Thursday 26 January 2023

Hukum anak berada di shaf orang dewasa

Bagaimana hukum jika anak-anak itu berada di antara shaf orang dewasa, bukankah ada kemungkinan anak itu membawa najis? 

Jawab :

Dalam Shahih Muslim di riwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam membawa cucunya Umamah putri dari Zainab ke dalam masjid saat shalat fardhu dan menjadi imam. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim:

عن أبي قتادة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن الربيع فإذا قام حملها وإذا سجد وضعها

Rasulullah pernah shalat membawa Umamah putrinya Zainab binti Rasulullah dari suaminya Abul Ash bin Rabi'. Apabila Nabi berdiri beliau menggendongnya, apabila Nabi sujud beliau meletakkannya.

Dari hadits ini Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 5/31-32, menjelaskan unsur hukumnya:

فيه حديث حمل أمامة رضي الله عنها ، ففيه دليل لصحة صلاة من حمل آدميا أو حيوانا طاهرا من طير وشاة وغيرهما ، وأن ثياب الصبيان وأجسادهم طاهرة حتى تتحقق نجاستها ، وأن الفعل القليل لا [ ص: 199 ] يبطل الصلاة ، وأن الأفعال إذا تعددت ولم تتوال ، بل تفرقت لا تبطل الصلاة . 

وقوله : ( رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم - يؤم الناس وأمامة على عاتقه ) هذا يدل لمذهب الشافعي - رحمه الله تعالى - ومن وافقه أنه يجوز حمل الصبي والصبية وغيرهما من الحيوان الطاهر في صلاة الفرض وصلاة النفل ، ويجوز ذلك للإمام والمأموم ، والمنفرد

Dalam hadits menggendong Umamamah radhiyallaanha di dalam hadits ini menjadi dalil atas sahnya shalatnya orang yang membawa manusia atau hewan yang suci seperti burung, kambing dan lainnya. Adapun baju anak kecil dan tubuhnya itu suci kecuali kalau jelas najisnya. Dan bahwa gerakan kecil tidak membatalkan shalat. Dan bahwa gerakan-gerakan yang banyak yang tidak berturut-turut tapi terpisah tidak membatalkan shalat.

Adapun hadis "Aku melihat Nabi menjadi imam shalat sedang Umamah berada di bahunya" ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi'i dan yang setuju dengannya bahwa boleh membawa (menggendong) anak kecil laki-laki atau perempuan dan lainnya seperti hewan yang suci pada saat shalat fardhu dan shalat sunnah. Dan hal itu boleh dilakukan oleh imam dan makmum atau shalat sendirian.

Beliau juga menjelaskan 

اِدَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّ هَذَا الْحَدِيث مَنْسُوخ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ مِنْ الْخَصَائِص، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ، وَكُلّ ذَلِكَ دَعَاوِي بَاطِلَة مَرْدُودَة لا دَلِيل لَهَا، وَلَيْسَ فِي الْحَدِيث مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع، لأَنَّ الآدَمِيّ طَاهِر، وَمَا فِي جَوْفه مَعْفُوّ عَنْهُ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ مَحْمُولَة عَلَى الطَّهَارَة حَتَّى يَتَيَقَّن النَّجَاسَة، وَالأَعْمَال فِي الصَّلاة لا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ، وَدَلائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى ذَلِكَ، وَإِنَّمَا فَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ لِبَيَانِ الْجَوَاز .
Sebagian pengikut Madzhab Maliki beranggapan bahwa hadits ini mansukh, sebagian lagi beranggapan hadits ini termasuk salah satu kekhususan Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, dan sebagian lagi beranggapan bahwa itu merupakan keadaan darurat… Semua anggapan itu adalah anggapan yang batil, tertolak, dan tidak berdasar… Dalam hadits tersebut tidak ada sesuatu yang menyelisihi kaidah syariat, karena tubuh anak adam itu suci, adapun yang ada di dalam jasadnya, maka najisnya tidaklah dianggap. Sedangkan pakaian dan badan anak kecil itu dianggap suci hingga benar-benar diyakini ada najisnya… dan gerakan di dalam sholat, tidak membatalkannya apabila masih tergolong sedikit atau terpisah-pisah… dan dalil-dalil syariat dalam masalah ini sangatlah banyak… Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melakukan hal tersebut itu untuk menerangkan (kepada umatnya) bolehnya (melakukan hal tersebut). 
Wallahu a’lam

Wednesday 25 January 2023

Hadits Puasa Sehari di Bulan Rajab Berpahala 1000 tahun adalah Palsu

Rasulullah Shalallahu alaihi wa salla bersabda:

إن شهر رجب شهر عظيم، من صام منه يوما كتب الله له صوم ألف سنة، ومن صام منه يومين كتب له صوم ألفى سنة، ومن صام منه ثلاثة أيام، كتب الله له صوم ثلاثة آلاف سنة، ومن صام منه سبعة أيام غلقت عنه أبواب جهنم، ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له أبواب الجنة الثمانية، فيدخل من أيها شاء، ومن صام خمسة عشر بدلت سيئاته حسنات ونادى مناد من السماء قد غفر لك، فاستأنف العمل، ومن زاد زاده الله.

Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa berpuasa satu hari di dalamnya, Allah mencatat baginya puasa seribu tahun. Siapa berpuasa dua hari, Allah mencatat baginya puasa 2000 tahun. Siapa berpuasa tiga hari, Allah mencatat baginya puasa 3000 tahun. Siapa berpuasa tujuh hari, ditutup pintu neraka jahannam baginya. Siapa berpuasa 8 hari, dibukakan pintu 8 pintu surga baginya, dan ia bebas masuk dari pintu mana saja. Siapa berpuasa 15 hari, keburukan-keburukannya diganti dengan kebaikan-kebaikan, dan Allah mengampuni dosamu yang telah berlalu. Maka mulailah mengerjakannya. Siapa yang menambahnya, Allah juga akan menambahkannya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dan kemudian disampaikan oleh al-Syaukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah dan Ibn ‘Arraq al-Kannani dalam Tanzih al-Syari’ah. Berikutnya, Hadis tersebut berkembang luas di masyarakat.

Menurut penjelasan Ulama Ahli hadits hadits di atas Maudhu atau Palsu. Diantaranya yang di sampaikan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tabyin al-‘Ajan Bima Warada fi Syahr Rajab berkata huwa hadits maudhu’ la syakka fihi (Hadis palsu, tidak perlu diragukan lagi). Menurut Ibn Hajar, kepalsuan Hadis tersebut disebabkan seorang rawi bernama Ishaq bin Ibrahim al-Khuttali yang ternyata muttaham (dituduh berdusta). Jauh sebelum itu, Ibn al-Jauzi dalam al-Maudhu’at menyatakan,Hadis tersebut bukan sabda Rasulullah Saw (hadza hadits la yashih an Rasulillah Saw). Menurut Ibn al-Jauzi, kepalsuan Hadis tersebut disebabkan seorang rawi bernama Harun bin ‘Antarah. Berpedoman kepada pendapat Ibn Hibban, Ibn al-Jauzi berkata; Harun tidak bisa dijadikan pijakan, sebab Harun meriwayatkan banyak Hadis munkar (la yajuz al-ihtijaj, yarwi manakir).

Maka dari itu, berpijak pada penjelasan ini, Ibn ‘Arraq al-Kannani dalam Tanzih al-Syari’ah secara tegas menyatakan Hadis tersebut palsu. Begitu pula al-Syaukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah dan al-Suyuthi dalam al-La’ali al-Mashnu’ah yang dengan tegas juga menyatakan demikian. Untuk itu, tidak perlu diragukan lagi, berdasarkan pernyataan dan penjelasan ulama tadi, Hadis tersebut adalah palsu.

Friday 20 January 2023

Adakah Zakat Menjual Tanah ?

Pertanyaan :
Assalamualaikum
1. Saya memiliki tanah yang saya beli dan saya gunakan untuk usaha ternak, kemudian tanah itu di beli orang, apakah saya harus mengeluarkan zakat? 
2. Siapakah orang2 yang bisa menerima zakat? 

NN

Jawab :
Bismillah
1. Apakah ada zakat untuk tanah yang dijual? 
Dalam fiqih zakat ada barang yang wajib zakat dan barang yang tidak wajib zakat. Zakat hanya di syariat kan untuk barang-barang yang wajib zakat. Sedangkan barang tidak wajib zakat tidak terkena hukum zakat. 

Dalam matan Abu Syuja di katakan
تجب الزكاة في خمسة أشياء وهي المواشي والأثمان والزروع والثمار وعروض التجارة   
“Zakat itu wajib atas 5 perkara, yaitu: (1) ternak, (2) barang berharga (emas dan perak), (3) hasil tanaman (sawah) atau perkebunan, (4) buah-buahan, dan (5) harta modal dagang” (Kitab Matan Ghayatu al-Taqrib: 16)

Sedangkan dalam Al fiqih Al manhaji 'ala Al madzhab Al Imam Asy Syafi'i, disampaikan , "Harta yang dikenakan kewajiban zakat adalah harta yang sifatnya dapat bertumbuh kembang, artinya setiap harta yang dapat bertumbuh dan berkembang maka harta itu dikenai kewajiban zakat. Adapun setiap harta yang tidak dapat tumbuh dan berkembang yaitu harta yang sifatnya Al awal jamidah ( الاموال الجامدة ) 'harta statis' maka harta itu tidak dikenal kewajiban zakat." Dalam kitab tersebut penulis mengelompokkan beberapa barang yang wajib zakat diantaranya : Uang ( emas dan  perak), binatang ternak, tanaman dan buah-buahan, barang perniagaan serta barang tambang (ma'din) dan harta terpendam (rikaz). 

Jadi tidak ada zakat untuk properti seperti tanah rumah atau toko. Properti (العقار) adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa tanah dan bangunan yang berada di atasnya seperti rumah, istana, gedung, apartemen, toko, SPBU, wisma, dan semacamnya.

Jika seseorang ingin menjualnya maka tidak ada zakat. Sebagaimana penjelasan Syekh As-Samarqandi rahimahullah di dalam Uyun Al-Masail,

وقَالَ هشام سألت محمداً : عن رجل اشترى خادماً للخدمة وهو ينوي إن أصاب ربحاً باع ، هل فيها الزكاة؟  قَالَ: لا، هكذا شِرَى الناس إذا أصابوا ربحاً باعوه

“Hisyam berkata, “Aku bertanya kepada Muhammad (yakni Ibnu Hasan as-Syaibani) tentang seseorang yang membeli hamba sahaya untuk dijadikan pembantu, dan dia berniat jika ada keuntungan, akan dijual. Apakah ada zakatnya?” Muhammad bin Hasan menjawab, “Tidak ada zakat. Seperti itu pula ketika ada orang beli, lalu jika nanti menguntungkan akan dijual.” (‘Uyun Al-Masail fi Furu’ Al-Hanafiyah, as-Samarqandi, hlm. 33)

Hal ini berbeda jika seseorang memang menjadikan properti tersebut sebagai barang perniagaan. Yang dimaksud dengan Perniagaan adalah proses pertukaran harta dengan tujuan mencari keuntungan. Perniagaan tidak terbatas pada barang tertentu saja. Artinya asalkan barang tersebut diperdagangkan maka ia di sebut sebagai barang perniagaan. 

Menurut mayoritas ulama, zakat diberlakukan atas properti yang dimiliki dengan niat untuk diperdagangkan. Pengertian “niat untuk diperdagangkan” adalah seseorang berniat memiliki properti tersebut untuk memperoleh keuntungan.

Al-Mawardi rahimahullah mengatakan,

مَعْنَى ” نِيَّةِ التِّجَارَةِ : أَنْ يَقْصِدَ التَّكَسُّبَ بِهِ بِالِاعْتِيَاضِ عَنْهُ

“Arti dari ‘niat untuk diperdagangkan’ adalah seseorang bermaksud mengambil untung dengan menjadikannya sebagai kompensasi (diperdagangkan).” (al-Inshaf, 3: 154)

Adapun semata-mata berniat untuk dijual tidak otomatis menjadikan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan karena motivasi menjual suatu barang bisa bermacam-macam seperti ingin “membuang” barang, tidak berkeinginan lagi untuk dimiliki, adanya kesulitan ekonomi, atau yang semisal. 

Jika seseorang memang melakukan usaha jual beli properti. Dalam kitab fiqih manhaji disebutkan ada dua syarat suatu benda menjadi barang perniagaan :

1. Pemiliknya mendapatkan barang tersebut melalui akad transaksi yang ada gantinya, seperti dengan jual beli, sewa, mahar ( bagi wanita) dan lain sebagainya. Artinya jika barang tersebut di dapat dengan jalan semisal warisan, wasiat atau hibah maka barang tersebut tidak tergolong pada jenis barang perniagaan. 
2. Ketika seseorang memilikinya, ia memang berniat menggunakan barang itu untuk perniagaan dan ia melangsungkan niatnya tersebut. Jika pemilik barang tidak berniat memperdagangkan barang itu setelah ia miliki maka barang tersebut tidak tergolong jenis barang dagangan, walaupun di kemudian hari dia berniat memperdagangkanya. Begitu pula jika awalnya ia berniat memperdagangkan barang tersebut namun kemudian setelah dia miliki, ia tidak jadi memperdagangkanya, atau ia simpan saja, maka barang tersebut tidak termasuk jenis barang perniagaan, karenanya tidak wajib di zakat. 

Jadi dapat kita simpulkan dari penjelasan diatas jika Bapak tidak menjadikan tanah itu sebagai barang perniagaan maka tidak di sebut sebagai barang perniagaan sehingga tidak dikenai kewajiban zakat. 

B. Penerima Zakat

Asnaf yang menerima manfaat zakat berdasarkan surat At-Taubah ayat 60:

1. Fakir; Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.

2. Miskin; Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.

3. Amil; Mereka yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.

4. Mu'allaf; Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menguatkan dalam tauhid dan syariah.

5. Hamba sahaya; Budak yang ingin memerdekakan dirinya.

6. Gharimin; Mereka yang berhutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzahnya

7. Fisabilillah; Mereka yang berjuang di jalan Allah dalam bentuk kegiatan dakwah, jihad dan sebagainya

8. Ibnus Sabil; Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah.

Wallahu A'lam

Temanggung, 21 Januari 2023











Saturday 10 December 2022

Denda bagi Peserta Arisan yang Terlambat Membayar

Assalamualaikum

Mohon maaf lupa menanyakan berkaitan dengan arisan barang, kebetulan yg jadi ketua arisannya teman saya. Awalnya arisan lancar biasa, jalan bbrp waktu ada anggota yg suka telat atau malah sulit ditagih utk bayarnya. Akhirnya dibuat peraturan yg telat kena denda perhari sekian rupiah itu ustd buat gertakan yg suka sulit. 

Padahal denda tdk boleh ya tadz? Apakah arisannya jd haram Krn itu? Yg terkena hukum riba semuanya? Termasuk yg tdk pernah didenda? Trs bagaimana njih sebaiknya?🙏

****

Jawab :

Sebelum saya menjawab mari kita kaji dulu beberapa hal. 

Pertama : Riba dalam pinjam meminjam atau utang piutang disebut Riba Dain. Riba ini ada dua bentuk:

1. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo ( pembayaran hutangnya atau pertambahan nominalnya berkaitan dengan mundurnya tempo) 

Misal : Si A berutang Rp1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo, si B berkata, “Bayar utangmu.” Si A menjawab, “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo satu bulan lagi dan utang saya menjadi Rp1.100.000.” Demikian seterusnya.

Sistem ini disebut dengan “riba mudha’afah” (melipatgandakan uang). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفًا مُّضَٰعَفَةً  

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda….” (Ali Imran: 130)

2. Pinjaman dengan bunga yang sudah di persyaratan di awal. 

Misal: Si A hendak berutang kepada si B. Si B berkata di awal akad, “Saya akan meminjamkan untukmu Rp1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp1.100.000.”


Kedua: manfaat atau tambahan dalam hutang piutang. 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; 

 كل قرض جر منفعة فهو ربا

“setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan maka itu riba”

 Dalam kitab Lisan al-Mizan libni hajar (3/128-129) Hadits ini dilihat dari segi sanad sangat lemah (dho’if jiddan), bahkan Imam Bukhori mengatakan bahwa hadits ini munkar, namun meski begitu, dari segi matan hadits ini sesuai dengan dlail-dalil lain baik dari al-Qur’an, hadits lain yang serupa, ijma, atsar sahabat maupun rasionalitas, yang semuanya menunjukan keharaman mengambil manfaat atau keuntungan bagi si pemberi pinjaman dari sebuah pinjaman yang dia berikan. 

Ada banyak redaksi untuk mendefinisikan apa itu qordh. Dalam Kitab Fathul Muin disebutkan definisi qordh sebagai berikut :

تمليك الشيء على أن يرد مثله

“memiliki sesuatu (dari orang lain) dengan mengembalikan gantinya (yang sesuai dengan yang dipinjam)”

Namun ternyata menurut para Fuqaha tidak semua manfaat منفعة dalam pinjam meminjam itu dinamakan riba. 

Definisi manfaat dalam konteks qordh adalah :

الفائدة أو المصلحة التي تعود لأحد أطراف عقد القرض بسبب هذا القرض

“suatu keuntungan atau kemaslahatan yang diperoleh oleh salah satu pihak dalam transaksi pinjam meminjam, yang keuntungan tersebut terjadi sebab adanya transaksi ini”

Maksudnya, keuntungan yang didapat oleh si pemberi pinjaman atau si peminjam itu ada dan terjadi disebabkan oleh adanya transaksi itu sendiri. Contohnya : saya meminjamkan uang sepuluh ribu kepada teman, kemudian saya meminta ganti dua belas ribu, saya berhak mendapat keuntungan dua ribu karena saya sudah berbaik hati  meminjamkan uang saya kepada teman saya itu. Keuntungan inilah yang dimaksud dengan manfaat.

Setelah para ulama mengumpulkan, memilih dan menganalisa seluruh dalil-dalil tentang maksud manfaat ini akhirnya membuat kesimpulan, bahwa bukan manfaat secara mutlak yang di kategorikan riba namun manfaat yang memiliki taqyid (kriteria-kriteria) tertentu, mereka berkata :

المنفعة الزائدة المتمحضة المشروطة للمقرض على المقترض

“manfaat yang bersifat tambahan, murni, yang disyaratkan pemberi pinjaman kepada peminjam ketika akad (transaksi)”

Ada beberapa kriteria manfaat dikatakan riba, yaitu :

  1. Bersifat tambahan : uang yang seseorang pinjamkan setelah kembali jadi bertambah.
  2. Bersifat murni : maksudnya, manfaat ini murni diterima si pemberi pinjaman, si peminjam tidak punya manfaat apa-apa kecuali uang yang dipinjam, adapun kalau sama-sama dapat manfaat maka ini masih khilaf di kalangan ulama.
  3. Tambahannya disyaratkan di akad (transaksi), misal : ya sudah aku pinjamkan kamu uang sepuluh ribu, tapi syaratnya nanti kamu balikin uangnya dua belas ribu ya. 
Maka jika syarat-syarat yang kami sampaikan terpenuhi dalam arisan tersebut maka bisa masuk ke dalam riba. Maka mungkin perlu disampaikan kepada pengurus dan peserta arisan, untuk kemudian bisa di ambil sikap terbaik yang sesuai dengan syariat agar muamalah tetap berkah. 

” Wallahul A'lam. 

Temanggung, 10 Desember 2022

Ta' Rouf Yusuf


Wednesday 7 December 2022

Hukum Arisan Barang

Assalamualaikum Mohon maaf, mau bertanya lagi tentang arisan barang ustd, bagaimana hukumnya njih...skrg marak arisan barang...Krn saya juga ikut, niat sy membeli dg menabung lewat arisan itu ustd🙏
Ketentuan arisan 5 atau 10 bulan, tiap bulan membayar sesuai list harganya. 
Utk dapatnya sesuai undian dari pusatnya. 
Harga cash dan arisan sama kalau mau cash

***

Jawab:
Waalaikumsallam wa rahmatullahi wa barakatuh

Para fuqahâ’ telah menjelaskan bahwa mu’âmalah, baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. 

Sistem arisan barang adalah transaksi jual beli yang mana penjual sudah memiliki barang (bukan barang yang masih belum dimiliki atau baru mau diproduksi) dan pembelinya membeli secara kontan, tetapi uang yang dipakai pembeli untuk membayar adalah uang hasil menghimpun dari sejumlah orang yang sepakat bergabung dengan sistem tersebut. Faktanya jual beli sistem arisan ini sebenarnya adalah jual beli biasa. Hanya saja mengingat harga barang yang cukup mahal bagi sebagian orang, maka digagas sistem arisan untuk “saling membantu” membayarkan sehingga masing-masing anggota arisan bisa mendapatkan barang tersebut sesuai gilirannya. Jadi, Jual-Beli arisan adalah akad jual beli biasa namun dengan cara pembayaran yang khas. Pembayaran dalam Jual-Beli arisan barang tidak dilakukan oleh satu orang pembeli sebagai individu (atau badan yang semakna dengan individu) sebagaimana biasanya, namun dibayarkan dengan “bantuan” orang lain dengan sistem arisan.

Jual-Beli arisan barang adalah jual beli/bai’ karena telah memenuhi definisi jual beli/bai’. Dalam fiqih jual beli/bai’ didefinisikan dengan:

معجم لغة الفقهاء (1/ 134)
البَيْع : مص‍ بَاعَ ، أَعْطَى الشَّيْء بِثَمَنٍ ، ج بُيُوْع . O مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلى سَبِيْلِ التَّمْلِيْكِ عَنْ تَرَاضٍ ، وَركْنَاهُ الإِيْجَابُ وَالقَبُوْل
“Al-Bai’ yang merupakan bentuk mashdar ba’a (بَاعَ) adalah memberi sesuatu dengan (kompensasi) harga. (definisinya): Pertukaran harta dengan harta yang bersifat penetapan hak milik secara suka rela dari kedua belah pihak. Rukun (sendi)nya adalah ijab dan kabul.”

hukum jual beli hukum nya mubah berdasarkan ayat berikut ini;

{وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ} [البقرة: 275]
“… Allah menghalalkan jual beli…”

Dalam ayat di atas, secara lugas Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli. Lafaz bai’ (الْبَيْعَ) yang diterjemahkan jual beli adalah isim jenis yang dilekati alif lam. Karena itu, lafaz ini bermakna umum sehingga jual beli yang dihalalkan Allah adalah mencakup semua jenis jual beli. Keumuman jual beli ini tidak bisa dikhususkan kecuali berdasarkan dalil seperti haramnya jual beli yang mengandung riba, jual beli ghoror, jual beli najasy dan lain-lain. Dengan demikian Jual-Beli arisan barang dihukumi mubah karena termasuk dalam keumuman kehalalan jual beli yang ada dalam ayat ini.

Adapun masalah pembayarannya dengan sistem arisan, maka hal tersebut tidak masalah, karena cara pembayaran dengan sistem arisan adalah perkara teknis/uslub/wasilah bukan perkara ashl hukum (induk hukum). Hukum asal semua perkara teknis adalah mubah selama tidak bertentangan dengan hukum syara’ berdasarkan keumuman bolehnya isytiroth (menetapkan syarat). At-Tirmidzi meriwayatkan;

 بترقيم الشاملة آليا)
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ الْخَلاَّلُ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِىُّ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِىُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا ».
سنن الترمذى – مكنز (5/ 341،

“Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al ‘Aqadi, telah menceritakan kepada kami Katsir bin Abdullah bin Amr bin ‘Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.’”

الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah ﷻ akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah ﷻ akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah ﷻ akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim”

Oleh karena arisan termasuk akad hutang-piutang/qordh, maka selama tidak melanggar hukum-hukum qordh , status arisan adalah mubah. Jika arisan melanggar hukum qordh, misalnya diberlakukan denda karena terlambat setor arisan, maka arisan seperti itu haram karena denda dalam akad qordh adalah riba. Termasuk juga aksi “membeli” giliran arisan, yakni menyerahkan sejumlah uang tertentu dengan maksud memperoleh giliran awal untuk mendapatkan uang arisan, hal ini terlarang karena termasuk riba.

Adapun cara perolehan uang arisan dengan cara diundi, maka hal ini juga tidak masalah karena undian/qur’ah (القُرْعَة) dari sisi undian itu sendiri hukumnya juga mubah, bukan termasuk qimar/maisir/judi, berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah ﷺ yang mengundi istri-istrinya jika hendak melakukan safar untuk menentukan siapa yang akan menemani beliau dalam safar. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (9/ 48)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ
“Dari ‘Aisyah dia berkata: “Adalah Rasulullah ﷺ apabila hendak mengadakan suatu perjalanan, beliau melakukan undian di antara isteri-isteri beliau. Siapapun yang keluar namanya maka dia turut serta bersama beliau”

Undian jika dipakai hanya untuk menentukan siapa yang paling berhak secara adil pada orang-orang yang memiliki hak sama, yang demikian itu hukumnya mubah sebagaimana Rasulullah ﷺ mengundi istri-istrinya. Undian menjadi judi yang bersifat haram jika disertai setoran harta yang mengandung unsur menunggu kemungkinan untung dan rugi seperti undia. Jika arisan disamakan dengan judi, maka hal ini tidak tepat mengingat dalam arisan tidak mengandung unsur rugi/ghurmun (الغُرْم) sebagaimana pada judi. Dalam arisan orang tidak pernah menunggu ghunmun (untung) atau ghurmun (rugi). Dalam arisan, orang hanya menunggu giliran, kapan mendapatkan uang yang telah dihutangkan kepada orang lain atau menunggu uang yang dia berhutang kepada orang lain. Jumlahnya sama persis. Tidak lebih dan tidak kurang serta tidak merugikan siapapun.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa jual beli arisan barang hukumnya adalah mubah.

Walllahu A'lam
Temanggung, 7 Desember 2022
Ta' Rouf Yusuf

Monday 5 December 2022

Ketika Lupa Rukun dalam Sholat

Dalam kasus ini, seseorang lupa mengerjakan salah satu rukun shalat, dalam hal ini bacaan al fatihah. Maka ia tidak perlu membatalkan shalatnya, tapi ia harus kembali berdiri dan membaca al fatihah yang ditinggalkan tadi dan mengulang rukun-rukun berikutnya. 

Jika teringat ketika mengerjakan rukun yang sama dengan rukun yang ditinggalkan, atau setelahnya, maka rukun-rukun yang ada di antara keduanya dianggap sia-sia atau tidak terhitung. Misalnya, seseorang lupa mengerjakan membaca al fatihah di rakaat pertama. Lalu, ia baru teringat ketika sedang membaca al fatihah di rakaat kedua, maka i’tidal, sujud, dan duduk di rakaat yang pertama tadi dianggap tidak ada. Dengan demikian, ia baru terhitung satu rakaat dan tidak diperbolehkan melakukan tahiyat awal.

Meski demikian, ia tetap harus meneruskan shalatnya seperti biasa dengan status rakaat keduanya ada di rakaat ketiga, karena rakaat yang sedang ia jalani dihitung sebagai rakaat pertama shalatnya. Dengan demikian, kalau ia, misalnya, shalat Zuhur, Asar, dan Isya, maka ia shalatnya lima rakaat.  Praktiknya ia melakukan shalat lima rakaat, tapi hitungannya yang sah tetap empat rakaat, karena ada satu rakaat yang kurang rukunnya (lupa al fatihah di rakaat pertama).

Di akhir shalat, sebelum salam, (ada pula yang berpendapat setelah salam) ia disunnahkan melakukan sujud sahwi (sujud yang dilakukan oleh orang yang shalat untuk menggantikan kesalahan yang terjadi di dalam shalatnya karena lupa) sebanyak dua kali sujud. Jika lupa tidak mengerjakan sujud sahwi, maka shalat berjalan dengan sah, karena sujud sahwi hukumnya sunnah.


2. Ketika teringat setelah selesai sholat 

Dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah di ceritakan

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالُوا صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami sholat pada salah satu dari dua sholat petang, mungkin sholat Zhuhur atau Ashar.

Namun pada rakaat kedua, beliau sudah mengucapkan salam. Kemudian beliau pergi ke sebatang pohon kurma di arah kiblat masjid, lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah.

Di antara jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara. Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil berujar, “Sholat telah diqoshor (dipendekkan).”

Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah sholat dipendekkan ataukah anda lupa?”

Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, “Betulkah apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?”

Jawab mereka, “Betul, wahai Rasulullah. Engkau sholat hanya dua rakaat.”

Lalu beliau sholat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit.

Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (Hadits Riwayat Bukhari No. 1229, dan Muslim No.573).

Di jelaskan dalam kitab Hilyatul Ulama fi Ma’rifatil Madzahibil Fuqaha 

وإن نسي ركعة من ركعات الصلاة وذكرها بعد السلام فإن لم يتطاول الفصل أتى بها وبنى على صلاته وإن تطاول الفصل استأنفها وفي حد التطاول أوجه أحدها قال أبو إسحاق إن مضى قدر ركعة فهو تطاول وقد نص عليه الشافعي رحمه الله في البويطي والثاني أنه يرجع فيه إلى العرف والعادة فإن مضى ما يعد تطاولا استأنف وإن مضى ما لايعد تطاولا بنى والثالث قال أبو علي بن أبي هريرة إن مضى قدر الصلاة التى نسي فيها استأنف وإن كان دون ذلك بنى 

Jika lupa sebagian raka’at shalat dan baru ingat setelah salam, kita boleh menambahkan rakaat yang dilupakan secara langsung bila selang waktunya tidak terlalu lama. Apabila jeda keduanya terlalu lama, kita wajib mengulang shalat secara keseluruhan. Ulama berbeda pendapat perihal seberapa lama selang waktunya. Menurut Abu Ishaq, jeda keduanya hanya kisaran durasi satu rakaat. Jika jedanya kurang dari durasi satu rakaat, dia boleh menambahkan bilangan rakaat yang terlupakan. Tetapi bila melebihi kadar satu rakaat shalat, ia diwajibkan mengulang shalat. Pendapat ini merupakan pandangan Imam asy-Syafi’i sebagaimana dikutip al-Buwaiti. Pendapat kedua mengatakan, takaran jeda keduanya didasarkan pada kebiasaan atau tradisi masyarkat setempat. Bila menurut kebiasaan masyarakat, durasi jeda sudah terlalu lama, ia harus mengulang shalat. Tetapi jika durasi jedanya sebentar, ia hanya diwajibkan menambah raka‘at yang dilupakan. Sementara menurut pendapat ketiga sebagaimana dikatakan Abu ‘Ali Ibnu Abu Hurairah, durasi jeda antara lupa dan menyempurnakan kekurangan raka’at diukur berdasarkan ukuran lamanya rakaat shalat yang dilupakan. Apabila jedanya kelewat lama, ia mesti mengulang dari awal. Kalau hanya sebentar, ia cukup menyempurnakan kekurangan raka’at yang terlupa. Praktisnya, apabila kita mengerjakan shalat dzuhur, kemudian setelah salam baru ingat bahwa ada beberapa rakaat yang terlupa, kita diperbolehkan untuk langsung berdiri menyempurnakan rakaat yang tertinggal. Namun jika selang waktunya terlalu lama, kita diwajibkan untuk mengulang shalat dzuhur dari awal sebanyak empat rakaat. Terkait berapa lama selang waktunya, para ulama berbeda pendapat sebagaimana yang disebutkan di atas.

Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat kita simpulkan jika seseorang lupa salah satu rukun maka dapat kita qiyas kan lupa satu rakaat dalam sholat, dan jika waktunya masih dekat maka bisa dilakukan sebagaimana hadits Abu Hurairah di atas. jika waktunya sudah lama maka menurut penjelasan dalam kitab Hilyatul Ulama fi Ma’rifatil Madzahibil Fuqaha di atas, maka diwajibkan mengulang sholat. 

Kemungkinan pendapat inilah yang di ambil pimpinan pondok tersebut, dan mengulang sholat shubuh nya ketika ingat. Sebagaimana  hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)

Wallahu a'lam bi shawab

Temanggung, 5 Desember 2022

Ta' Rouf Yusuf


Ketaatan Kepada Guru

Pertanyaan :
Bismillah... 
Assalamu'alaikum warohmatulohi wabarakatuh... 

Afwan ustadz mohon maaf sebelumnya atas segala salah dan dosa... 🙏

Ana takut punya salah pada antum... 

Ana izin bertanya ustadz... 

Bagaimana cara agar selalu ber HUSNUDZON pda guru" kita... 

Agar tetap kita patuh pada perintahnya ... 
Sekalipun serasa agak berat... 

Taslim ini ko berat ustadz... 🙏🙏

Dan bukannya tidak yakin... 

Tapi yang ingin ana tanyakan... 
Cara menumbuhkan keyakinan kita pada guru... 

Afwan apa memang dibutuhkan dalam penumbuhan keyakinan ini... 


Agar kita tetap setia bersamanya... 
Diaku murid dunia akhirat... 

Dan agar bisa memperoleh futuh... Apa saja syarat atau caranya ustadz... 🙏

Bagaimana cara menjadi murid yg baik ustadz... 

Baarokallohu fiikum🤲🏻🤲🏻

Maaf jika tidak sopan malam"... Afwan🙏🙏

+62 877-7294-****

Jawab :
Di kitab Tazkiyatun Nafs di bab awal sudah di bahas adab adab secara umum seorang murid kepada guru. Atau antum juga bisa membaca kitab adabul alim wal muta'alim karya hadratussyaikh Hasyim Asyari. Atau tadzkiratis Sami wal mutakalim. 

Berkaitan dengan adab yang antum ingin tanyakan, sebelumnya ana akan membenyampaikan beberapa hal. 
1. Bahwa seorang guru adalah manusia biasa yang kadang memiliki khilaf maupun kesalahan. Maka ketaatan kita berbatas, dalam perintah kemaksiatan kepada Allah maka kita di larang mematuhinya. 

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf”

Maka taat kepada manusia (selain Rasulullah) tidak bersifat mutlak dalam segala perkara dan setiap keadaan. Ketaatan yang mutlak hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada orang lain hanya dalam perkara yang ma’ruf. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Dalam hal ini pula kita harus menutup aib guru kita Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat (HR. Muslim no. 2580).

b. Boleh berbeda pendapat dengan guru namun harus tetap menjaga kehormatan guru, sebagaimana imam syafi'i banyak berbeda pendapat dengan imam Malik atau imam Ahmad yang banyak berbeda pendapat juga kepada imam syafi'i. Namun kita tetap harus menjaga kehormatan guru dengan tetap menjaga adab seorang murid. 

3. Berusaha untuk memenuhi perintah guru semaksimal mungkin. 

4. Bersegera memenuhi perintah guru. 

5. Mencari keridhoan hati guru dengan memperlakukan hal-hal yang mulia kepada guru.

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...