Monday 28 November 2022

Pengertian Bid'ah Menurut Empat Imam Madzhab

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ‪.‬
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa'i)

Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.

Definisi Bid'ah

Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).

Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi)

Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.

Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.

Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat)

Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.

Segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah

Pandangan ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:

"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam:
  1. Bid'ah wajib.
  2. Bid'ah haram
  3. Bid'ah sunah
  4. Bid'ah makruh
  5. Bid'ah mubah
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah mengembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)

Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).

Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus

Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam.

Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)

Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,

‫كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ‬
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."

Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi--bahwa beliau berkata,

"Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua kategori:
  1. Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah).
  2. Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)

Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya' Ulumuddin, juz 2, h. 248)

Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum),

"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... "

Di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata,

"Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)

Adapun Ibnu Al Atsir berkata,

"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah."

Karena itu hadits Nabi SAW,

"Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."

Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)

Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:

Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya--Red)."

Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,

"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."

Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,

"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."

Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Begitupula dengan yang dikatakan Umar,

"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".

Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.

Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, beliau menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW,

"Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku."

Juga sabda beliau lainnya,

"Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ..."

Adapun hadits nabi SAW,

"Setiap perkara baru adalah bid'ah"

Dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)

Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah

Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.

Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:

  • Bid'ah wajib
    Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,

    ‎‫مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ‬

    "Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."

  • Bid'ah haram
    Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.

  • Bid'ah sunah
    Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.

  • Bid'ah makruh
    Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.

  • Bid'ah mubah
    Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

    Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.

Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:

  1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan,
    نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

    Ini sebaik-baik bid'ah.

    Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
    Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,

    "Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."

    Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,

    نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

    Inilah sebaik-baik bid'ah.

    Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)

  2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.

    Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
    Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,

    "Bid'ah".
    (HR. Bukhari dan Muslim)

  3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):

    "Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)

Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:

  1. Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
  2. Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.

Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.

Wallahu a'lam


https://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/bidah.single

Monday 21 November 2022

Sejarah Singkat Salafi Wahabi Modern di Indonesia

Assalamu'alaikum warohmatulohi wabarakatuh

Afwan ustadz... Izin bertanya... 🙏🙏

Mohon ana ingin tau nama"ulama  dan ustadz" wahabi...

Jawab:

Mantan Perdana Menteri Indonesia Muhammad Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) pada tahun 1967. Melalui Ormas inilah dikirim beberapa mahasiswa untuk belajar ke Arab Saudi. Dari beberapa mahasiswa yang dikirim ada yang membawa pulang paham Islam dari Arab Saudi yang kemudian membentuk kelompok salafi di indonesia. Di antaranya adalah Ustad Abu Nida' Chomsaha Sofwan yang kemudian mendirikan Yayasan At-Turots Al-Islamiy dan Islamic Center Bin Baz di bantul Yogyakarta. Ustad Ahmas Faiz Asifuddin yang kemudian mendirikan ponpes Imam Bukhari di Solo. Ustad AUNUR RAFIQ Ghufron yang kemudian mendirikan ponpes Al-Furqon di gresik dan menerbitkan majalah Al Furqon. Mereka adalah generasi awal yang pulang ke indonesia sekitar awal tahun 1980-an.  

Bersamaan dengan itu, di Indonesia didirikan “Lembaga Pendidikan Bahasa Arab” (LPBA) di jakarta yang sekarang berubah nama menjadi “Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab” (LIPIA), sebuah lembaga pendidikan formal cabang dari Universitas Al-Imam Muhammad bin Saud Al-Islamiyyah di Riyadh, Saudi Arabia.

Generasi kedua yang pulang ke tanah air pada awal tahun 1990-an. dialah Ustad Ja'far Ummat Thalib yang kemudian mendirikan Laskar Jihad dan mendirikan ponpes Ihya’us Sunnah di degolan Yogyakarta, beliau adalah alumni Darul Hadits Yaman pimpinan Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'i. Ustad Yusuf Utsman Ba'itsa yang kemudian menjadi ketua Perhimpunan Al-Irsyad. Juga Ustad Yazid bin Abdul Qadir Jawaz yang kemudian menjadi penasehat ponpes Minhajus Sunnah bogor.

Ustad Ja’far Umar Thalib memiliki dua murid yang kemudian menjadi da'i wahabi yaitu Ustad Luqman Ba'abduh yang kemudian mendirian ponpes Minhajul Atsar atau dikenal dengan ponpes As-Salafy di jember dan Muhamad Umar A's Sewed yang kemudian mendirikan ponpes Dhiyaus Sunnah di cirebon. Sedangkan Ustad Yazid Bin Abdul Qadir Jawaz menikah dengan wanita sunda yang merupakan kaka dari Ustad Abu Yahya Badrussalam seorang Ustad yang mendirikan Masjid Al-Barkah di cileungsi bogor dengan Radio Rodja sebagai corong dakwahnya. Sedangkan Muhammad Umar As-Sewed adalah saudara sepupu dari Yusuf Utsman Ba’itsa.

Ust. Abu Nida’ Chomsaha Sofwan, Ust. Ahmaz Faiz Asifuddin, Ust. Aunur Rafiq Ghufron, Ust. Ja’far Umar Thalib, Ust. Yazid Bin Abdul Qadir Jawaz tergabung dalam dewan redaksi Majalah AS-SUNNAH yang merupakan majalah kelompok ini yang terbit pertama di Indonesia sebelum kemudian mereka berpecah-belah beberapa tahun kemudian.

Pada tahun 1990 awal tahun 2000-an mereka terpecah. faktor perpecahan mereka ada dua versi:

1. Di utusnya seorang da’i dari yayasan Ihya’ut Turats kuwait bernama Syarif Fuad Hazza yang dianggap sebagai asal mula perpecahan.

2. Pecahnya Konflik ambon.

Syaikh Syarif Fu’ad Hazza’ adalah utusan dari Yayasan Ihya’ut Turats kuwait yang datang memberi dauroh (penataran) para da’i di indonesia yang disambut Ustad Yusuf Utsman Ba’itsa. Ihya’ut Turats adalah yayasan sosial di kuwait yang salah satu pembinanya adalah Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq. Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq adalah murid Syaikh Muhammad Surur Bin Nayif Zainal Abidin. Syaikh Muhammad Surur Bin Nayif Zainal Abidin adalah ulama saudi yang di takdir oleh Syaikh Muqbil yang notabennya guru Ustad Ja’far Umar Thalib. Ustad Ja’far Umar Thalib mengecam Ustad Yusuf Utsman Ba’itsa karena dinilai mengundang/menyambut tokoh Hizbi dan dijadikan narasumber dalam dauroh du’at. kecam-mengecam pun terjadi antara mereka sehingga berujung pada mubahalah.

Menyikapi gejolak perbedaan ini, akhirnya mereka terpecah menjadi dua kubu besar, yaitu :Kubu Ustad Ja’far Umar Thalib; yang kemudian mendirikan Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) dengan Laskar Jihad sebagai sayap militernya dan Ustad Ja’far Umar Thalib sebagai panglimanya. di dampingi murid-murid sekaligus sahabatnya, yaitu Luqman Ba’abduh, Muhammad Umar As-Sewed, dll.

Sedangkan yang kedua Kubu Ustad Yusuf Utsman Ba’itsa yang kemudian menolak bergabung dengan FKAWJ dan Laskar Jihad. Bersamanyalah Ustad Yazid Bin Abdul Qadir Jawaz, Ustad Ahmaz Faiz Asifuddin, Ustad Abu Nida’ Chamsaha Sofwan, Ustad Aunur Rafiq Ghufran, dll.

Penolakan mereka terhada FKAWJ dan Laskar Jihad membuat Ustad Ja’far Umar Thalib mengeluarkan diri dari redaksi Majalah As-Sunnah dan membuat majalah baru sebagai media dakwahnya bersama kawan-kawannya bernama Majalah SALAFY.

Selama perjalanannya bersama FKAWAJ dan Laskar Jihad, Ustad Ja’far Umar Thalib mendapatkan berbagai rintangan dan cobaan. termasuk peristiwa bersejarah dimana ia merajam anggotanya yang berzina sehingga membuatnya bolak-balik ke pengadilan. ditambah kritikan para Ulama terhadap gerakan Laskar Jihad ini. Maka Laskar Jihad pun resmi dibubarkan lewat Muhammad Umar As-Sewed dan Luqman Ba’abduh.

Ketidak setujuan Ustad Ja’far Umar Thalib atas dibubarkannya Laskar Jihad membuat ia di tinggalkan murid-murid dan kawan setianya. Jajaran kelompok Salafi yang semula menjadi pengikut setianya kini mentahdzirnya dan meninggalkannya. mereka menganggap bahwa Ustad Ja’far Umar Thalib menyimpang dan jauh tersesat.

Ditambah dengan hadirnya Ustad Ja'far Umar Thalib dalam majelis zikir yang di pimpin KH.Muhamad Arifin Ilham di masjid Istiqlal Jakarta yang mereka anggap sebagi ahli bid’ah. Perpecahan yang terjadi di tubuh kelompok Salafi Modern generasi awal ini ternyata melahirkan perpecahan-perpecahan baru yang tak ada habisnya di kemudian hari.

Saat ini paling tidak salafi Indonesia terpecah menjadi tiga kelompok besar. yaitu :

1. Kelompok Halabiyyun, tokohnya adalah Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dari yordan. Radio Rodja di cileungsi bogor dan STAI Ali Bin Abi Thalib surabaya adalah diantara corong dakwah gerakan kelompok Salafi Halabi di indonesia. Abu Yahya Badrussalam, Firanda Andirja, Zainal Abidin Bin Syamsuddin, Abu Qotadah tasikmalaya, Abdul Hakim Abdat jakarta, Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Abu Ihsan Al-Medani, Abu Haidar As-Sundawy, Abdurrahman At-Tamimi, Mubarak Bamu’allim, Ali Musri, dll adalah promotornya.

2. Kelompok Madkhaliyyun, tokohnya adalah Syaikh Robi’ Bin Hadi Al-Madkhali dari Mekkah. Promotornya adalah Luqman Ba’abduh, Muhammad Umar As-Sewed, Qomar Su’aidi (Temanggung)Muhammad Afifuddin, Askari Bin Jamal Al-Bugisi, Abu Hamzah Yusuf Al-Atsary, Usamah Faisal Mahri, Dzul Akmal, dll.

3. Kelompok Hajuriyyun, tokohnya adalah Syaikh Yahya Al-Hajuri dari dammaj yaman. Promotornya adalah Abu Mas’ud dkk.

Itulah sejarah singkat perkembangan salafi wahabi di Indonesia. 

Wallahu A'lam

Tuesday 15 November 2022

Tips Mengajarkan Ketaatan kepada Orang tua

A. Birrul Walidain

Birrul walidain artinya berbudi pekerti yang baik kepada walidain (kedua orang tua). Al-Birr dimaknai husnul khuluq (budi pekerti yang baik) berdasarkan hadits An-Nawasi Ibn Sim’an Al-Anshari yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna al-birr dan al-itsm; dia berkata,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Saya bertanya pada Rasul tentang arti al-Bir dan al-Itsm. Maka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)  menjawab: “Al-Birr adalah budi pekerti yang baik. Sedangkan al-Itsm adalah apa yang muncul di hatimu, dan kamu sendiri tidak senang tatkala manusia mengetahuinya.  (HR. Muslim).

Maka, makna birrul walidain sekurang-kurangnya mencakup sikap: al-ihsaanu ilaihima (berbuat baik kepada keduanya), al-qiyaamu bi huquuqihima (menegakkan hak-hak keduanya), iltizaamu thaa’atihima (komitmen mentaati keduanya), ijtinaabu isaa-atihima (menjauhi perbuatan yang menyakiti keduanya), dan fi’lu maa yurdhiihimaa (melakukan apa-apa yang diridhai keduanya).

Diantara dalil perintah Allah Ta’ala adalah firmanNya :

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

“…dan kami telah mewasiatkan kepada manusia agar berbakti terhadap kedua orang tuanya.” (QS. Al-Ankabut: 8).

Wasiat وَصَّيْ adalah pesan singkat yang kuat, jika Allah mengunakan kata ini maka amal yang akan disampaikan adalah informasi yang sangat berat dan amal yang besar pahalanya. Sehingga amal ini dapat menjadi sebab dikabulkan doa, diampuni dosa. Dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar mengatakan,"Yakni Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, yaitu dengan perbuatan yang menjadikan keduanya ridha dan menyenangkan hati mereka, berupa kasih sayang dan berbakti kepada keduanya."

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat tepat pada waktunya.’ Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: ‘Kemudian amal apa lagi?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: ‘Kemudian amal apa lagi? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad di jalan Allah’. (Setelah menyampaikan hadits ini) Abdullah nin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:   “Telah disampaikan kepadaku dari Rasuluullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hal-hal ini, seandainya aku menambah pertanyaan (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tentu akan ditambahkan kepadaku jawaban lainnya” (HR.Bukhari)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu—salah satu ahli fiqih di kalangan shahabat—bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ

“Amal apakah yang paling dicintai Allah?”

Diantara jawaban yang beliau sampaikan adalah,

بِرُّ الْوَالِدَيْنِ

“Berbakti kepada kedua orang tua.”

Dalam hadits ini birrul walidain disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah as-shalatu ‘ala waqtiha, dan sebelum al-jihadu fi sabilillah. Hal ini mengisyaratkan bahwa selain as-shalatu ‘ala waqtiha dan al-jihadu fi sabilillah, birrul walidaian adalah termasuk amal yang utama dan perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh setiap muslim.

Begitu besarnya anjuran anak untuk berbakti kepada kedua orang tua dalam Islam, hingga mereka tidak berhak menerima kata-kata menyakitkan walaupun hanya sekadar ucapan uf (ah!) keluar dari bibir seorang anak.

 Allah berfirman dalam Al-Qur’an: 

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا - ٢٣

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik (QS: Isra’:  23).

Bahkan Al-Qur’an mensejajarkan syukur kepada orang tua, sejajar dengan syukur kepada Allah. Dengan pengertian bahwa seseorang tidak dinilai bersyukur kepada Allah sampai ia bersyukur kepada orang tuanya.

Dalam ayat lain Allah berfirman: 

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ - ١٤

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (QS. Luqman: 14).

Ibnu ‘Uyainah menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah itu dengan melaksanakan salat yang lima waktu, sementara bersyukur kepada orang tua adalah dengan berdoa untuk mereka setiap kali selesai melakasanakan salat lima waktu. 

Sementara itu, pernah suatu ketika Ibnu Umar melihat seorang laki-laki sedang melakukan tawaf dengan menggendong seorang wanita yang tua renta. 

“Siapakah wanita ini?” tanya Ibnu Umar kepada laki-laki itu. 

“Beliau adalah ibuku,” jawab laki-laki tersebut. 

“Bagaimana pendapatmu ya Ibnu Umar, apakah dengan menggendong ibuku ini, aku sudah bisa membalas budi baiknya?” tanya laki-laki itu penasaran. 

“Demi Allah. Dengan menggendong ibumu tujuh putaran tawaf masih belum mampu membayar satu jeritan kontraksi ibumu saat melahirkanmu!” jawab Ibnu Umar (Dalil Al-Sailin, 102).

Dari sini kita memahami bahwa (seakan-akan) tidak ada satu perbuatan pun yang mampu membalas budi orang tua, utamanya ibu. Begitu mulianya kedua orang tua, hingga kemuliaannya melebihi kemuliaan ka’bah sekalipun. Habib Alwi bin Shihab, mengutip perkataan ulama salaf, mengatakan bahwa “melihat kedua orang tua itu lebih utama dari pada melihat ka’bah,”( Kalam Al-Habib Alwi bin Syihab, 1/130).

B. Kewajiban Taat kepada Orang Tua

Iltizaamu thaa’atihima (komitmen mentaati keduanya) atau ketaatan kepada kedua orang tua adalah salah satu bentuk dari birrul walidain. Taat kepada kedua orang tua wajib dalam semua perintah dan larangan ya selama tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah dan pelanggaran terhadap Syariat Nya. 

Allah berfirman 

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. ( Lukman : 15 ) 

Dalam  An-Nafahat Al-Makkiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi berkata, "Ketahuilah wahai manusia, jika kedua orang tuamu bersungguh-sungguh untuk menyeru kepada kesyirikan kepada Allah; Maka janganlah engkau mentaati keduanya, jangan pula mengikuti keduanya, karena sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada sang Pencipta. Akan tetapi janganlah berbuat kasar dan buruk kepada keduanya; Bahkan pergaulilah mereka berdua dengan kebaikan dan ihsan, jadikanlah kebaikan pada keduanya, dan ikutilah jalan yang kembali kepada Allah dengan taubat, ikhlas dan kokohkanlah di atas jalan tersebut. Kepada Allah kalian kembali, maka Allah akan mengabarkan atas amalan-amalan kalian dan membalasnya."

Ayat ini menjadi dalil kewajiban mentaati dan mematuhi kedua orangtua dalam hal-hal yang dibenarkan oleh syariat. Sedangkan ketaatan dalam kemaksiatan dilarang, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (HR. Bukhari no. 7257; HR. Muslim no. 1840).

C. Tips Mengajarkan Anak agar Taat dan Patuh kepada Orangtua

Saya membagi proses ta'dib (penanaman adab) dalam tiga proses, yaitu : mengajarkan, melatih dan merasakan. Hal ini agar dapat menyentuh tiga potensi dasar manusia yaitu akal, jasad dan ruh. Dalam pendidikan karakter ala barat di kenal juga dengan proses: moral knowwing, moral feeling dan moral acting. Atau dalam teori Ki Hajar Dewantara di kenal dengan Tri nga ( ngerteni, nglakoni dan ngroso). Proses ini harus dilakukan secara istiqomah, serta ter evaluasi dengan baik. Jika satu siklus berjalan belum nampak dalam diri anak maka perlu dilakukan hal yang sama agar proses siklus ta'dib berjalan sampai membuahkan buah akhlak mulia. 

1. Menyampaikan ayat Al Quran dan hadits yang berkaitan dengan perintah dan keutamaan taat kepada kedua orang tua. 

2. Menceritakan kisah salafis sholeh dalam ketaatan kepada orang tua. 

3. Menjadi Teladan dalam mentaati orang tua

4. Menjalin hubungan yang dekat dengan anak

5. Memberikan nasehat dengan perkataan lembut dari dalam hati

6. Berterimakasih dan bersyukur ketika anak mentaati orang tua. 

7. Istiqomah dalam perkataan, sikap dan perbuatan. 

Demikian tulisan singkat berkaitan dengan tips mengajarkan anak taat kepada kedua orangtua. Wallahu a'lam bi showab

Temanggung, 15 November 2022

Ta' Rouf Yusuf, S. Pd. 

Thursday 10 November 2022

Dalil Kesunahan Sholat Hajat

Assalamualaikum
Ustdz Afwan izin bertanya 
Klw sholat hajat itu di anjurkan atau tidak

+62 895-3365-****

Jawab 
Waalaikumsallam wa rahmatullahi wa barakatuh

Sholat hajat adalah sholat dimana seorang mukmin ingin memohon di kabulkan hajatnya dengan berwudhu kemudian dia sholat dua rakaat dan dilanjutkan dengan do'a. 

Dalil sholat hajat yaitu hadits dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللهِ حَاجَةٌ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ ثُمَّ لْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيُثْنِ عَلَى اللهِ وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ ثُمَّ لْيَقُلْ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لاَ تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

“Barang siapa yang mempunyai kebutuhan kepada Allah atau kepada seseorang dari bani Adam, maka berwudhulah dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlah dua raka’at. Lalu hendaklah ia memuji Allah Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengucapkan (do’a), ‘Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy yang agung, segala puji millik Allah Rabb sekalian alam, aku memohon kepada-Mu hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu serta keuntungan dari tiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan pada diriku dosa kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang’.” (HR. Tirmidzi no. 479 dan Ibnu Majah no. 1384) 

Hadits ini dianggap dha'if jiddan oleh Imam Al-Bukhari, dan hadis ini juga dikenal dengan hadis mungkar. Imam At-Tirmidzi mendha’ifkan (melemahkan) hadits ini seraya berkata: “ini hadits gharib (asing), dan di dalam sanadnya ada pembicaraan (kritikan)”. Imam Nawawi juga menyebutkan hadits ini, dan menukil tentang penilaian dha’if dari Imam Tirmidzi, dan beliau menyepakatinya.

Namun terdapat hadits lainnya yang dapat menjadi dalil kesunahan sholat hajat. Hadits Shahih dari ‘Utsman bin Hunaif sebagai berikut.

أَنَّ رَجُلاً ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ: ادْعُ اللهَ لِي أَنْ يُعَافِيَنِي. فَقَالَ: إِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ لَكَ وَهُوَ خَيْرٌ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ. فَقَالَ: ادْعُهْ. فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى. اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

Seorang buta datang kepada Nabi lalu mengatakan, “Berdoalah engkau kepada Allah untukku agar menyembuhkanku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apabila engkau mau, aku akan menundanya untukmu (di akhirat) dan itu lebih baik. Namun, apabila engkau mau, aku akan mendo’akanmu.” Orang itu pun mengatakan, “Do’akanlah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan memperbagus wudhunya serta shalat dua rakaat kemudian berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Muhammad Nabiyyurrahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku denganmu dalam kebutuhanku ini agar ditunaikan. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku.” (HR. Ibnu Majah no. 1385 dan Tirmidzi no. 3578.) 

Dari hadits shahih inilah kita bisa menetapkan kesunahan sholat hajat. Ada juga beberapa riwayat meskipun derajatnya tidak shahih namun dapat kita gunakan sebagai penguat. 

Dari sahabat Anas bin Malik dari Nabi secara marfu’ Haditsnya ditakhrij oleh Imam Ibnu ‘Asaakir dalam “Al Mu’jam” (no.245) dari 

 حدثني أنس بن مالك خادم رسول الله صلى الله عليه وسلم قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من كانت له إلى الله حاجة فليسبغ الوضوء وليصل ركعتين وليقرأ في الركعة الأولى بفاتحة الكتاب وآية الكرسي [ص: ٢١٤] وفي الثانية بأم الكتاب و {آمن الرسول} فإذا فرغ من صلاته يدعو بهذا الدعاء وهو يا مؤنس كل وحيد ويا صاحب كل فريد ويا قريب غير بعيد ويا شاهد غير غائب ويا غالب غير مغلوب يا حي يا قيوم يا ذا الجلال والإكرام يا بديع السماوات والأرض اللهم إني أسألك باسمك باسم الله الرحمن الرحيم الحي القيوم الذي لا تأخذه سنة ولا نوم وأسألك باسمك بسم الله الرحمن بالرحيم الحي القيوم الذي عنت له الوجوه وخضعت له الرقاب وخشعت له الأصوات ووجلت له القلوب من خشيته أن تصلي على محمد وعلى آل محمد وأن تجعل لي من أمري فرجا ومن كل هم وغم مخرجا وتفعل بي كذا وكذا. قال لنا أبو الفضائل ذكر الشيخ أن والده أخبره أنه لقي الشريف المعمر فذكر أنه عاش مائتي سنة وستين سنة.
هذا حديث لم أكتبه إلا من هذا الوجه وإسناده إسناد واه والحمل فيه على الشريف والله أعلم.

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu pelayan Rasulullah ia berkata, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah, hendaknya berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, lalu sholat 2 rakaat, bacalah pada rakaat pertama surat Al Fatihah dan ayat Kursi pada rakaat keduanya membaca Al Fatihah dan “Amana Ar Rasul” (Al Baqoroh ayat 285).
Setelah selesai sholat berdoa dengan doa ini yaitu : “Wahai Yang mengatur semua orang, Yang menemani semua yang sendirian, Yang dekat tidak jauh, Yang hadir tidak ghoib, Yang menguasai bukan yang dikuasai, Yang Maha Hidup, Yang Maha Berdiri Sendiri, Yang Memiliki Ketinggian dan Kemulian, Yang Menciptakan Langit dan bumi. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan nama-Mu, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri Yang tidak dihinggapi rasa kantuk dan tidak tidur, aku memohon kepada-mu dengan nama-Mu dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri yang wajah-wajah menghadap kepada-Nya, yang hati tunduk kepada-Nya, yang suara-suara khusyu’ kepada-Nya, yang membuat hati menjadi bergetar karena takut kepada-Nya. Sholawat kepada Muhammad, keluarganya. Jadikan untukku urusanku kemudahan dari setiap kesedihan dan kesulitan jalan keluar, dan lancarkanlah pebuatanku demikian demikian”.(HR Ibnu ‘Asaakir no.245

Dari Abu Darda dari Nabi secara marfu’ Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam “Al Musnad” (no. 28260) dan Imam Al Muhalimiy dalam “Al Amaliy” (no. 67) dari jalan : ٌ
مَيْمُونٌ يَعْنِي أَبَا مُحَمَّدٍ الْمَرَائِيَّ التَّمِيمِيَّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلَامٍ، قَالَ: صَحِبْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ أَتَعَلَّمُ مِنْهُ، فَلَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ قَالَ: آذِنِ النَّاسَ بِمَوْتِي، فَآذَنْتُ النَّاسَ بِمَوْتِهِ، فَجِئْتُ وَقَدْ مُلِئَ الدَّارُ وَمَا سِوَاهُ، قَالَ: فَقُلْتُ: قَدْ آذَنْتُ النَّاسَ بِمَوْتِكَ، وَقَدْ مُلِئَ الدَّارُ، وَمَا سِوَاهُ قَالَ: أَخْرِجُونِي فَأَخْرَجْنَاهُ قَالَ: أَجْلِسُونِي قَالَ: فَأَجْلَسْنَاهُ، قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ تَوَضَّأَ، فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ يُتِمُّهُمَا ، أَعْطَاهُ اللهُ مَا سَأَلَ مُعَجِّلًا، أَوْ مُؤَخِّرًا ” قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: ” يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ، وَالِالْتِفَاتَ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمُلْتَفِتٍ فَإِنْ غُلِبْتُمْ فِي التَّطَوُّعِ، فَلَا تُغْلَبُنَّ فِي الْفَرِيضَةِ
“Maimun –yakni Abu Muhammad Al Maroi At Tamiimiy- ia berkata, haddatsanaa Yahya bin Abi Katsir dari Yusuf bin Abdullah bin Salam ia berkata : ‘aku menemani Abu Darda aku belajar darinya, maka ketika menjelang wafatnya ia berkata : ‘beritahukan kepada manusia tentang kematianku’. Lalu aku pun memberitahu orang-orang tentang menjelang ajalnya Abu Darda , aku datang dan rumahnya telah dipenuhi manusia. Aku berkata : ‘aku telah mengumumkan kepada orang-orang tentang kematianmu dan rumahmu telah dipenuhi orang’. Abu Darda’ berkata : ‘keluarkan aku!’, kami pun mengeluarkannya, lalu katanya : ‘dudukkan aku!’ kami pun mendudukkannya. Abu Darda berkata : “Wahai manusia aku mendengar Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang berwudhu, lalu membaguskan wudhunya, lalu sholat 2 rakaat yang ia sempurnakan, Allah akan memberinya apa yang diminta baik segera atau lambat”. Abu Darda berkata : ‘Wahai manusia, hati-hatilah kalian dari tengak-tengok dalam sholat, karena tidak ada sholat bagi orang yang tengak-tengok, jika hal ini tidak dapat dikendalikan pada sholat Tathowu’ maka jangan sampai terjadi pada sholat fardhu”. (HR Ahmad no. 28260) 

Tim kementerian agama Kuwait dalam “Maushu’ah Fiqihiyah” (28/216) menulis : “Para ulama fiqih sepakat sholat hajat itu sunnah”.
DR. Hisamuddin ‘Afanah dalam “Fatawa yas’alunak” (3/25) menjawab pertanyaan tentang sholat hajat dengan jawaban :“Telah sepakat kebanyakan ulama fiqih atas (disyariatkannya) sholah hajat dan ia sunnah, sholat ini dikerjakan ketika seseorang memiliki kebutuhan dari kebutuhan-kebutuhan dunia yang disyariatkan, maka dianjurkan baginya untuk berwudhu lalu sholat 2 rakaat karena Allah , kemudian ia memohon kepada Allah , jika yang melakukan seorang Mukmin maka dengan takdir Allah , aku berharap Allah merealisasikan apa yang diinginkannya”. Begitu juga Syaikh Wahbah Az Suhaili dalam Fiqhul Islam wa Adilatuhu juga menyatakan kesunahan dari sholat hajat. 

Mayoritas ulama fikih berpendapat shalat ini hukumnya sunah, namun mereka berselisih tentang berapa jumlah raka’atnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat hajat itu dua rakaat, adapun ulama Hanafiyyah berpendapat empat raka’at. 

Wallahua'lam

Temanggung, 10 November 2022

Ta' Rouf Yusuf






Wednesday 9 November 2022

Macam-Macam Bisikan Hawa Nafsu

Dalam Kitab Qatrul Ghaits (cahaya iman) karya Syaikh Nawawi Al Bantai disebutkan ada tujuh tingkatan Nafsu yang perlu kita ketahui dan kendalikan. Dari ketujuh tingkatan ini, ada dua jenis nafsu yang sering diperturutkan manusia sehingga memicu kejahatan dan menyebabkan dosa.

Berikut 7 Tingkatan Nafsu:

1. Ammarah (النفس الأمارة)

Tempatnya di As-Shadr (dada). Pasukannya adalah bakhil (kikir), hirshu (cinta dunia), hasad, kebodohan, takabur, syahwat, ghosab (menggunakan milik orang lain tanpa izin).

2. Lawwamah (النفس اللوامه)

Tempatnya di Al-Qalbu (hati), adapun hati letaknya di bawah buah dada sebelah kiri perkiraan dua bentang jari tangan. Pasukannya adalah mencela, prasangka, memaksa, ujub, ghibah (bergunjing), riya', sewenang-wenang, berbohong, lalai.

3. Mulhimah (ألنفس الملهمة)

Tempatnya di Ar-Ruh. Adapun ruh letaknya di bawah buah dada sebelah kanan perkiraan dua bentang jari tangan. Pasukannya adalah dermawan, kerelaan, tawadhu', taubat, sabar, lapang dada.

4. Muthmainnah (النفس المطمئنة)

Tempanya di As-Sirru yang letaknya di sebelah buah dada sebelah kiri perkiraan dua bentang jari tangan hingga ke arah dada. Pasukannya adalah kemurahan hati, tawakkal, ibadah, bersyukur, ridha', khasyyah.

5. Rodhiyah (النفس الراضية)

Tempatnya di Sirrus Sirri, mungkin yang dimaksud oleh mushannif dengan kata Sirrus Sirri adalah Qalab (dengan dibaca fathah huruf lam-nya), yaitu seluruh jasad. Pasukannya adalah kemurahan hati, zuhud, ikhlas, wara', riyadhah, kepercayaan.

6. Mardhiyyah (النفس المرضية)

Tempatnya di Al-Khafi yang terletak di sebelah buah dada sebelah kanan perkiraan dua bentang jari tangan hingga kepertengahan dada. Pasukannya adalah baik budi pekerti, meninggalkan yang selain Allah, halus/ramah terhadap manusia, membawa mereka pada kebaikan, memaafkan kesalahan, cinta dan condong kepada mereka guna mengeluarkan mereka dari kegelapan watak dan jiwa mereka menuju jiwa yang terang.

7. Kaamilah (النفس الكاملة)

Tempatnya di Al-Akhfa, yaitu pertengahan dada. Pasukannya adalah ilmul yaqin, 'ainul yaqin dan haqqul yaqin.

Bisikan Setan

Allah berfirman : 

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ ٱلشَّيْطَٰنُ كَمَآ أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ ٱلْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَٰتِهِمَآ ۗ إِنَّهُۥ يَرَىٰكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُۥ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا ٱلشَّيَٰطِينَ أَوْلِيَآءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.( Al A’raf :27)

Dalam Tafsir Wajiz Syaikh Wahbah Az Suhaili menerangkan tentang ayat ini, "Wahai anak Adam, jangan sampai setan menyesatkanmu, sehingga dia memalingkanmu dari keimanan dan ketaatan kepada Allah, sebagaimana dia telah menggoda orang tua kalian, yaitu Adam dan Hawa’, dan mengeluarkan keduanya dari surga menggunakan tipuan dan godaannya, serta mengakibatkan terangkatnya pakaian mereka lalu menampakkan aurat mereka. Sesungguhnya setan, yaitu dirinya, pasukannya beserta pelayan-pelayannya itu melihat kalian, sedangkan kalian tidak bisa melihat mereka. Maka jagalah diri kalian dari pandangan setan saat dalam keadaan telanjang. Sesungguhnya Kami menjadikan setan sebagai pembantu dan penolong bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan para utusanNya,"

Dalam tafsir Al Misbah Dr Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata  شيطان syaithan merupakan kata arab asli yang sudah sangat tua, bahkan boleh jadi lebih tua daripada kata-kata serupa yang digunakan oleh selain orang arab. Ini dibuktikan dengan adanya sekian kata Bahasa arab asli yang dapat dibentuk kata syaithan. Misalnya شطط syathatha شط syatha شوط  syawatha شطن syathana yang mengandung makna-makna jauh, sesat, dan terbakar serta ekstrem. Makhluk durhaka dan menggoda itu, boleh jadi dinamai syaithan yang terambil dari akar kata syathana yang berarti jauh karena setan jauh, dan menjauh dari kebenaran atau menjauh dari rahmat Allah. Boleh jadi terambil dari kata syatha dalam arti melakukan kebatilan atau terbakar.

Kata  جن  jin terambil dari kata جنن janana yang berarti tersembunyi. Seorang ulama mesir kontemporer mendifinisikan jin sebagai. “ sejenis ruh yang berakal, berkehendak, mukallaf (dibebani tugas-tugas oleh Allah sebagimana manusia), tetapi mereka tidak berbentuk materi sebagai bentuk materi yang dimiliki manusia, luput dari jangkauan Indera, tidak dapat terlihat sebagaimana keadaannya yang sebenarnya, jin mempunyai kemampuan untuk tampil dalam berbagai bentuk.

 Dalam kitab Talbis Iblis, Imam Ibnu Jauzi meriwayatkan dari Zaid bin Mujahid dia berkata, " Iblis mempunyai lima anak, yang masing-masing anak diberi tugas tersendiri, lalu memberikan nama kepada mereka, yaitu :

1. Tsabr , dia adalah pembawa musibah yang diperintahkan untuk merusak, menyobek saku saat manusia berduka, menempeleng pipi dan pengakuan-pengakuan jahiliyah lainya. 

2. A'war, dia adalah pembawa zina yang menyuruh manusia berbuat zina dan menganggapnya bagus

3. Miswath  dia adalah pembawa dusta, yang mendengar sesuatu laku dia mendatangi seseorang dan mengajarinya apa yang di dengarnya. Lalu orang itu menemui orang-orang seraya berkata, "Aku telah melihat seseorang yang masih kuingat wajahnya tapi aku tidak tahu namanya dia berkata kepadaku begini begini. "

4. Dasim, tugasnya menyusup ke dalam diri seseorang tatkala menemui keluarganya, lalu dia menampakkan cela mereka di matanya sehingga membuatnya marah-marah. 

5. Zaknabur, dia adalah penguasa pasar yang mengibarkan benderanya di pasar. 

Adapun cara yang dilakukan setan dalam mengoda,merayu dan menyesatkan anak adam, sangat banyak, beberapa di antaranya adalah: 

1. Tazyin, atau kamuflase menghiasi perkara seolah baik. 

Setan tidak mengarahkan seseorang kepada dosa dan kejahatan, melainkan menghiasinya secara bertahap, misalnya ketika seseorang mendengar azan pada malam musim dingin dan berkata kepadanya, “Tetap santai di tempat tidur, kamu lelah dan capek”. 

2. Talbis, atau menipu. 

Setan mencoba menipu pikiran manusia dengan meyakinkan dia bahwa larangan sebenarnya diperbolehkan. Sebagai contoh, seseorang ingin mendapatkan pinjaman berbasis bunga dari bank untuk membeli rumah atau apartemen. Maka setan mengatakan kepadanya bahwa ini pinjaman diperbolehkan, karena tidak berbuat jahat kepada orang lain. 

3. Taswif, setan turut berupaya menghasut orang lain agar menunda untuk bertobat. Setan membuat manusia terus menunda untuk bertobat, dengan mengatakan masa muda merupakan tahap yang terindah, dan taubat bisa dilakukan di lain waktu. 

4. Tahwin, meremehkan hal kecil seperti dosa kecil. 

Setan juga mengajak manusia untuk meremehkan dosa-dosa kecil. Setan menyatakan bahwa orang lain jauh lebih banyak melakukan dosa besar. 

5. Setan berupaya membuat manusia tidak berada dalam jalan yang lurus. 

Hal ini karena mereka harus lebih taat, sedangkan orang lain akan memusuhi dan mengejeknya. 

6. At-Taiys, upaya lainnya yakni membuat manusia putus asa dalam bertaubat. 

Dia menyatakan bahwa dosa yang dimiliki seorang hamba besar, sehingga sulit untuk diampuni. 

7. Setan turut dapat hadir pada manusia yang dalam keadaan marah. 

Dia datang melawan pikiran orang yang waras. 

8. Dia menjadikan manusia tinggi angan-angan, mendorong manusia takut akan kemiskinan, kemudian dia menghasut manusia untuk dapat kaya dengan jalan yang haram. 

9. Setan juga membuat indah keburukan manusia, dan tidak toleran terhadap yang lain. Dia terus membuat orang lebih fanatik, dan memotivasi manusia agar merendahkan orang lain. 

Itulah beberapa cara setan membisikan kesesatan kepada qalbu manusia.

 

Wallahu A’lam

Temanggung, 9 November 2022

Ta’ Rouf Yusuf

Tuesday 8 November 2022

Mendidik dengan Berkisah

 

Salah satu cara mendidik anak adalah mengisahkan kisah-kisah teladan kepada anak didik. Sebagaimana yang di lakukan Rasulullah shallahu alaihi wa sallam. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ أَنَّهُ ذَكَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ سَأَلَ بَعْضَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ، فَقَالَ ائْتِنِي بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ‏.‏ فَقَالَ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا‏.‏ قَالَ فَأْتِنِي بِالْكَفِيلِ‏.‏ قَالَ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً‏.‏ قَالَ صَدَقْتَ‏.‏ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَخَرَجَ فِي الْبَحْرِ، فَقَضَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ الْتَمَسَ مَرْكَبًا يَرْكَبُهَا، يَقْدَمُ عَلَيْهِ لِلأَجَلِ الَّذِي أَجَّلَهُ، فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا، فَأَخَذَ خَشَبَةً، فَنَقَرَهَا فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ، وَصَحِيفَةً مِنْهُ إِلَى صَاحِبِهِ، ثُمَّ زَجَّجَ مَوْضِعَهَا، ثُمَّ أَتَى بِهَا إِلَى الْبَحْرِ، فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلاَنًا أَلْفَ دِينَارٍ، فَسَأَلَنِي كَفِيلاً، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً، فَرَضِيَ بِكَ، وَسَأَلَنِي شَهِيدًا، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا، فَرَضِيَ بِكَ، وَأَنِّي جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا، أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِي لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ، وَإِنِّي أَسْتَوْدِعُكَهَا‏.‏ فَرَمَى بِهَا فِي الْبَحْرِ حَتَّى وَلَجَتْ فِيهِ، ثُمَّ انْصَرَفَ، وَهْوَ فِي ذَلِكَ يَلْتَمِسُ مَرْكَبًا، يَخْرُجُ إِلَى بَلَدِهِ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، يَنْظُرُ لَعَلَّ مَرْكَبًا قَدْ جَاءَ بِمَالِهِ، فَإِذَا بِالْخَشَبَةِ الَّتِي فِيهَا الْمَالُ، فَأَخَذَهَا لأَهْلِهِ حَطَبًا، فَلَمَّا نَشَرَهَا وَجَدَ الْمَالَ وَالصَّحِيفَةَ، ثُمَّ قَدِمَ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، فَأَتَى بِالأَلْفِ دِينَارٍ، فَقَالَ وَاللَّهِ مَا زِلْتُ جَاهِدًا فِي طَلَبِ مَرْكَبٍ لآتِيَكَ بِمَالِكَ، فَمَا وَجَدْتُ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي أَتَيْتُ فِيهِ‏.‏ قَالَ هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَىَّ بِشَىْءٍ قَالَ أُخْبِرُكَ أَنِّي لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي جِئْتُ فِيهِ‏.‏ قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِي بَعَثْتَ فِي الْخَشَبَةِ فَانْصَرِفْ بِالأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا ‏”‏‏.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menyebutkan bahwa seseorang dari Bani Israil meminta pinjaman kepada salah seorang dari Bani Israil sebanyak seribu dinar. Lalu orang itu berkata, “Hadirkan beberapa orang saksi yang menyaksikan ini.” Maka dia berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Lalu dia berkata, “Hadirkan orang yang dapat memberikan jaminan.” Dia berkata, “Cukuplah Allah sebagai jaminan.” Maka dia berkata, “Engkau benar.” Dia ridha dengan jaminan Allah, menunjukkan keimanan orang yang memberi hutang dan keyakinannya terhadap Allah Azza wa Jalla. Lalu dia memberinya seribu dinar untuk jangka waktu tertentu. Kemudian sang peminjam berlayar untuk suatu keperluan. Kemudian saat hendak kembali, dia mencari perahu yang dapat mengantarnya pulang untuk melunasi hutang pada waktunya. Namun dia tidak mendapatkan perahu. Maka dia mengambil sebatang kayu, lalu melobanginya, kemudian dia memasukkan uang seribu dinar dan sehelai surat kepada pemberi hutang. Kemudian lobang kayu tersebut dia tutup. Lalu dia pergi ke pantai dan berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam dari si fulan sebanyak seribu dinar. Dia telah memintaku untuk menghadirkan penjamin, lalu aku katakan ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin, lalu dia ridha Engkau (sebagai penjamin).”Kemudian dia meminta saksi kepadaku, maka aku katakan kepadanya, “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Lalu dia ridha dengan hal itu. Kini aku tidak mendapatkan kapal yang mengantarkan aku kepadanya, sehingga aku tidak mampu (melunasi hutang) kepadanya. Maka aku titipkan kepada Engkau uang iniLalu dia lemparkan kayu berisi uang tersebut hingga dia terapung di tengah lautan.Dia melemparkannya dengan keyakinan dan tawakal kepada Allah serta hatinya tenang bahwa dirinya telah menitipkan sesuatu kepada Dzat yang tidak akan menyia-nyiakan titipannya.Kemudian orang itu kembali mencari-cari kapal yang dapat membawanya keluar dari negeri tersebut. Sementara itu orang yang memberinya hutang pergi (ke pantai) untuk melihat-lihat apakah ada kapal yang datang membawa orang yang meminjam hartanya. Ternyata dia kemudian mendapatkan sebongkah kayu yang didalamnya terdapat uang tersebut. Lalu dia mengambilnya dan dibawa ke keluarganya untuk dijadikan kayu bakar. Ketika dia hendak memotong kayu tersebut dengan gergaji, ternyata dia dapatkan uang tersebut dan suratnya

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian orang yang meminjam tadi datang dengan membawa uang seribu dinar, lalu dia berkata, ‘Demi Allah, sebelum ini aku tidak mendapatkan kapal yang dapat mengantarkan aku untuk membayar hutangmu.” Lalu si pemberi hutang berkata, “Apakah engkau telah mengirim sesuatu untukku.” Dia berkata, “Aku sudah kabarkan bahwa aku tidak mendapatkan kapal untuk mengantarkan aku kepadamu.” Maka orang itu berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengirimkan uang tersebut yang terdapat di dalam kayu yang engkau kirim. Bawalah kembali uangmu yang seribu dinar tersebut.” ( HR Bukhari )

Penyampaian pesan dengan kisah memiliki efek yang sangat mendalam, sehingga dapat menggugah kesadaran para sahabat untuk lebih memahami setiap pesan yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. 

Metode Alquran dan sunnah ini terbukti sangat efektif sehingga masih digunakan di lembaga-lembaga pendidikan sampai sekarang ini. Secara psikologis, pelajaran yang disampaikan melalui media kisah terbukti lebih efektif dapat membantu menajamkan potensi kognitif dan mengasah kepekaan afeksi peserta didik. 

Melalui kisah peserta didik merasa dirinya dilibatkan, sehingga mereka lebih bersemangat untuk menyimak pelajaran dengan baik. 

Kisah merupakan media pembelajaran yang lazim digunakan masyarakat terdahulu. Rangkaian kisah memiliki pengaruh sangat besar untuk merangsang perhatian dan bisa memunculkan keinginan para pendengar untuk menyimaknya secara tuntas. Dengan demikian, pembelajaran dalam sebuah kisah dapat tersampaikan dengan sempurna. 

Melalui kisah pula, Alquran memberi nasihat dan bimbingan kepada manusia tentang hikmah di balik peristiwa-peristiwa tertentu. Secara global hal ini tercantum di dalam firman Allah Subhanahu wa ta'alla sebagai berikut: ''Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.'' (QS Yusuf [12]:111).

Kisah dalam Alquran dan hadits mencakup persoalan akidah, keteguhan iman, taubat, berbakti kepada orang tua, mengendalikan hawa nafsu, larangan menenggak khamr, tata cara hidup bermasyarakat, dan lain sebagainya. 

Rasulullah shallahu alaihi wa sallam pun menggunakan kisah sebagai media untuk mendidik jiwa para sahabatnya. Di antara kisah yang digunakan adalah kisah dalam hadits di atas, dimana Rasulullah mengajarkan akhlak akhlak mulia di dalamnya. Kisah ini menunjukkan bahwa Allah sangat sayang dan menjaga hamba-Nya. Dia juga sangat melindungi hamba-Nya jika dia bertawakal kepadanya dan menyerahkan urusannya kepada-Nya serta lebih mendahulukan tawakal kepadanya dalam memenuhi kebutuhan-Nya. Maka seseorang harus selalu berbaik sangka, karena jika dia berbaik sangka, Allah akan lebih cepat kebaikannya kepadanya. Jika perkiraannya selain itu, maka dia telah berburuk sangka kepada Tuhannya. Sesungguhnya, jika seorang hamba telah mencapai puncak zuhud, akan melahirkannya sifat tawakal

Jika engkau tawakal, maka yakinlah kepada Tuhanmu, dengan apa yang akan diraih dari yang kamu inginkan.

Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا .

“Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberikan rizki sebagaimana burung diberikan rizki, berangkat di pagi hari dengan perut kosong, kembali di sore hari dengan perut kenyang.”

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” [Ath-Thalaq/65: 3]

Demikian pula halnya dengan kisah yang mengajarkan sifat amanah ini. 


 


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...