Tuesday 7 February 2023

Cara Menghindari Dosa serta Hal berkaitan dengan Mursyid dan Adab Murid


Pertanyaan
Assalamuaalaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, afwan apakah di izinkan bertanya?
1. Saat seseorang berusaha menghindar dari dosa ia sadar bahwa itu dosa, tapi tetap serasa sulit meninggal kanya, Lantas apakah sebabnya? Saat ia berjuang jatuh bangun dalam dosa, apakah ada pahalanya? Apakah Allah masih memandang perjuangan nya itu?Dan membantu dia? Lantas apakah ada amalan khusus atau yang semisalnya agar kita bisa keluar dari lubang dosa itu
2. Dan perihal mursyid. Apakah semua perintah beliau harus dilakukan? Bolehkah menyelisihi beliau saat kita ada problem dan sangat sulit klo harus menuruti perintah beliu? Bolehkah demikian?
Karena kami dengar semua perintahnya harus dilaksanakan... 🙏
Syukron... 
Baarokallohu fiikum🤲🏻🤲🏻
08777294 xxxx

Jawab :
Waalaikumsallam wa rahmatullahi wa barakatuh
Pertanyaan pertama 
Ada beberapa istilah dalam Al-Quran untuk menyebut dosa atau kemaksiatan, diantaranya itsm (إثم), dzanb (ذنب), ‘ishyan (عصيان), huub (حوب), sayyi-ah (سيئة), dan khathi-ah (خطيئة). Istilah-istilah ini sama-sama merujuk kepada pengertian dosa, namun masing-masing punya kekhasan makna.
Itsm (الإثم) dan dzanb (الذنب) biasanya diartikan dosa. Secara bahasa, الذنب makna aslinya ekor. Dosa disebut demikian karena ia merupakan akibat sesuatu perbuatan, yakni datang di belakang sesuatu. Atau, karena ia merupakan sesuatu yang dianggap kotor akibat akhirnya, seperti umumnya ekor binatang. Adapun الإثم makna aslinya adalah lambat/buth-u (البطء) dan telat/ta-akhkhur (التأخّر). Dosa disebut demikian karena orang yang berdosa itu lambat dari kebaikan dan telat darinya.
Sedangkan ‘ishyan (العصيان), biasanya diartikan kedurhakaan atau maksiat. Makna aslinya adalah berpisah, seperti anak untuk yang tidak mau lagi ikut induknya karena dia sudah tidak lagi menyusu/disapih. Orang bermaksiat diserupakan degan ini karena ia tidak mau mengikuti petunjuk Allah, memisahkan diri, dan berbuat semaunya sendiri.
Kemudian huub (الحوب), makna aslinya adalah hardikan untuk mencegah untuk melakukan sesuatu. Dosa disebut demikian karena pada dasarnya ia merupakn sesuatu yang dilarang, atau karena pelakunya sadar bahwa hal itu sebenarnya 
Adapun sayyi’ah (السيئة) adalah kebalikan dari hasanah (الحسنة), aslinya berakar kepada kata suu’ (السوء). Makna aslinya adalah segala hal yang membuat seseorang sedih dan berduka, baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Dosa kecil dan kesalahan (duniawi) biasanya disebut juga dengan sayyi’ah, karena ia membuat pelakunya sedih dan resah, merasa tidak nyaman, merasa bersalah. Sedangkan, khothiah (الخطيئة), yang aslinya berakar dari kata khotho’ (الخطأ). Makna aslinya adalah berbelok dari arah yang semestinya, atau tidak tepat sasaran. Khoti’ah dan sayyi’ah mirip, karena sering dipakai untuk mnyebut dosa kecil atau kekeliruan-kekeliruan. Tapi umumnya khoti’ah digunakan untuk mnyebut hal-hal secara tidak sengaja dilakukan. Misal, ingin memanah kijang tapi meleset terkena manusia. Maka, kebalikan dari khotho’ adalah showab (الصواب), yakni pas, kena, atau tepat sasaran.
Secara istilah dalam bebarapa kitab, para ulama berada pada satu pemahaman, bahwa dosa adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah dan RasulNya, yang telah ditetapkan sebelumnya untuk dita’ati, dan pelakunya diberikan sangsi (uqubat) baik di dunia dan di akhirat. Atau meninggalkan perbuatan yang sudah ditetapkan hukumnya oleh Allah dan RasulNya.
Dosa  dalam berbagai variannya adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah, pelakukan akan mendapatkan sangsi baik di dunia dan diakhirat, karena ia bentuk dari pembangkangan terhadap perintah Sang Pencipta, yang telah menjadikannya berada di dunia untuk menta’ati perintahNya dan menjahui segala laranganNya.
Dalam bentuk apa pun dosa  itu, tetap sebuah pelanggaran, baik dosa; kecil, sedang, dan besar, dan setiap pelanggaran ada sangsinya. Sangsinya Allah yang menetapkan, walau pada akhirnya hanya Allah dengan segala rahasianya yang memberikan keputusan terakhir; diampuni atau disiksa. Ada dosa yang diampuni dan ada dosa yang tidak diampuni, ini juga hak Allah, tetapi Allah dalam banyak Ayat al-Qur’an menegaskan; bahwa Allah maha pengampun, bagi orang yang memohon ampunan padaNya
Begitu banyak dosa-dosa yang ada dalam diri manusia. Mulai dari dosa yang muncul dari mata, telinga, mulut, tangan, kaki, badan, hingga hati yang senantiasa berjibaku dengan nafsu dan godaan setan al-rajīm. Nafsu dan godaan setan merupakan tantangan yang niscaya akan dihadapi oleh setiap anak Adam. Apabila ia sanggup menahan dan mengendalikan setiap keinginan hawa nafsu dan godaan setan, tentu ia akan menang dan memperoleh pahala di sisi Allah. Namun, jika ia kalah dan terjerumus sehingga menjadi budak hawa nafsu dan menuruti godaan setan, maka dosa akan menyelimutinya. Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmiżi no. 2499, Ṣahih al-Targīb 3139)
Hadis ini menggambarkan bagaimana kesalahan (dosa) merupakan perkara yang tidak terlepas dari diri manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan solusi dan jalan keluar bagi hamba-Nya yang berbuat kesalahan, yaitu bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya.
Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
 يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ
 “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semuanya melakukan dosa pada malam dan siang hari, padahal Aku Maha mengampuni dosa semuanya. Maka mintalah ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni kalian.” (HR. Muslim)
Dan dosa menjadi susah dihindari karena kecenderungan manusia kepada kemaksiatan dan bisikan-bisikan setan sebagaimana saya pernah membahas dalam artikel berjudul bisikan hati.

http://masrauf.blogspot.com/2022/11/bisikan-hati.html

Namun menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk meninggalkan dosa walaupun sulit, apalagi bagi orang yang telah mengetahui. 
Dalil tentang ampunan Allah tidak boleh dijadikan menjadi dalil untuk bermudah-mudahan dengan dosa. Bukankah banyak juga kisah bagaimana seorang yang sholeh namun di akhir hayatnya su’ul khatimah?
Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا
 ” … Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka, maka masuklah dia ke dalam neraka … ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana jika saat orang tersebut sedang melakukan kemaksiatan, tiba-tiba malakul maut datang menjemputnya? Bukankah setiap amalan seorang hamba tergantung pada akhirnya? Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
 “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari)
Allah Ta’ala tidak sesaat pun lalai dari perbuatan orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya,
 وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
 “ Dan janganlah sekali-kali engkau (Muhammad ) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim … ”  (QS. Ibrahim: 42)

Lalu bagaimana cara kita berusaha meninggalkan dosa? Ada beberapa tips yang di berikan oleh syaikh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Ruhiyatut Daiyah :
1. Muahadah, dimana seorang mengingat Kembali bahwa dirinya telah berjanji untuk mematuhi dan taat kepada Rabb nya. Sehingga kesadaran untuk meninggalkan dos aini harus selalu diperbaharui sehingga selalu muncul dala diri seorang muslim untuk meninggalkan dosa.
2. Mujahadah, kecenderungan jiwa seseorang memang harus dilawan dengan mujahadah. Kesungguhan hati untuk meninggalkan dosa. Seorang muslim harus mengetahui efek buruk dosa dan berbuat dengan seluruh kemampuanya untuk menghindari dosa.
3. Muraqabah, seorang muslim melatih hatinya untuk selalu merasa diawasi oleh Allah. Sehingga dia akan merasa malu Ketika akan berbuat kemaksiatan kepada Allah.
4. Muhasabah, introspeksi diri. Menghitung bekal menuju akhirat. Betapa banyaknya dosa yang sudah diperbuat dan sedikitnya amal shaleh yang telah diperbuat. Berapa amal yang diterima oleh Allah dan yang tertolak. Maka dengan selalu menginsrospeksi diri ini seorang muslim akan merasa betapa banyak kekurangan dirinya.
5. Mu’aqabah , memberikan sanksi atau hukuman kepada dirnya. Dengan memberikan sanksi dan konsisten maka akan membuat jiwa akan merasa tersiksa jika dia berbuat dosa.

Perjuangan untuk mengajarkan jiwa meninggalkan hal-hal yang dibenci Allah berupa dosa ini harus secara konsisten dilakukan agar jiwa manusia terdidik sehingga dia selalu cenderung kepada kebaikan dan menghindari dosa. Usaha tersebut merupakan usaha penyucian jiwa sebagaimana Allah berfirman
 وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (dengan ketakwaan) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).” (Qs Asy Syams: 7-10)

Di samping usaha tadi, kita juga diajarkan untuk berdoa agar terhindar dari perbuatan maksiat, karena memang pada hakikatnya manusia membutuhkan pertolongan dari Allah untuk menghindari dari kemaksiatan ini. Ada beberapa Riwayat doa tentang hal ini dan diantara doa yang saya senang mengamalkanya adalah do’a sayidul istighfar.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ : اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ 
Dari  Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan : (Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau). (Beliau bersabda) “Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga. ( HR Bukhari )



Pertanyaan kedua ;
Kata mursyid berasal dari Bahasa arab “arsyada-yursidu” yang artinya membimbing atau menunjuk. Sedangkan secara istilah, mursyid adalah orang yang bertugas untuk membimbing dan menunjukkan jalan yang lurus kepada seseorang.
Dalam ilmu tasawuf dan tarekat islam kata mursyid dikenal juga dengan istilah syaikh. Keduanya memiliki makna yang sama, yakni merujuk pada seorang guru.
Dijelaskan dalam buku Majmu’ah Rasail karya Imam Al-Ghazali, seorang mursyid harus melakukan beberapa riyadhah (latihan) ketakwaan seperti menyedikitkan makan, berbicara, dan tidur. Ia harus memperbanyak amal ibadah seperti sholat, sedekah, dan puasa.
Seorang mursyid harus memiliki akhlak terpuji berupa kesabaran, syukur, tawakkal, tenang (tuma’ninah), dermawan, qanaah, amanah, ramah, rendah hati, makrifat, jujur, berwibawa, memiliki rasa malu, tenang, lembut, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, ia juga harus memurnikan hatinya dan menjauhkan diri dari sifat tercela seperti sombong, kikir, hasud, dengki, tamak, panjang angan-angan, gegabah, dan lain sebagainya. Dalam kesehariannya, ia harus menjauhi fanatisme terhadap dunia.
Dalam kitab yang sama Imam Ghazali juga menyampaikan adab seorang murid kepada mursyid atau gurunya.
آداب المتعلم مع العالم: يبدؤه بالسلام ، ويقل بين يديه الكلام ، ويقوم له إذا قام ، ولا يقول له : قال فلان خلاف ما قلت ، ولا يسأل جليسه في مجلسه ، ولا يبتسم عند مخاطبته ، ولا يشير عليه بخلاف رأيه ، ولا يأخذ بثوبه إذا قام ، ولا يستفهمه عن مسألة في طريقه حتى يبلغ إلى منزله، ولا يكثر عليه عند ملله.   
“Adab murid terhadap guru, yakni: mendahului beruluk salam, tidak banyak berbicara di depan guru, berdiri ketika guru berdiri, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda”, tidak bertanya-tanya kepada teman duduknya ketika guru di dalam majelis, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah.”   
Dari kutipan di atas dapat diuraikan kesepuluh adab murid terhadap guru sebagai berikut:   
Pertama, mendahului beruluk salam. Seorang murid hendaknya mendahului beruluk salam kepada guru. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa yang kecil memberi salam kepada yang besar.   
Kedua, tidak banyak berbicara di depan guru. Banyak berbicara bisa berarti merasa lebih tahu dari pada orang-orang di sekitarnya. Apa bila hal ini dilakukan di depan guru, maka bisa menimbulkan kesan seolah-seolah murid lebih tahu dari pada gurunya. Hal ini tidak baik dilakukan kecuali atas perintah guru.    
Ketiga, berdiri ketika guru berdiri. Bila guru berdiri, murid sebaiknya lekas berdiri juga. Hal ini tidak hanya penting kalau-kalau guru memerlukan bantuan sewaktu-waktu, misalnya uluran tangan agar segera bisa tegak berdiri, tetapi juga merupakan sopan santun yang terpuji. Demikian pula jika guru duduk sebaiknya murid juga duduk.   
Keempat, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda.” Ketika guru memberikan suatu penjelasan yang berbeda dengan apa yang pernah dijelaskan oleh orang lain, sebaiknya murid tidak langsung menyangkal penjelasan guru. Sebaiknya murid meminta izin terlebih dahulu untuk menyampaikan pendapat orang lain yang berbeda. Jika guru berkenan, murid tentu boleh menyampaikan hal itu.    
Kelima, tidak bertanya-tanya kepada teman duduknya sewaktu guru di dalam majelis. Dalam majlis ta’lim atau kegiatan belajar mengajar di kelas, murid hendaknya bertanya kepada guru ketika ada hal yang belum jelas. Hal ini tentu lebih baik daripada bertanya kepada teman di sebelahnya. Lebih memilih bertanya kepada teman dan bukannya langsung kepada guru bisa membuat perasaan guru kurang nyaman.   
Keenam, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru. Guru tidak sama dengan teman, dan oleh karenanya tidak bisa disetarakan dengan teman. Seorang murid harus memosisikan guru lebih tinggi dari teman sendiri sehingga ketika berbicara dengan guru tidak boleh sambil tertawa atau bersenyum yang berlebihan.   
Ketujuh, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru. Bisa saja seorang murid memiliki pendapat yang berbeda dengan guru. Jika ini memang terjadi, murid tidak perlu mengungkapkannya secara terbuka sehingga diketahui orang banyak. Lebih baik murid meminta komentar sang guru tentang pendapatnya yang berbeda. Cara ini lebih sopan dari pada menunjukkan sikap kontra dengan guru di depan teman-teman.    
Kedelapan, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri. Ketika guru hendak berdiri dari posisi duduk mungkin ia membutuhkan bantuan karena kondisinya yang sudah agak lemah. Dalam keadaan seperti ini, murid jangan sekali-kali menarik baju guru dalam rangka memberikan bantuan tenaga. Ia bisa berjongkok untuk menawarkan pundaknya sebagai tumpuan untuk berdiri; atau sesuai arahan guru.     
Kesembilan, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah. Jika ada suatu hal yang ingin ditanyakan kepada guru, terlebih jika itu menyangkut pribadi guru, tanyakan masalah itu ketika telah sampai di rumah. Tentu saja ini berlaku terutama kalau perjalanan dengan menaiki kendaraan umum.    
Kesepuluh, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah. Dalam keadaan guru sedang lelah, seorang murid hendaknya tidak mengajukan banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban pelik, misalnya. Dalam hal ini dikhawatirkan guru kurang berkenan menjawabnya sebab memang sedang lelah sehingga membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina. 

Jadi sebagai murid kepada mursyidnya dia harus memenuhi adab-adab tersebut. Namun disatu sisi mursyid juga manusia yang tetap memiliki celah untuk salah. Maka ketaatan manusia kepada mursyid tidak boleh melebihi kepatuhanya kepada Allah dan Rasulnya dan ketaatan kepada syariat. Kita harus berusaha mematuhi semampu kita namun kita tidak boleh taat dalam kemaksiatan. 
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36).

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari-Muslim).

Wallahu a’lam

Temanggung, 8 Februari 2023
Ta' Rouf Yusuf

Saturday 4 February 2023

Sugih Tanpo Bondho ( Sebuah Perenungan)


Sugih tanpo bondo (Kaya tanpa harta)

Digdoyo tanpo aji (Tak terkalahkan tanpa kesaktian)

Nglurug tanpo bolo (Menyerbu tanpa pasukan)

Menang tanpo ngasorake (Menang tanpa merendahkan)

Trimah mawi pasrah (Menerima juga pasrah)

Suwung pamrih tebih ajrih (Jika tanpa pamrih tak perlu takut)

Langgeng tan ono susah tan ono bungah (Tetap tenang meskipun ada duka dan suka)

Anteng mantheng sugeng jeneng(Tidak macam-macam membuat nama baik terjaga)

R.M.P. Sosrokartono

Pada hakikatnya manusia tak memiliki apa apa
namun di tengah ketiadaan Tuhan memberikan segala
Semua yang dibutuhkan manusia
Maka kaya bukanlah memiliki harta
namun kaya adalah merasa cukup dengan Tuhannya

Manusia adalah lemah
namun Tuhan memberikan kekuatan
Kekuatan untuk berkarya dan berusaha
Sehingga muncullah eksistensi manusia

Tak perlu kau taklukan musuhmu
Karena musuh sejati adalah dirimu
Kalahkanlah dirimu
tebarkan kasih kepada manusia
Maka kemenangan sejati kan kau dapatkan

Menang bukanlah menghinakan
Menang adalah duduk bersama diatas tanah
Bersama bersujud mematuhi Sang Kuasa

 Dengan Tersenyum
Terimalah setiap pemberian Tuhan
Pasrahkan hatimu pada kehendak Sang Pencipta

Berbuat baiklah
tanpa meminta apa-apa
tanpa berharap apa-apa
tanpa takut terhadap apa-apa
sehingga tiada takut akan apa-apa

Istiqomahlah dalam kebaikan
Tetaplah dalam sujud kehidupan
Tiada susah
Tiada senang
Karena semua sama
Jalan untuk bertemu Kekasih 

Saturday 28 January 2023

Usaha Mengejar Hidayah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ [الأنفال : 24]

{ يا أيها الذين آمنوا استجيبوا لله وللرسول } بالطاعة { إذا دعاكم لما يحييكم } من أمر الدين لأنه سبب الحياة الأبدية { واعلموا أن الله يحول بين المرء وقلبه } فلا يستطيع أن يؤمن أو يكفر إلا بإرادته { وأنه إليه تحشرون } فيجازيكم بأعمالكم
 (Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul) dengan taat (apabila Rasul menyeru kamu pada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian) berupa perkara agama sebab perkara agama merupakan penyebab bagi kehidupan yang kekal (dan ketahuilah oleh kalian bahwa sesungguhnya Allah menghalangi antara manusia dan hatinya) maka ia tidak dapat beriman atau kafir melainkan berdasarkan kehendak Allah (dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan) Allah akan membalas semua amal perbuatan kalian.

Tafsir Jalallain Surat Al Anfal : 24

Ketaatan kepada Allah adalah kunci kehidupan. Kehidupan sejati adalah segala sesuatu pada kehidupan dunia yang memberikan kebaikan di akhirat. Sebagaimana kita ketahui dalam surat Al 'Asr dimana Allah Subhanahu wa ta'alla berfirman bahwa segala sesuatu selain tentang keimanan, ibadah, saling nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah kerugian. 

Allah menjadikan manusia sebagai hamba, maka eksistensi seorang hamba di mata Rabb nya adalah ketaatan kepada Nya. Namun tidak semua manusia mendapat keberuntungan untuk taat dan tunduk kepada kehendaknya. Maka beruntunglah orang-orang yang sadar akan hakikat keberadaan dirinya dan melaksanakan fungsi sebenarnya dirinya. Maka beruntunglah orang yang mendapatkan hidayah. 

Nabi Allah, Ibrahim. Berada ditengah-tengah orang-orang yang menyekutukan Allah, ia termasuk orang yang mendapat petunjuk. Allah dengan mudahnya memberikan hidayah kepada seseorang yang dikehendakinya, padahal tidak ada seorang pun yang mengajarkan dan menerangkan kebenaran kepadanya, Allah berfirman yang artinya “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (QS. Al-An’am: 75-79)

Dari hal ini, sangat jelaslah bagi kita, hidayah hanyalah milik Allah, dan Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendakinya. Barangsiapa yang Allah beri hidayah, tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang telah Allah sesatkan, tidak ada seorang pun yang bisa memberi hidayah kepadanya. Allah berfirman yang artinya “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213) dan Allah berfirman yang artinya “Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-zumar:23).

Namun manusia dapat mengejar dan berusaha mendapatkan hidayah, diantaranya :

1. Beriman dan tidak menyekutukan Allah
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-an’am:82).

2. Taubat kepada Allah
Allah berfirman yang artinya “Orang-orang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya" ( Ar Ra'd : 27) 

3. Ngaji / Belajar Agama
Tanpa ilmu (agama), seseorang tidak mungkin akan mendapatkan hidayah Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya “Jika Allah menginginkan kebaikan (petunjuk) kepada seorang hamba, maka Allah akan memahamkannya agama” (HR Bukhori)

4. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi hal yang dilarang.
Kemaksiatan adalah sesuatu yang menghalangi hidayah sebaliknya ketaatan akan membuka hidayah. Allah berfirman yang artinya “Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-nisa: 66-68).

5. Membaca Al-qur’an, memahaminya mentadaburinya dan mengamalkannya.
Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al-Isra:9)

6. Berpegang teguh kepada agama Allah
Allah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali-Imron:101).

7. Mengerjakan sholat.
Allah berfirman pada surat al-baqoroh yang artinya “Aliif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya dan merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
Siapa mereka itu, dilanjutkan pada ayat setelahnya “yaitu mereka yang beriman kepada hal yang ghoib, mendirikan sholat dan menafkahkah sebagian rizki yang diberikan kepadanya” (QS. Al-baqoroh:3).

8. Berkumpul dengan orang-orang sholeh

Allah berfirman yang artinya “Katakanlah: “Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): “Marilah ikuti kami.” Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am:72).

Wallahu a'lam

Thursday 26 January 2023

Hukum anak berada di shaf orang dewasa

Bagaimana hukum jika anak-anak itu berada di antara shaf orang dewasa, bukankah ada kemungkinan anak itu membawa najis? 

Jawab :

Dalam Shahih Muslim di riwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam membawa cucunya Umamah putri dari Zainab ke dalam masjid saat shalat fardhu dan menjadi imam. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim:

عن أبي قتادة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن الربيع فإذا قام حملها وإذا سجد وضعها

Rasulullah pernah shalat membawa Umamah putrinya Zainab binti Rasulullah dari suaminya Abul Ash bin Rabi'. Apabila Nabi berdiri beliau menggendongnya, apabila Nabi sujud beliau meletakkannya.

Dari hadits ini Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 5/31-32, menjelaskan unsur hukumnya:

فيه حديث حمل أمامة رضي الله عنها ، ففيه دليل لصحة صلاة من حمل آدميا أو حيوانا طاهرا من طير وشاة وغيرهما ، وأن ثياب الصبيان وأجسادهم طاهرة حتى تتحقق نجاستها ، وأن الفعل القليل لا [ ص: 199 ] يبطل الصلاة ، وأن الأفعال إذا تعددت ولم تتوال ، بل تفرقت لا تبطل الصلاة . 

وقوله : ( رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم - يؤم الناس وأمامة على عاتقه ) هذا يدل لمذهب الشافعي - رحمه الله تعالى - ومن وافقه أنه يجوز حمل الصبي والصبية وغيرهما من الحيوان الطاهر في صلاة الفرض وصلاة النفل ، ويجوز ذلك للإمام والمأموم ، والمنفرد

Dalam hadits menggendong Umamamah radhiyallaanha di dalam hadits ini menjadi dalil atas sahnya shalatnya orang yang membawa manusia atau hewan yang suci seperti burung, kambing dan lainnya. Adapun baju anak kecil dan tubuhnya itu suci kecuali kalau jelas najisnya. Dan bahwa gerakan kecil tidak membatalkan shalat. Dan bahwa gerakan-gerakan yang banyak yang tidak berturut-turut tapi terpisah tidak membatalkan shalat.

Adapun hadis "Aku melihat Nabi menjadi imam shalat sedang Umamah berada di bahunya" ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi'i dan yang setuju dengannya bahwa boleh membawa (menggendong) anak kecil laki-laki atau perempuan dan lainnya seperti hewan yang suci pada saat shalat fardhu dan shalat sunnah. Dan hal itu boleh dilakukan oleh imam dan makmum atau shalat sendirian.

Beliau juga menjelaskan 

اِدَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّ هَذَا الْحَدِيث مَنْسُوخ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ مِنْ الْخَصَائِص، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ، وَكُلّ ذَلِكَ دَعَاوِي بَاطِلَة مَرْدُودَة لا دَلِيل لَهَا، وَلَيْسَ فِي الْحَدِيث مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع، لأَنَّ الآدَمِيّ طَاهِر، وَمَا فِي جَوْفه مَعْفُوّ عَنْهُ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ مَحْمُولَة عَلَى الطَّهَارَة حَتَّى يَتَيَقَّن النَّجَاسَة، وَالأَعْمَال فِي الصَّلاة لا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ، وَدَلائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى ذَلِكَ، وَإِنَّمَا فَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ لِبَيَانِ الْجَوَاز .
Sebagian pengikut Madzhab Maliki beranggapan bahwa hadits ini mansukh, sebagian lagi beranggapan hadits ini termasuk salah satu kekhususan Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, dan sebagian lagi beranggapan bahwa itu merupakan keadaan darurat… Semua anggapan itu adalah anggapan yang batil, tertolak, dan tidak berdasar… Dalam hadits tersebut tidak ada sesuatu yang menyelisihi kaidah syariat, karena tubuh anak adam itu suci, adapun yang ada di dalam jasadnya, maka najisnya tidaklah dianggap. Sedangkan pakaian dan badan anak kecil itu dianggap suci hingga benar-benar diyakini ada najisnya… dan gerakan di dalam sholat, tidak membatalkannya apabila masih tergolong sedikit atau terpisah-pisah… dan dalil-dalil syariat dalam masalah ini sangatlah banyak… Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melakukan hal tersebut itu untuk menerangkan (kepada umatnya) bolehnya (melakukan hal tersebut). 
Wallahu a’lam

Wednesday 25 January 2023

Hadits Puasa Sehari di Bulan Rajab Berpahala 1000 tahun adalah Palsu

Rasulullah Shalallahu alaihi wa salla bersabda:

إن شهر رجب شهر عظيم، من صام منه يوما كتب الله له صوم ألف سنة، ومن صام منه يومين كتب له صوم ألفى سنة، ومن صام منه ثلاثة أيام، كتب الله له صوم ثلاثة آلاف سنة، ومن صام منه سبعة أيام غلقت عنه أبواب جهنم، ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له أبواب الجنة الثمانية، فيدخل من أيها شاء، ومن صام خمسة عشر بدلت سيئاته حسنات ونادى مناد من السماء قد غفر لك، فاستأنف العمل، ومن زاد زاده الله.

Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa berpuasa satu hari di dalamnya, Allah mencatat baginya puasa seribu tahun. Siapa berpuasa dua hari, Allah mencatat baginya puasa 2000 tahun. Siapa berpuasa tiga hari, Allah mencatat baginya puasa 3000 tahun. Siapa berpuasa tujuh hari, ditutup pintu neraka jahannam baginya. Siapa berpuasa 8 hari, dibukakan pintu 8 pintu surga baginya, dan ia bebas masuk dari pintu mana saja. Siapa berpuasa 15 hari, keburukan-keburukannya diganti dengan kebaikan-kebaikan, dan Allah mengampuni dosamu yang telah berlalu. Maka mulailah mengerjakannya. Siapa yang menambahnya, Allah juga akan menambahkannya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dan kemudian disampaikan oleh al-Syaukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah dan Ibn ‘Arraq al-Kannani dalam Tanzih al-Syari’ah. Berikutnya, Hadis tersebut berkembang luas di masyarakat.

Menurut penjelasan Ulama Ahli hadits hadits di atas Maudhu atau Palsu. Diantaranya yang di sampaikan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tabyin al-‘Ajan Bima Warada fi Syahr Rajab berkata huwa hadits maudhu’ la syakka fihi (Hadis palsu, tidak perlu diragukan lagi). Menurut Ibn Hajar, kepalsuan Hadis tersebut disebabkan seorang rawi bernama Ishaq bin Ibrahim al-Khuttali yang ternyata muttaham (dituduh berdusta). Jauh sebelum itu, Ibn al-Jauzi dalam al-Maudhu’at menyatakan,Hadis tersebut bukan sabda Rasulullah Saw (hadza hadits la yashih an Rasulillah Saw). Menurut Ibn al-Jauzi, kepalsuan Hadis tersebut disebabkan seorang rawi bernama Harun bin ‘Antarah. Berpedoman kepada pendapat Ibn Hibban, Ibn al-Jauzi berkata; Harun tidak bisa dijadikan pijakan, sebab Harun meriwayatkan banyak Hadis munkar (la yajuz al-ihtijaj, yarwi manakir).

Maka dari itu, berpijak pada penjelasan ini, Ibn ‘Arraq al-Kannani dalam Tanzih al-Syari’ah secara tegas menyatakan Hadis tersebut palsu. Begitu pula al-Syaukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah dan al-Suyuthi dalam al-La’ali al-Mashnu’ah yang dengan tegas juga menyatakan demikian. Untuk itu, tidak perlu diragukan lagi, berdasarkan pernyataan dan penjelasan ulama tadi, Hadis tersebut adalah palsu.

Friday 20 January 2023

Adakah Zakat Menjual Tanah ?

Pertanyaan :
Assalamualaikum
1. Saya memiliki tanah yang saya beli dan saya gunakan untuk usaha ternak, kemudian tanah itu di beli orang, apakah saya harus mengeluarkan zakat? 
2. Siapakah orang2 yang bisa menerima zakat? 

NN

Jawab :
Bismillah
1. Apakah ada zakat untuk tanah yang dijual? 
Dalam fiqih zakat ada barang yang wajib zakat dan barang yang tidak wajib zakat. Zakat hanya di syariat kan untuk barang-barang yang wajib zakat. Sedangkan barang tidak wajib zakat tidak terkena hukum zakat. 

Dalam matan Abu Syuja di katakan
تجب الزكاة في خمسة أشياء وهي المواشي والأثمان والزروع والثمار وعروض التجارة   
“Zakat itu wajib atas 5 perkara, yaitu: (1) ternak, (2) barang berharga (emas dan perak), (3) hasil tanaman (sawah) atau perkebunan, (4) buah-buahan, dan (5) harta modal dagang” (Kitab Matan Ghayatu al-Taqrib: 16)

Sedangkan dalam Al fiqih Al manhaji 'ala Al madzhab Al Imam Asy Syafi'i, disampaikan , "Harta yang dikenakan kewajiban zakat adalah harta yang sifatnya dapat bertumbuh kembang, artinya setiap harta yang dapat bertumbuh dan berkembang maka harta itu dikenai kewajiban zakat. Adapun setiap harta yang tidak dapat tumbuh dan berkembang yaitu harta yang sifatnya Al awal jamidah ( الاموال الجامدة ) 'harta statis' maka harta itu tidak dikenal kewajiban zakat." Dalam kitab tersebut penulis mengelompokkan beberapa barang yang wajib zakat diantaranya : Uang ( emas dan  perak), binatang ternak, tanaman dan buah-buahan, barang perniagaan serta barang tambang (ma'din) dan harta terpendam (rikaz). 

Jadi tidak ada zakat untuk properti seperti tanah rumah atau toko. Properti (العقار) adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa tanah dan bangunan yang berada di atasnya seperti rumah, istana, gedung, apartemen, toko, SPBU, wisma, dan semacamnya.

Jika seseorang ingin menjualnya maka tidak ada zakat. Sebagaimana penjelasan Syekh As-Samarqandi rahimahullah di dalam Uyun Al-Masail,

وقَالَ هشام سألت محمداً : عن رجل اشترى خادماً للخدمة وهو ينوي إن أصاب ربحاً باع ، هل فيها الزكاة؟  قَالَ: لا، هكذا شِرَى الناس إذا أصابوا ربحاً باعوه

“Hisyam berkata, “Aku bertanya kepada Muhammad (yakni Ibnu Hasan as-Syaibani) tentang seseorang yang membeli hamba sahaya untuk dijadikan pembantu, dan dia berniat jika ada keuntungan, akan dijual. Apakah ada zakatnya?” Muhammad bin Hasan menjawab, “Tidak ada zakat. Seperti itu pula ketika ada orang beli, lalu jika nanti menguntungkan akan dijual.” (‘Uyun Al-Masail fi Furu’ Al-Hanafiyah, as-Samarqandi, hlm. 33)

Hal ini berbeda jika seseorang memang menjadikan properti tersebut sebagai barang perniagaan. Yang dimaksud dengan Perniagaan adalah proses pertukaran harta dengan tujuan mencari keuntungan. Perniagaan tidak terbatas pada barang tertentu saja. Artinya asalkan barang tersebut diperdagangkan maka ia di sebut sebagai barang perniagaan. 

Menurut mayoritas ulama, zakat diberlakukan atas properti yang dimiliki dengan niat untuk diperdagangkan. Pengertian “niat untuk diperdagangkan” adalah seseorang berniat memiliki properti tersebut untuk memperoleh keuntungan.

Al-Mawardi rahimahullah mengatakan,

مَعْنَى ” نِيَّةِ التِّجَارَةِ : أَنْ يَقْصِدَ التَّكَسُّبَ بِهِ بِالِاعْتِيَاضِ عَنْهُ

“Arti dari ‘niat untuk diperdagangkan’ adalah seseorang bermaksud mengambil untung dengan menjadikannya sebagai kompensasi (diperdagangkan).” (al-Inshaf, 3: 154)

Adapun semata-mata berniat untuk dijual tidak otomatis menjadikan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan karena motivasi menjual suatu barang bisa bermacam-macam seperti ingin “membuang” barang, tidak berkeinginan lagi untuk dimiliki, adanya kesulitan ekonomi, atau yang semisal. 

Jika seseorang memang melakukan usaha jual beli properti. Dalam kitab fiqih manhaji disebutkan ada dua syarat suatu benda menjadi barang perniagaan :

1. Pemiliknya mendapatkan barang tersebut melalui akad transaksi yang ada gantinya, seperti dengan jual beli, sewa, mahar ( bagi wanita) dan lain sebagainya. Artinya jika barang tersebut di dapat dengan jalan semisal warisan, wasiat atau hibah maka barang tersebut tidak tergolong pada jenis barang perniagaan. 
2. Ketika seseorang memilikinya, ia memang berniat menggunakan barang itu untuk perniagaan dan ia melangsungkan niatnya tersebut. Jika pemilik barang tidak berniat memperdagangkan barang itu setelah ia miliki maka barang tersebut tidak tergolong jenis barang dagangan, walaupun di kemudian hari dia berniat memperdagangkanya. Begitu pula jika awalnya ia berniat memperdagangkan barang tersebut namun kemudian setelah dia miliki, ia tidak jadi memperdagangkanya, atau ia simpan saja, maka barang tersebut tidak termasuk jenis barang perniagaan, karenanya tidak wajib di zakat. 

Jadi dapat kita simpulkan dari penjelasan diatas jika Bapak tidak menjadikan tanah itu sebagai barang perniagaan maka tidak di sebut sebagai barang perniagaan sehingga tidak dikenai kewajiban zakat. 

B. Penerima Zakat

Asnaf yang menerima manfaat zakat berdasarkan surat At-Taubah ayat 60:

1. Fakir; Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.

2. Miskin; Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.

3. Amil; Mereka yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.

4. Mu'allaf; Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menguatkan dalam tauhid dan syariah.

5. Hamba sahaya; Budak yang ingin memerdekakan dirinya.

6. Gharimin; Mereka yang berhutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzahnya

7. Fisabilillah; Mereka yang berjuang di jalan Allah dalam bentuk kegiatan dakwah, jihad dan sebagainya

8. Ibnus Sabil; Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah.

Wallahu A'lam

Temanggung, 21 Januari 2023











Saturday 10 December 2022

Denda bagi Peserta Arisan yang Terlambat Membayar

Assalamualaikum

Mohon maaf lupa menanyakan berkaitan dengan arisan barang, kebetulan yg jadi ketua arisannya teman saya. Awalnya arisan lancar biasa, jalan bbrp waktu ada anggota yg suka telat atau malah sulit ditagih utk bayarnya. Akhirnya dibuat peraturan yg telat kena denda perhari sekian rupiah itu ustd buat gertakan yg suka sulit. 

Padahal denda tdk boleh ya tadz? Apakah arisannya jd haram Krn itu? Yg terkena hukum riba semuanya? Termasuk yg tdk pernah didenda? Trs bagaimana njih sebaiknya?🙏

****

Jawab :

Sebelum saya menjawab mari kita kaji dulu beberapa hal. 

Pertama : Riba dalam pinjam meminjam atau utang piutang disebut Riba Dain. Riba ini ada dua bentuk:

1. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo ( pembayaran hutangnya atau pertambahan nominalnya berkaitan dengan mundurnya tempo) 

Misal : Si A berutang Rp1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo, si B berkata, “Bayar utangmu.” Si A menjawab, “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo satu bulan lagi dan utang saya menjadi Rp1.100.000.” Demikian seterusnya.

Sistem ini disebut dengan “riba mudha’afah” (melipatgandakan uang). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفًا مُّضَٰعَفَةً  

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda….” (Ali Imran: 130)

2. Pinjaman dengan bunga yang sudah di persyaratan di awal. 

Misal: Si A hendak berutang kepada si B. Si B berkata di awal akad, “Saya akan meminjamkan untukmu Rp1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp1.100.000.”


Kedua: manfaat atau tambahan dalam hutang piutang. 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; 

 كل قرض جر منفعة فهو ربا

“setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan maka itu riba”

 Dalam kitab Lisan al-Mizan libni hajar (3/128-129) Hadits ini dilihat dari segi sanad sangat lemah (dho’if jiddan), bahkan Imam Bukhori mengatakan bahwa hadits ini munkar, namun meski begitu, dari segi matan hadits ini sesuai dengan dlail-dalil lain baik dari al-Qur’an, hadits lain yang serupa, ijma, atsar sahabat maupun rasionalitas, yang semuanya menunjukan keharaman mengambil manfaat atau keuntungan bagi si pemberi pinjaman dari sebuah pinjaman yang dia berikan. 

Ada banyak redaksi untuk mendefinisikan apa itu qordh. Dalam Kitab Fathul Muin disebutkan definisi qordh sebagai berikut :

تمليك الشيء على أن يرد مثله

“memiliki sesuatu (dari orang lain) dengan mengembalikan gantinya (yang sesuai dengan yang dipinjam)”

Namun ternyata menurut para Fuqaha tidak semua manfaat منفعة dalam pinjam meminjam itu dinamakan riba. 

Definisi manfaat dalam konteks qordh adalah :

الفائدة أو المصلحة التي تعود لأحد أطراف عقد القرض بسبب هذا القرض

“suatu keuntungan atau kemaslahatan yang diperoleh oleh salah satu pihak dalam transaksi pinjam meminjam, yang keuntungan tersebut terjadi sebab adanya transaksi ini”

Maksudnya, keuntungan yang didapat oleh si pemberi pinjaman atau si peminjam itu ada dan terjadi disebabkan oleh adanya transaksi itu sendiri. Contohnya : saya meminjamkan uang sepuluh ribu kepada teman, kemudian saya meminta ganti dua belas ribu, saya berhak mendapat keuntungan dua ribu karena saya sudah berbaik hati  meminjamkan uang saya kepada teman saya itu. Keuntungan inilah yang dimaksud dengan manfaat.

Setelah para ulama mengumpulkan, memilih dan menganalisa seluruh dalil-dalil tentang maksud manfaat ini akhirnya membuat kesimpulan, bahwa bukan manfaat secara mutlak yang di kategorikan riba namun manfaat yang memiliki taqyid (kriteria-kriteria) tertentu, mereka berkata :

المنفعة الزائدة المتمحضة المشروطة للمقرض على المقترض

“manfaat yang bersifat tambahan, murni, yang disyaratkan pemberi pinjaman kepada peminjam ketika akad (transaksi)”

Ada beberapa kriteria manfaat dikatakan riba, yaitu :

  1. Bersifat tambahan : uang yang seseorang pinjamkan setelah kembali jadi bertambah.
  2. Bersifat murni : maksudnya, manfaat ini murni diterima si pemberi pinjaman, si peminjam tidak punya manfaat apa-apa kecuali uang yang dipinjam, adapun kalau sama-sama dapat manfaat maka ini masih khilaf di kalangan ulama.
  3. Tambahannya disyaratkan di akad (transaksi), misal : ya sudah aku pinjamkan kamu uang sepuluh ribu, tapi syaratnya nanti kamu balikin uangnya dua belas ribu ya. 
Maka jika syarat-syarat yang kami sampaikan terpenuhi dalam arisan tersebut maka bisa masuk ke dalam riba. Maka mungkin perlu disampaikan kepada pengurus dan peserta arisan, untuk kemudian bisa di ambil sikap terbaik yang sesuai dengan syariat agar muamalah tetap berkah. 

” Wallahul A'lam. 

Temanggung, 10 Desember 2022

Ta' Rouf Yusuf


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...