Tuesday 8 November 2022

Mendidik dengan Berkisah

 

Salah satu cara mendidik anak adalah mengisahkan kisah-kisah teladan kepada anak didik. Sebagaimana yang di lakukan Rasulullah shallahu alaihi wa sallam. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ أَنَّهُ ذَكَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ سَأَلَ بَعْضَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ، فَقَالَ ائْتِنِي بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ‏.‏ فَقَالَ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا‏.‏ قَالَ فَأْتِنِي بِالْكَفِيلِ‏.‏ قَالَ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً‏.‏ قَالَ صَدَقْتَ‏.‏ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَخَرَجَ فِي الْبَحْرِ، فَقَضَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ الْتَمَسَ مَرْكَبًا يَرْكَبُهَا، يَقْدَمُ عَلَيْهِ لِلأَجَلِ الَّذِي أَجَّلَهُ، فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا، فَأَخَذَ خَشَبَةً، فَنَقَرَهَا فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ، وَصَحِيفَةً مِنْهُ إِلَى صَاحِبِهِ، ثُمَّ زَجَّجَ مَوْضِعَهَا، ثُمَّ أَتَى بِهَا إِلَى الْبَحْرِ، فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلاَنًا أَلْفَ دِينَارٍ، فَسَأَلَنِي كَفِيلاً، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً، فَرَضِيَ بِكَ، وَسَأَلَنِي شَهِيدًا، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا، فَرَضِيَ بِكَ، وَأَنِّي جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا، أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِي لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ، وَإِنِّي أَسْتَوْدِعُكَهَا‏.‏ فَرَمَى بِهَا فِي الْبَحْرِ حَتَّى وَلَجَتْ فِيهِ، ثُمَّ انْصَرَفَ، وَهْوَ فِي ذَلِكَ يَلْتَمِسُ مَرْكَبًا، يَخْرُجُ إِلَى بَلَدِهِ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، يَنْظُرُ لَعَلَّ مَرْكَبًا قَدْ جَاءَ بِمَالِهِ، فَإِذَا بِالْخَشَبَةِ الَّتِي فِيهَا الْمَالُ، فَأَخَذَهَا لأَهْلِهِ حَطَبًا، فَلَمَّا نَشَرَهَا وَجَدَ الْمَالَ وَالصَّحِيفَةَ، ثُمَّ قَدِمَ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، فَأَتَى بِالأَلْفِ دِينَارٍ، فَقَالَ وَاللَّهِ مَا زِلْتُ جَاهِدًا فِي طَلَبِ مَرْكَبٍ لآتِيَكَ بِمَالِكَ، فَمَا وَجَدْتُ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي أَتَيْتُ فِيهِ‏.‏ قَالَ هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَىَّ بِشَىْءٍ قَالَ أُخْبِرُكَ أَنِّي لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي جِئْتُ فِيهِ‏.‏ قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِي بَعَثْتَ فِي الْخَشَبَةِ فَانْصَرِفْ بِالأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا ‏”‏‏.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menyebutkan bahwa seseorang dari Bani Israil meminta pinjaman kepada salah seorang dari Bani Israil sebanyak seribu dinar. Lalu orang itu berkata, “Hadirkan beberapa orang saksi yang menyaksikan ini.” Maka dia berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Lalu dia berkata, “Hadirkan orang yang dapat memberikan jaminan.” Dia berkata, “Cukuplah Allah sebagai jaminan.” Maka dia berkata, “Engkau benar.” Dia ridha dengan jaminan Allah, menunjukkan keimanan orang yang memberi hutang dan keyakinannya terhadap Allah Azza wa Jalla. Lalu dia memberinya seribu dinar untuk jangka waktu tertentu. Kemudian sang peminjam berlayar untuk suatu keperluan. Kemudian saat hendak kembali, dia mencari perahu yang dapat mengantarnya pulang untuk melunasi hutang pada waktunya. Namun dia tidak mendapatkan perahu. Maka dia mengambil sebatang kayu, lalu melobanginya, kemudian dia memasukkan uang seribu dinar dan sehelai surat kepada pemberi hutang. Kemudian lobang kayu tersebut dia tutup. Lalu dia pergi ke pantai dan berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam dari si fulan sebanyak seribu dinar. Dia telah memintaku untuk menghadirkan penjamin, lalu aku katakan ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin, lalu dia ridha Engkau (sebagai penjamin).”Kemudian dia meminta saksi kepadaku, maka aku katakan kepadanya, “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Lalu dia ridha dengan hal itu. Kini aku tidak mendapatkan kapal yang mengantarkan aku kepadanya, sehingga aku tidak mampu (melunasi hutang) kepadanya. Maka aku titipkan kepada Engkau uang iniLalu dia lemparkan kayu berisi uang tersebut hingga dia terapung di tengah lautan.Dia melemparkannya dengan keyakinan dan tawakal kepada Allah serta hatinya tenang bahwa dirinya telah menitipkan sesuatu kepada Dzat yang tidak akan menyia-nyiakan titipannya.Kemudian orang itu kembali mencari-cari kapal yang dapat membawanya keluar dari negeri tersebut. Sementara itu orang yang memberinya hutang pergi (ke pantai) untuk melihat-lihat apakah ada kapal yang datang membawa orang yang meminjam hartanya. Ternyata dia kemudian mendapatkan sebongkah kayu yang didalamnya terdapat uang tersebut. Lalu dia mengambilnya dan dibawa ke keluarganya untuk dijadikan kayu bakar. Ketika dia hendak memotong kayu tersebut dengan gergaji, ternyata dia dapatkan uang tersebut dan suratnya

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian orang yang meminjam tadi datang dengan membawa uang seribu dinar, lalu dia berkata, ‘Demi Allah, sebelum ini aku tidak mendapatkan kapal yang dapat mengantarkan aku untuk membayar hutangmu.” Lalu si pemberi hutang berkata, “Apakah engkau telah mengirim sesuatu untukku.” Dia berkata, “Aku sudah kabarkan bahwa aku tidak mendapatkan kapal untuk mengantarkan aku kepadamu.” Maka orang itu berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengirimkan uang tersebut yang terdapat di dalam kayu yang engkau kirim. Bawalah kembali uangmu yang seribu dinar tersebut.” ( HR Bukhari )

Penyampaian pesan dengan kisah memiliki efek yang sangat mendalam, sehingga dapat menggugah kesadaran para sahabat untuk lebih memahami setiap pesan yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. 

Metode Alquran dan sunnah ini terbukti sangat efektif sehingga masih digunakan di lembaga-lembaga pendidikan sampai sekarang ini. Secara psikologis, pelajaran yang disampaikan melalui media kisah terbukti lebih efektif dapat membantu menajamkan potensi kognitif dan mengasah kepekaan afeksi peserta didik. 

Melalui kisah peserta didik merasa dirinya dilibatkan, sehingga mereka lebih bersemangat untuk menyimak pelajaran dengan baik. 

Kisah merupakan media pembelajaran yang lazim digunakan masyarakat terdahulu. Rangkaian kisah memiliki pengaruh sangat besar untuk merangsang perhatian dan bisa memunculkan keinginan para pendengar untuk menyimaknya secara tuntas. Dengan demikian, pembelajaran dalam sebuah kisah dapat tersampaikan dengan sempurna. 

Melalui kisah pula, Alquran memberi nasihat dan bimbingan kepada manusia tentang hikmah di balik peristiwa-peristiwa tertentu. Secara global hal ini tercantum di dalam firman Allah Subhanahu wa ta'alla sebagai berikut: ''Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.'' (QS Yusuf [12]:111).

Kisah dalam Alquran dan hadits mencakup persoalan akidah, keteguhan iman, taubat, berbakti kepada orang tua, mengendalikan hawa nafsu, larangan menenggak khamr, tata cara hidup bermasyarakat, dan lain sebagainya. 

Rasulullah shallahu alaihi wa sallam pun menggunakan kisah sebagai media untuk mendidik jiwa para sahabatnya. Di antara kisah yang digunakan adalah kisah dalam hadits di atas, dimana Rasulullah mengajarkan akhlak akhlak mulia di dalamnya. Kisah ini menunjukkan bahwa Allah sangat sayang dan menjaga hamba-Nya. Dia juga sangat melindungi hamba-Nya jika dia bertawakal kepadanya dan menyerahkan urusannya kepada-Nya serta lebih mendahulukan tawakal kepadanya dalam memenuhi kebutuhan-Nya. Maka seseorang harus selalu berbaik sangka, karena jika dia berbaik sangka, Allah akan lebih cepat kebaikannya kepadanya. Jika perkiraannya selain itu, maka dia telah berburuk sangka kepada Tuhannya. Sesungguhnya, jika seorang hamba telah mencapai puncak zuhud, akan melahirkannya sifat tawakal

Jika engkau tawakal, maka yakinlah kepada Tuhanmu, dengan apa yang akan diraih dari yang kamu inginkan.

Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا .

“Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberikan rizki sebagaimana burung diberikan rizki, berangkat di pagi hari dengan perut kosong, kembali di sore hari dengan perut kenyang.”

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” [Ath-Thalaq/65: 3]

Demikian pula halnya dengan kisah yang mengajarkan sifat amanah ini. 


 


Monday 7 November 2022

Bisikan Hati

Dilihat dari asal penciptaannya, manusia tersusun dari unsur bumi dan unsur langit. Unsur bumi karena manusia diciptakan dari tanah. Unsur langit karena setelah proses penciptaan fisiknya sempurna, Allah meniupkan ruh kepadanya. Ketika ruh di tiupkan kedalam jasad maka akan menjadi Nafs النَفْسٍ. Di dalam An Nafs ini Allah ilhamkan fujur فُجُور ( atau di sebut juga الهوى)  dan ketaqwaan تَقْو kemudian diletakkan dalam Qalbun القلب.

Sebagaimana Allah kabarkan dalam surat As syams ayat 7-8.

 وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا  فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.( Asy Syams 7-8)

Qalb قَلب  dalam bahasa Arab adalah merupakan bentuk masdar dari kata qalaba قَلَبَ  yang berarti membalikkan, merubah, mengganti. Kata kerja intransitif dari qalaba قَلَبَ adalah taqallaba تَقَلَّبَ yang berarti bolak-balik, berganti-ganti, berubah.

سمية القلب ليتقلبيّة

dinamakan qalb karena adanya kecenderungan qalb untuk berubah-ubah.

Dengan qalb inilah ditentukan kualitas baik dan buruknya manusia. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam ,

 
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah qalb..” (HR. Muslim).

Rasulullah telah mengabarkan bahwa dalam diri manusia terhadap sesuatu yang berhargan yakni qalbu, yang maknanya dalam hadits ini adalah jantung. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Manzur, qalbu yang dimaksud adalah segumpal daging yang tergantung dengan urat besar tempat ia bergantung. Sedangkan, menurut al-Mu’jam al-Wasit pula, qalbu yakni organ berotot yang didalamnya menerima darah dari saluran darah dan memompa ke arteri.

Sebagaiamana firman Allah

 أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qulub yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qulub yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj : 46)

Dari penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa qalbu adalah jantung yang tidak hanya mempunyai fungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh, tapi lebih dari itu yakni juga mempunyai akal yang mampu berfikir dan memahami baik buruknya sesuatu. Atau dengan kata lain dapat kita simpulkan juga bahwa dalam tubuh manusia terdapat qalbu secara fisik yang berupa jantung dan qalbu secara kasat mata yang kemudian menjadi tempat taqwa dan fujur. 

Dilihat dari dominasi ketaqwaan dan nafsu itu jiwa manusia dapat dikategorikan menjadi tiga karakter. Karakter itu sekaligus juga menunjukkan tingkatannya, yaitu:

1. Apabila nafsu lebih dominan dibanding ketaqwaan, yang menguasai jiwanya adalah keinginan untuk memenuhi selera kesenangan [syahwat]. Kondisi yang demikian akan selalu menyuruh untuk melakukan hal-hal buruk. Jiwa yang demikian berada pada tingkat yang paling rendah. Apabila tidak segera diobati, kecenderungannya akan semakin menjadi dan akibatnya akan menjerumuskan pemiliknya ke lembah hina. Pada kondisi yang parah, ia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berbeda dengan binatang. Bahkan mungkin akan melakukan perbuatan iblis hingga ia dipanggil sebagai setan. 

2. Apabila pengaruh kekuatan antara ketaqwaan dan nafsu seimbang, maka logika akan banyak bicara. Akan terjadi konflik dan pergolakan yang keras antara keinginan amal shalih dan kecenderungan maksiat. Apabila ada keinginan amal shalih ia pikir-pikir dulu. Pun bila terbersit kecenderungan maksiat ia pun pikir-pikir dulu. Tarik ulur antara dorongan negatif dan positif tiada habis-habisnya. Jiwanya selalu menginginkan yang lebih baik. Bila melakukan keburukan, ia akan mencacinya. Bila melakukan kebaikan ia juga akan mencacinya karena tidak melakukan yang lebih baik. Jiwa dengan kondisi yang demikian lebih baik dibanding yang pertama dan inilah yang dimiliki kebanyakan kaum muslimin.

3. Apabila yang dominan adalah dorongan ketaqwaan dibanding dorongan nafsunya, maka manusia akan berdzikir pada setiap keadaan. Jiwa yang demikian ini disebut nafsu muthmainnah [jiwa yang tenang]. Dirinya senantiasa merasa tenteram dan enjoy dengan amal-amal ketaatan. Ibadah akan terasa sangat ringan. Dirinya akan gelisah bila kesempatan dzikirnya terusik. Jiwa dalam kondisi demikian dimiliki para auliaur rahman: para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita jiwa yang tenang ini di dunia, sehingga kelak Allah swt. memanggil kita dengan panggilan lembut,

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. masuklah ke dalam barisan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (al-Fajr: 27-30).

Lalu apa saja yang mempengaruhi Qalbu seseorang manusia? Ternyata dalam qalbu manusia ada bisikan-bisikan yang mempengaruhinya. al-Habib ‘Ali Al-Jufri dalam kitab Ayyuhal Murid menerangkan ada empat sumber bisikan qalbu manusia, yaitu :

Pertama, bersumber dari nafsu. Atau yang biasa dikenal dengan hawa nafsu. Contohnya, “Aku sedang puasa, hukumnya fardu, hari sangat panas, dan aku melihat air dingin di atas meja. Segar sekali sepertinya jika air itu kuteguk.” Itu adalah bisikan. Datangnya dari nafsu. Nafsu memang menginginginkan hal itu.  

Kedua, bersumber dari setan. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

   الشَّيْطَانُ جَاثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِذَا ذَكَرَ اللَّهَ خَنَسَ وَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ  

“Setan itu senantiasa mendekam dalam hati bani Adam. Jika bani Adam berdzikir kepada Allah, maka ia bersembunyi dalam hatinya. Dan ketika ia lupa kepada-Nya, maka setan kembali membisikinya.”   Bisikan yang bersumber dari setan ini juga biasa disebut dengan waswas, sebagaimana firman Allah, Dari kejahatan waswas (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, (Q.S. an-Nas [114]: 4
Ketiga, bersumber dari malaikat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dari Ibnu Mas‘ud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

  لِابْنِ آدَمَ لَمَّتَانِ: لَمَّةٌ مِنَ الْمَلَكِ، وَلَمَّةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ، وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ، وَتَطْيِيبٌ بِالنَّفْسِ، وَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ، فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ، وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَتَخْبِيثٌ بِالنَّفْسِ    

“Ada dua lammah (bisikan) bagi ibnu Adam, yakni lammah setan dan lammah malaikat. Lammah malaikat mendorong kepada kebaikan, membenarkan yang hak, dan menjernihkan jiwa. Sedangkan lammah setan mendorong kepada keburukan, mendustakan yang hak, dan mengotori jiwa.”   Artinya, siapa saja yang mendapati dorongan kebaikan, ketahuilah bahwa salah satunya datang dari malaikat, meski pada hakikatnya datang dari Allah. Bersyukurlah pada-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang mendapati bisikan buruk, maka berlindunglah kepada-Nya, sebab bisikan buruk salah satunya datang dari setan.  

Keempat, bisikan langsung dari Allah yang diberikan kepada hati seorang hamba. Pada hakikatnya, semua bisikan baik berasal dari Allah yang diturunkan sebagai cobaan, pemberian, ujian, dan karunia. Namun, ada bisikan yang langsung diberikan Allah dari keluhuran-Nya kepada hati seorang mukmin. Bisikan itu disebutkan dengan ilham.

Sedangkan Syekh Kamaluddîn Abdur Razzâq al-Fâsyâny dalam kitab Isthilâhâtu ash-Shûfiyah menjelaskan ada empat jenis bisikan dalam hati yaitu: (1) bisikan yang datangnya dari Allah, yang disebut bisikan rabbânî; (2) bisikan malaikat, disebut dengan ilham; (3) bisikan nafsu, disebut dengan hâjis; dan (4) bisikan setan yang disebut dengan waswas.

Dari kedua pendapat tersebut dapat kita simpulkan ada empat macam bisikan yang akan mempengaruhi hati. Keempat-empatnya berlomba-lomba untuk dapat mempengaruhi hati orang yang dibisiki. Diperlukan perjuangan dan usaha untuk dapat membedakan empat bisikan itu, terutama bisikan nafsu dan bisikan setan. Sebab keduanyalah yang dapat menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan.

Para ulama sepakat bahwa tubuh yang dipenuhi dengan makanan haram tidak akan dapat membedakan antara bisikan setan dan bisikan malaikat. Maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah menjaga dari makanan dan hal-hal yang haram.

Secara lebih terperinci, Imam as-Suhrawardi (Abu Hafs Syihabuddin Umar bin Muhammad bin Abdullah, w.632 H) dalam kitabnya ’Awarifu al-Ma’arif menjelaskan, bahwa ada empat hal yang menyebabkan kaburnya perbedaan bisikan-bisikan dalam hati :

Pertama, lemahnya keyakinan. 

Kedua, tidak mengetahui seluk-beluk nafsu secara mendetail. 

Ketiga, selalu menuruti hawa nafsu dengan selalu melanggar kunci-kunci takwa. 

keempat, cinta akan dunia isinya.

Lebih lanjut beliau menawarkan tips untuk dapat mengontrol gerak dari dua bisikan yang menjerumuskan, yakni bisikan setan dan bisikan nafsu. Beliau menuturkan bahwa bisikan setan dapat dikontrol atau bahkan dihilangkan dengan dua resep, yaitu dengan menanamkan rasa takwa yang tinggi dan berzikir. Proses menjalankan ketakwaan dimulai dari anggota tubuh yang lahir dengan memeliharanya dari hal-hal yang dilarang syariat, kemudian meningkat lagi dengan memelihara dari hal-hal yang tidak ada faedahnya. Setelah itu, ketakwaan juga ditanamkan ke dalam anggota batin dengan menjaganya dari yang diharamkan dan juga dari yang tidak ada faedahnya. Selanjutnya, ketakwaan yang telah tertanam kokoh itu diperkuat dengan selalu ingat (zikir) kepada Allah.

Bisikan nafsu juga perlu dikontrol, meskipun tidak seluruh bisikan nafsu itu buruk. Sebab nafsu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi demi eksistensinya untuk dapat menjalani kehidupan. Kebutuhan nafsu yang tidak boleh dituruti adalah kebutuhan yang melebihi dari kebutuhan syariat. Karenanya, bisikan nafsu harus dikontrol dengan ilmu agama: apakah bisikan itu sesuai dengan tuntunan syariat atau muncul dari rasa ketidakpuasan nafsu.

Apabila dua bisikan yang berbahaya itu dapat ditaklukkan, maka tinggal dua bisikan yang bisa masuk ke dalam hati, yakni bisikan Ilahi dan bisikan malaikat.

Wallahu a’lam

Temanggung, 8 November 2022

Ta’ Rouf Yusuf


Friday 4 November 2022

Keteladanan dalam Mendidik Anak

Dalam sebuah hadits diceritakan

Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dia berkata;

سَمِعْتُ أَبِي يَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَدَنِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي سَمْعِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَصَرِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ، تُعِيدُهَا ثَلَاثًا حِينَ تُصْبِحُ وَثَلَاثًا حِينَ تُمْسِي ، وَتَقُولُ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنت ، تُعِيدُهَا حِينَ تُصْبِحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثًا حِينَ تُمْسِي , قَالَ: نَعَمْ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِنَّ فَأُحِبُّ أَنْ أَسْتَنَّ بِسُنَّتِهِ
. رواه أحمد (19917) وأبو داود (5090)


“Ya Allah, sehatkanlah badanku, sehatkanlah pendengaranku, sehatkanlah mataku, tiada Tuhan –yang berhak disembah- kecuali Engkau”. Anda mengulanginya sebanyak tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada sore hari. Anda juga berkata: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, tiada Tuhan –yang berhak disembah- kecuali Engkau, anda mengulanginya sebanyak tiga kali pada pagi hari dan sore hari, beliau menjawab: “Ya, wahai anakku, saya telah mendengar Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdoa seperti itu dan saya menyukai untuk mengikuti sunnah beliau” ( HR Ahmad dan Abu Dawud) 

Abu Bakrah ats-Tsaqafi adalah seorang sahabat yang mulia. Seorang penghafal hadits. Namanya adalah Nafi' bin al-Harits. Ada juga yang mengatakan Nafi' bin Masruh. Lalu mengapa dikenal dengan kun-yah Abu Bakrah? Saat benteng Thaif dikepung oleh kaum muslimin di Perang Thaif, Nafi' menyelamatkan diri memanjat dinding benteng dengan bakrah (tali sumur). Kemudian ia berlari menuju Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia adalah seorang budak lalu Nabi memerdekakannya.

Ibnu al-Madini mengatakan, "Namanya adalah Nafi' bin al-Harits seperti yang dikatakan Ibnu Saad."

Terdapat sebuah Riwayat dari al-Mughirah dari Syabbak dari seseorang bahwa orang-orang Tsaqif meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengembalikan status Abu Bakrah sebagai budak. Rasulullah berkata pada mereka, "Tidak. Dia dimerdekakan oleh Allah dan Rasul-Nya."

Ibnu Asakir mengatakan, "Abu Bakrah bin al-Harits bin Kildah bin Amr. Ada juga yang mengatakan, ia adalah budak dari al-Harits bin Kildah. Kemudian ia memanjat benteng dengan bakrah (tali sumur). Sejak hari itu dia dikun-yahi Abu Bakrah. Namun Abu Bakrah menyebut dirinya sebagai mantan budak dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan, "Aku adalah Abu Bakrah maula (bekas budak) Rasulullah. Kalau orang-orang menolak hal itu. Dan hanya mau memanggilku dengan nasabku maka aku adalah Nafi' bin Masruh."

Tali sumur itu penuh kenangan. Melantarinya selamat dari kepungan kemudian bertemu Rasulullah. Memeluk Islam dan merdeka dari perbudakan. Sehingga wajar bakrah itu mengakrabi panggilannya. Dijadikan kun-yah dan kun-yah adalah sapaan penghormatan.

Beliau adalah sahabat mulia yang melihat Rasulullullah menjadi teladan dalam amal. Sebagaimana dalam hadits di atas 

إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِنَّ 

Beliau mendengar Nabi mengamalkan doa tersebut dan kemudian di amalkan secara istiqomah. Hal ini membuat anaknya Abdurahman tertarik untuk menanyakan hal tersebut. Mengapa sang Ayah mengamalkan doa tersebut secara terus menerus. 

Kemudian beliau menjawab dengan jawaban yang seharusnya kita lakukan juga, yaitu menyandarkan amalan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 

نَعَمْ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِنَّ فَأُحِبُّ أَنْ أَسْتَنَّ بِسُنَّتِهِ
“Ya, wahai anakku, saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti itu dan saya menyukai untuk mengikuti sunnah beliau” 

Beliau mengajarkan kecintaan kepada Nabi dan mengajarkan cara mencintai Nabi dengan satu kalimat yang sederhana. 

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam hadits di atas :

1. Seorang pendidik harus menjadi teladan bagi anak didiknya, bahkan keteladanan ini seharusnya mendahului apa yang di katakan. 
2. Keteladanan adalah hal yang efektif dalam menanamkan dan mengajarkan adab dan akhlak bagi anak didik. 
3. Menyandarkan apa yang disampaikan kepada Allah dan RasulNya dengan menyampaikan dalil dari Al Quran atau Hadits. 

Wallahua'lam
Temanggung, 4 November 2022
Ta' Rouf Yusuf

Bersegera dalam Kebaikan

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al Baqarah: 148). 

Ayat ini merupakan perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, dan perintah ini lebih dalam daripada sebatas perintah mengerjakan kebaikan. Dalam perintah ini mengandung perintah mengerjakannya, menyempurnakannya, melakukannya sebaik mungkin dan bersegera kepadanya. Barangsiapa yang bersegera kepada kebaikan ketika di dunia, maka dia adalah orang yang lebih dulu ke surganya. Oleh karena itu, mereka yang berlomba-lomba dalam kebaikan adalah orang yang paling tinggi derajatnya. Dan kata الْخَيْرَاتِ "kebaikan" di sini mencakup semua amalan fardhu maupun sunat, baik berupa shalat, puasa, zakat, hajji, Umrah, jihad, yang bermanfa'at bagi orang lain maupun sebatas untuk diri sendiri.

Begitu juga Allah Ta’ala berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).

Di dalam hadits juga disebutkan perintah untuk bersegera dalam kebaikan yaitu perintah untuk menduduki shaf pertama. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf pertama dan yang jelek adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf perempuan adalah yang terakhir dan yang jelek adalah yang awal.” (HR. Muslim no. 440). 

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

Bersegeralah melakukan amalan sholih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” (HR. Muslim) 

Dari dalil di atas menunjukkan perintah untuk segera melakukan kebaikan.Namun kadang manusia malas untuk bersegera dan cenderung menunda-nunda amal. 

Padahal menunda amal shaleh merupakan bala tentara Iblis yg membinasakan banyak manusia. Sebagaimana disebutkan dalam kitab HilyatulAuliya’ wa Thabaqat Al Ashfiya, "Aku mendapati bahwa menunda-nunda kebaikan adalah salah satu dari tentara Iblis, ia telah membinasakan banyak makhluk-makhluk Allah.”

Iblis sangat senang melihat manusia terpedaya dengan melakukan berbagai penundaan, sehingga kita perlu untuk melawan nafsu & keinginan dalam menunda kebaikan.

Oleh karena itu jangan lah kita menunda-nunda amalan hari ini hingga besok, Seandainya besok itu tiba, mungkin saja kita akan kehilangan kesempatan itu.

Al Hasan Al Bashri berkata, “Hati-hati dengan sikap menunda-nunda. Engkau sekarang berada di hari ini dan bukan berada di hari besok. Jika besok tiba, engkau berada di hari tersebut dan sekarang engkau masih berada di hari ini. Jika besok tidak menghampirimu, maka janganlah engkau sesali atas apa yang luput darimu di hari ini.”

Sesungguhnya seseorang tidak mampu menjamin bahwa dia akan bertemu dengan hari esok. Maka menunda-nunda amal harusnya menjadi pantangan untuk dikerjakan oleh orang yang beriman pada Allah. Hal ini di karenakan seakan-akan orang yg menunda amal ini seperti seorang yang sombong yang mampu menjamin bahwa ia akan hidup sampai esok hari.

Sebaiknya seorang mukmin selalu bersegera berbuat kebaikan dan jangan menunggu-nunggu apa lagi menundanya, hari ini untuk beramal, insyaAllah esok kita akan menuai hasilnya. 

Dari Abu Ishaq, ada yang berkata kepada seseorang dari ‘Abdul Qois, “Nasehatilah kami.” Ia berkata, “Hati-hatilah dengan sikap menunda-nunda (nanti dan nanti).”

Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’  Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.” Subhanallah … Lisan selalu terjaga dengan hal manfaat dari waktu ke waktu.

Ingatlah nasehat Imam Asy Syafi’i di mana beliau mendapat nasehat ini dari seorang sufi, “Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. (Di antaranya), dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”

Wallahua'lam bi shawab

Temanggung, 5 November 2022

Ta'  Rouf Yusuf



Thursday 3 November 2022

Empat Ayat Motivasi Kehidupan



1. Manusia senantiasa dalam nikmat sampai dia bermaksiat kepada Allah. 

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.
(Ar-Ra'd Ayat 11)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili ketika menjelaskan ayat ini dalam tafsir wajis menjelaskan bahwa," Bagi setiap manusia itu ada malaikat-malaikat yang mengikutinya untuk menjaga dan memeliharanya. Mereka adalah para malaikat penjaga yang menjaga manusia dengan perintah dan pertolongan Allah, bukan untuk menolak perintahNya. Dan jika berlaku suatu takdir, maka mereka akan berlepas darinya. Mereka menghitung amal perbuatannya yang baik dan buruk. Sesungguhnya Allah tidak mengubah nikmat atau kesehatan suatu kaum, sampai mereka mengubah ketaatan dan kebaikannya sendiri menjadi kemaksiatan dan keburukan. Jika Allah menghendaki suatu azab dan kehancuran bagi suatu kaum, maka itu tidak akan bisa ditolak. Dan tidak ada bagi mereka selain Allah seorang penolong yang membantu urusan mereka, yang membimbing mereka menuju kebaikan dan melindungi mereka dari keburukan."
Jadi dapat kita simpulkan cara manusia menjaga kenikmatan yang Allah berikan dengan tetap berada dalam ketaqwaan kepada Nya. Namun jika seseorang berbuat dzalim dan aniaya maka hal ini akan merubah nikmat Allah menjadi kesengsaraan. 

2. Ada kebaikan dibalik yang tidak kita sukai

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(Al-Baqarah Ayat 216)

كُرْهٌ (benci)
Makna (الكره) adalah kesulitan yang dibenci oleh jiwa, dan jihad adalah termasuk hal yang dibenci karena terdapat didalamnya mengeluarkan harta benda, meninggalkan keluarga dan negeri, dan kemungkinan kehilangan nyawa.

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagi kamu”

Meskipun tidak disukai namun peperangan itu membawa kemenangan dan keberuntungan atas musuh, penguasaan atas negri, harta benda, wanita dan anak-anak mereka.
Bagi kaum mukminin kematian dalam jihad di sabilillah memiliki keutamaan yang besar pula. Jadi walaupun tidak disukai, peperangan terdapat manfaat didalamnya. 

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ

“Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia sangat buruk bagi kamu”

Dapat kita pahami pengertian ayat ini bersifat umum dalam segala hal. Bisa saja seseorang menyukai sesuatu, padahal sesuatu tersebut tidak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan baginya. 
Diantaranya adalah penolakan ikut berperang yang akan berakibat jatuhnya negri dan pemerintahan ke tangan musuh.

Kemudian Allah berfirman :

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”

Hal ini berarti bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih mengetahui akibat segala sesuatu dan Dia memberitahukan bahwa dalam peperangan itu terdapat kebaikan bagi kalian di dunia maupun di akhirat. Karena itu, sambut dan bersegeralah memenuhi perintah-Nya agar kita mendapat petunjuk.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa kebaikan adalah mengikuti perintahnya sedangkan keburukan selalu ada dalam kemaksiatan kepada Nya. 

3. Anda pasti sanggup

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(Al-Baqarah 286)

 لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ 
(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya )
Makna (التكليف) adalah urusan yang didalamnya terdapat kesukaran, beban dan pengurasan tenaga.
Meskipun  seseorang ditimpakan kesukaran, namun kesukaran itu pasti mampu dilalui olehnya. Allah mengetahui kadar kampuan setiap hambanya. 

Syaikh Wahbah Az Suhaili menerangkan, "Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. Baginya itu pahala atas perbuatan baik yang dia usahakan, baginya pula dosa atas perbuatan buruk yang dia usahakan."

4. Setelah kesulitan ada kemudahan

فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(Al-Insyirah Ayat 5-6)

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa sesungguhnya di dalam setiap kesempitan, terdapat kelapangan, dan di dalam setiap kekurangan sarana untuk mencapai suatu keinginan, terdapat pula jalan keluar. Namun demikian, dalam usaha untuk meraih sesuatu itu harus tetap berpegang pada kesabaran dan tawakal kepada Allah.

Ini adalah sifat Nabi shalallahubalaihi wa sallam, baik sebelum beliau diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya, ketika beliau terdesak menghadapi tantangan kaumnya. Walaupun demikian, beliau tidak pernah gelisah dan tidak pula mengubah tujuan, tetapi beliau bersabar menghadapi kejahatan kaumnya dan terus menjalankan dakwah sambil berserah diri dengan tawakal kepada Allah dan mengharap pahala daripada-Nya.

Wallahu a'lam

Temanggung, 4 November 2022

Ta'Rouf Yusuf

Sebuah Nasehat dari Uwais Al Qarni


Harim bin Hayyan pernah berkata kepada Uwais Al-Qorni rahimahullah , “Nasehatilah aku”. 
Beliau menjawab :

تَوَسَّدِ الْمَوْتَ إِذَا نِمْتَ، وَاجْعَلْهُ نَصْبَ عَيْنَيْكَ، وَإِذَا قُمْتَ فَادْعُ اللّٰهَ أَنْ يُصْلِحَ لَكَ قَلْبَكَ وَنِيَّتَكَ، فَلَنْ تُعَالِجَ شَيْئَا أَشَدُّ عَلَيْكَ مِنْهُمَا، بَيْنَا قَلْبُكَ مَعَكَ وَنِيَّتُكَ إِذَا هُوَ مُدْبِرٌ، وَبَيْنَا هُوَ مُدْبِرٌ إِذَا ه‍ُوَ مُقْبِلٌ، وَلَا تَنْظُرْ فِيْ صِغَرِ الْخَطِيْئَةِ، وَلَكِنِ انْْظُرْ إِلَى عَظَمَةِ مَنْ عَصَيْتَ

“Jadikanlah kematian sebagai bantalmu saat kamu tidur, dan jadikan ia di pelupuk matamu. 
Jika kamu bangun, berdo’alah kepada Allah untuk memperbaiki hati dan niatmu. Kamu tidak akan pernah mampu mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati hati dan niat. Adakalanya hatimu bersamamu tetapi niatmu berpaling darimu, dan adakalanya hatimu berpaling namun niatmu datang menghampiri. Dan janganlah kamu melihat pada kecilnya dosa tetapi lihatlah kepada keagungan Dzat yang kamu maksiati "

Ada tiga hal penting dalam nasehat Uwais Al Qarni :
1. Mengingat Mati
Dalam hadits disampaikan 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu kematian”. (HR Tirmidzi) 

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أكثروا ذكر هاذم اللذات: الموت، فإنه لم يذكره في ضيق من العيش إلا وسعه عليه، ولا ذكره في سعة إلا ضيقها”

 “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutuskan kelezatan, yaitu kematian, karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan kesempitan hidup, melainkan dia akan melapangkannya, dan tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan lapang, melainkan dia akan menyempitkannya.” HR. Ibnu HIbban) 

Ad Daqqaq rahimahullah berkata,

“من أكثر ذكر الموت أكرم بثلاثة: تعجيل التوبة، وقناعة القلب، ونشاط العبادة، ومن نسى الموت عوجل بثلاثة: تسويف التوبة، وترك الرضا بالكفاف، والتكاسل في العبادة”  تذكرة القرطبي : ص 9

Barangsiapa yang banyak mengingat kematian maka dimuliakan dengan tiga hal: “Bersegera taubat, puas hati dan semangat ibadah, dan barangsiapa yang lupa kematian diberikan hukuman dengan tiga hal; menunda taubat, tidak ridha dengan keadaan dan malas ibadah” (Lihat kitab At Tadzkirah fi Ahwal Al Mauta wa Umur Al Akhirah, karya Al Qurthuby).

Dengan mengingat kematian seseorang akan menjadi mukmin yang cerdas berakal, coba perhatikan riwayat berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ»

“Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita: “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang lelaki dari kaum Anshar mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, orang beriman manakah yang paling terbaik?”, beliau menjawab: “Yang paling baik akhlaknya”, orang ini bertanya lagi: “Lalu orang beriman manakah yang paling berakal (cerdas)?”, beliau menjawab: “Yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah yang berakal”. (HR. Ibnu Majah) 

2. Memperbaiki hati dan niat

Hati adalah pondasi amalan dan sumber pergerakan anggota badan. Jika hati baik, maka badan ikut baik. Jika hati rusak, badan pun ikut rusak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian dengan perkara hati; sehat sakitnya dan bersih kotornya. Doa-doa Rasulullah dipenuhi dengan permohonan agar Allah selalu menjaga dan memperbaiki kondisi hati yang dimiliki olehnya. Diantara doa-doa Rasulullah :

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا

“Ya Allah, berikanlah cahaya di hatiku.”

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyuk.”

اللَّهُمَّ نَقِّ قَلْبِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ

“Ya Allah, bersihkanlah hatiku dari dosa-dosa sebagaimana pakaian putih yang dibersihkan dari kotoran.”

Seorang muslim wajib memperhatikan kesehatan dan kebersihan hatinya serta memperbaiki amalan anggota badannya. Tidak bermanfaat amalan badan jika tidak disertai dengan kebersihan dan kesehatan hati. Seandainya seorang muslim telah memperbaiki hati dan mengisinya dengan keikhlasan, kejujuran, dan rasa cinta kepada Allah, niscaya amalan lahirnya akan baik dan salih. Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik, maka seluruh tubuh akan baik dan jika daging itu rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Imam Sufyan At-Tsauri rahimahullah pernah mengatakan,

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي لأَنَّهُ تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ

“Tidak pernah aku memperbaiki sesuatu yang lebih berat bagiku dari pada niatku, karena niat selalu berubah-ubah” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam: 29).

Oleh karenanya sangatlah pantas jika Allah memberikan ganjaran yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas. 

Niat yang ikhlas ini menjadi sebab di ampuni dosa sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ

“Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Bukhari dan Muslim).

hawa nafsu, karena hawa nafsu ingin agar dirinya memperlihatkan sedekahnya dan ingin dipuji oleh manusia. Oleh karenanya sikap menyembunyikan sedekah membutuhkan keimanan yang sangat kuat untuk melawan hawa nafsu”. (Fathul Baari, 4/62). Golongan yang kedua adalah seseorang yang berdzikir mengingat Allah tatkala ia bersendirian (baik bersendirian secara zahir, maupun bersendirian secara batin) lantas ia pun mengalirkan air matanya.

3. Tidak menyepelekan dosa

Meremehkan dosa dapat membuat dosa tersebut menjadi besar di sisi Allah, ditambah lagi jika terus menerus melakukan dosa walau itu awalnya dosa yang ringan.

Disebutkan hadits dalam Shahih Bukhari,

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قَالَ إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya kalian melakukan suatu amalan dan menyangka bahwa itu lebih tipis dari rambut. Namun kami menganggapnya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang membinasakan.” (HR. Bukhari).

Disebutkan dalam hadits bahwa ia sangka suatu dosa itu lebih tipis dari rambut, itu tanda meremehkan dosa. Padahal sesuatu yang dianggap sepele seperti ini di sisi Allah begitu besar.

Disebutkan dari Ibrahim bin Al Hajjaj dari Mahdi, “Kami menganggapnya sebagai dosa kala bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Batthol mengatakan,

الْمُحَقَّرَاتُ إِذَا كَثُرَتْ صَارَتْ كِبَارًا مَعَ الْإِصْرَار

“Sesuatu dosa yang dianggap remeh bisa menjadi dosa besar, ditambah lagi jika terus menerus melakukan dosa.”

Abu Ayyub Al Anshori berkata,

إِنَّ الرَّجُل لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيَثِقُ بِهَا وَيَنْسَى الْمُحَقَّرَاتِ فَيَلْقَى اللَّهَ وَقَدْ أَحَاطَتْ بِهِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ فَلَا يَزَالُ مِنْهَا مُشْفِقًا حَتَّى يَلْقَى اللَّه آمِنًا

Sesungguhnya seseorang melakukan kebaikan dan terlalu percaya diri dengannya dan meremehkan dosa-dosa, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan ia penuh dengan dosa. Sesungguhnya seseorang melakukan kejeleken dalam keadaan terus merasa bersalah, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan aman.

Wallahu a'lam

Temanggung, 2 November 2022

Ta' Rouf Yusuf

Tiga Amal yang Menyelamatkan Hidup Manusia



Dalam kitab Nasha-ihul Ibad, Syekh Nawawi Al-Bantani menyebutkan tiga hal yang bisa menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.

1. Takut kepada Allah saat dalam kesendirian dan keramaian.

Kesendirian disebutkan lebih dahulu karena ketakwaan kepada Allah saat kesendirian lebih berat.

Saat tak ada orang lain melihatmu, apakah engkau akan tetap berbuat baik? Saat kesempatan berbuat dosa begitu terbuka, apakah engkau memilih takut kepadaNya?

2. Bersikap sederhana pada saat fakir atau pada saat kaya

Bersikap sederhana saat fakir memang tampak lebih mudah. Namun ada orang yang tak bisa sederhana meski tidak punya apa-apa.

Dampaknya ia menghalalkan semua cara demi bisa mendapatkan kesenangan yang diinginkan.

Bisakah engkau bersikap sederhana di saat tak punya apa-apa, dan tetap sederhana di saat kaya?

3. Bersikap adil saat senang dan saat marah

Tetap bersikap adil di saat senang dan saat marah adalah tindakan yang sulit dan berat. Ketika senang orang cenderung berlebihan. Apalagi ketika marah.
Manusia cenderung melewati batas.

Bisakah engkau berlaku adil di saat senang, dan tetap adil di saat marah?

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...