Saturday 19 January 2019

Nikmat Yang Hakiki ( Tadabur Surat Al Baqarah 151-152 )


 

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

 فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
Sebagai mana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat-Ku).  (Al Baqarah 151-152 )
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ketika menafsirkan surat Al Maidah "Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar terhadap umat ini. Yaitu dengan Dia menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain itu dan juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka, semoga shalawat dan salam terlimpahkan untuk mereka. Karena itu Alalh menjadikannya (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) sebagai akhir para nabi dan diutus untuk jin dan manusia. Tidak ada yang halal kecuali apa yang dia halalkan, tidak ada yang haram kecuali apa yang dia haramkan, tidak ada agama kecuali apa yang dia ajarkan. Semuanya telah dia sampaikan. Beliau adalah orang yang benar dan jujur, tidak ada dusta dan penipuan padanya. Sebagaiman firman Allah Ta'ala,
"Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil." (QS. Al-An'am: 115)
Maksudnya adalah benar dalam penyampaiannya dan adil dalam perkara perintah dan larangan. Ketika agama telah disempurkan bagi mereka, maka berarti nikmat telah disempurnakan kepada mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/26)
Maka dapat kita simpulkan di antara nkmat Allah yang paling besar adalah nikmat Iman dan taufiq untuk menjalankan syariatnya. Syariat Islam meberikan solusi setiap permasalahan dalam kehidupan manusia, di samping itu syariat ini adalah syariat yang di janjikan Allah jika kita mengkutinya maka akan mengantarkan keselamatan di akhirat kelak.Lalu nikmat apa yang lebih besar dari pada nikmat yang mampu memberi solusi bagi permasalahan manusia yang terbesar yaitu masuk Neraka.   
Hal ini disandingkan pula dengan nikmat yang disebutkan sebelumnya yaitu menghadap ke arah kakbah di dalam sholat. Kabah adalah tempatibadah yang sebenarnya di bangun sejak awal bahan sebelum manusia di ciptakan. Allah mengabarkan dalam Al-Quran: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia . (QS. Ali Imran : 96).
Konon di zaman Nabi Nuh as, ka’bah ini pernah tenggelam dan runtuh bangunannya hingga datang masa Nabi Ibrahim as bersama anak dan istrinya ke lembah gersang tanpa air yang ternyata disitulah pondasi Ka’bah dan bangunannya pernah berdiri. Lalu Allah swt memerintahkan keduanya untuk mendirikan kembali ka’bah di atas bekas pondasinya dahulu. Dan dijadikan Ka’bah itu sebagai tempat ibadah bapak tiga agama dunia. Dan ketika Kami menjadikan rumah itu (ka’bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS. ). Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. Al-Hajj : 27).
Maka dua nikmat ini menjadi Nikmat yang agung yang di berikan secara sempurna kepada umat Nabi muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Dimana Agama yang di berikan adalah penyempurna semua agama sebelumnya kiblatnyapun adalah  tempat ibadah pertama yang di buat untuk beribadah kepada Allah.
Penyebab sempurnanya nikmat ini adalah di utusnya Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Di mana Rasulullah membacakan dan mengaplikasikan syariat paripurna ini. Dan juga menjalananya, dan mengajak para sahabat untu menjalankan syariat ini. Dimana dengan menjalankan syariat ini dengan benar, maka akan membersihkan manusia dari kekotoran-kekotoran baik yang bersifat ruhiyah maupun jasadiyah. Maka dua tugas inilah yang mengantarkan manusia pada puncak paripurnanya sebuah peradaban. Dimana seluruh aspek manusia termanajemen dengan manajemen terbaik sehingga akan didapatkan hasil yang terbaik pula.
Maka satu kunci seseorang mendapatkan kenikmatan yang hakiki ketika seorang menjalankan dengan sempurna syariat Allah ini. Maka kita kemudian di perintahkan untuk banyak mengingat sang pemberi nikmat yang membuahkan ma’rifatullah kemudian bersyukur kepadaNya.
Syukur secara bahasa,

الثناء على المحسِن بما أَوْلاكَهُ من المعروف

“Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih.
Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:


الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة

“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala, dimana kekufuran ini akan mengantarkan ke Neraka.
Wallahu a’lam

Temanggung, 19 Januari 2019 M / 13 Jumadil Awwal 140 H
Ta’ Rouf Yusuf

Friday 11 January 2019

Hakikat Kiblat Seorang Muslim


Hasil gambar untuk sujud di depan ka'bah
Kata kiblat yang berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata muqabalah yang berarti muwajahah, artinya menghadap. Sehingga kata qiblah sendiri artinya hadapan, yaitu suatu keadaan (tempat) dimana orang-orang pada menghadap kepadanya. Secara harfiah, qiblat berarti al-Jihah yakni arah atau disebut syathrah.
Pada hakikatnya, kiblat yang bermakna arah dan tempat, makna tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga jika menyebut kata kiblat pasti kedua makna tersebut sudah terkandung di dalamnya, atau dalam bahasa nahwunya “al-Lafdzu al-Mufrad wa Muraduhu al-Jam'u"

Setelah pada ayat sebelumnya Allah memerintahan menghadap kabah sebagai kiblat dan keingkaran ahlu kitab Allah menyatakan bahwa pada hakikat dari penghadapan kiblat.
وَلِكُلٍّ۬ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيہَا‌ۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٲتِ‌ۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًا‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬ (١٤٨)

Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlombalombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (148)
Masing-masing umat memiliki kiblat sendiri dalam ibadahnya. Menghadap kiblat tertentu termasuk syari'at yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi serta zamannya, ia bisa dimasuki oleh naskh dan mengalami perubahan dari arah tertentu kepada arah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah menta'ati perintah Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan menjauhi larangan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya, inilah tanda kebahagiaan dan tanda keberuntungan.
Perintah berlomba-lomba dalam kebaikan lebih dalam daripada sebatas perintah mengerjakan kebaikan. Dalam perintah ini mengandung perintah mengerjakannya, menyempurnakannya, melakukannya sebaik mungkin dan bersegera kepadanya. Barangsiapa yang bersegera kepada kebaikan ketika di dunia, maka dia adalah orang yang lebih dulu ke surganya. Oleh karena itu, mereka yang berlomba-lomba dalam kebaikan adalah orang yang paling tinggi derajatnya. Dan kata "kebaikan" di sini mencakup semua amalan fardhu maupun sunat, baik berupa shalat, puasa, zakat, hajji, Umrah, jihad, manfa'at bagi orang lain maupun sebatas untuk diri sendiri.Karena pendorong yang paling kuat agar seseorang dapat bersegera kepada kebaikan dan bersemangat kepadanya adalah pahala yang dijanjikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka Dia berfirman seperti yang disebutkan di atas; yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan mengumpulkan kita semuanya di mana saja kita berada dengan kekuasaan-Nya, dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal, jika amalnya buruk, maka Dia akan membalas sesuai amal yang dikerjakannya dan jika baik, maka Dia akan membalas dengan berlipat ganda dan memberikan balasan yang terbaik (surga). Ayat yang mulia ini juga mengandung perintah untuk segera melaksanakan kewajiban seperti shalat di awal waktu, segera membayar hutang puasa dan segera berhajji serta anjuran untuk melaksanakan amalan-amalan sunat.

 وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ‌ۖ وَإِنَّهُ ۥ لَلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ‌ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ (١٤٩)

Dan dari mana saja kamu keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (149)

Darimana saja seseorang Keluar dari rumahnya yakni keluar bersafar atau keperluan lainnya, kemudian hendak mendirikan shalat. Maka diperintahkan untuk menghadap masjidil haram.  Pada ayat di atas menggunakan dua penguat, huruf "inna" dan "lam" (sesungguhnya dan benar-benar) agar tidak perlu lagi ragu dan agar tidak timbul perkiraan bahwa perintah menghadap ke Ka'bah itu hanyalah karena lebih enak, bahkan ia merupakan perintah yang sesungguhnya.
Ayat ini di akhiri dengan ungkapan, bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan melihat kita. Hal ini menunjukan agar kita tetap menjaga perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ‌ۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَڪُمۡ شَطۡرَهُ ۥ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيۡكُمۡ حُجَّةٌ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡہُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِى وَلِأُتِمَّ نِعۡمَتِى عَلَيۡكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ (١٥٠)

Dan dari mana saja kamu (keluar), maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, dan agar Aku-sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk ( 150 )

Perintah menghadap ke kiblat adalah agar ahli kitab dan kaum musyrikin tidak memiliki alasan lagi untuk menentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu, karena jika tetap menghadap ke Baitul Maqdis tentu orang-orang ahli kitab akan menegakkan hujjah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka adalah bahwa kiblat yang tetap bagi Beliau adalah Ka'bah Baitullah al haram.
Sedangkan hujjah bagi orang-orang musyrikin ketika Beliau tetap menghadap ke Baitul
Maqdis adalah perkataan yang akan timbul dari mereka, "Bagaimana Beliau berada di atas agama Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan termasuk keturunannya, padahal Beliau tidak menghadap ke kiblatnya?!". Dengan demikian, setelah diadakan pemindahan kiblat, maka orang-orang ahli kitab dan kaum musyrikin sudah tidak memiliki hujjah lagi untuk menentang Beliau.
Akhirnya hanya orang-orang yang zalim saja yang masih mencoba-coba berhujjah, namun hujjah mereka tidak bersandar selain kepada hawa nafsu sehingga tidak perlu diladeni, karena tidak ada manfa'atnya berdebat dengan orang yang zalim.
Allah menyatakan tidak perlu takut kepada mereka karena hujjah mereka batil, dan kita diperintahkan untuk takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja, karena takut kepada-Nya merupakan asas semua kebaikan. Oleh karena itu, orang yang tidak takut kepada Allah Azza wa Jalla, ia tidak akan berhenti bermaksiat dan tetap tidak mau mengikuti perintah-Nya.
Perlu diketahui, bahwa pemindahan arah kiblat merupakan fitnah yang besar. Fitnah itu diangkat-angkat oleh ahli kitab, kaum munafik dan kaum musyrikin, mereka banyak membicarakan masalah itu dan menyampaikan berbagai syubhat. Oleh karena itu, pada beberapa ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkannya secara gamblang dan meyakinkan rasul-Nya serta memperkuat kebenaran itu dengan berbagai penguat sebagaimana yang disebutkan di beberapa ayat atas, misalnya:
- Diulangi-Nya perintah menghadap kiblat berkali-kali
- Perintah itu tidak hanya ditujukan kepada Rasul saja, meskipun biasanya perintah kepada rasul sebagai perintah kepada umatnya, tetapi diperkuat lagi dengan perintah kepada umatnya
sebagaimana firman-Nya "fa walluu wujuuhakum syathrah".
- Pada ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta'aala membantah semua alasan batil yang dilemparkan oleh mereka yang zalim.
- Menghilangkan harapan bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti kiblat ahli kitab.
- Penguatan dengan berita yang disampaikan-Nya bahwa sesungguhnya hal itu benar-benar hak dari sisi Allah.
- Pemindahan kiblat tersebut disebutkan dalam kitab-kitab mereka (ahli kitab), namun mereka
menyembunyikannya.
Dan takutlahk kepada Allah degan tetap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan kelak Allah akan meyempurnakan syari'at yang merupakan nikmat yang besar. Dasar nikmat adalah memperoleh hidayah untuk mengikuti agama-Nya, setelah itu nikmat-nikmat yang lain yang melengkapi dasar tersebut, dimulai dari sejak diutusnya Beliau sampai wafat hingga syari'at pun sempurna.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menjelaskan hidayah itu sejelas-jelasnya, sampai-sampai ditetapkan untuk yang hak itu ada para penentangnya agar yang hak itu semakin jelas dan nampak serta yang batil semakin jelas kebatilannya. Hal itu, karena jika tidak ada kebatilan sebagai lawan yang hak tentu kebenaran itu akan samar bagi kebanyakan orang. Dengan ada
lawannya maka segala sesuatu itu semakin jelas. Jika tidak ada malam tentu tidak akan diketahui kelebihan siang, jika tidak ada keburukan tentu tidak akan diketahui kelebihan yang baik, jika tidak ada kegelapan tentu tidak akan diketahui manfa'at cahaya, dan jika tidak ada kebatilan tentu kebenaran tidak akan jelas dan nampak, maka sehgala puji bagi Allah terhadap semua itu.
Dari pembahasan ayat ini maka bisa kita ambil pelajaran :
1.      Pada hakikatnya orientasi arah berfikir dan aktivitas manusia seharusnya dilakuan hanyalah untuk mematuhi perintah Allah dengan mengingkari setiap keinginan yang tida sesuai dengan perintahnya.
2.      Kualitas amal harus di utamaan, seorang mukmin sejati adalah orang yang ikhsan dalam beramal, yang paling profesional dalam beramal. Maka etos kerja seorang mukminadalah menghadirkan inerjaterbaik di setiap level peranya.
3.      Argumentasi tentang kebenaran tidak boleh dilandaskan pada hawa nafsu saja. Orang yang mendahuluan hawa nafsu dan keinginanya mendahului perintah Allah dan nalar logikanya, maka orang inilah orang yang zalim. Dan kezaliman dalam berfikir ini menyebaban seseorang tidak aan pernah mendapati kebenaran yang hakiki.

Temanggung, 5 Jumadil Awal 1440 H/11 Januari 2019
Ta’ Rouf Yusuf

Sunday 6 January 2019

Ibrah dari Pengalihan Kiblat



Hasil gambar untuk ayat yahudi tentang kiblat muhammad

Orang Yahudi menyebutnya sebagai Har Ha Bayit (Bait Suci), orang Nasrani menyebutnya Bait Allah atau Bait Suci. Sedangkan orang Islam menyebutnya sebagai Masjidil Aqsa (Masjid yang jauh) atau Baitul Maqdis (Bait Suci). Sejarah tiga agama samawi ini memang tidak bisa lepas dari Bait Suci ini.
Bahkan bagi orang Yahudi, ini adalah tempat yang paling suci. Sedangkan bagi orang Islam ini adalah satu dari tiga masjid suci dan merupakan kiblat pertama.
Kompleks suci yang juga disebut Al Haram Asy Syarief atau Temple Mount ini berdiri di Kota Jerusalem (Darussalam), tanah yang juga disucikan sekaligus diperebutkan tiga agama. Jerusalem berarti negeri yang damai, tapi ironisnya dari dulu sampai sekarang konflik terus bergejolak di sana.
Bait Suci ini dibangun secara sederhana oleh Nabi Yakub Alaihisallam (Jacob) alias Israel. Dalam hadisnya Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam mengungkapkan bahwa pembangunan Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsa ini dilakukan 40 tahun setelah Nabi Ibrahim Alaihisallam (Abraham) membangun Ka'bah atau Masjidil Haram di Mekkah, yang merupakan tempat ibadah pertama di bumi yang awalnya diinisiasi Nabi Adam Alaihisallam.
Pembangunan Bait Suci atau Bait Allah secara megah dilakukan oleh nabi sekaligus raja yang kaya raya yaitu Sulaiman Alaihisallam (Solomon). Orang Israel atau yahudi mengenal bagunan ini sebagai Bait Suci Pertama (First Temple). Orang Islam menyebutnya sebagai Masjid Al Aqsa. Masjid artinya tempat bersujud. Dalam keyakinan Islam, semua nabi membawa agama tauhid atau Islam (agama yang berserah diri total pada Allah) dan beribadahnya sujud (walau namanya waktu itu bukan sholat, dan sampai sekarang masih ada aliran Yahudi dan Nasrani yang ibadahnya mirip sholat).
Bangunan ini bertahan sampai tahun 586 SM, sebelum dihancurkan oleh bangsa Babilonia yang dipimpin Nebukadnezar. Selain menghancurkan bangunan suci, Bangsa Babilonia juga mengusir bangsa Israel dari Jerusalem.
Lalu pada 536-513 SM bangsa Israel yang kembali dari pembuangan membangun kembali Bait Suci yang oleh orang Yahudi dikenal sebagai Second Temple (Bait Suci Kedua). Lalu Herodes Agung merenovasi pada tahun 19 SM. Tapi bangunan suci ini kembali hancur di tangan Bangsa Romawi pada tahun 70 M. Versi lain, orang Yahudi sendiri yang menghancurkan agar tidak bangunan suci itu tidak tercemar oleh bangsa Romawi.
Pada tahun 530 M, Kaisar Yustinianus membangun gereja di lokasi itu untuk Bunda Maria. Namun dihancurkan oleh Kaisar Khosrau II pada awal abad ke-7 M.
Dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih, diceritakan bahwa ketika di Makkah sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis. Meskipun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Makkah menghadap Baitul Maqdis bukan berarti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi Ka’bah. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil posisi supaya Ka’bah berada di tengah antara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Baitul Maqdis. Dengan demikian, Ka’bah tetap berada di depan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meski beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap shalat menghadap Baitul Maqdis selama 16 bulan, ada yang mengatakan 17 bulan sebgaimana dirwayatkan imam Bukhari dari Al Barra, . Dan pada pertengahan bulan Rajab tahun kedua hijrah, Allah memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merubah arah kiblat shalat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari arah Baitul Maqdis ke arah Ka’bah di Makkah, kiblat Nabi Ibrahim Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan cara mempertemukan dua riwayat yang menjelaskan berapa lama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kata beliau rahimahullah : “Mempertemukan dua riwayat ini mudah. Orang yang menetapkan 16 bulan berarti dia menggabungkan antara bulan kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah dengan bulan turunnya perintah merubah kiblat menjadi satu bulan serta mengabaikan sisa hari (dua-pent) bulan tersebut (karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah pada pertengahan bulan Rabi’ul Awal dan beliau diperintahkan untuk merubah kiblat pada pertengahan bulan Rajab -pent), sedangkan orang yang menetapkan 17 bulan berarti dia menghitung kedua bulan tersebut.
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat menghadap Baitul Maqdis setelah hijrah ke Madinah mendapatkan sambutan hangat dari kaum Yahudi, karena mereka juga beribadah menghadap ke Baitul Maqdis. Mereka mengira bahwa agama yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti kiblat dan cara beribadah mereka. Berangkat dari anggapan ini, mereka sangat berambisi untuk mengajak Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergabung bersama mereka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap agar kiblat kaum Muslimin dirubah ke arah Ka’bah, kiblat Nabi Ibrahim dan Ismail, rumah pertama yang dibangun untuk mentauhidkan Allah Azza wa Jalla . Berkali-kali beliau menengadahkan wajah ke langit, mengharap agar Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu perihal kiblat.
Dalam Tafsir al Munir juga di kisahan dimana Nabi shalallahu alaikhi wa sallam merinduan pengalihan kiblat ini sebab ka’bah adalahkiblat kakek beliau Nabi Ibrahim di samping karena hal itu akan lebih menarik hati orang Arab untuk beriman karena merekalah yang akan menjadi tulang punggung penyebaran agama Islam.
Kaum Yahudi juga dulu berkata ‘,” Muhammad memilih agama yang berbeda dengan kita tapi dia mengikuti kiblat kita, kalau buan karena agama kita pasti dia tidak tahu emana dia menghadap kiblatnya..”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, katanya, “Masalah yang pertama kali dinasakh (dihapus hukumnya) di dalam al-Qur’an adalah masalah kiblat. Hal itu terjadi ketika Rasulullah hijrah ke Madinah. Pada waktu itu mayoritas penduduknya adalah Yahudi. Maka Allah Ta’ala memerintahkan untuk menghadap ke Baitul Maqdis. Orang-orang Yahudi pun merasa senang Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis sekitar belasan bulan, padahal beliau sendiri lebih menyukai (untuk menghadap ke) kiblat Ibrahim. Karena itu, beliau berdoa memohon kepada Allah sambil menengadahkan wajahnya ke langit, maka Allah Ta’ala pun menurunkan ayat:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Maka hal itu menyebabkan orang-orang Yahudi menjadi bimbang seraya berucap “Apakah yang memalingkan mereka [umat Islam] dari kiblatnya [Baitul Maqdis] yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? Katakanlah, kepunyaan Allahlah timur dan barat.”

Permohonan pengalihan kiblat ini sebenarnya  sudah diketahui sebelumnya oleh ahli kitab karena sudah dijelaskan dalam kitab Taurat maupun Injil, bahwa kiblat umat Islam adalah Ka’bah.
Lafadl يَعْمَلُونَ dalam qiraah sabah ada bacaan yamalun memakai huruf ya yang artinya mereka (orang-orang Yahudi) lakukan, ada bacaan tamalun memakai hurut ta yang artinya kalian (umat Islam) lakukan. Namun mereka menyembunyikan apa yang mereka ketahui oleh karena itu Allah mengakhiri ayat ni dengan ungkapan bahwa Allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Kemudian Al Quran menjelaskan sebab fitnah berpalingnya kaum ahlul kitab akan kesesatanya dalam ayatselanjutnya.


وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آَيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145)
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.

Umat Yahudi tidak akan mengikuti kiblat umat Islam walaupun itu adalah suatu kebenaran. Demikian juga Yahudi tidak akan mengikuti kiblat Nasrani dan Nasrani tidak pula mengikuti kiblatnya Yahudi. Kiblat Yahudi adalah Baitul Muqaddas dan kiblat Nasrani adalah mathla’ asy syam (arah munculnya matahari) padahal kiblat NabiIsa sama dengan Nabi Musa. Kiblat Nasrani bukanlah berdasar wahyu tapi rekayasa Paulus setelah Nabi Isa dirafa’. Paulus adalah orang Yahudi yang menyusup masuk agama Nasrani (Kristen) dan bermaksud merusak ajarannya. Paulus menyebar kebohongan bahwa dia bermimpi bertemu dengan Nabi Isa dan mengatakan padanya bahwa matahari adalah bintang yang ia senangi. Nabi Isa berpesan padanya agar umatnya ketika sembahyang menghadap arah terbitnya matahari.
Maka kemudian Allah memberi peringatan dengan kalimat ,” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.



الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
Sebagaimana yang terjadi dengan Abdullah bin sallam seorang pendeta yang jujur. Tatkala Rasulullah ke Madinah dan tiba di Quba', seorang juru panggil berseru menyatakan kedatangan beliau. Saat itu Husen bin Salam sedang berada di atas pohon kurma. Bibinya, Khalidah binti Harits, menunggu di bawah pohon tersebut. Begitu mendengar kedatangan Rasulullah, ia berteriak, "Allahu Akbar, Allahu Akbar!"
Mendengar teriakan itu, bibinya berkata, "Kamu akan kecewa. Seandainya saja kamu mendengar kedatangan Musa bin Imran, kamu tidak bisa berbuat apa-apa."
"Wahai bibi, demi Allah, dia adalah saudara Musa bin Imran. Dia dibangkitkan membawa agamanya yang sama," kata Husen.
"Diakah Nabi yang kau ceritakan itu?" tanya bibinya.
"Benar!" jawabnya lalu bergegas menemui Rasulullah yang sedang dikerumuni orang banyak. Setelah berdesak-desakan, akhirnya Husen berhasil menemui beliau.
Sabda beliau pertama kali adalah, "Wahai manusia, sebarluaskan salam. Beri makan orang yang kelaparan. Shalatlah di tengah malam, ketika orang banyak sedang tidur nyenyak. Pasti kamu masuk surga dengan bahagia."
Husen bin Salam memandangi Rasulullah dengan seksama. Ia yakin, wajah beliau tidak menunjukkan raut membohong. Perlahan Husen mendekat seraya mengucapkan dua kalimah syahadat.
Rasulullah bertanya padanya, "Siapa namamu?"
"Husen bin Salam," jawabnya.
"Mestinya Abdullah bin Salam," kata Rasulullah mengganti namanya dengan yang lebih baik.
"Saya setuju," kata Husen. "Demi Allah yang mengutus engkau dengan benar, mulai hari ini saya tidak ingin lagi memakai nama lain, selain Abdullah bin Salam."
Setelah itu Abdullah bin Salam pulang. Ia mengajak seluruh keluarganya—termasuk bibinya, Khalidah, yang saat itu sudah lanjut usia—untuk memeluk Islam. Mereka menerima ajakannnya. Abdullah meminta keluarganya untuk merahasiakan keislaman mereka dari orang-orang Yahudi hingga waktu yang tepat.
Tak berapa lama kemudian, Abdullah bin Salam menemui Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi suka berbohong dan sesat, saya meminta engkau memanggil ketua-ketua mereka, tapi jangan sampai mereka tahu kalau saya masuk Islam. Serulah mereka kepada agama Allah, saya akan bersembunyi di kamarmu mendengar reaksi mereka."
Rasulullah menerima permintaan tersebut. Beliau memasukkan Abdullah ke dalam bilik dan mengumpulkan para pemuka Yahudi. Rasulullah membacakan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur'an dan mengajak mereka memeluk Islam. Namun orang-orang Yahudi itu menolak, bahkan membantah kata-kata beliau.
Setelah mengetahui bahwa mereka enggan menerima seruannya, Rasulullah bertanya, "Bagaimana kedudukan Husen menurut kalian?"
"Dia pemimpin kami, kepala pendeta kami dan pemuka kami," jawab mereka.
"Bagaimana pendapat kalian kalau dia masuk Islam? Maukah kalian mengikutinya?" tanya Rasulullah.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin dia masuk Islam," jawab mereka serentak.
Tiba-tiba Abdullah bin Salam keluar dari bilik Rasulullah dan menemui mereka seraya berkata, "Wahai kaum Yahudi, bertakwalah kepada Allah. Terimalah agama yang dibawa Muhammad. Demi Allah, sesungguhnya kalian sudah mengetahui bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah. Bukankah kalian telah membaca nama dan sifat-sifatnya dalam Taurat? Demi Allah, aku mengakui Muhammad adalah Rasulullah. Aku beriman kepadanya dan membenarkan segala ucapannya."
"Bohong!" jawab mereka. "Kau jahat dan bodoh, tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah!"
Mereka pun meninggalkan Abdullah bin Salam dan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. "Kau lihat, wahai Rasulullah. Orang-orang Yahudi itu pendusta dan sesat. Mereka tidak mau mengakui kebenaran walaupun di depan mata," ujar Abdullah.
Itulah sifat Yahudi, oleh karena itu Allah kemudian menyambung dengan ayat sebagai penakar kebenaran.

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Melalui al-Qur’ân, Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa tujuan lain dari perubahan kiblat ini adalah untuk menguji kekuatan aqidah kaum Muslimin dan kesigapan mereka melaksanakan perintah-perintah Allah Azza wa Jalla.
Dan ternyata kesiagapan para shahabat merupakan bukti keimanan yang luar biasa. Sebagaimana tergambar dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh imam Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang mengatakan :
بَيْنَا النَّاسُ يُصَلُّونَ الصُّبْحَ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ إِذْ جَاءَ جَاءٍ فَقَالَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرْآنًا أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا فَتَوَجَّهُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Ketika jama’ah kaum Muslimin sedang menunaikan shalat Shubuh di Quba’, tiba-tiba ada seorang shahabat mendatangi mereka, lalu mengatakan : “Allah Azza wa Jalla telah menurunkan sebuah ayat kepada Nabi-Nya agar menghadap Ka’bah, maka hendaklah kalian menghadap Ka’bah !” Lantas mereka semua berpaling menghadap ke arah Ka’bah.
Ayat di atas juga sebagai jawaban dari pertanyaan yang timbul akibat perubahan kiblat ini, yaitu bagaimana dengan shalat para shahabat yang meninggal dunia sebelum perubahan kiblat ini, apakah shalat mereka dengan menghadap Baitul Maqdis diterima oleh Allah Azza wa Jalla ataukah tidak ? Jawabannya, Allah Azza wa Jalla tidak akan menyia-nyiakan shalat mereka. Karena mereka melakukan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis itu dalam rangka mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, sebagaimana para shahabat yang masih hidup menunaikan shalat menghadap Ka’bah juga dalam rangka mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Kesigapan mememnuhi seruan Rasul inilah yang menjadi salah satu kesuksesan kaum muslimin. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kita semua untuk mendirikan shalat dengan benar dan teratur sehingga iman kita semakin kuat. Dan semoga Allah Azza wa Jalla mempersatukan seluruh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia, karena kiblat mereka sesungguhnya hanya satu.

Temanggung, 6 Januari 2019 M / 30 Rabiul Tsani 1440 H
Ta’ Rouf Yusuf

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...