Thursday 12 November 2015

Masjid Al Aqsha


Masjid al-Aqsha adalah salah satu di antara tiga masjid mulia yang memiliki keutamaan besar bagi umat Islam. Keutamaan tersebut langsung dijelaskan oleh Allah dalam ayat-ayat Alquran dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda-sabda beliau.

Secara historis, masjid kedua yang dibangun di muka bumi ini juga memiliki peran sentral dalam perkembangan peradaban manusia, karena sejak dahulu tempat ibadah ini menjadi tempat tersebarnya syiar-syiar para nabi ‘alaihim ash-shalatu wa salam. Dan ia berada di Kota Jerusalem, sebuah kota yang menyaksikan begitu banyak nabi yang Allah utus dan berdakwah di sana, sebuah kota yang menyediakan air yang diminum oleh para utusan Allah, udara yang mereka hirup, dan tanah tempat mereka berpijak dan merebahkan tubuh mereka yang mulia.

Yang paling utama dari para nabi dan rasul itu adalah khalilu-r Rahman, Nabi Ibrahim‘alaihissalam, kemudian Nabi Ishaq, Ya’qub, Dawud, Sulaiman, Musa, Harun, Zakariya, Yahya, Isa ‘alaihim ash-shalatu wa salam. Nabi Yunus ‘alaihissalam pernah membebaskannya dari orang-orang yang ingkar kepada Allah, Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam berziarah ke sana dalam peristiwa isra mi’raj, dan nabi-nabi lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Namun, di balik berbagai keutamaan yang dimilikinya tidak sedikit umat Islam yang belum mengenalnya dan tahu tentang sejarahnya. Mudah-mudahan artikel pendek ini, bisa memberikan sedikit informasi terhadap salah satu masjid yang sangat dicintai umat Islam ini.

Nama-Nama Masjid al-Aqsha

Sebelum jauh mengenal tentang Masjid al-Aqsha, hal pertama yang hendaknya kita ketahui adalah nama-namanya.

Pertama, Masjid al-Aqsha. Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya menyebut nama masjid ini dengan Masjid al-Aqsha.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra: 1)

Kata al-aqsha artinya adalah jauh. Disebut jauh, karena letaknya yang jauh dari Masjid al-Haram (masjid pertama di muka bumi).

Kedua, al-Ardhu al-Mubarakah (tanah yang penuh keberkahan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ

“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anbiya: 81)

Mengapa dikatakan penuh keberkahan? Karena di tempat ini banyak diutus nabi dan rasul dan Allah memberkahi penduduknya, tumbuh-tumbuhannya, dan buah-buahannya.

Ketiga, Baitul Maqdis (tempat suci). Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لما كذبتني قريش، قمت في الحجر فجلا الله لي بيت المقدس

“Ketika orang-orang Quraisy mendustakan aku, aku berdiri di Hijr (Hijr Ismail) kemudian Allah memperjalankan aku ke Baitul Maqdis…” (Muttafaqun ‘alaih)

Boleh juga menamakan masjid ini dengan menyebutnya Masjid al-Aqsha al-Mubarak. Adapun menamakannya dengan al-Haram asy-Syarif adalah sesuatu yang tidak tepat. Mengapa? Karena di tempat tersebut diperbolehkan berburu, menebang pohon, dan mengambil barang temuan yang semua ini dilarang dilakukan di Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi. Larangan-larangan di Masjid al-Aqsha sama halnya dengan larangan di masjid-masjid lainnya, seperti: larangan transaksi jual-beli, mengangkat suara, dll.

Manakah Yang Disebut Masjid al-Aqsha?

Di sini banyak sekali terjadi kekeliruan, ketika disebut Masjid al-Aqsha banyak orang menyangka bahwa Masjid al-Aqsha adalah salah satu bangunan yang ada di sana. Ada yang mengatakan Masjid al-Aqsha adalah bangunan yang memiliki kubah berwarna kehitaman atau perunggu. Pendapat-pendapat yang ada tersebut seakan saling berbenturan dan ada yang mengatakan pencitraan Qubbatu Shakhrakh (Dome of The Rock, bangunan dengan kubah berwarna kuning) sebagai Maasjid al-Aqsha adalah konspirasi Yahudi agar umat Islam tidak mengenal Masjid al-Aqsha. Benarkah demikian?

Pendapat yang insya Allah lebih tepat adalah Masjid al-Aqsha al-Mubarak merupakan nama bagi seluruh daerah yang dipagari, yang di dalamnya terdapat Qubbatu Shakhrakh, al-Jami’ al-Qibli (inti dari Masjid al-Aqsha), dan Musholla al-Marwani.

Luas Masjid al-Aqsha

Luas Masjid al-Aqsha adalah 144 dunum (satu dunum = 100 m2). Luas Masjid al-Aqsha ini tidak bertambah dan berkurang dalam kurun sejarahnya, berbeda dengan luas Masjid al-Haram dengan Masjid an-Nabawi yang terus mengalami perluasan. Barangsiapa yang shalat dalam komplek Masjid al-Aqsha ini, baik di bawah pepohonan yang ada di sana, teras-teras bangunan, di Qubbatu Shakhrakh, atau di Jami’ al-Qibli, maka pahala shalatnya akan dilipatgandakan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abi Dzar radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Kami (para sahabat) sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami membicarakan mana yang lebih utama Masjid Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawipen.) ataukah Masjid Baitul Maqdis.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

صلاة في مسجدي هذا أفضل من أربع صلوات فيه ولنعم المصلى وليوشكن أن لا يكون للرجل مثل شطن فرسه من الأرض حيث يرى منه بيت المقدس خير له من الدنيا جميعا” أو قال: “خير من الدنيا وما فيها”

“Satu shalat di masjidku lebih utama dari empat shalat di Masjid al-Aqsha, dan Masjid al-Aqsha adalah tempat shalat yang baik. Dan hampir tiba suatu masa, dimana seseorang memiliki tanah seukuran tali kekang kudanya, dari tempat itu terlihat Baitul-Maqdis, hal itu lebih baik baginya dari dunia seluruhnya atau beliau mengatakan lebih baik dari dunia dan segala yang ada di dalamnya.” (HR. Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Pembangunan Masjid al-Aqsha

Masjid al-Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi ini. Tidak ada satu bentuk tempat ibadah pun yang ada di muka bumi saat Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha dibangun. Para ulama berpendapat masjid ini dibangun oleh para malaikat atau oleh Nabi Adam ‘alaihissalam. Namun pendapat yang paling kuat adalah Masjid al-Aqsha dibangun oleh Nabi Adam. Jarak waktu pembangunan Masjid al-Haram dengan Masjid al-Aqsha adalah 40 tahun. DalamShahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan,

يا رسول الله: أي مسجد وُضِع في الأرض أولا؟ قال: المسجد الحرام، قلت: ثم أي؟ قال: المسجد الأقصى، قلت: كم بينهما؟ قال: أربعون سنة، وأينما أدركتك الصلاة فصل، فهو مسجد”

“Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali dibangun di muka bumi?” Beliau menjawab, “Masjid al-Haram.” Aku kembali bertanya, “Kemudian?” Beliau menjawab, “Masjid al-Aqsha.” Kutanya lagi, “Berapa tahunkah jarak pembangunan keduanya?” Beliau kembali menjawab, “40 tahun. Dimanapun engkau menjumpai waktu shalat, maka shalatlah, karena tempat (yang engkau jumpai itu) adalah masjid.”

Saat banjir besar yang melanda bumi di masa Nabi Nuh, masih bisa dijumpai sisa-sisa bangunan Masjid al-Aqsha yang dibangun oleh Nabi Adam.

Ibnu Hisyam dalam kitab at-Tijan fi Muluki-l Hamir mengatakan, “Setelah Adam‘alaihissalam membangun Ka’bah, AllahTa’ala memerintahkannya untuk menempuh perjalanan ke Baitul Maqdis. Jibril mengawasi (atau memperhatikan) bagaimana Baitul Maqdis itu dibangun. Setelah Nabi Adam selesai membangunnya, beliau menunaikan ibadah di dalamnya.”

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tinggal dan memakmurkan Masjid al-Aqsha sekitar tahun 2000 SM, kemudian dilanjutkan anak-anak beliau dari kalangan para nabi, yakni Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub ‘alaihimassalam. Pada sekitar tahun 1000 SM, dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Dalam Sunan Ibnu Majah diriwayat sebuah hadits dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمَّا فَرَغَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ مِنْ بِنَاءِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ ثَلَاثًا: حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ، وَمُلْكًا لَا يَنْبَغِي لَأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ، وَأَلَّا يَأْتِيَ هَذَا الْمَسْجِدَ أَحَدٌ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فِيهِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ” فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ

“Ketika Nabi Sulaiman merampungkan pembangunan Baitul Maqdis, beliau memohon kepada Allah tiga permintaan: (1) Memberi putusan hukum yang sesuai dengan hukum Allah, (2) Diberikan kerajaan yang tidak patut dimiliki oleh seorang pun setelah dirinya, (3) dan agar tak seorang pun yang datang ke Masjid al-Aqsha dengan keinginan menunaikan shalat di dalamnya, kecuali dihapuskan segala kesalahannya, (sehingga ia suci) seperti saat hari kelahirannya.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, “Permintaan pertama dan kedua telah diberikan, dan aku berharap yang ketiga pun Allah kabulkan.” (HR. Ibnu Majah, no. 1408. Al-Albani mengatakan hadits ini shahih).

Secara tekstual, kita dapati hadits ini seolah-olah bertentangan dengan pendapat pertama yang mengatakan bahwa Nabi Adam-lah yang membangun Masjid al-Aqsha bukan Nabi Sulaiman. Para ulama, seperti Ibnul Jauzi, al-Qurthubi, dan selain keduanya menjelaskan bahwa yang dimaksud pembangunan oleh Nabi Sulaiman adalah perbaikan bukan membangunnya dari awal, sebagaimana Nabi Ibrahim membangun ulang Masjid al-Haram setelah Nabi Adam membangunnya pertama kali. Hal ini dikarenakan terdapat kerusakan yang diakibatkan banjir pada zaman Nabi Nuh.

Di saat Umar bin al-Khattab mengembalikan masjid ini ke pangkuan cahaya tauhid pada tahun 15 H/636 M, beliau radhiallahu ‘anhumembangun Jami’ al-Qibli sebagai inti dari Masjid al-Aqsha. Kemudian di masa kekuasaan Khalifah Bani Umayyah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, beliau membangun Qubbatu Shakhrakh (Dome of The Rock) dan pada masa Bani Umayyah juga Jami’ al-Qibli dan komplek Masjid al-Aqsha terus diperbaiki, setidaknya perbaikan terus berlangsung selama 30 tahun, mulai dari tahun 66 H/ 685 M – 96 H/715 M. Perbaikan itu membentuk bangunan Masjid al-Aqsha al-Mubarak seperti yang kita lihat saat ini.

Keutamaan Masjid al-Aqsha

Pertama, keutamaan Masjid al-Aqsha bukanlah suatu rahasia yang tersembunyi, keutamaannya begitu masyhur walau bagi orang awam sekalipun. Siapa yang tidak tahu, kalau ia adalah kiblat umat Islam sebelum Ka’bah al-Musyarrafah? Ibnu Abbasradhiallahu ‘anhuma mengatakan,

كان رسول الله يصلي وهو بمكة نحو بيت المقدس والكعبة بين يديه وبعدما هاجر إلى المدينة ستة عشر شهرا ثم صرف إلى الكعبة

“Dahulu Rasulullah shalat di Mekah dengan menghadap Baitul Maqdis dan Ka’bah beliau posisikan di hadapannya. Setelah 16 bulan dari hijrah beliau ke Madinah, beliau shalat dengan menghadap Ka’bah.” (HR. Ahmad).

Kedua, keutamaan lainnya yang sangat dikenal oleh umat Islam adalah Masjid al-Aqsha merupakan tempat isra Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra: 1)

Dan pada momen isra itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam shalat bagi para nabi. hal ini menunjukkan betapa berkahnya tempat ini.

Ketiga, al-Aqsha adalah permukaan bumi yang dipilih Allah menjadi tempat landasan dari bumi menuju sidratul muntaha (mi’raj).

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ -وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ– قَالَ: فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ -قَالَ- فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِى يَرْبِطُ بِهِ الأَنْبِيَاءُ -قَال – ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيلُ صلى الله عليه وسلم اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ. ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ”

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Dibawakan kepadaku Buraq. Ia adalah hewan tunggangan berwarna putih, lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari bighal. Ada tanda di setiap ujungnya.” Beliau melanjutkan, “Aku mengikat Buraq itu di salah satu pintu Baitul Maqdis, tempat dimana para nabi mengikat hewan tunggangan mereka. Kemudian aku masuk ke dalamnya dan shalat dua rakaat. Setelah itu aku keluar dari masjid, lalu Jibril mendatangiku dengan membawa bejana yang berisi khamr dan susu. Aku memilih yang berisi susu, lalu Jibrilshallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Engkau telah memilih fitrah’. Setelah itu, kami pun mi’raj menuju langit.” (HR. Muslim)

Seandainya Allah menakdirkan, mi’raj dilakukan dari Masjid al-Haram pastilah Allah mampu melakukannya, akan tetapi Allah menetapkan agar Nabi dan Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam mi’raj dari Masjid al-Aqsha, agar kaum muslimin tahu kedudukan masjid ini dan agar masjid tersebut memiliki tempat istimewa di hati-hati umat Islam.

Keempat, Masjid al-Aqsha al-Mubarak adalah di antara tiga masjid yang boleh diniatkan secara khusus untuk mengunjunginya.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِالرَّسُولِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (untuk beribadah) kecuali ketiga masjid: Masjid al-Haram, Masjid Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Masjid al-Aqsha.” (HR. Bukhari).

Pembakaran Masjid al-Aqsha

Peristiwa terbakarnya Masjid al-Aqsha adalah buah dari berkuasanya orang-orang zionis Yahudi di wilayah tersebut. Mereka hendak menghilangkan atau setidaknya mengaburkan peninggalan-peninggalan peradaban Islam dan meredupkan syiar-syiarnya di bumi al-Quds.

Pada tanggal 21 Agustus 1969 bersamaan dengan 8 Jumadil Akhir 1389 H, tentara-tentara zionis menyerang Masjid al-Aqsha dan memasukinya melalui beberapa pintu yang ada. Hingga sampailah mereka di bangunan utama komplek Masjid al-Aqsha yakni Mushollah al-Qibli. Mereka memasuki tempat itu kemudian membakarnya di beberapa titik seperti bagian mihrab, mimbar, di dekat kubah masjid, dll. Para zionis itu juga memutuskan saluran air menuju ke masjid dan menghalangi upaya masyarakat untuk memadamkannya

Api yang dinyalakan di beberapa titik masjid kemudian menjalar kebagian-bagian lainnya dan hampir saja membakar kubah masjid jika tidak segera dipadamkan oleh kaum muslimin dan orang-orang Nasrani yang turut membantu memadamkannya. Akhirnya api-api yang berkobar di masjid tersebut dapat dipadamkan dengan gotong royong masyarakat membawa air dari sumur-sumur yang ada di sana.

Pembakaran tersebut berdampak pada hilangnya peninggalan-peninggalan lama di Musholla al-Qibli. Mimbar yang merupakan peninggalan Shalahuddin al-Ayyubi hancur terbakar, membakar teras utara, beberapa atap, kubah dan ukiran-ukiran klasik yang ada padanya, dan beberapa peningglan-peningglana kuno lainnya.

Dalam pemberitaan orang-orang Yahudi mengklaim kebakaran disebabkan gangguan arus listrik, sementara orang-orang Arab menyatakan hal itu murni kesengajaan yang dilakukan oleh penjajah Yahudi di Palestina. Akhirnya, seorang pemuda berkebangsaan Australia, Dennis Michael Rohan, ditetapkan sebagai tersangka. Namun tidak beberapa lama ditangkap, ia pun kembali dibebaskan.

Keadaan Masjid al-Aqsha Saat Ini

Dalam beberapa abad, orang-orang Yahudi khususnya zionis, mengklaim bahwa Masjid al-Aqsha dibangun di atas sebuah tempat ibadah Yahudi yang mereka sebut dengan al-Haikal al-Yahudi. Oleh karena itu, sejak tahun 1976 berlaku hal-hal berikut ini:

– Terjadi gangguan dan penyerangan terhadap umat Islam yang sedang menunaikan ibadah di Masjid al-Aqsha bahkan di antara mereka terbunuh di dalamnya.

– Pembakaran beberapa bagian masjid, upaya penggusuran dan pengrusakan

– Orang-orang Yahudi menguasa beberapa bagian dari masjid, seperti pintu bagian barat, dinding Buraq diganti menjadi dinding ratapan, dan umat Islam dilarang untuk mendekatinya.

– Umat Islam tidak dibebaskan untuk mendatangi Masjid al-Aqsha dan shalat di dalamnya, sedangkan orang-orang Yahudi malah mendapatkan kebebasan.

– Penggalian terowongan di bagian pondasi wilayah tersebut yang menyebabkan beberapa bangunan retak.

– Upaya pencegahan untuk memperbaiki beberapa bangunan yang telah rusak dan retak.

Penutup

Masjid al-Aqsha adalah milik umat Islam karena ia merupakan warisan dari risalah langit yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syariat Islam juga mengimani para rasul, kitab-kitabnya, dan membenarkan inti dari ajaran para nabi dan rasul tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS. Al-Maidah: 48)

Keimanan kepada para nabi dan rasul serta kitab-kitab yang Allah turunkan menjadi bagian dari rukun keimanan dalam Islam. Adapun umat-umat yang mengklaim mengikuti ajaran nabi-nabi terdahulu, maka klaim tersebut adalah suatu kebohongan karena realisasinya jauh dari yang semestinya. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi yang telah mengingkari ajaran-ajaran nabi dan rasul tidak patut mengklaim berhak atas al-Aqsha.

Sumber: islamstory.com

Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


Ulil Albab



إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal," (Ali Imran :190)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan, Ulil Albab adalah orang yang mampu memadukan antara tadzkir ( mengingat ) dan tafkir ( berpikir ). Tadzkir di sini berarti senantiasa mengingat Allah Ta'ala dalam beragam aktifitasnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Sedangkan tafkir adalah berusaha memahami penciptaan langit, bumi dan seisinya dari segala macam segi, baik dari manfaat maupun fungsi penciptaanya. Sebagai buah dari tadzkir dan tafkir, ulul albab akan meyakini bahwa tidak ada satu pun penciptaan oleh Allah yang sia-sia. Semua memiliki posisi dan fungsinya masing-masing. Maka keimanan dan keyakinan merekapun semakin kuat, dan dari hal ini kemudian akan melahirkan sikap tawadhu' atau merasa rendah diri di hadapan Allah.

Sifat inilah yang menjadi target pendidikan Islam. Pendidikan seharusnya melahirkan manusia pemikir yang taat sepenuhnya kepada Allah dalam setiap aktifitas hidupnya. Tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia yang mau mempergunakan semua sarana yang telah Allah berikan dalam kehidupan dunia ini sebagai jalan untuk beramal shalih dengan niat mencari keidhaan Allah.

Setiap aktifitas ulul albab adalah dalam rangka beribadah kepada Allah termasuk dalam menganalisa segala fenomena dalam kehidupan, semua di niatkan karena Allah dan merupakan pewujudan ketaatanya kepada Allah, bukanya pemikir yang congkak dan sombong akan hukum-hukum Allah sehingga berani mengubah dan melawan hukum Allah.

Maka jika saat ini, sulit bagi kita menemukan ulul albab maka pasti ada yang salah dengan proses penanaman tadzkir dan tafkir dalam pendidikan kita, dalam proses pembelajaran dan materi pembelajaranya.

Kecenderungan pendidikan kita saat ini lebih menitikberatkan tafkir saja dan cenderung mengesampingkan tadzkir.

Kalau kita melihat pendidikan Islam masa lalu yang begitu gemilang maka kita akan menemukan metode yang lebih menitikberatkan pada tadzkir namun juga memaksimalkan akal manusia dalam berpikir. Metode mentadaburi Al Quran dengan memaksimalkan tadzkir dan tafkir mampu menghasilkan ilmuwan muslim yang brilian di bidang ilmu kedokteran, sains, matematika,geografi dan bahkan di seluruh cabang ilmu yang bermanfaat.  Wallahu a'lam


Hikmah Kisah-Kisah dalam Al Quran

Hikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam al Quran sangat banyak sekali, di antaranya yang paling penting adalah:

Pertama, agar difikirkan, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya

Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir(QS. Al A'raf: 176)

Kedua, untuk menguatkan hati Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah:

Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman(QS. Huud: 120)

peneguhan hati dengan kisah Al Quran ini selain untuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, juga untuk selain beliau. Betapa banyak para ulama dan orang-orang beriman memetik manfaat dari kisah para nabi dan yang lainnya. Betapa banyak kisah-kisah Quran tersebut menjadi penerang yang memberikan petunjuk kepada manusia.

Ketiga, dalam kisah-kisah al Quran terdapat hikmah bagi orang-orang yang berfikir.

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (Yusuf: 111)

Keempat, mengambil hikmah dan pesan dari kondisi umat-umat sebelumnya. Jika mereka adalah orang-orang yang binasa, maka umat ini pun perlu diberitahu dan diminta waspada terhadap apa yang membuat umat-umat terdahulu binasa. Jika mereka termasuk orang-orang yang sukses, maka umat ini pun perlu mengambil pelajaran dengan meniti jejak kesuksesan mereka.

Kelima, mengenal bagaimana kemampuan Allah memberikan berbagai macam hukuman kepada orang-orang yang menyimpang, sesuai dengan hikmah yang telah ditetapkanNya.

Keenam, mengenal penegakkan hujjah kepada manusia dengan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab. Mengenal bagaimana para umat terdahulu menghadapi Rosul mereka, apa yang terjadi ketika mereka ingkar kepada para Rasul dan apa yang terjadi ketika mereka menerima seruan para Rasul. Sebagaimana yang Allah firmankan setelah menceritakan sejumlah RasulNya :

Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(QS. An Nisaa: 164-165).


Wednesday 11 November 2015

Adab-adab tilawah

Ketika membaca Al-Quran, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Quran:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Quran seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, orang yang membaca Al-Quran dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.(At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.

Rosululloh bersabda, siapa saja yang membaca Al-Quran (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami. (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Quran sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Quran setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Quran sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Quran dengan khusyu, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Alloh Ta'ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'  (QS. Al-Isra': 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, hiasilah Al-Quran dengan suaramu. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Quran  (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Quran dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur'an dimulai dengan istiadzah.

Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya, dan bila kamu akan membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk. (QS. An-Nahl: 98)

Membaca Al-Quran dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu.

Rosululloh shollallohu alaihiwasallam bersabda, ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca Al-Quran (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a'lam


Siapakah Ahlul Qur'an??

Siapakah yang dimaksud ahlul quran dan ahlullah (keluarga Allah) atau hamba-hamba khusus bagi Allah dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :

Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, siapakah mereka ya Rasulullah ? Rasul menjawab, para ahli Al Quran. Merekalah keluarga Allah dan hamba pilihanNya(HR. Ahmad)

Simak penjelasan Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafizhahullah- berikut:

Yang dimaksud ahlul quran bukan orang yang sekedar menghafal dan membacanya saja. Ahlul quran (sejati) adalah yang mengamalkannya, meskipun ia belum hafal Quran. Orang-orang yang mengamalkan Al-Quran menjalankan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak melanggar batasan-batasan yang digariskan Al-Quran, mereka itulah yang dimaksud ahlul quran, keluarga Allah serta orang-orang pilihannya Allah. Merekalah hamba Allah yang paling istimewa.

Adapun orang yang hafal Al-Quran, membaguskan bacaan Quran nya, membaca setiap hurufnya dengan baik. Namun jika ia menyepelekan batasan-batasan yang digariskan Al-Quran, ia bukan termasuk dari ahlul quran. Tidak pula termasuk dari orang-orang khususnya Allah.

Jadi ahlul quran adalah orang yang berpedoman dengan Al-Quran (dalam gerak-gerik kehidupannya), ia tidak menjadikan selain Al-Quran sebagai panutan. Mereka mengambil fiqih, hukum-hukum dari Al-Quran, serta menjadikannya sebagai pedoman dalam beragama..


Tuesday 10 November 2015

Mata yang tak tersentuh ap neraka

Allah menyebutkan salah satu ciri seorang yang berimana dalah hatinya peka terhadap Al-Quran. Peka dan bergetar ketika disebut nama Allah. Allah Ta'ala berfirman,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal. (QS. Al-Anfal: 2).

Mata terkadang menagis ketika dibacakan Al-Quran.
Suatu ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam berlinang air mata ketika dibacakan Al-Quran.
Dari Ibnu Masud radhiallahu beliau berkata:
Suatu ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku, bacakanlah al-Quran kepadaku. Maka kukatakan kepada beliau, wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Quran kepada anda sementara al-Quran itu diturunkan kepada anda?. Maka beliau menjawab, sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku. Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka. (QS. an-Nisaa : 40). Maka beliau berkata, cukup, sampai di sini saja. Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya (HR. Tirmidzi no. 1633).

Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, ..........dan seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis) (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).

Dan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam,

Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi [1338])


Monday 9 November 2015

kisah Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub



Siapa tak kenal kitab Alfiyah? Seolah memancarkan berkah tak kunjung habis, nahdham seribu bait yang mengulas ilmu nahwu ini dipelajari terus di berbagai majelis ilmu hingga kini.

Pengarangnya, Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau tersohor dengan sebutan Ibnu Malik, merupakan pakar gramatika Arab ternama dari Andalusia (Spanyol). Alfiyah yang merupakan ringkasan karya sebelumnya, al-Kafiyah asy-Syafiyah, pun dipuji banyak cendekiawan, dan melahirkan berjilid-jilid kitab syarah dan karya komentar yang sudah tak terbilang.

Namun demikian, ada cerita menarik di sela proses penulisan muqaddimah nadham luar biasa yang masih dilantunkan di berbagai pesantren dan madrasah ini.

………………

وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)

تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat)

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)

Sampai di sini Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya ulama sebelumnya, yakni Ibnu Mu'thi. Dalam kitab Hasyiyah al-'Allâmah Ibnu Hamdûn 'ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik, dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dengan bait:

فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ ................

(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…....)

Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yang hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.

“Aku mendengar kau sedang mengarangAlfiyah tentang ilmu nahwu?”

“Betul,” sahut Ibnu Malik.

“Sampai di mana?”

“Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”

“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?”

“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya lagi.

“Kau ingin menuntaskannya?”

“Ya.”

Lalu orang dalam mimpi itu menyambung baitفَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ yang terpotong dengan وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ (Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati). Terang saja, orang hidup meski cuma seorang dijamin sanggup mengalahkan berapa pun banyaknya orang yang tak punya kuasa pembelaan lantaran sudah mati.

Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan sang pengarang Alfiyah

Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau Ibnu Mu’thi?”

“Betul.”

Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna:

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)

وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat)

Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalamAlfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya. Dalam sebuah hadits disebutkan:âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat).

Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu, sehebat apapun, menjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang tak kunjung padam hingga sekarang.

kh Abdurahman Navis

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...