري و أبو داود و الترمذي و ابن ماجه
)
Dari Abdillah ibn ‘Abbas ra. Ia berkata: “Rasulullah saw melaknat kaum laki-laki yang menyerupakan diri dengan perempuan, juga kaum perempuan yang menyerupakan
diri dengan laki-laki” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, al- Turmuzi dan Ibn Majah)
3. Kaidah fiqh:
اَألَصْلُ فيِ اْألَشْيَاءِ اّلنَافِعَةِ اْإلِبَاحَةُ، وَفيِ اْألَشْيَاءِ اّلضَارَةِ اّلْحُرْمَةُ.
"Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram".
اَألَصْلُ فيِ اْألَشْيَاءِ اْإلِبَاحَةُ، مَا ّلَمْ يَقُمْ دَّلِيْلٌ مُعْتَبَرٌ عَلَى اّلْحُرْمَة
"Hukum asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang mengharamkanya."
األُمُوْرُ بِمَقَاصِّدِهَا
“(Hukum) Segala sesuatu tergantung pada tujuannya”
األَصْلُ فِي اّلْمُعَامَلَةِ اإلِبَاحَةُ
“Hukum asal pada masalah mu’amalah adalah boleh”
األَصْلُ فِي اّلْمَنَاِفعِ اإلِبَاحَةُ
“Hukum asal pada setiap yang bermanfaat adalah boleh”
ّلِلْوَسَائِلِ حُكْمُ اّلْمَقَاصِّدِ
“Pada wasilah (hukumnya) sebagaimana hukum pada yang ditujunya”

MEMPERHATIKAN :
1. Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia Nomor:
2/MUNAS VI/MUI/2000 tentang Penggunaan Organ Tubuh, Ari- Ari, Dan Air Seni Manusia Bagi Kepentingan Obat-Obatan Dan Kosmetika
2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-139/MUI/IV/20 Tentang Makan Dan Budidaya Cacing Dan Jangkrik;
3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal.
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol
5. Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang tentang Konsumsi Makanan Halal.
6. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang Penggunaan Plasenta Hewan Halal untuk Kosmetika dan Obat
Luar
7. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi pada tanggal 13 Juli
2013.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG STANDAR KEHALALAN PRODUK
KOSMETIKA DAN PENGGUNAANNYA
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk membersihkan, menjaga, meningkatkan penampilan, merubah penampilan, digunakan dengan cara mengoles, menempel, memercik, atau menyemprot.
2. Tahsiniyat adalah salah satu kebutuhan syar’i yang bersifat penyempurna (tertier), yang tidak sampai pada tingkat dlarurat ataupun hajat, yang jika tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi jiwa seseorang, serta tidak menimbulkan kecacatan.
3. Penggunaan kosmetika ada yang berfungsi sebagai obat dan ada yang berfungsi sekedar pelengkap, ada yang masuk kategori haajiyyat dan ada yang masuk kategori tahsiniyyat.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat:
a. bahan yang digunakan adalah halal dan suci;
b. ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i; dan
c. tidak membahayakan.
2. Penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau
haram hukumnya haram.
3. Penggunaan kosmetika luar (tidak masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi dibolehkan dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar’i).
4. Penggunaan kosmetika yang semata-mata berfungsi tahsiniyyat, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk memanfaatkan kosmetika yang haram.
5. Penggunaan kosmetika yang berfungsi sebagai obat memiliki ketentuan hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa
terkait penggunaan obat-obatan.
6. Produk kosmetika yang mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
7. Produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif, dan/atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara
penyembelihannya hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
8. Produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.

Keempat : Rekomendasi
1. Masyarakat dihimbau untuk memilih kosmetika yang suci dan halal serta menghindari penggunaan produk kosmetika
yang haram dan najis, makruh tahrim dan yang
menggunakan bahan yang tidak jelas kehalalan serta kesuciannya.
2. Pemerintah mengatur dan menjamin ketersediaan kosmetika halal dan suci dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
3. Pelaku usaha diminta untuk memastikan kesucian dan kehalalal kosmetika yang diperjualbelikan kepada umat Islam.
4. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika yang menggunakan bahan haram dan najis, baik untuk kosmetika dalam maupun luar.
5. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika yang menggunakan bahan yang tidak jelas kehalalan dan kesuciannya, sampai ada kejelasan tentang
kehalalan dan kesucian bahannya.

Kelima : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan
diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk
menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 04 Ramadhan 1434 H
13 J u l i 2013 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua

PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA DR. HM.

Sekertaris

ASRORUN NI’AM SHOL EH, MA


Wednesday 12 October 2016

Puasa Sunah dan Beberapa Hal yang Berkaitan Denganya



Assalamualaikum,
Mau nanya pak, saya td pagi niat puasa sunnah Kamis.
Lalu sya bru sadar kalau hari  ini msh hri Rabu skitar jm 9. lantas sya memtuskan untk membatalkan puasa. Kalau seandainya sya tdk mmbatalkn, tetap puasa apakah boleh ustad?
Kalau mengganti niat kala sudah siang hari apakah jg boleh?
Trmksh, wassalamualaikum
Zerlinda
Jawab :
Waalaikumsallam, agar bisa nyambung kita akan bahas tentang dua hal, yaitu macam-macam puasa sunah dan hal-hal yang berkaitan denganya..
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا يَصُوْمُ عَبْدٌ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ الله. إلا بَاعَدَ اللهُ، بِذَلِكَ اليَوْمِ، وَجْهَهُ عَنِ النَارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً.
“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka (dengan puasa itu) sejauh 70 tahun jarak perjalanan.” (HR. Bukhari Muslim dan yang lainnya)
Sebagaimana jenis ibadah lainnya maka puasa haruslah didasari niat yang benar yakni beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata-mata serta dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Makna puasa secara Syar’i  adalah “menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta segala sesuatu yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala” ,
I. Ada beberapa Puasa Sunah yang di syariatkan, diantaranya adalah :
1. Puasa 6 hari pada bulan Syawwal
Dari Abu Ayyub Al-Anshory bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ. ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّال. كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian melanjutkan dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka seperti ia berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بعَشْرةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَهُ بِشَهْرين، فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ
“Puasa pada bulan Ramadhan  seperti berpuasa sepuluh bulan , dan puasa enam hari setelahnya seperti berpuasa selama dua bulan, maka yang demikian itu (jika dilakukan) seperti puasa setahun.” (Hadits shahih Riwayat Ahmad)
Puasa Syawal tidak boleh dilakukan pada hari yang dilarang berpuasa di dalamnya, yakni pada hari Idul Fitri.Puasa tersebut tidak disyaratkan harus berurutan, sebagaimana kemutlakan hadits hadits di atas, akan tetapi lebih utama bersegera dalam kebaikan.Jika ada kewajiban mengqodo’ puasa Ramadhan maka dianjurkan mendahulukan qodo baru kemudian berpuasa Syawal 6 hari sebagaimana hadits dari Abu Ayyub Al-Anshori di atas.
2. Puasa pada hari Arafah bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَام ُيَوْمِ عَرَفَةَ  أحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. وَالسَّنَةَ الّتِي بَعْدَهُ
“Puasa pada hari Arofah, aku berharap kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Adapun bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, maka yang lebih utama adalah tidak berpuasa pada hari Arofah sebagaimana yang diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
3. Puasa pada hari Asyura’ (10 Muharrom) dan sehari sebelumnya
Dari Abu Qotadah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Puasa pada hari ‘Asyuro’, aku berharap kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُوْمَنَّ التَاسِعَ
“Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.” (HR. Muslim)
4. Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidaklah saya melihat  beliau memperbanyak puasa dalam suatu bulan seperti banyaknya beliau berpuasa pada bulan sya’ban.” (HR. Bukhari)
Dan dianjurkan tidak berpuasa pada hari yang meragukan apakah sudah masuk ramadhan atau belum, yakni sehari atau dua hari pada akhir Sya’ban, kecuali bagi seseorang yang kebetulan bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukannya dari puasa-pusa sunnah ( misal puasa dawud atau puasa senin kamis )
5. Memperbanyak Puasa Pada Bulan Muharrom
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَ أفْضَلُ الصَّلاةِ بَعْدَ الفَرِيْضَةِ صَلاةُ اللَيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yakni bulan Muharrom, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
6. Puasa Hari Senin dan Kamis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Amal-amal ditampakkan pada hari senin dan kamis, maka aku suka jika ditampakkan amalku dan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. An-Nasa’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari senin, beliau bersabda:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ. وَيَوْمٌ بُعِثْتُ (أَوْ أَنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ)
“Ia adalah hari ketika aku dilahirkan dan hari ketika aku diutus (atau diturunkan (wahyu) kepadaku ).” (HR. Muslim)
7. Puasa 3 hari setiap bulan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
أوْصَانِى خَلِيْلِى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاثٍ: صِيَامِ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَى الضُحَى، وَأَنْ أَوْترَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
“Kekasihku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan,   dua rakaat shalat dhuha, dan  shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari Muslim)
Lebih dianjurkan untuk berpuasa pada hari baidh yakni tanggal 13, 14 dan 15 bulan Islam (Qomariyah). Berdasarkan perkataan salah seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُوْمَ مِنَ الشَّهْر ِثَلاثَةَ أَيَّامِ البَيْضِ: ثَلاثَ عَشْرَةَ، وَ أَرْبَعَ  عَشْرَةَ ، وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada tiga hari ‘baidh’: tanggal 13, 14 dan 15.” (Hadits Hasan, dikeluarkan oleh An-nasa’i dan yang lainnya)
8. Berpuasa Sehari dan Berbuka Sehari (Puasa Dawud ‘alaihis salam)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا (متفق عليه)
“Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Nabi Dawud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Dawud, adalah beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya, adalah beliau berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (Muttafaqun ‘alaihi)
II. Ada beberapa hal yang terkait dengan syariat puasa sunnah, diantaranya :
1.                  Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, dan minum serta tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim ).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalil di atas adalah dalil bagi mayoritas ulama bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”(Syarh Shahih Muslim )
Namun tidak bagi puasa wajib atau qadha puasa wajib. Karena ada hadits :
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka puasa ( Ramadhanya)nya tidak sah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An Nasa’i )
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang belum berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud 2456 dan yang lainnya).
Hadis ini berlaku untuk puasa wajib, termasuk puasa qadha. Imam Nawawi mengatakan,
لا يصح صوم رمضان ولا القضاء ولا الكفارة ولا صوم فدية الحج وغيرها من الصوم الواجب بنية من النهار ، بلا خلاف
Tidak sah melakukan puasa ramadhan, puasa qadha, puasa kaffarah, maupun puasa tebusan ketika haji, atau puasa wajib lainnya, jika niatnya di siang hari, dengan sepakat ulama. (al-Majmu’ syarh Muhadzab).
Berdasarkan hadis ini, tidak mungkin bagi orang yang tengah puasa sunah, lalu dia mengubah niatnya menjadi puasa qadha. Namun di bolehkan mengganti niat untuk puasa sunah yang lain. Hal ini diambil dari hadits Aisyah tentang Nabi berniat tidak puasa kemudian merubah menjadi niat puasa sunah.
2.                  Dua Niat dalam satu Puasa. Puasa dengan niat ganda, ada yang boleh hukumnya dan ada yang tidak boleh. Termasuk yang tidak boleh adalah puasa yang diniatkan untuk beberapa puasa yang hukumnya wajib. Misalnya, seseorang berpuasa satu hari dengan niat untuk membayar qadha' puasa Ramadhan 30 hari. Karena puasa satu hari hanyalah untuk membayar puasa satu yang ditinggalkan.

Demikian juga ketika seseorang bernadzar untuk puasa 1 minggu, lalu ketika keinginannya terkabul, dia hanya puasa 1 hari saja namun niatnya untuk puasa 7 hari. Cara seperti ini juga cara akal-akalan yang tidak dibenarkan syariah.

Yang bisa dibenarkan adalah melakukan puasa wajib yang dijatuhkan harinya di hari-hari yang utama untuk berpuasa, misalnya dijatuhkan pada hari Senin atau hari Kamis.

Kedua hari itu adalah hari yang punya keutamaan tersendiri untuk berpuasa, kalau ada puasa wajib, maka kita puasa wajib, sedangkan bila tidak ada kewajiban, maka kita puasa sunnah. Yang penting, kita bisa memanfaatkan hari Senin atau Kamis untuk berpuasa, baik statusnya wajib atau sunnah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memang menyebutkan keutamaan puasa pada hari itu dan beliau juga menyebutkan sebab musababnya, yaitu karena hari kelahiran beliau atau karena Senin dan Kamis adalah hari pelaporan amal-amal umat manusia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau menjawab, "Itu hari kelahiranku dan diturunkan wahyu." (HR Muslim dan Ahmad).

"Sesungguhnya amal manusia itu diperlihatkan (dilaporkan) setiap hari Senin dan Kamis. Lalu Allah mengampuni setiap muslim atau setiap mukimin, kecuali metahajirin. Beliau berkata, "Akhir dari keduanya." (HR Ahmad dengan sanad shahih).

Maka boleh hukumnya berpuasa wajib, misalnya puasa qadha' atau nadzar, yang kita jatuhkan di hari Senin atau Kamis, karena di kedua hari itu ada keutamaan tersendiri yang berbeda nilainya kalau kita puasa wajib di hari lain.

Dan boleh pula kita berpuasa sunnah yang kita jatuhkan di hari Senin atau hari Kamis. Misalnya puasa 6 hari bulan Syawwal yang hukumnya sunnah, akan menjadi lebih utama kalau dijatuhkan pada hari Senin atau hari Kamis.

3.                  Seseorang yang berpuasa sunnah diperbolehkan membatalkan puasanya jika ia menghendaki, dan tidak ada qadha atasnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ:( هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ ) فَقُلْنَا: لا. قَالَ: ( فَإِنِى إِذًا صَائِمٌ ) ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَر. فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ . فَقَالَ: ( أَرينيْهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ) فَأَكَلَ. (رواه مسلم)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari datang kepadaku kemudian berkata: “Apakah engkau memiliki sesuatu (dari makanan)?”, kemudian kami berkata: “tidak”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau begitu saya berpuasa”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang pada hari yang lain kemudian kami katakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dihadiahi haisun (kurma yang dicampur minyak dan susu yang dihaluskan), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bawalah kemari, sesungguhnya aku tadi berpuasa”, kemudian beliau memakannya (HR. Muslim)
4.                  Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seijin suaminya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تَصُوْمُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلا بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya menyaksikannya kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Kesimpulan :
Terkait puasa pada hari rabu pada bulan muharram kemarin, maka Anda bisa mengganti niatnya dengan puasa bulan Muharram yang memang di syariatkan untuk memperbanyak puasa dan kalaupun ingin membatalkan juga tidak mengapa dan tidak ada qadha atasnya.
Wallahu A’lam


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...