Tuesday 5 September 2023

Sayyid Syaikh Nahrowi Muhtarom Al-Banyumasi Dari Jawa


Syaikh Nahrowi Al-Makki Adalah Satu di antara beberapa Kyai asal Indoneaia yang bermukim di Makkah Al-Mukarromah.

Syekh Nahrowi kecil lahir di Purbalingga Banyumas pada tahun 1800 M dengan Nama Lengkap: Ahmad Nahrowi Mukhtarom Putra pasangan KH. Hardja Muhammad dan Nyai Salamah yang merupakan generasi ketiga Imam Masjid Darussalam (Masjid Kauman Purbalingga).

Dari Kedua orang tuanya Tersebut Syekh Nahrowi mendapatkan pendidikan Agama. Setelah beranjak usia dewasa akhirnya Syekh Nahrowi ditemani kakak kandungnya (Abu Ammar) hijrah ke Makkah untuk menimba ilmu kepada Ulama' besar tanah Arab. Seperti :

1. Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki.

2. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah.

3. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan. Mufti madzab Syafi’iyah di Makkah.

4. Syaikh Ahmad An-Nahrawi al-Mishri al-Makki.

5. Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi dll.

Setelah bertahun² mondok di jazirah Arab akhirnya kakak Beliau (Abu Ammar) pulang ke tanah jawa. Namun, Syaikh Nahrowi masih berkeinginan untuk menetap. Bahkan oleh Pemerintah Saudi Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru yang mengajar santri dari berbagai Negara. Dari sinilah Syekh Nahrowi memiliki banyak santri dan pengikut.

Bahkan oleh Pemerintah Saudi Beliau di angkat menjadi ( Mufti ) hakim agung di Arab Saudi.

Bahkan, Tak satupun Ulama' haromain (Makkah- Madinah ) kala itu yang tidak mentashihkan kitab Karangannya kepada Beliau.

Beliau Syekh Nahrowi selain menjadi Ulama' dan Mufti, Beliau juga merupakan Mursyid ( Guru ) Thoriqoh Syadziliah. Sebuah Thoriqoh Mu'tabaroh di Indonesia yang secara besar besaran muncul pada abad ke 19 dan dibawa pulang oleh santri² Beliau seperti :

1. K.H. Muhammad Nahrowi Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang.

2. Kyai Siroj, Payaman, Magelang.

3. K.H. Achmad Ngadirejo, Klaten.

4. Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal.

5. Syaikh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas.

Dan Tentu bukan hanya mereka Para murid Syekh Nahrowi yang membawa pulang kemursyidan Tersebut.

Kyai Idris jemsaren Solo salah satunya. Beliau Kyai Idris mengambil sanad kemursyidan melalui Beliau Syekh Muhammad ashalih yang juga merupakan guru dari Syekh Nahrowi Al-Makki. Sedang Beliau Syekh Nahrowi Al-Makki Mengambil sanad Kemursyidan dari Beliau Sayyid Ali bin Thohir Al-Madani.

Salah satu ulama yang menjadi Guru Para Ulama' di Mekkah adalah Sayyid Syaikh Nahrowi Mutharom Al-Banyumasi Al-Jawi Tsumal Makki. Beliau adalah Ulama' kelahiran Purbalingga. 

Syaikh Nahrowi lahir di pusat Kabupaten Purbalingga pada tahun 1860. Beliau putra dari KH. Hardja Muhammad dan Salamah. Kyai Harja adalah Imam Masjid Kauman Purbalingga, sekarang Masjid Agung Darussalam.

Syaikh Nahrowi memiliki kakak bernama KH. Abu ‘Ammar. Keduanya mendapatkan ilmu Islam dari ayahnya. Di usia 10 tahun, Nahrowi kecil dan kakaknya berangkat ke Makkah untuk menimba ilmu. Keduanya berguru pada ulama-ulama mumpuni di Haramain (Makkah dan Madinah).

Seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, Syaikh MuhammadShalih Al-Mufti Al-Hanafi, dll.

Setelah mengenyam ilmu yang dirasa cukup, kakaknya, KH. Abu 'Amar pulang ke Purbalingga dan menjadi Imam Masjid Agung Purbalingga. Sedangkan Syeikh Nahrowi tetap tinggal di Makkah dan menjadi Guru di situ.

Menurut KH. Muzahid Danun, cucu Syeikh Nahrowi yang tinggal di Den Haag Belanda, sebenarnya kakeknya itu ingin pulang ke Purbalingga.

Namun saat naik ke kapal Belanda, kapten kapal selalu beralasan bahwa mesin kapal tidak bisa dinyalakan kalau dinaiki Syeikh Nahrowi. Hal itu terjadi hingga tiga kali dan Syeikh Nahrowi akhirnya dikenal memiliki kesaktian." Namun bukan itu alasannya. Itu politik Belanda. Belanda khawatir, kalau Syeikh Nahrowi pulang ke Indonesia, akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Purbalingga dan sekitarnya melawan Belanda". Katanya saat dihubungi oleh Penulis.

Di Masjidil Haram, Syaikh Nahrowi Muhtarom diangkat oleh Pemerintah Saudi menjadi Guru di Masjidil Haram. Bahkan, dengan tingkat keilmuannya, Syeikh Nahrowi diangkat menjadi hakim agung di Arab Saudi.

Luasnya ilmu yang dimilikinya, namun tawadhu' dan tidak mau menonjolkan ilmunya, banyak ulama dari belahan dunia menjadi muridnya. Beliau juga menjadi Mursyid Thariqah Syadziliyah yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah.

Dari Nusantara, beberapa ulama besar pernah berguru padanya. Antara lain:

1. Syaikh Nawawi Al Bantani.

2. Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi.

3. Syaikh Mahfudz Al Tremasi.

4. Syaikh Soleh Darat.

5. Syaikh Cholil Al-Bangkalani.

6. Syaikh Junaid Al-Batawi.

7. KH. Muhammad Dalhar Watucongol Muntilan.

8. Kyai Siroj Payaman Magelang.

9. KH Ahmad Ngadirejo Klaten.

10. Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib Kaliwungu Kendal.

11. Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaahfi III). 

12. Sumolangu Kebumen.

13. Syaikh Abdul Malik Kedungparuk Kembaran Purwokerto.

Tiada hari dihabiskan oleh Syaikh Nahrowi untuk mengajarkan ilmunya.

KH. Muzahid Danun, cucunya menceritakan, kakeknya mengajar di Kampung Falaq, sekitar 700 meter dari Masjidil Haram sejak pagi hingga menjelang Mahgrib. Saat hendak shalat, Beliau lalu berjalan kaki dari tempat mengajar hingga Masjidil Haram.

"Sepanjang jalan, setiap orang selalu mencium tangan beliau hingga masuk Masjidil Haram," tambahnya. 

Selain mengajar, Syaikh Nahrowi juga menjadi pentahsih kitab Para Ulama'. Menurut Habib Luthfi bin Yahya, yang juga murid Syaikh Abdul Malik Kedungparuk Purwokerto, tidak ada satu pun pengarang kitab di Haramain (Mekkah dan Madinah), terutama dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Syaikh Nahrowi Muharom.

Syaikh Nahrawi Muhtarom Al-Banyumasi Al-Jawi Tsumal Makki wafat pada tahun 1926 . Beliau dimakamkan di Ma'la bersebelahan dengan makam salah satu muridnya, Syaikh Nawawi Al Bantani.

والله اعلم بالصواب


https://www.hwmi.or.id/2023/07/ulama-makkah-sayyid-syaikh-nahrowi.html?m=1

Thursday 20 July 2023

Puasa Muharam

Bulan Muharram adalah bulan yang paling utama setelah bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
وَأَفْضَلُ الْأَشْهُرِ شَهْرُ اللهِ الَّذِي تَدْعُونَهُ الْمُحَرَّمَ
Bulan yang paling utama adalah bulannya Allah, yang kalian sebut dengan Muharram. (HR. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra no. 4202)
Imam Ibnu Rajab menjelaskan:
واطلاقه في هذا الحديث "أفضل الأشهر" محمول على ما بعد رمضان
Secara umum, makna “bulan yang paling utama” dalam hadits ini adalah bulan yang paling utama setelah Ramadhan. (Lathaif al-Ma’arif, hal. 34)
Hikmah puasa Muharram sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan dijelaskan oleh Imam As Suyuthi, beliau berkata:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ إِنَّمَا كَانَ صَوْم الْمحرم أفضل الصّيام من أجل أَنه أول السّنة المستأنفة فَكَانَ استفتاحها بِالصَّوْمِ الَّذِي هُوَ أفضل الْأَعْمَال
“Berkata Al Qurthubi, sesungguhnya dijadikannya Muharram sebagai puasa yang paling utama krn ini muharram adalah pembuka tahun, maka membuka tahun dengan melakukan puasa merupakan sebaik-baiknya amal." (Syarh As Suyuthi 'ala Muslim, jilid. 3, hal. 252)

Puasa di bulan Muharram secara umum -tanggal berapa pun- adalah puasa yang terbaik setelah puasa Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل
“Puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharam.” (HR. Muslim No. 1163)
Hadits ini tidak mengkhususkan tanggalnya, oleh karena itu Imam Ali Al Qari berkata:
وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ أَفْضَلِيَّتُهُ لِمَا فِيهِ مِنْ يَوْمِ عَاشُورَاءَ لَكِنَّ الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُرَادَ جَمِيعُ شَهْرِ الْمُحَرَّمِ ... قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: قَالَ أَئِمَّتُنَا: أَفْضَلُ الْأَشْهُرِ لِصَوْمِ التَّطَوُّعِ الْمُحَرَّمُ، ثُمَّ بَقِيَّةُ الْحُرُمِ: رَجَبٍ وَذِي الْحِجَّةِ وَذِي الْقِعْدَةِ
Kemungkinan keutamaan yang ada di dalamnya adalah puasa hari Asyura, namun yang benar maksudnya adalah di semua (hari) bulan Muharram. .... Imam Ibnu Hajar berkata: "Para imam kami berkata, bahwa bulan yang utama untuk puasa sunnah adalah Muharram, lalu bulan haram sisanya: yaitu Rajab, Dzulhijjah, dan Dzulqa'dah. (Mirqah Al Mafatih, 4/1411)
Maka, seseorang bisa saja berpuasa di tanggal awal, tengah, atau akhir di bulan Muharram. Semua itu masuk keumuman cakupan makna “puasa Muharram”
Secara khusus disunnahkan puasa Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram). 
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada tentang Puasa Muharram- tentang tingkatan puasa Asyura:

وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب : أدناها أن يصام وحده ، وفوقه أن يصام التاسع معه ، وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم .

  “Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan: 
1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10)
2. Puasa hari ke-9 dan ke-10.
3. Paling tinggi   puasa hari ke-9, 10, dan ke-11. Wallahu A’lam” 
(Fathul Bari,  6/280)


Wednesday 12 July 2023

Bagaimana Nadzar Qurban?

Assalamu'alaikum
Izin bertanya, Bagaimana Qurban bisa menjadi nadzar? Bagaimana hukum memakan daging Qurban Nadzar? 
 Vvvvvvv
Anisa R
yJawabvv HV:
Wa'alaikumsalam j
Dalam Fathul Qarib disampaikan bavy vvvvyg tctvyhwa hukum Al-Udhhiyah  ( Qurban) hukumnya adalah sunnah kifàyah muakkadah. Sehingga, v vhvvvvvvgfketika salah satu dari penghuni suatu rumah terjaditelah ada yang melaksanakannya, maka sudah mencukupi dari semuanya. Al-Udhhiyah tidak bisa wàjib kecuali dengan nadzar.
vvrcDalam Fath Al-Qorib disebutkactgn, nadzar adalah:x
اِلْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لاَزِمَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ
“Mewajibkan suatu bentuk ketaatantcct  yang berdasarkan syariat asalnya cuxt  fycwajyvccib.”
vvgc
Dalam Kitab Tadzhib halaman 254:
... وَشَرْعًا الوَعْدُ بِالخَيْرِ خَاصَّةُ أو اِلْتِزَامُ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ بِأصْلِ الشَّرْعِ... وَالثَّانِى أنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعَلَّقٍ كَأنْ يَقُولَ للهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أو حَجٌّ أو غَيْرُ ذَلِكَ.ٌ و َجٌّ و َيْرُ َلِكَ..
Y
'Pengertian nadzar secara syara' berarti janji melakukan kebaikan tertentu atau menetapkan (mewajibkan dirinya) melakukan perkara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang perkara tersebut pada hukum asalnya tidak wajib' Yang kedua: adanya nadzar tersebut tidak diambangkan/digantungkan pada sesuatu seperti ucapan: 'Dem TTI Allah, wajib bagiku puasa atau haji  TTIPu yang lainnya.

Bagaimana nadzar bisa terjadi, tcerdapat dalam kitab Bajuriy juz 2 halaman 329:
وَأرْكَانُهُ ثَلاَثَةٌ: نَاذِرٌ وَمَنْذُورٌ وَصِيْغَةٌ ... وَفِى الصِّيغَةٍ كَونُهَا لَفْظًا يُشْعِرُ بِاللإلْتِزَامِ وَفِى مَعْنَاهُ مَا مَرَّ فِى الضَّمَانِ كَللَّهِ عَلَيَّ كَذَا وَعَلَyvيَّ كَذَا فَلاَ تَصِحُّ بِالنِيَّةِ كَسَائِرِ العُقُودِ وَلاَ بِمَا لاَيُشْعِرُ بِالإلْتِزَامِ كَأَفْعَلُ كَذَا.
Rukun-rukun nadzar ada tiga:
1. orang-rang yang nadzar 
2. perkara yang dinadzari 
3. sighat (ucapan yang menunjukkan nadzar)' Dalam masalah sighat, adalah adanya lafal (ucapan) yang menunjukkan adanya penetapan dan dalam pengertian penetapan (mewajibkan) ini adalah keterangan bab dlaman (tanggungan). Yaitu seperti kata 'Demi Allah wajib atasku perkara seperti ini atau wajib atasku perkara seperti ini. Maka sighat tidak sah hanya sekedar niat (tanpa diucapkan), sebagaimana juga tidak sah semua aqad hanya dengan niat. Juga tidak sah sighat yang tidak menunjukkan penetapan (mewajibkan) seperti ucapan: 'Saya melakukan seperti ini'.

Nadzar itu mesti diucapkan dan diniatkan, tidak cukup direncanakan di hati tapi tidak dilafazkan. Tidak cukup pula diucapkan, tapi tidak ada niat untuk nadzar. 

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وهل يصح (النذر) بالنية من غير قول ؟ الصحيح باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول , ولا تنفع النية وحدها "
Apakah sah nazar dengan niat, tapi tanpa ucapan? Yang shahih menurut kesepakatan para sahabat (Syafi’iyah), maka itu tidak sah kecuali dengan perkataan dan  niat saja tidaklah bermanfaat. (Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, 8/435)
 
Begitu pula dikatakan Imam Al Mardawi Rahimahullah:
 ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع "
Tidak sah nazar kecuali dgn diucapkan, jika dia meniatkan tapi tanpa ucapan, maka tidak sah dan ini tidak ada perbedaan pendapat. (Al Inshaf, 11/118)

Ayat-ayat dan hadits tentang nadzar menunjukkan bahwa nadzar memang diucapkan.Allah Ta'ala berfirman:
إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku,  sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Ali 'Imran, Ayat 35) 
فَكُلِي وَٱشۡرَبِي وَقَرِّي عَيۡنٗاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلۡبَشَرِ أَحَدٗا فَقُولِيٓ إِنِّي نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَٰنِ صَوۡمٗا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡيَوۡمَ إِنسِيّٗا
Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. Maryam, Ayat 26)

Dalam hadits, Umar bin Khathab Radhiallahu 'Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ
 “Wahai Rasulullah, aku pernah bernazar pada masa jahiliyah untuk beri’tikaf malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nadzarmu!” (HR. Bukhari No. 6697)

Sebaliknya, ucapan rencana atau janji tapi tanpa maksud nadzar, itu juga tidak dikatakan nadzar.  Misal, seseorang berkata: "Nanti sore saya mau ke rumah Pak Guru", ini kalimat rencana biasa. 

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 34075:
فالمتلفظ بالنذر إما أنه تلفظ به من غير قصد التلفظ به أصلاً، كأن يريد أن يقول شيئاً فسبق لسانه بلفظ النذر، فهذا لا يلزمه شيء
Orang yang melafazkan kata nazar yang pada asalnya tidak ada maksud melafazkannya, seolah lisannya itu keceplosan mengatakan nadzar, maka ini tidak ada kewajiban apa pun baginya. 

Ada beberapa ucapan-ucapan Jumhurul Ulama' (mayoritas ulama) pada keterangan di bawah ini mengenai nadzar dan qurban:

Kitab Bajuriy juz 2 halaman 310:
وَقَولُهُ مِنَ الأُضْحِيَّةِ المَنْذُورَةِ اى حَقِيْقَةً كَمَا لَو قَالَ: للهِ عَلَيَّ ان أُضْحِيَ بِهَذِهِ, فَهَذِهِ مُعَيَّنَةٌ بِالنَذْرِ إبْتِدَاءً, كَمَا لَو قَالَ للهِ عَلَيَّ أُضْحِيَّةٌ... أوْ حُكْمًا كَمَا لَوْ قَالَ هَذِه اُضْحِيَةٌ اَو جَعَلْتُ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ فَهَذِهِ وَاجِبَةٌ بِالجَعْلِ لَكِنَّهَا فِى حٌكْمِ المَنْذُرَةِ.

Yang termasuk qurban nadzar sebenarnya adalah seperti apabila seseorang berkata: 'Demi Allah wajib atasku berqurban dengan ini' maka ucapan itu jelas sebagai nadzar sejak awal. Hal ini sebagaimana apabila seseorang berkata 'Demi Allah wajib atasku qurban" atau secara hukum sebagai nadzar. Seperti bila seseorang berkata: Ini adalah hewan qurban' atau diucapkan 'Aku menjadikan ini sebagai hewan qurban'. Maka ini adalah wajib disebabkan kata 'menjadikan', akan tetapi dalam konteks hukum yang dinadzari.

Kitab Bajuriy juz II halaman 305
... مِنْ قَوْلِهِمْ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ, تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ الأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يَقْبَلُ قَولُهُمْ, أرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ وَقَالَ الشِبْرَامَلِسِى: لاَيَبْعُدُ اِغْتِفَارُ ذَلِكَ العَوَام وَهُوَ قَرِيْبٌ... نَعَمْ لاَتَجِبُ بِقَولِهِ وَقْتَ ذَبْحِهَا: اللَّهُمَّ هَذِهِ اُضْحِيَتِى فَتَقَبَّلْ مِنِّى يَاكَرِيْمُ.

'Dari perkataan orang-orang, 'Ini adalah hewan qurban,' maka hewan qurban tersebut menjadi wajib. Tersebab perkataan itu haram hukumnya memakan dagingnya. Tidak diterima alasan (atas perkataan itu) mereka 'Aku menghendakinya sebagai qurban sunah' Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama. Imam Sibromalisi berkata: '(Tetapi) bagi orang awam (orang yang belum mengetahui hukum ucapan tersebut) maka mudah untuk dimaafkan. Perkataan Imam Sibromalisi ini mudah untuk difahami (diterima)' Memang demikianlah hukumnya, namun qurban tidak menjadi wajib sebab ucapan orang waktu menyembelihnya: Ya Allah ini adalah hewan qurbanku, maka semoga Engkau menerimanya dariku, wahai Dzat Yang Maha Mulia'.

Kitab Sulaiman Kurdi juz 2 halaman 204
وَقَالَ العَلاَّمَةُ السَّيِّد عُمَرُ البَصْرِى فِى حَوَاشِ التُّحْفَةِ يَنْبَغِى أَنْيَكُونَ مَحَلُّهُ مَالَمْ يَقْتَصِدُ الأَخْبَارُ فَإنْ قَصَدَهُ اى هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِى أُرِيْدُ التَّضْحِيَةِ بِهَا فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الجَوَابُ كَذَالِكَ فِى نَازِلَةٍ وَقَعَتْ لِهَذَا الحَقِيْر وَهِيَ اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَحْصٌ آخَرَ فَقَالَ مَاهَذِهِ فَقَالَ أُضْحِيَتِى.

Al Allamah As Sayid Umar Al Bashriy berkata dalam komentar atas kitab Tuhfatul Muhtaj: Seyogyanya letak status nadzar itu ialah selagi tidak bermaksud memberi kabar. Kemudian jika memang bermaksud memberi kabar, 'Kambing ini yang saya maksudkan untuk qurban', maka tak ada penentuan dan berlakukan jawaban. Demikian pula dalam peristiwa yang terjadi pada seorang, yakni seseorang membeli kambing untuk digunakan qurban lalu bertemu dengan seseorang lain kemudian bertanya: 'Apa ini?' Maka jawab si orang tadi: 'Qurbanku'.

Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin juga disebutkan tentang Kurban wajib ini, Jika seseorang berkata : “ini adalah hewan kurbanku”. Tetapi menurut imam al-Bulqini dan imam al-Maraghi berpendapat bahwa perkataan itu saja tidak menjadikan hewan kurban menjadi nadzar yang hukumnya wajib.

Hal ini di perjelas dalam keterangan kitab Tuhfat al-Muhtaj ; jika ucapan “ini adalah hewan kurbanku” di maksudkan hanya memberikan kabar (ikhbar) maka hukumnya tidak menjadi wajib, ini yang biasanya terlaku dikalangan masyarakat awam.

Salah satu fenomena yang sering terjadi juga jika seorang pedagang atau peternak membawakan kambing untuk dijual atau lainnya, ketika ditanyakan kepada mereka,”apakah itu kambing untuk kurban”, pemilik kambing menjawab : “ya, kambing ini untuk kurban”,
Lantas apakah semata perkataan saja seperti redaksi tersebut dapat merubah menjadi kurban wajib? 

Ternyata perkataan seseorang ketika sebagai ikhbar (mengkhabarkan) saja. Seperti yang kita ketahui bahwa “khabar” merupakan sebuah ucapan yang ihtimal (kemungkinan benar dan salah). Sesuatu yang ihtimal belum bisa dijadikan sandaran hukum serta memerlukan kepada murajih (penyokong)nya.

Oleh karena itu, bisa dihukumi perkataan seseorang ketika membawa hewan kurban menjawab “ya ini hewan kurban”  menjadi  udhiyyah wajibah (kurban wajib) jika disertai dengan insya’ (keinginan). Intinya harus ada insya’ (keinginan) dari orang yang berkata tersebut bukan hanya semata lafalnya. 

Di samping itu ada juga dalam masyarakat sering terjadi ketika tercapai sebuah cita-cita atau harapannnya, maka terucaplah perkataan: “Demi Allah saya akan berkurban dengan hewan ini,” wajiblah orang tersebut berudhiyyah pada waktu itu.
Walaupun hewan yang akan dikurbankan tadi tidak memenuhi kriteria hewan kurban, namun tidak boleh diganti dengan yang lain sekalipun itu hewan udhiyah yang lebih bagus dan memenuhi kriteria. Sedangkan niat saja dalam hati itu tidak dihitung dalam pandangan syara sebagai nazar, mesti diucapkan (Nihayah Muhtaj: 8: 136, Tuhftul Muhtaj: 8: 412-413, Al-Bajuri: II: 296)

Jadi berdasar keterangan-keterangan di atas maka ucapan tanpa niat dalam hati tidak menjadikan Kurban seseorang menjadi Kurban yang wajib karena Nadzar. Namun sebagai kehati-hatian dalam shighat (ucapan) saat menyerahkan perwakilan penyembelihan (pasrah wakil). Karena sebagaimana keterangan di atas, perubahan nadzar dari sunah ke wajib itu bisa karena sebuah ucapan. Agar terhindar dari perubahan hukum kurban, maka kita dapat:
1. Menghindari kata isyarah (ini/itu/menunjuk hewan)
2. Setiap menjawab pertanyaan terkait hewan kurban, maka kita niatkan jawaban kita hanya sebatas memberi kabar (ikhbar).

Lalu pertanyaan kedua tentang memakan daging kurban wajib. Dalam kitab Fathul Qorib di jelaskan :
(ولا يأكل المضحي شيئاً من الأضحية المنذورة) 
بل يجب عليه التصدق بجميع، فلو لحمها أخره فتلفت لزمه ضمانها (ويأكل من الأضحية المتطوع بها) ثلثاً على الجديد وأما الثلثان فقيل يتصدق بهما، ورجحه النووي في تصحيح التنبيه. وقيل يهدي ثلثاً للمسلمين الأغنياء ويتصدق بثلث على الفقراء من لحمها ولم يرجح النووي في الروضة وأصلها شيئاً من هذين الوجهين

Orang yang melaksanakan kurban tidak diperkenankan memakan apapun dari kurban yang dinadzari.
Bahkan bagi dia wajib mensedekahkan semua dagingnya.
Kemudian, seandainya ia menunda untuk mensedekahkannya hingga rusak, maka wajib baginya untuk mengganti.
Ia diperkenankan memakan sepertiga dari binatang kurban yang sunnah menurut pendapat al Jadid.Sedangkan untuk dua sepertiganya, maka ada yang mengatakan harus disedekahkan, dan ini diunggulkan oleh imam an Nawawi di dalam kitab Tashhih at Tanbih. Dan ada yang mengatakan, bahwa ia menghadiahkan sepertiga dari dagingnya kepada kaum muslimin yang kaya dan mensedekahkan sepertiganya kepada kaum faqir. Di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, imam an Nawawi tidak mengunggulkan salah satu dari dua pendapat ini.

Jadi tidak boleh bagi peng kurban wajib memakan daging kurbanya. 
Wallahu a'lam

Temanggung, 13 Juli 2023
Ta' Rouf Yusuf


 

Wednesday 5 July 2023

Hukum Berqurban dengan Kerbau

Apa Hukum berqurban dengan kerbau? Apakah diterima? 

Hamba Allah, +62 812-2563 xxxx

Hewan kurban harus dalam bentuk “bahimatul an’am” sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” [Al-Hajj Ayat 34]

Bahimatul an’am adalah unta, sapi dan kambing. Beberapa ulama menyamakan antara sapi dan kerbau. "Al-Baqar” merupakan jenis spesies hewan yang mencakup “al-‘Irab” (sejenis sapi) dan “al-Jawamis” (kerbau). Bila seseorang bersumpah tidak memakan daging “al-Baqar” maka dihukumi melanggar sumpah disebabkan memakan “al-Jamus” (kerbau). Sebab “al-Jamus” (kerbau) merupakan bagian dari jenis “al-Baqar” (sapi).

Bahkan ada klaim ijma bahwa kerbau sama dengan sapi sebagaimana perkataan Imam Ibnu Mundzir berkata,

و أجمعوا على أن حكم الجواميس حكم البقر

“Para ulama bersepakat bahwa hukum kerbau sebagaimana hukum sapi.” [Al-Ijma’ hal. 52]

Dalam Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah Para ulama menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis. 

Juga ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Diantara pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana keterangan di Hasyiyah al-Bajirami, Syekh Sulaiman al-Bujairimi mengatakan:

 قوله (من البقر الإنسي) ومنه الجاموس وإنما قيد بذلك في البقر دون غيره لأن غيره لم يوجد منه وحشي. 

“Ucapan -Syekh Khotib -dari sapi jinak, di antaranya adalah kerbau. Syekh Khotib membatasi sapi dengan jinak bukan kepada hewan lain, sebab hewan kurban lainnya tidak ditemukan istilah liar” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Iqna’, juz 4, hal. 332).

Syekh Muhammmad Nawawi bin Umar al Jawi berkata: 
ـ(والثني من البقر) الإنسي وهو (ما له سنتان وطعن في الثالثة) ومنه الجاموس الإنسي وخرج بالإنسي الوحشي فلا يجزئ في الأضحية وإن دخل في اسم البقر والجاموس ولم يوجد من غيرهما وحشي. 
“Dan (mencukup dalam kurban) yaitu hewan yang berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga dari sapi yang jinak. Dan termasuk ke dalam jenisnya sapi adalah kerbau yang jinak. Dan dikecualikan dari sapi/ kerbau jinak yaitu sapi/ kerbau liar, maka tidak cukup untuk dijadikan kurban walaupun termasuk ke dalam jenisnya sapi/ kerbau. Dan tidak ditemukan dari selain keduanya istilah hewan yang liar. (Syekh Muhammmad Nawawi bin Umar al Jawi, Tausyikh ‘Ala Ibni Qosim, Surabaya: Nur al Huda, hal. 269)

Jadi dapat kita simpulkan dari pendapat para ulama tentang kebolehan berqurban dengan kerbau. 

Wallahu a'lam bi shawab



Saturday 17 June 2023

Hukum memaki Cincin di Jari Tengah dan Telunjuk

Assalamu'alaikum
Apakah hukum memakai cincin di jari telunjuk? Di jari mana sebaiknya seseorang memakai cincin? 
Wati

Jawab :

Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh
Rasulullah biasa memakai cincin di jari kelingkingnya sebagaimana hadits. 
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ خَاتِمُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى هَذِهِ. وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصَرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengenakan cincin di sini.” Anas berisyarat pada jari kelingking di tangan sebelah kiri. (HR. Muslim no. 2095).

Dalam SyarahvShahih Muslim Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa yang sesuai sunnah, cincin pria diletakkan di jari kelingking. Sedangkan untuk wanita, cincin tersebut diletakkan di jari mana saja.” 

Beliau juga menyampaikan larangan bagi laki-laki memakai cincin di jari tengah dan telunjuk sebagaimana dalam hadits.
Dari ‘Ali bin Abi Tholib, ia berkata,

نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَتَخَتَّمَ فِى إِصْبَعِى هَذِهِ أَوْ هَذِهِ. قَالَ فَأَوْمَأَ إِلَى الْوُسْطَى وَالَّتِى تَلِيهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang padaku memakai cincin pada jari ini atau jari ini.” Ia berisyarat pada jari tengah dan jari setelahnya. (HR. Muslim no. 2095).

Imam Nawawi menyebutkan dalam riwayat lain selain Riwayat Imam Muslim bahwa yang dimaksud adalah jari telunjuk dan jari tengah.

Imam Nawawi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan larangan memakai cincin di jari telunjuk dan jari tengah bagi laki-laki adalah makruh tanzih bukan bermakna haram).

Imam Nawawi juga menyatakan bahwa para ulama sepakat bolehnya memakai cincin di jari tangan kanan atau di jari tangan kiri. Tidak dimakruhkan di salah satu dari kedua tangan tersebut. Para ulama cuma berselisih pendapat saja manakah di antara keduanya yang afdhal. Kebanyakan salaf memakainya di jari tangan kanan, kebanyakannya lagi di jari tangan kiri. Imam Malik sendiri menganjurkan memakai di jari tangan kiri, beliau memakruhkan tangan kanan. Sedangkan ulama Syafi’iyah yang shahih, jari tangan kanan lebih afdhal karena tujuannya adalah untuk berhias diri. Tangan kanan ketika itu lebih mulia dan lebih tepat untuk berhias diri dan juga sebagai bentuk pemuliaan. 

Jadi dapat kita simpulkan bahwa jari tangan yang terbaik untuk memakai cincin bagi laki-laki adalah jari kelingking. Adapun jari yang terlarang (makruh) dipakaikan cincin adalah jari tengah dan jari telunjuk. Dibolehkan di pakai pada jari manis. Adapun untuk wanita, tidak ada larangan khusus berkaitan dengan cincin, wanita bebas memakai cincin di jari mana saja yang ia kehendaki. Wallahu a’lam.

Thursday 15 June 2023

Hukum Berdiri Menghormati Ulama Atau Orang Terhormat

Assalamualaikum..Afwan ustadz, apa hukum berdiri menghormati ulama? 
Deo
08132xxxx

Jawab

Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..
Ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
.
من أحب أن يمثل له الرجال قياما فليتبوأ مقعده من النار
.
“Barangsiapa yang suka seseorang berdiri untuknya, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad )

Dalam hadits hadits tersebut tentang orang yang menginginkan dihormati. 

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, mengutip dari Imam Ath Thabariy Rahimahullah sebuah penjelasan tentang hadits di atas:

 إِنَّمَا فِيهِ نَهْيُ مَنْ يُقَامُ لَهُ عَنِ السُّرُورِ بِذَلِكَ لَا نَهْيَ مَنْ يَقُومُ لَهُ إِكْرَامًا لَهُ

Ini adalah larangan bagi orang yang senang jika ada orang yang berdiri untuknya, bukan larangan bagi orang yang berdiri untuk penghormatan. (Fathul Bari, 11/50)

Beliau juga mengutip dari Ibnu Qutaibah, dia berkata:

وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهِ نَهْيَ الرَّجُلِ عَنِالْقِيَامِ لِأَخِيهِ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْهِ وَاحْتَجَّ بن بَطَّالٍ لِلْجَوَازِ بِمَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيقِ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى فَاطِمَةَ بِنْتَهُ قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ

Hadits ini bukan bermaksud larangan seseorang berdiri untuk memuliakan saudaranya jika dia salam kepadanya. 

Ibnu Baththal berhujjah kebolehan berdiri berdasarkan riwayat An Nasa'i, dari jalur Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah  Radhiyallahu 'Anha, bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam jika melihat putrinya - Fathimah- dia akan menyambutnya, lalu berdiri dan menciumnya,  dan memegang tangannya serta membawanya duduk ke tempatnya. 

Kebolehan menyambut dengan cara berdiri kepada orang terhormat, orang tua, ulama, orang Shalih, diperkuat oleh dalil berikut ini.

Ketika Sa'ad bin Mu'adz Radhiallahu 'Anhu (tokoh Anshar) datang, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang Anshar:

قوموا الى سيدكم 

Berdirilah kalian untuk pemimpin kalian

(HR. Bukhari dan Muslim)

Ada pun bagi orang yang dihormati tersebut, dia tidak boleh berharap, tidak boleh juga kecewa kalau orang-orang tidak menghormati. 

Wallahu a'lam

Hukum Memotong Kuku dan Rambut bagi yang akan berQurban

Assalamu'alaikum
Apa hukum memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berqurban, ketika memasuki bulan Dzulhijjah? 
Ana
085xxxxxx

Jawab :
Dalam Madzhab Syafi’i disunnahkan untuk tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku bagi orang yang akan berqurban sampai selesai penyembelihan.

Imam Asy-Syairazi dalam matan Al-Muhazzab menyebutkan :

ولا يجب عليه ذلك لأنه ليس بمحرم فلا يحرم عليه حلق الشعر ولا تقليم الظفر

Dan hal itu bukan kewajiban, karena dia tidak dalam keadaan ihram. Maka tidak menjadi haram untuk memotong rambut dan kuku.

Madzhab imam syafi'i menyimpulkan bahwa hadits Ummu Salamah  radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda

إِذَا دَخَل الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا

,”Bila telah memasuki hari yang sepuluh dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kulitnya.” (HR. Muslim)

Bahwa larangan ini bukan larangan yang bersifat haram (karahatu at-tahrim), melainkan sebagai larangan yang bersifat makruh (karahatu at-tanzih).

Selain itu yang membuat mahzhab Syafi'i yah tidak mewajibkan, karena ada hadits lain yang membolehkan atau tidak mengharamkan potong kuku dan rambut, yaitu hadits dari Aisyah yang menguatkan bahwa larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukan bersifat keharaman.

كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللهِ  ثُمَّ يُقَلِّدُهاَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا وَلاَ يُحْرِمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ لَهُ حَتىَّ يَنْحَرَ الهَدْيَ

Dari Aisyah radhiyallahuanha, beliau berkata,”Aku pernah menganyam tali kalung hewan udhiyah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, kemudian beliau mengikatkannya dengan tangannya dan mengirimkannya dan beliau tidak berihram (mengharamkan sesuatu) atas apa-apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa ta'alla , hingga beliau menyembelihnya. (HR. Bukhari Muslim)
Walllahu a'lam

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...