Wednesday 12 October 2016

Tafsir Surat Al Maidah :51-53 ( Ibnu Katsir )

Al-Maidah, ayat 51-53

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51) فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ (52) وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ (53)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di anta­ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kami akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana, " Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.

Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin mengangkat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah melaknat mereka. Kemudian Allah memberitahukan bahwa sebagian dari mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.

Selanjutnya Allah mengancam orang mukmin yang melakukan hal itu melalui firman-Nya:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Muhammad (Yakni Ibnu Sa'id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Iyad, bahwa Umar pernah memerintahkan Abu Musa Al Asyari untuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yang diberikannya (yakni pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretaris Abu Musa saat itu adalah seorang Nasrani. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Khalifah Umar r.a. Maka Khalifah Umar merasa heran akan hal tersebut, lalu ia berkata, "Sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapat membacakan untuk kami sebuah surat di dalam masjid yang datang dari negeri Syam?" Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Dia tidak dapat melakukannya." Khalifah Umar bertanya, "Apakah dia sedang mempunyai jinabah?" Abu Musa Al-Asy'ari berkata, "Tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani." Maka Khalifah Umar membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, "Pecatlah dia." Selanjutnya Khalifah Umar membacakan firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah mencerita­kan kepada kami Usman ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Atabah pernah berkata, "Hendaklah seseorang di antara kalian memelihara dirinya, jangan sampai menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani, sedangkan dia tidak menyadarinya." Menurut Muhammad ibnu Sirin, yang dimaksud olehnya menurut dugaan kami adalah firman Allah Swt. yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah : 51), hingga akhir ayat.

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Asim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai sembelihan orang-orang Nasrani Arab. Maka ia menjawab, "Boleh dimakan."  Allah Swt. hanya berfirman: Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51)

Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abuz Zanad.

****

Firman Allah Swt.:

{فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ}

Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya. (Al-Maidah: 52)

Yaitu keraguan, kebimbangan, dan kemunafikan.

{يُسَارِعُونَ فِيهِمْ}

bersegera mendekati mereka. (Al-Maidah: 52)

Maksudnya, mereka bersegera berteman akrab dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani secara lahir batin.

{يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ}

seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana." (Al-Maidah: 52)

Yakni mereka melakukan demikian dengan alasan bahwa mereka takut akan terjadi suatu perubahan, yaitu orang-orang kafir beroleh kemenangan atas kaum muslim. Jika hal ini terjadi, berarti mereka akan memperoleh perlindungan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, meng­ingat orang-orang Yahudi dan Nasrani mempunyai pengaruh tersendiri  di kalangan orang-orang kafir, sehingga sikap berteman akrab dengan mereka dapat memberikan manfaat ini. Maka Allah Swt berfirman menjawab mereka:

{فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ}

Mudah-mudahan Allah akan memberikan kemenangan (kepada Rasul-Nya). (Al-Maidah: 52)

Menurut As-Saddi, yang dimaksud dengan al-Fathu dalam ayat ini ialah kemenangan atas kota Mekah. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kekuasaan peradilan dan keputusan.

{أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ}

atau sesuatu keputusan dari-Nya. (Al-Maidah: 52)

Menurut As-Saddi, makna yang dimaksud ialah memungut jizyah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani.

{فَيُصْبِحُوا}

Maka karena itu mereka menjadi. (Al-Maidah: 52)

Yakni orang-orang yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali mereka dari kalangan kaum munafik.

{عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ}

menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka (Al-Maidah: 52)

Yaitu menyesali perbuatan mereka yang berpihak kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani itu. Dengan kata lain, mereka menyesali perbuatan yang mereka lakukan karena usahanya itu tidak dapat memberikan hasil apa pun, tidak pula dapat menolak hal yang mereka hindari, bahkan berpihak kepada mereka merupakan penyebab utama dari kerusakan itu sendiri. Kini mereka keadaannya telah dipermalukan dan Allah telah menampakkan perkara mereka di dunia ini kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, padahal sebelumnya mereka tersembunyi, keadaan dan prinsip mereka masih belum diketahui. Tetapi setelah semua penyebab yang mempermalukan mereka telah lengkap, maka tampak jelaslah perkara mereka di mata hamba-hamba Allah yang mukmin. Orang-orang mukmin merasa heran dengan sikap mereka (kaum munafik itu), bagaimana mereka dapat menampakkan diri bahwa mereka seakan-akan termasuk orang-orang mukmin, dan bahkan mereka berani bersumpah untuk itu, tetapi dalam waktu yang sama mereka berpihak kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani? Dengan demikian, tampak jelaslah kedustaan dan kebohongan mereka. Untuk itulah Allah menyebutkan dalam firman-Nya:

{وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ}

Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kalian?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 53)

Para ahli qiraah berbeda pendapat sehubungan dengan huruf wawu dari ayat ini. Jumhur ulama menetapkan huruf wawu dalam firman-Nya:

وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا

Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan. (Al-Maidah: 53)

Kemudian sebagian dari mereka ada yang membaca rafa' dan mengatakan sebagai ibtida (permulaan kalimat). Sebagian dari mereka ada yang me-nasab-kannya karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya:

{فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ}

"Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. . (Al-Maidah: 53)

Dengan demikian, berarti bentuk lengkapnya ialah an-yaqula (dan mudah-mudahan orang-orang yang beriman mengatakan).

Tetapi ulama Madinah membacanya dengan bacaan berikut:

{يَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا}

Orang-orang yang beriman akan mengatakan. (Al-Maidah: 53)

Yakni tanpa memakai huruf wawu. demikian pula yang tertera di dalam mushaf mereka, menurut Ibnu Jarir.

Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan firman Allah Swt.: Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan kepada (RasulNya), atau sesuatu keputusdan dari Sisi-Nya. (Al-Maidah: 52) Sebagai konsekuensinya disebutkan dalam firman-Nya: Orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kalian?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 53).

Yakni tanpa memakai wawu. Demikianlah menurut salinan yang ada di tangan kami. Tetapi barangkali ada kalimat yang digugurkan padanya, karena menurut ungkapan Tafsir Ruhul Ma'ani disebutkan bahwa Ibnu Kasir, Nafi', dan Ibnu Amir membaca yaaulu tanpa memakai wawu dengan interpretasi sebagai isti-naf bayani. Seakan-akan dikatakan bahwa "lalu apakah yang dikatakan oleh orang-orang mukmin saat itu?".

Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menye­butkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal."Sedangkan yang lainnya menyatakan, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya." Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51). hingga beberapa ayat berikutnya.

Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah ibnu Abdul Munzir ketika Rasulullah Saw. mengutusnya kepada Bani Quraizah, lalu mereka bertanya kepadanya, "Apakah yang akan dilakukan olehnya terhadap kami?" Maka Abu Lubabah mengisya­ratkan dengan tangannya ke arah tenggorokannya, yang maksudnya bahwa Nabi Saw. akan menyembelih mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Menurut pendapat yang lain. ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, seperti apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، عَنْ عَطِيَّةَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: جَاءَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ، مِنْ بَنِي الْخَزْرَجِ، إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَوَالِي مَنْ يَهُودٍ كَثِيرٌ عَدَدُهُمْ، وَإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ مِنْ وَلَايَةِ يَهُودٍ، وَأَتَوَلَّى اللَّهَ وَرَسُولَهُ. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ: إِنِّي رَجُلٌ أَخَافُ الدَّوَائِرَ، لَا أَبْرَأُ مِنْ وِلَايَةِ مَوَالِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ: "يَا أَبَا الحُباب، مَا بَخِلْتَ بِهِ مِنْ وَلَايَةِ يَهُودَ عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَهُوَ لَكَ دُونَهُ". قَالَ: قَدْ قَبِلْتُ! فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ [بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ] } إِلَى قَوْلِهِ: {فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ}

bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis berikut dari Atiyyah ibnu Sa'd, bahwa Ubadah ibnus Samit dari Banil Haris ibnul Khazraj datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai teman-teman setia dari kalangan orang-orang Yahudi yang jumlah mereka cukup banyak. Dan sesungguhnya saya sekarang menyatakan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari mengambil orang-orang Yahudi sebagai teman setia saya, dan sekarang saya berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya." Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Sesungguhnya aku adalah seseorang yang takut akan mendapat bencana. Karenanya aku tidak mau berlepas diri dari mereka yang telah menjadi teman-teman setiaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah ibnu Ubay, "Hai Abul Hubab, apa yang engkau pikirkan, yaitu tidak mau melepaskan diri dari berteman setia dengan orang-orang Yahudi, tidak seperti apa yang dilakukan oleh Ubadah ibnus Samit. Maka hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk Ubadah." Abdullah ibnu Ubay berkata, "Saya terima." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51), hingga dua ayat berikutnya.

ثُمَّ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا هَنَّاد، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْر، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: لَمَّا انْهَزَمَ أَهْلُ بَدْرٍ قَالَ الْمُسْلِمُونَ لِأَوْلِيَائِهِمْ مِنْ يَهُودَ: آمِنُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِيَوْمٍ مِثْلَ يَوْمِ بَدْرٍ! فَقَالَ مَالِكُ بْنُ الصَّيْفِ: أَغَرَّكُمْ أَنْ أَصَبْتُمْ رَهْطًا مِنْ قُرَيْشٍ لَا عِلْمَ لَهُمْ بِالْقِتَالِ!! أَمَا لَوْ أمْرَرْنا الْعَزِيمَةَ أَنْ نَسْتَجْمِعَ عَلَيْكُمْ، لَمْ يَكُنْ لَكُمْ يَدٌ بِقِتَالِنَا فَقَالَ عُبَادَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنَ الْيَهُودِ كَانَتْ شَدِيدَةً أَنْفُسُهُمْ، كَثِيرًا سِلَاحُهُمْ، شَدِيدَةً شَوْكَتُهُمْ، وَإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ [تَعَالَى] وَإِلَى رَسُولِهِ مِنْ وِلَايَةِ يَهُودَ، وَلَا مَوْلَى لِي إِلَّا اللَّهُ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ: لَكِنِّي لَا أَبْرَأُ مِنْ وَلَاءِ يَهُودٍ أَنَا رَجُلٌ لَا بُدَّ لِي مِنْهُمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَبَا الْحُبَابِ أَرَأَيْتَ الَّذِي نَفَّسْتَ بِهِ مِنْ وَلَاءِ يَهُودَ عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَهُوَ لَكَ دُونَهُ؟ " فَقَالَ: إِذًا أقبلُ! قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ [بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ] } إِلَى قَوْلِهِ: {وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ}

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa ketika kaum musyrik mengalami kekalahan dalam Perang Badar, kaum muslim berkata kepada teman-teman mereka yang dari kalangan orang-orang Yahudi, "Masuk Islamlah kalian sebelum Allah menimpakan kepada kalian suatu bencana seperti yang terjadi dalam Perang Badar." Malik ibnus Saif berkata, "Kalian telah teperdaya dengan kemenangan kalian atas segolongan orang-orang Quraisy yang tidak mempunyai pengalaman dalam peperangan. Jika kami bertekad menghimpun kekuatan untuk menyerang kalian, maka kalian tidak akan berdaya untuk memerangi kami." Maka Ubadah ibnus Samit berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguh­nya teman-teman sejawatku dari kalangan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang berjiwa keras, banyak memiliki senjata, dan kekuatan mereka cukup tangguh. Sesungguhnya aku sekarang berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan orang-orang Yahudi. Sekarang bagiku tidak ada pemimpin lagi kecuali Allah dan Rasul-Nya." Tetapi Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tetapi aku tidak mau berlepas diri dari berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya aku adalah orang yang bergantung kepada mereka." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abul Hubab, bagaimanakah jika apa yang kamu sayangkan, yaitu berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi terhadap Ubadah ibnus Samit, hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk dia?" Abdullah ibnu Ubay menjawab, "Kalau begitu, aku bersedia menerima­nya." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Al-Maidah: 67)

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, kabilah Yahudi yang mula-mula berani melanggar perjanjian antara mereka dan Rasulullah Saw. adalah Bani Qainuqa.

فَحَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ قَالَ: فَحَاصَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى نَزَلُوا عَلَى حُكْمِهِ، فَقَامَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بن أبي بن سَلُولَ، حِينَ أَمْكَنَهُ اللَّهُ مِنْهُمْ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَحْسِنْ فِي مَوَالي. وَكَانُوا حُلَفَاءَ الْخَزْرَجِ، قَالَ: فَأَبْطَأَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَحْسِنْ فِي مَوَالِي. قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ. فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِي جَيْبِ دِرْعِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. "أَرْسِلْنِي". وَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رُئِي لِوَجْهِهِ ظُلَلًا ثُمَّ قَالَ: "وَيْحَكَ أَرْسِلْنِي". قَالَ: لَا وَاللَّهِ لَا أُرْسِلُكَ حَتَّى تُحْسِنَ فِي مَوَالي، أَرْبَعِمِائَةِ حَاسِرٍ، وَثَلَاثِمِائَةِ دَارِعٍ، قَدْ مَنَعُونِي مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ، تَحْصُدُهُمْ فِي غَدَاةٍ وَاحِدَةٍ؟! إِنِّي امْرُؤٌ أَخْشَى الدَّوَائِرَ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُم لَكَ."

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Asim ibnu Umar ibnu Qatadah yang mengatakan bahwa lalu Rasulullah Saw. mengepung mereka hingga mereka menyerah dan mau tunduk di bawah hukumnya. Lalu bangkitlah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul kepada Rasulullah, setelah Allah memberikan kemenangan kepadanya atas mereka. Kemudian Abdullah Ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Hai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku itu dengan baik, karena mereka adalah teman-teman sepakta orang-orang Khazraj." Rasulullah Saw. tidak melayaninya, dan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata lagi, "Hai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku ini dengan baik. Tetapi Rasulullah Saw. tidak mempedulikannya. Kemudian Abdullah ibnu Ubay memasukkan tangannya ke dalam kantong baju jubah Nabi Saw., dan Nabi Saw. bersabda kepadanya.”Lepaskanlah aku!" Bahkan Rasulullah Saw. marah sehingga kelihatan roman muka beliau memerah, kemudian bersabda lagi, "Celakalah kamu, lepaskan aku.  Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tidak, demi Allah, sebelum engkau bersedia akan memperlakukan teman-teman sejawatku dengan perlakuan yang baik. Mereka terdiri atas empat ratus orang yang tidak memakai baju besi dan tiga ratus orang memakai baju besi, dahulu mereka membelaku dari ancaman orang-orang yang berkulit merah dan berkulit hitam yang selalu mengancamku, sesungguhnya aku adalah orang yang takut akan tertimpa bencana." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Mereka kuserahkan kepadamu."

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: فَحَدَّثَنِي أَبُو إِسْحَاقَ بْنُ يَسار، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: لَمَّا حَارَبَتْ بَنُو قَيْنُقَاع رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَشَبَّثَ بِأَمْرِهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ، وَقَامَ دُونَهُمْ، وَمَشَى عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ أَحَدَ بَنِي عَوْف بْنِ الْخَزْرَجِ، لَهُ مِنْ حِلْفِهِمْ مِثْلَ الَّذِي لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ، فَجَعَلَهُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَبَرَّأَ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حِلْفِهِمْ، وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَبَرَّأُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مِنْ حِلْفِهِمْ، وَأَتَوَلَّى اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ، وَأَبْرَأُ مِنْ حِلْفَ الْكُفَّارِ وَوَلَايَتِهِمْ. فَفِيهِ وَفِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ نَزَلَتِ الْآيَاتُ فِي الْمَائِدَةِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ}

Muhammad ibnu Ishaq berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq ibnu Yasar, dari Ubadah ibnul Walid ibnu Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa ketika Bani Qainuqa' memerangi Rasulullah Saw., Abdullah ibnu Ubay berpihak dan membela mereka, sedangkan Ubadah ibnus Samit berpihak kepada Rasulullah Saw. Dia adalah salah seorang dari kalangan Bani Auf ibnul Khazraj yang juga merupakan teman sepakta Bani Qainuqa', sama dengan Abdullah ibnu Ubay. Ubadah ibnus Samit menyerahkan perkara mereka kepada Rasulullah Saw. dan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mereka. Lalu ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, saya berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mere­ka; dan sekarang saya berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin; saya pun menyatakan lepas dari perjanjian saya dengan orang-orang kafir dan tidak mau lagi berteman dengan mereka." Berkenaan dengan dia dan Abdullah ibnu Ubay ayat-ayat ini diturunkan,- yaitu firman Allah Swt. yang ada di dalam surat Al-Maidah: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Al-Maidah: 56)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ محمد بن إِسْحَاقَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَة، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ نَعُودُهُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَدْ كُنْتُ أَنْهَاكَ عَنْ حُبّ يَهُودَ". فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَقَدْ أَبْغَضَهُمْ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةَ، فَمَاتَ.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan bahwa ia pernah bersama dengan Rasulullah Saw. menjenguk Abdullah ibnu Ubay yang sedang sakit. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Aku pernah melarangmu jangan berteman dengan orang-orang Yahudi. Tetapi Abdullah ibnu Ubay menjawab, "As'ad ibnu Zararah pernah membenci mereka, dan ternyata dia mati."

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq.


Friday 7 October 2016

Perinrahkan Anakmu untuk Shalat

Perintahkanlah Anakmu Shalat

Shalat adalah pilar kedua dari lima pilar Islam. Shalat merupakan tiang agama, sehingga agama tidak akan pernah bisa dibangun dan tegak berdiri tanpa pilar shalat.

Sahabat Umar pernah berkata kepada salah seorang pegawainya," Menurutku, urusan terpenting kalian adalah shalat. Siapa yang mengabaikan shalat berarti terhadap hal-hal selain shalat dia akan lebih mengabaikan."  Dari perkataan Umar ini dapat kita simpulkan bahwa sumber segala kebaikan adalah shalat. Termasuk sumber kebaikan- kebaikan anak-anak kita di awali dari shalat.

Rasulullah shallallahu ‘a laihi wa sallam bersabda

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun dan pukulah mereka jika tidak shalat saat berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidur.” (HR : Abu Dawud )

Anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada orang tua. Maka, mendidik anak merupakan kewajiban orang tua karena termasuk pelaksanaan amanah. Terlebih khusus mendidik anak untuk shalat, karena ada perintah langsung dari Rasulullah untuk memerintahkan anak shalat. Dalam hadits di atas disebutkan “perintahkanlah”, kalimat ini disebutkan dengan kalimat perintah, dan kalimat perintah menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan.

Imam asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar tentang hadits itu “Hadits di atas menunjukkan wajibnya orang tua memerintahkan anaknya untuk shalat …”

Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam dalam Aunul Ma'bud berkata, “Hadits ini adalah perintah untuk para wali bukan perintah untuk anak kecil, karena anak kecil bukan sasaran hadits ini”

Sebagai orang tua kita berkewajiban mendidik anak untuk shalat, maka jika ia melalaikan kewajibannya maka ia akan diminta pertanggungjawabannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas yang ia pimpin, seorang amir adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, maka ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.” (HR: Bukhari- Muslim)

Disebutkan dalam hadits ini “seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas keluarganya”, termasuk di dalamnya adalah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya terlebih khusus pendidikan agama.

Setelah Rasulullah memerintahkan orangtua untuk memerintahkan shalat, dari hadits ini kita juga bisa mengambil cara bagaimana mendidik anak untuk shalat. Pendidikan shalat melalui beberapa tahap, yaitu : mengajarkan dan membiasakan anak shalat, memerintahkan anak untuk shalat, dan yang ketiga adalah memukul anak jika enggan atau membangkang saat diperintah untuk shalat.

Tahap pertama, yaitu tahapan mengajarkan dan membiasakan anak shalat harus dilakukan sebelum anak mencapai umur tujuh tahun. Karena saat anak berumur tujuh tahun, ia sudah diperintahkan untuk shalat. Agat efektif, dalam mengajarkan dan membiasakan shalat maka kita harus menyesuaikan dengan perkembangan psikologis. Di usia ini kita sebagai orang tua harus menjadi teladan dalam shalat, memberikan hadiah jika diperlukan dan mendo'akan dengan intens. Usahakan untuk tidak memaksa dan memberi beban yang lebih dari kemampuan anak agar anak tidak kehilangan kecintaan akan shalat. Tumbuh kembangkan rasa kecintaan kepada shalat yang merupakan fitrah anak.

Di antara perkataan salaf yang mendukung bahwa anak sudah mulai diajari shalat sebelum berumur tujuh tahun adalah perkataan Ibnu Umar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengajari anak-anak shalat saat mereka bisa membedakan mana kanan mana kiri.”

Jundub bin Tsabit berkata, “Mereka mengajari anak-anak untuk shalat saat mereka bisa berhitung sampai angka dua puluh.”

Kedua atsar ini menjelaskan bahwa mengajari anak shalat dilakukan sebelum anak berusia tujuh tahun, karena usia-usia tersebut anak sudah mampu membedakan mana kanan dan mana kiri dan sudah mampu berhitung sampai angka dua puluh. Anak yang sudah bisa membedakan kanan kiri atau menghitung hingga angka dua puluh tidak harus berusia tujuh tahun.

Selain itu, makna sabda Nabi “perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat” secara implisit merupakan perintah kepada orang tua untuk mengajari anak-anak shalat, termasuk rukun-rukun shalat, syarat-syarat sah shalat, dan lain sebagainya.

Adapun waktu untuk memerintahkan anak shalat adalah saat anak berusia tujuh tahun. Karenanya, Imam Abu Dawud membuat bab khusus dalam kitabnya “Bab kapan anak diperintahkan untuk shalat” lalu menyebutkan hadits di atas. Perlu dipahami, bahwa memerintahkan anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun bukanlah perintah bersifat wajib, namun perintah untuk membiasakan anak shalat.

Imam asy-Syaukani menyebutkan dalam Nailul Authar, “Bab diperintahkannya anak kecil untuk shalat sebagai pembiasaan bukan pengharusan”.

Mengapa harus usia tujuh tahun, di antara hikmahnya adalah Anak usia tujuh tahun sudah mulai meluas lingkungan bermainnya dan pengetahuannya, maka harus diimbangi dengan lingkungan agamis dan pengetahuan islami. Umur tujuh tahun juga masa-masa paling bagus bagi anak belajar segala macam ketrampilan, maka jika ia telah terampil menjalankan shalat, niscaya ia akan menjaga shalatnya saat telah tumbuh dewasa.

Anak usia tujuh tahun telah bisa membedakan, dan ia selalu melakukan perbuatan yang diperintahkan orang tuanya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang tuanya, sehingga jika diperintahkan untuk shalat niscaya ia segera memenuhinya.

Berbeda saat anak telah berusia sebelas tahun, maka memenuhi perintah orang tua tanpa ada perdebatan dulu merupakan sifat kekanak-kanakan menurut mereka. Dan jika anak telah tumbuh dewasa, maka jika ia bisa membantah perintah kedua orang tua biasanya ia akan merasa bahwa dirinya telah dewasa.

Oang tua juga harus memerintahkan anaknya saat usia tujuh tahun dengan memberi motivasi dan ajakan yang baik agar anak terbiasa shalat dengan cara terbaik yang bisa dilakukan. Kemudian saat anak usia sepuluh tahun, maka ia diperintahkan dengan perintah yang bersifat wajib, agar anak mau mengerjakan shalat. Jika anak enggan atau tidak memenuhi seruan orang tua, maka orang tua boleh memberikan pukulan mendidik yang bisa membuat mereka jera dan tidak menyakiti.

Perlu diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk mendidik anak. Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara lainnya terlebih dahulu, seperti menasihati, kemudian memperingatkan dengan keras, memberi ancaman hukuman jika memang anak termasuk orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan, barulah ia memukul anaknya.

Tentunya, saat memukul harus memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tidak lebih dari sepuluh kali, karena tujuan memukul adalah mendidik bukan menyakiti. Hal ini sesuai sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّه

“Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam hukuman pasti dari hukuman-hukuman yang Allah tentukan.” (HR: Bukhari)

2. Tidak memukul wajah, karena di wajah terdapat mata, hidung, mulut, lisan, dan bagian-bagian vital lainnya. Sehingga jika salah satu dari bagian ini cidera atau terganggu maka akan hilang fungsi vital dari organ tersebut. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ

“Apabila salah seorang di antara kalian hendak memukul, hendaklah ia menjauhi wajah.” (HR Ahmad)

3. Tidak memukul pada anggota tubuh yang vital dan membahayakan, seperti kemaluan, perut dan yang semisalnya.

4. Tidak memukul saat emosi dan marah. Karena marah hanya akan menyeret pelakunya kepada kebrutalan. Sehingga ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Memukulnya harus ikhlas karena Allah.

Jika orang tua memukul anaknya sesuai ketentuan-ketentuan di atas, maka hal ini diperbolehkan dan ia tidak berdosa. Adapun memukul anak dengan pukulan yang kelewat batas, maka ia berdosa. Hendaklah ia selalu ingat sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاه

“Sesungguhnya Allah lembut dan menyukai kelembutan, Allah memberikan manfaat atas kelembutan dengan manfaat yang tidak diberikan atas kekerasan dan tidak diberikan kepada yang lainnya pula.” (HR: Muslim)

Maka jika hadits Nabi ini kita amalkan dengan sepenuh hati, maka anak-anak yang mencintai shalat in sya Allah akan terwujud. Kebaikan shalat anak ini juga akan mengundang kebaikan-kebaikan agama yang lain.

Wallahu a'lam
Temanggung, 5 Muharram 1438.
Ta' Rouf Yusuf


Arti Tauhid dan cara menjaganya

Pertanyaan :
Assalamualaikum, pak ustadz.
Boleh tolong jelaskan tentang tauhid dan cra menjaganya?
Linda

Jawab:
Tauhid sesungguhnya merupakan fitrah dari manusia sejak Adam alaihissalam pertama kali diciptakan (QS. 7:172, 30:30). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Kata “Tauhid” dalam bahasa Arab merupakan masdar (kata dasar) dari kata: wahhada- yuwahhada-tauhid yang berarti mengesakan/mengakui keesaan.   

Tauhid sesungguhnya merupakan fitrah dari manusia sejak Adam alaihissalam pertama kali diciptakan (QS. 7:172, 30:30). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Dalam jami'ul bayan fi ta'wilil quran Imam  Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah  berkata,

نخلص له العبادة، ونوحد له الربوبية، فلا نشرك به شيئا، ولا نتخذ دونه ربا

“Kami memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, dan kami mengesakan bagi-Nya rububiyyah, maka kami tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga (dalam ibadah), dan kami tidak menjadikan selain-Nya sebagai Rabb.”

Kemudian untuk menjelaskan Tauhid para ulama beijtihad membagi tauhid menjadi beberapa macam. Ada yang membagi menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma wa shifat hal ini berdasarkan kajian terhadap pendapat-pendapat ulama salaf. Ada juga yang membagi menjadi empat macam tauhid sebagaimana dalam surat An Nas. Dan masih ada pendapat lain.

Dalam kitab Ats-Tsawabit wal Mutaghayyiraat fi Masiiroh Al-‘Amal Al-Islami Al-Mu’ashir, DR. Sholah Ash-Showi, mengatakan “Sesungguhnya pembagian tauhid hanyalah pembagian menurut istilah, tujuannya adalah mendekatkan permasalahan dan membuat sistematika pembelajarannya, sebagaimana para ulama telah membuat istilah-istilah untuk ilmu-ilmu lainnya. Berdasarkan hal ini maka tidak perlu ada perdebatan dalam istilah.

Dan dalam masalah ini tidaklah ada batas-batas yang memisahkan antara bagian tauhid yang masuk dalam kategori tauhid rububiyah, uluhiyah maupun asma’ was shifat, bahkan pembagian seperti ini sepanjang yang kami ketahui memang tidak berdasar pada suatu ayat yang muhkam ataupun sunnah yang diikuti, maka yang menjadi patokan sebagaimana yang mereka katakan adalah, sebuah istilah dipahami sesuai dengan maksud-maksudnya dan makna-maknanya, dan bukan lafaz-lafaz maupun cara-cara pengungkapannya.

Demikianlah, meskipun para ulama senantiasa menggunakan dan menetapkan pembagian ini sejak kurun waktu yang panjang sehingga menjadikan pembagian ini sebagai warisan salaf, maka sepatutnya diterima namun tanpa menjadikannya pijakan dalam wala’ dan bara’.”

Lalu bagaimana upaya kita dalam menjaga tauhid. Kalau ttauhid sudah merupakan fitrah adalah merawat dan menjaganya sebagaimana tanaman yang memerlukan pupuk. Cara menjaganya adalah dengan mengilmuinya dengan benar dan merawatnya dengan mengikut apa-apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.

Wallahu a'lam


Arti wala' dan baro'

Pertanyaan :
Apa arti wala' dan baro'?
Rajawali

Jawaban :

Al-Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain; mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah (الْمُوَالاَةُ) adalah lawan kata dari al-mu’aadaah(الْمُعَادَاةُ) atau al-‘adawaah(الْعَدَوَاةُ) yang berarti permusuhan. Dan kata al-wali (الْوَلِى) adalah lawan kata dari al-‘aduww (الْعَدُوُّ) yang berarti musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia merupakan kata yang mengandung dua arti yang saling berlawanan.

Dalam terminologi syari’at Islam, al-Wala’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang kafir.

Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِيءَ) berarti membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 1]

Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.

Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang di-benci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.

Maka, cakupan makna al-wala’ adalah apa yang dicintai Allah, sedangkan cakupan makna al-bara’ adalah apa yang di benci Allah.



Posted via Blogaway


Hukum menuntut ilmu dan taqlid

Pertanyaan :
Assalamu'allaikum ustad mohon pencerahanya tentang hukumnya menuntut ilmu ??
Dan tentang Taklit ??       
Nooristigfari
                                                                                                                                                                          Jawaban :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.

Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)

dalm Fathul Barri Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض
“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”.                                                                                                            

Sedangkan secara bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan sesuatu dileher seseorang. Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid.

1. Pengertian Pertama

Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:

قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”

Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.( Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450)

2. Pengertian Kedua

الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
“Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.”

Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.

Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini ( I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236)                                                                                                                                                                          

Ada 2 hukum taqlid.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       1. Taqlid yang haram

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :

a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.

b. Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.

c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

2. Taqlid yang dibolehkan

Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.

Ulama muta akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:

a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.

Wallahu a'lam





Muqodimah Al Fatihah

*KAJIAN TALQWAP*


سورة الفاتحة

(Pembukaan) Makkiyyah, 7 ayat.

Surat ini dinamakan Al-Fatihah —yakni Fatihatul Kitab— hanya secara tulisan; dengan surat ini bacaan dalam salat dimulai. Surat ini disebut pula Ummul Kitab menurut jumhur ulama —seperti yang dituturkan oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibnu Sirin— karena mereka tidak suka menyebutnya dengan istilah Fatihatul Kitab.

Al-Hasan dan Ibnu Sirin mengatakan.”Sesungguhnya Ummul Kitab itu adalah Lauh Mahfuz." Al-Hasan mengatakan bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah Ummul Kitab. Karena itu, keduanya pun tidak suka menyebut surat Al-Fatihah dengan istilah Ummul Qur'an.

Di dalam sebuah hadis sahih pada Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya, disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

" الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ "

Alhamdu lillahi rabbil 'alamina adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab. Sab'ul masani. dan Al-Qur'anul 'azim.

Surat Al-Fatihah  dinamakan pula Alhamdu (الْحَمْدُ) ,  juga disebut Ash-shalat (الصَّلَاةُ) karena berdasarkan sabda Nabi Saw. dari Tuhannya yang mengatakan:

" قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي "

Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua ba-gian. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Alhamdu lilldhi rabbil 'dlamlna" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." (Hadis)

Surat Al-Fatihah disebut pula Salat, karena ia merupakan syarat di dalam salat.

Surat Al-Fatihah dinamakan pula Syifa (الشِّفَاءُ) , seperti yang disebutkan di dalam riwayat Ad-Darimi melalui Abu Sa'id secara marfu, yaitu:

" فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سُمٍّ"

Fatihatul kitab (surat Al-Fatihah) merupakan obat penawar bagi segala jenis racun.

Surat Al-Fatihah dikenal pula dengan nama Ruqyah (الرُّقْيَةُ), seperti yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id yang sahih. yaitu di saat dia membacakannya untuk mengobati seorang lelaki sehat (yang tersengat kalajengking). Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Sa'id (Al-Khudri):

" وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ "

Siapakah yang memberi tahu kamu bahwa surat Al-Fatihah itu adalah ruqyah?

Asy-Sya-bi meriwayatkan sebuah asar melalui Ibnu Abbas, bahwa dia menamakannya (Al-Fatihah) Asasul Qur'an (fondasi Al-Qur'an). Ibnu Abbas mengatakan bahwa fondasi surat ini terletak pada bismillahir rahmanir rahim.

Sufyan ibnu Uyaynah menamakannya Al-Waqiyah, sedangkan Yahya ibnu Kasir menamakannya Al-Kafiyah, karena surat Al-Fatihah sudah mencukupi tanpa selainnya, tetapi surat selainnya tidak dapat mencukupi bila tanpa surat Al-Fatihah, seperti yang disebutkan di dalam salah satu hadis berpredikat mursal di bawah ini:

" أُمُّ الْقُرْآنِ عِوَضٌ مِنْ غَيْرِهَا، وَلَيْسَ غَيْرُهَا عِوَضًا عَنْهَا "

Ummul Qur'an merupakan pengganti dari yang lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai penggantinya.

Surat ini dinamakan pula surat As-Salah dan Al-Kanz. Kedua nama ini disebutkan oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab Kasysyaf.

Menurut Ibnu Abbas, Qatadah. dan Abul Aliyah, surat Al-Fatihah adalah Makkiyyah. Menurut pendapat lain Madaniyyah, seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid, Ata ibnu Yasar, dan Az-Zuhri. Pendapat lainnya lagi mengatakan, surat Al-Fatihah diturunkan sebanyak dua kali, pertama di Mekah, dan kedua di Madinah. Tetapi pendapat pertama lebih dekat kepada kebenaran, karena firman-Nya menyebutkan:

وَلَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثانِي

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca bendang-ulang. (Al-Hijr: 87)

Abu Lais As-Samarqandi meriwayatkan bahwa separo dari surat Al-Fatihah diturunkan di Mekah, sedangkan separo yang lain diturunkan di Madinah. Akan tetapi, pendapat ini sangat aneh, dinukil oleh Al-Qurtubi darinya.

Surat Al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat tanpa ada perselisihan, tetapi Amr ibnu Ubaid mengatakannya delapan ayat, dan Husain Al-Jufi mengatakannya enam ayat; kedua pendapat ini syaz (menyendiri).

Mereka berselisih pendapat mengenai basmalah-nya, apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan Al-Fatihah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama qurra Kufah dan segolongan orang dari kalangan para sahabat dan para tabi'in serta ulama Khalaf, ataukah merupakan sebagian dari ayat atau tidak terhitung sama sekali sebagai permulaan Al-Fatihah, seperti yang dikatakan oleh ulama penduduk Madinah dari kalangan ahli qurra dan ahli fiqihnya. Kesimpulan pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat, seperti yang akan disebutkan nanti pada tempatnya insya Allah, dan hanya kepada-Nya kita percayakan.

Para ulama mengatakan bahwa jumlah kalimat dalam surat Al-Fatihah semuanya ada 25 kalimat, sedangkan hurufnya sebanyak 113.

Imam Bukhari dalam permulaan kitab Tafsir mengatakan bahwa surat ini dinamakan Ummul Kitab karena penulisan dalam mushaf dimulai dengannya dan permulaan bacaan dalam salat dimulai pula dengannya. Menurut pendapat lain, sesungguhnya surat ini dinamakan Ummul Kitab karena semua makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an merujuk kepada apa yang terkandung di dalamnya. Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menamakan setiap himpunan suatu perkara atau bagian terdepan dari suatu perkara jika mempunyai kelanjutan yang mengikutinya —sebagaimana imam dalam suatu masjid besar— dengan istilah "umm". Untuk itu. Mereka menyebut kulit yang melapisi otak dengan istilah "ummur rasi" (أُمُّ الرَّأْسِ). Mereka menamakan panji atau bendera suatu pasukan yang terhirnpun di bawahnya dengan sebutan "umm" pula. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan seorang penyair bernama Zur Rummah, yaitu:

عَلَى رَأْسِهِ أُمٌّ لَنَا نَقْتَدِي بِهَا ... جِمَاعُ أمور لا نعاصي لَهَا أَمْرَا

Pada ujung tombak itu terdapat panji kami yang merupakan lambang bagi kami dalam mengerjakan segala urusan, kami tidak akan mengkhianatinya sama sekali.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena ia merupakan kota paling depan. mendahului semua kota lainnya. dan menghimpun kesemuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena bumi ini dibulatkan mulai darinya. Adapun surat ini, dinamakan "Al-Fatihah" karena bacaan Al-Qur'an dimulai dengannya, dan para sahabat memulai penulisan mushaf imam dengan surat ini.

Penamaan surat Al-Fatihah dengan sebutan "As-Sab'ul masani" dinilai sah. Mereka mengatakan, dinamakan demikian karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam salat, pada tiap-tiap rakaat, sekalipun masani ini mempunyai makna yang lain, seperti yang akan diterangkan nanti pada tempatnya insya Allah.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَهَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِأُمِّ الْقُرْآنِ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ"

Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada mereka Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada mereka Ibnu Abu Zi'b dan Hasyim ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Zi'b, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda tentang Ummul Qur'an: Surat Al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, As-Sab'ul Masani, dan Al-Qur'anul Azim.

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ismail ibnu Umar, dari Ibnu Abu Zi'b dengan lafaz yang sama.

وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي "

Abu Ja'far Muhammad ibnu Jarir At-Tabari mengatakan telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Zi'b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Surat Fatihah ini adalah Ummul Qur'an, Fatihatul Kitab, dan As-Sab'ul masani.

وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى بْنِ مَرْدَوَيْهِ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبِ بْنِ حَارِثٍ، ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَوْصِلِيُّ، ثَنَا الْمُعَافَى بْنُ عِمْرَانَ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ نُوحِ بْنِ أَبِي بِلَالٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ سَبْعُ آيَاتٍ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِحْدَاهُنَّ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ، وهي أم الكتاب"

Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Musa ibnu Murdawaih mengatakan di dalam tafsirnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ib-nu Muhammad ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Muham-mad ibnu Galib ibnu Haris', telah menceritakan kepada kami Ishaq ib-nu Abdul Wahid Al-Mausuli. telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa ibnu Imran, dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Nuh ibnu Abu Bilal, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Alhamdu lillahi rabbil 'alamin (surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat, sedangkan bismillahir rahmanir rahim adalah salah satu-nya. Surat Al-Fatihah adalah As-sab'ul mas'ani, Al-Qur'anul 'azim, Ummul Kitab, dan Fatihatul Kitab.

Ad-Daruqutni meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz yang sama atau semisal dengannya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa semua rawinya siqah (dipercaya). Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah asar dari Ali, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwa mereka menafsirkan firman Allah Swt, "sab'an minal masani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)," dengan makna surat Al-Fatihah. dan basmalah termasuk salah satu ayatnya yang tujuh. Hal ini akan dibahas lebih lanjut lagi dalam pembahasan basmalah.

Al-A'masy meriwayatkan dari Ibrahim yang pernah menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud, "Mengapa engkau tidak menulis Al-Fatihah dalam mus-haf-mu? Ibnu Mas'ud menjawab, "Seandainya aku menulisnya, niscaya aku akan menulisnya pada permulaan setiap surat." Abu Bakar ibnu Abu Dawud mengatakan, yang dimaksud ialah mengingat surat Al-Fatihah dibaca dalam salat, hingga cukup tidak diperlukan lagi penulisannya, sebab semua kaum muslim telah menghafalnya.

Suatu pendapat mengatakan bahwa surat Al-Fatihah merupakan bagian dari Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan, seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah, dinukil oleh Al-Baqilani sebagai salah satu dari tiga pendapat. Menurut pendapat lain, yang mula-mula diturunkan adalah firman Allah Swt. berikut ini:

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Hai orang yang berselimut. (Al-Muddatstsir: 1)

Seperti yang disebutkan di dalam hadis Jabir yang sahih. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah firman-Nya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (Al-Alaq: 1)

Pendapat  terakhir  inilah  yang   paling   sahih.

Wallahu a'lam

*TALQWAP JPRMI Kab Temanggung*
5 Muharram 1438 H


Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...